"Bro, ada apa denganmu?" Teman Riko bertanya sesaat setelah motor berhenti tepat di samping Riko.
Riko tersenyum lalu menatap temannya, enggan bercerita pada temannya karena Riko tahu, tidak semua teman bisa dipercaya dan dapat menjaga rahasia."Tidak. Hanya seekor anjing liar." Riko tersenyum getir."Ayo kuantar kau pulang!"Mereka berdua melesat, meninggalkan kota yang sedikit menyisakan gerimis kecil seusai hujan lebat yang membuat Riko basah kuyup. Berjalan Riko beberapa meter tak ada yang memberikannya tumpangan walaupun dalam hujan lebat."Thanks." Riko langsung masuk ke dalam rumahnya setelah mengucapkan terimakasih pada temannya.Tak ada yang Riko pikirkan lagi, mengagumi Starla hanya tinggal dalam mimpi. Starla akan ia pinang ketika ia sukses nanti, jika tidak sukses maka Starla cukup menjadi cerita masa lalunya.Riko masuk ke dalam kamarnya, melihat sisa tabungan yang ia miliki. "Ah ... ini hanya untuk ongkos."Bukan masalah besar bagi seorang laki-laki jika hanya memiliki ongkos untuk bekerja keluar negeri karena jika hidup di pinggir jalan pun, laki-laki tidak terlalu membutuhkan biaya besar."Selamat tinggal Starla," lirih Riko lalu mengepalkan tangannya.Hatinya begitu sakit, masih teringat jelas bagaimana perlakuan Jack Marker padanya. Riko akan membuktikan pada Jack kalau ia juga akan mampu mengalahkan kekayaan yang Jack miliki walaupun itu terlihat mustahil..Koper kecil secepat mungkin Riko seret setelah taksi sampai di depan rumah, sebelum Sebi melihatnya, Riko terburu-buru masuk ke dalam taksi. Sebi teramat menyayangi Riko melebihi anak kandungnya sendiri namun saat ini Riko tidak ingin lagi bergantung pada ibu angkatnya itu karena ia sadar hidup Sebi selama ini sudah cukup menderita."Tante. Maaf." Kata itu seolah tertahan di tenggorokan Riko sesaat setelah menoleh ke belakang..Tak lama taksi yang Riko tumpangi sampai di bandara. Riko sudah memesan tiket pesawat jauh hari karena ia sudah memantapkan hati untuk merantau keluar negeri sebelum mendapat hinaan dari Jack. Setelah mendapatkan hinaan Riko semakin tertantang untuk keluar negeri mencari jati dirinya. Riko ingin membuktikan perkataannya kalau ia juga bisa sukses.Tak sia-sia selama ini belajar banyak bahasa dari Sebi yang berketurunan Prancis. Sebi banyak tahu bahasa karena ia pernah bekerja di perhotelan dalam dan luar negeri.Saat ini Riko tidak peduli pada banyak mata yang memandang Riko dengan tatapan tak suka, yang jelas saat ini Riko ingin perubahan nyata dalam hidupnya, kakinya terus melangkah memantapkan hati dan pikiran saat kaki yang tak pernah berkelana masuk dan lalu duduk di dalam pesawat.Sepasang mata menatap Riko dengan tatapan naik turun, "kau ada sanak saudara di Amerika?" tanya orang asing yang duduk di samping Riko.Riko duduk di samping laki-laki yang nyaris sama kejamnya seperti Jack, takdir Riko bertemu dengan orang-orang yang selalu sama."Tidak. Aku hanya ingin mengubah nasib di sana," ucap Riko lalu menatap awan yang berjalan di luar jendela pesawat."Bagaimana kalau ikut dan tinggal bersamaku, kita bisa bekerja sama dalam satu bisnis yang tidak membutuhkan modal," ungkap laki-laki itu.Mendengar kata bisnis, Riko cukup tertantang. Selama ia tinggal di negaranya tidak ada bisnis yang tidak membutuhkan modal. Semua bisnis berawal dari modal besar termasuk bisnis yang melibatkan orang-orang tertentu.Cukup lama Riko berpikir hingga tubuhnya yang cukup tegap di colek lagi oleh laki-laki yang duduk di sebelahnya."Kalau tidak mau bukan masalah. Ini kartu namaku, nanti kau bisa mencariku jika kau sudah berubah pikiran," kata laki-laki itu, lalu mengulas senyum ke arah Riko setelah menyodorkan kartu nama ke arah Riko.Riko mengambilnya, lalu mengamati kartu nama itu, tak ada yang mencurigakan karena terlihat seperti