"Sayang.." Panggil Abian pada istrinya. Hari ini, keadaan wanita itu sudah menjadi lebih baik jadi Flora sudah bisa pulang.
"Iya, Mas. Kenapa?""Mas mau pergi dulu sebentar, kamu sama Ibu dulu ya." Ucap Abian sambil mengusap puncak kepala sang istri dengan lembut. Dia juga melabuhkan kecupan mesra di keningnya."Mau kemana, Mas? Kan masih libur." Tanya wanita itu, pasalnya ini masih weekend."Mas ada urusan, sayang. Mas perginya sama Robi kok.""Yaudah, hati-hati di jalannya ya." Ucap wanita itu dan Abian mengusap puncak kepala istrinya. Dia berlutut menyamakan posisinya dengan perut istrinya."Jangan nakal ya sama Mama, Papa pergi dulu ada urusan. Nanti Papa pulang bawain oleh-oleh, adek mau apa?" Tanya Abian sambil mengecupi perut buncit istrinya."Mau martabak, Mas.""Siap, istriku. Nanti Mas bawain, gak bakalan lama kok." Jawab pria itu. Dia beranjak lalu pergi meninggalkan sang istri bersama ibunya di ruangPria itu menatap Bram dengan rahang yang mengetat, terlihat jelas kalau pria itu tengah marah."Apa yang kau lakukan pada Winda?" Tanya Abian dengan suara rendah yang menakutkan. Bahkan bulu kuduk Robi meremang seketika ketika mendengarnya. Dia kira, suara Abian yang melengking keras ketika berteriak adalah yang paling menakutkan, tapi ternyata suara rendahnya jauh lebih menakutkan. Robi mengusap tengkuknya yang tiba-tiba saja merinding."Aku tidak melakukan apapun. Dia yang datang menyerahkan diri.""Persetaaan! Bajingaan! Katakan, apa yang sudah kau lakukan pada Winda? Katakan jujur atau aku akan membunuhmu, Bramantyo!""Sudah aku tegaskan, aku tidak melakukan apapun tanpa dia setujui." Jawabnya kekeuh, tapi Abian tahu kalau pria itu berbohong. Kebohongannya terlihat dari sorot matanya."Jawab jujur atau kau mati di tanganku, Bram!""Katakan sejujurnya, jangan tunggu Abian murka. Kau jelas tahu seperti apa mantan adik iparmu in
"Abi..""Ada apa, Bu?" Tanya Abian."Ibu kangen sama adikmu." Lirih Ranti sambil menundukkan kepalanya."Arifin baik-baik saja, besok kita kesana menjenguknya. Abi juga sudah mengajukan banding agar hukumannya di ringankan.""Terimakasih, Abi.""Iya, besok kita kesana. Kamu mau ikut?" Tanya Abian pada istrinya."Boleh?""Boleh, tentu saja." Jawab pria itu sambil tersenyum. Tidak ada alasan untuk melarang istrinya agar tidak ikut ke menjenguk Arifin ke selnya, lagipula dia percaya penuh pada istrinya. Tidak mungkin Flora akan kembali pada pria macam Arifin."Yaudah, aku ikut besok.""Hmmm.."Pasangan suami istri itu kembali bermesraan, Abian bermanja pada istrinya seperti biasa. Itu aktivitas kesukaannya.Keesokan harinya, Abian dan Flora juga Ranti sudah siap untuk berangkat menjenguk Arifin di selnya. Tak lupa, ada Santi juga yang akan menyusul kesana untuk menjenguk adiknya juga.
"Gak habis pikir aku sama Arifin." Ucap Santi sambil menggelengkan kepalanya sambil menyuapkan spaghetti ke dalam mulutnya. Sepulang dari penjara untuk menjenguk saudara yang tidak tahu diri itu, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di restoran."Dia gak berubah sama sekali, padahal sudah satu tahun dia di penjara, tapi karakternya masih sama seperti dulu." Jawab Abian. Jujur, dia bosan di salahkan tapi memang ini semua ide gilanya karena ingin memiliki Flora.Dia juga malas untuk menjenguk Arifin, itu adalah salah satu alasannya. Dia muak mendengar dan melihat kelakuan Arifin yang selalu saja tingkahnya itu membuat kepalanya pusing. Dia sebal juga ketika melihat cara Arifin menatap istrinya, ingin sekali dia mencongkel kedua matanya itu karena sudah menatap miliknya sebegitunya."Harusnya dia di hukum kayak gitu tuh mikir, otaknya kemana sih?" Kesal Santi. Adik dan kakak itu yang membicarakan Arifin, saudara mereka sendiri. Berbeda dengan Flora ata
Waktu terus berlalu dengan begitu cepat, tidak terasa kalau hari ini kandungan Flora sudah menginjak usia sembilan bulan. Dengan penjagaan super super ketat dari sang suami, Flora akhirnya bisa melewati setiap fase kehamilannya dengan lancar tanpa hambatan, meskipun beberapa kali drama terjadi.Hari ini, Abian sedang mengantar istrinya untuk periksa. Mungkin lebih tepatnya periksa terakhir karena usia kandungannya sudah mencukupi untuk melahirkan."Sayang, gimana perasaanmu sekarang?" Tanya Abian sambil tersenyum menatap sang istri yang terlihat duduk dengan nyaman di samping sang suami yang tengah mengemudikan kendaraannya."Jujur, aku sangat gugup, Mas." Jawab wanita itu sambil tersenyum kecil, jujur saja dia merasa sangat gugup sekarang. Tapi rasa ingin bertemunya dengan kedua buah hatinya."Mas juga, tapi rasanya Mas sangat excited menunggu kelahiran keduanya. Mas gak sabar.""Aku juga, semoga saja mereka cepat lahir dengan selamat da