seorang pemilik perusahaan pada umumnya. Riko mencoba meyakinkan dirinya kalau orang baik masih ada di dunia ini.Pria yang saling memiliki tubuh tegap itu saling bertukar cerita, hingga Riko memberanikan diri menceritakan apa penyebab dirinya meninggalkan negaranya, hingga berani mengambil keputusan untuk pergi mengadu nasib.Namun hal yang tak diduga oleh Riko terjadi, pria yang sedang berada di sampingnya saat ini terbahak mendengar apa yang Riko alami.Laki-laki bernama George itu tersenyum kecil lalu menepuk bahu Riko. "Jadilah seperti seekor beruang, terlihat menggemaskan tapi bisa menerkam."Dua jam pun berlalu, Riko turun dari pesawat, begitu juga dengan yang lainnya. Riko menatap sekeliling yang tampak jauh berbeda dengan negara tempat tinggalnya."Selamat datang kesuksesan."Nyaris melewatkan sesuatu saat perutnya minta di isi namun Riko hanya membawa dua ratus ribu saja, terlebih nomornya samasekali tidak bisa di gunakan di negara lain.George lewat di samping Riko, ini kesempatan emas bagi Riko terlebih saat ini ia tidak memiliki uang dan pekerjaan. Jika George bisa membantunya mencarikan pekerjaan kenapa tidak."Aku menerima tawaranmu, Tuan." Riko menyentuh bahu George."Kau berubah pikiran?" George tersenyum sesaat setelah menoleh ke arah Riko."Tepatnya aku telah memikirkan segalanya," kata Riko lalu berjalan beriringan.Sesampainya di bandara, mereka di hadang saat ingin keluar dari bandara. Setiap penumpang akan di periksa namun George samasekali tidak di periksa, ini cukup membuat Riko tercengang.Nyatanya memang benar, uang mampu membeli segalanya termasuk orang yang seharusnya mengamankan, tapi bisa terlewatkan jika dengan uang."Kau iri?" George melihat ekspresi wajah Riko yang begitu kagum padanya."Tidak ... aku hanya ingin tahu seberapa kaya anda hingga ....""Cepatlah, George!" Sesekali melambaikan tangan ke arah George."Kita ada rapat kelompok, apa kau akan ikut?" tanya George pada Riko.Langkah George semakin cepat begitu juga dengan Riko, ia mengikuti George sampai mereka naik mobil dengan cepat karena tujuan mereka sedikit jauh. Beberapa teman George memandang ke arah Riko namun Riko bersikap tenang walaupun ada rasa curiga dalam hatinya."Ini orang baru itu?" tanya salah satu teman George."Anggap saja begitu. Aku gagal membawa dia bersamaku.""Haha. Kuakui kau begitu pintar George," kekeh laki-laki yang sedang mengemudi itu, sementara George yang lainnya hanya terdiam."Perkenalkan namaku Edward," sambung laki-laki berkulit putih itu dengan logat khasnya."Riko."Terlihat sekilas Riko mengulurkan tangan namun Edward menepis tangan Riko begitu cepat. Mereka bertiga tergelak saat Riko terlihat salah tingkah."Ayolah! Anak lemah darimana ini George?" Hanya Edward membuat George geram, lalu memukul kepala Edward."Nama kau itu tidak pantas berada dalam komplotan kami!" lanjut Edward membuat Riko menelan salivanya.Sempat berpikir bahwa akan ada orang baik yang akan membantu Riko di luar negeri namun Riko salah."Aku akan membuat identitas baru di negara ini, tapi dengan satu syarat ...." George mengantungkan ucapannya agar Riko penasaran."Aku tahu peraturan negara harus ada paspor dan aku tidak bisa menetap di sini selamanya," ucap Riko membuat George terbahak lebih kencang."Sudah kukatakan aku akan membuatmu menjadi warga negara di sini tapi, dengan satu syarat." George mengulang perkataannya."Apa?""Ikut dalam komplotan kami, kita akan menjadi kaya raya bersama. Bukankah kau ingin membuat kekasihmu bahagia? Lalu kau bisa membalasnya, maksudku membalas perlakuan calon ayah iparmu itu," terang George dengan tenang di sela kekehannya."Baiklah jika itu bisa membuat aku kaya dengan cepat."Tanpa berpikir panjang lagi Riko mengambil keputusan begitu cepat lalu tersenyum menatap mereka secara bergantian, tanpa