Kini, hari yang telah di tunggu-tunggu oleh Flora dan Abian telah datang. Pagi ini, Flora merasakan perutnya mulas. Dia sudah bolak balik ke kamar mandi tapi rasa sakit di perutnya tidak kunjung hilang juga, malah sakitnya semakin terasa. Akhirnya, dengan perasaan tak enak Flora pun membangunkan suaminya. Sejujurnya, dia tidak ingin membangunkan sang suami.Dia tahu kalau suaminya pasti lelah setelah seharian bekerja di perusahaan, dia membutuhkan waktu beristirahat yang cukup untuk menghadapi banyaknya pekerjaan yang telah menunggu di perusahaan. Tapi rasa sakit di perutnya benar-benar sudah tidak tertahankan hingga dia tidak bisa menahan keseimbangan tubuhnya. Flora ambruk di lantai sambil memegangi perutnya."Mas, tolong.." Lirihnya sambil terus memegangi perutnya."Mas.." panggilnya lagi, membuat tidur Abian terusik. Pria itu membuka kedua matanya secara perlahan lalu melirik kesana kemari mencari keberadaan sang istri. Dia beranjak dari tidurnya sambi
"Keluarga Pasien?" Tanya seorang perawat yang keluar dari ruangan dengan pakaian sterilnya."Saya suaminya, sus.""Pembukaan pasien sudah lengkap, sudah bisa melahirkan sekarang. Harap ada yang bisa menemaninya di ruang persalinan sekarang.""Saya, Sus.""Baik, mari ikut saya." Jawabnya, Abian menoleh ke arah sang ibu dan dia menganggukan kepalanya, Abian menghela nafasnya lalu berjalan masuk ke dalam ruangan mengikuti perawat itu.Abian berjalan masuk, seketika suasana ruangan itu terasa mencekam, ada banyak alat-alat yang terlihat asing bagi penglihatan Abian yang memang bukanlah dokter. Wajahnya berubah pucat, membuat dokter yang biasa dia temui setiap bulan itu tersenyum kecil."Jangan gugup, tenang saja. Mendampingi istri saat melahirkan adalah salah satu kewajiban suami karena ingin di temani saat melahirkan adalah keinginan semua wanita. Sayangnya, tidak semua suami bisa mendampingi istrinya.""Iya, Dok."
Setelah bayinya tertidur pulas di box baginya, Abian berjalan mendekat ke arah sang istri dan duduk di brankar dekat sang istri berbaring."Maaf kalau Mas punya banyak salah selama ini sama kamu, mungkin yang sengaja atau tidak di sengaja.""Kenapa harus minta maaf, Mas?""Entahlah, Mas pikir kalau Mas harus melakukannya. Mas merasa punya banyak salah sama kamu, sayang.""Aku sudah memaafkan semuanya, Mas. Jangan merasa bersalah apapun, Mas tidak memiliki kesalahan apapun padaku, apalagi sampai di sengaja.""Melihat perjuangan kamu tadi, membuat Mas semakin sadar kalau kamu adalah wanita yang kuat. Setelah ini, Mas mohon jangan hamil lagi ya?" Ucap Abian yang membuat Flora terkekeh pelan, dia tidak bisa tertawa dengan bebas karena bagian bawahnya masih terasa sangat ngilu."Kenapa, Mas?""Melahirkan itu sakit, sayang. Mas gak tega lihat kamu kesakitan, jadi udahan ya? Dua anak lebih baik.""Kalau ada rezekinya,
Hanya satu Minggu saja, kini Flora telah bisa pulang karena keadaannya yang sudah membaik. Tubuhnya memang mudah beradaptasi, meskipun masih merasakan sedikit ngilu di bagian tertentu, tapi tubuhnya telah pulih sepenuhnya."Bobo sana.." Ucap Abian sambil mengusap puncak kepala sang istri dengan lembut."Mau sama Mas, yuk?" Ajak wanita itu sambil tersenyum."Gak usah senyum kayak gitu, kamu masih nifas. Jadi jangan godain Mas yaa..""Siapa juga yang godain kamu, Mas. Gak ada tuh..""Hmm, yaudah bobok sana. Nanti Mas nyusul, ini anak bayi kelihatan nyenyak sekali." Jawab pria itu sambil membiarkan istrinya tidur terlebih dulu. Dia paham benar kalau istrinya kelelahan setelah seharian menjaga kedua buah hati mereka yang sekarang sering mengajak begadang. Bahkan seringkali Flora tidak tidur malam hari, kekurangan tidur sudah biasa bagi ibu muda tapi tetap saja Abian merasa kasihan pada istrinya. Jadi sebisa mungkin dia membantu sang istri mes
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.