Riko sadari ia telah masuk dalam jebakan George.Beberapa jam perjalanan akhirnya mereka berada di kota Zeulen City, gedung mewah bertingkat delapan terpampang jelas di mata Riko. Ia menatap sekeliling yang jauh berbeda dengan yang ada di kotanya, kekagumannya semakin menjadi karena ia berpikir akan cepat kaya jika berada di sini.Derap langkah mereka masuk ke dalam ruangan secara bersamaan. Mata Riko tak luput menatap George dengan rasa kagum yang berlebihan. Sesampainya di lantai tiga George mendorong tubuh Riko ke hadapan seorang laki-laki bertato dan bertubuh tinggi juga berkepala plontos."Ini yang kau katakan penipu itu?" tanya laki-laki berkepala plontos itu."Bu - kan ...."Kepalan tangan kekar laki-laki bertubuh tinggi dan tegap itu melayang di pipi Riko hingga darah segar bercucuran dari hidung Riko. George meringis melihat perlakuan bosnya terhadap Riko, walau bagaimanapun ini adalah salahnya.Sama halnya dengan Riko saat ini, ia merasa sakit yang luar biasa karena ini pertama kalinya Riko menerima pukulan keras dari seseorang, Riko menyentuh dagunya yang seakan hampir jatuh."Bos. Ini anak terlantar yang aku pungut, dia sama bodohnya seperti penipu itu."Mendengar penuturan George mata Riko memerah, anak terlantar katanya. Bukan sekali dua kali Riko di hina oleh orang-orang namun ia terus bersabar namun kali ini ia ingin melampiaskan semua amarahnya pada George.Riko mendekat ke arah George lalu melakukan serangan dengan menggunakan kakinya namun George dengan cepat menangkis kemudian memukul leher Riko hingga Riko merasakan sakit dan seluruh tubuhnya kaku lalu berlahan Riko hilang kesadaran.George sudah menjaga-jaga sejak tadi karena ia yakin Riko akan murka padanya itu sebabnya George menusukkan jarum buis ke leher Riko.Malam sudah menyapa namun kota masih begitu ramai orang berlalu lalang. Riko masih terkulai lemah di lantai namun kesadarannya telah kembali, tangan kiri Riko berlahan ia gerakkan namun terasa berat. Seketika Riko menoleh, lalu menarik tangannya lagi sekuat tenaga namun tetap saja tidak bisa. Tenaganya kini melemah."Bagaimana?" George tersenyum lalu mengangkat tangan Riko yang tidak bisa bergerak samasekali, bukan iba tapi George malah begitu senang melihat Riko menderita seperti ini. "Sial. Aku masuk ke dalam kandang harimau," lirih Riko dengan bahasa negaranya. "Cukup bagus, ambil ini!" George melemparkan kartu ke arah Riko. Riko mengambil kartu dengan tangan kanannya, cukup membuatnya terkejut karena fotonya terpampang jelas namun dengan nama berbeda. "Barnard?" "Ya. Mulai saat ini kau akan menyandang nama Barnard, kuakui kau pria pemberani." Pria berkepala plontos mendekati Riko lalu menarik tangan kanan Riko. Laki-laki yang menyandang gelar sebagai bos dalam kelompok mere
Jam menunjukan pukul 12 malam, Barnard menatap langit yang penuh dengan kerlipan bintang. Pikirannya berkelana, mengingat siapa yang telah menemaninya beberapa waktu lalu, biasanya ia akan keluar sekedar jajan di pinggir jalan bersama kekasihnya namun kini hanya tinggal mimpi. Layaknya seorang sahabat, tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebenarnya pada Barnard dan Edward, mereka terlihat seperti pemuda pada umumnya terlebih keduanya bersikap tidak peduli pada orang yang berdebat di samping mereka. "Ramen dua," ucap Edward sesaat setelah pramusaji wanita menghampiri mereka berdua. Tak lama makanan pun terhidang di meja mereka, Barnard menyantapnya dengan lahap, sekilas Edward menatap laki-laki yang kini sudah menjadi temannya lalu menggelengkan kepalanya. Merasa takjub dengan apa yang ia lihat di depannya saat ini, laki-laki yang begitu polos sesaat lagi akan menjadi brandal di negara asing. "Kau tau? Jika sudah masuk ke dalam kelompok bos Carlos maka kita tidak akan pernah lep
Sekitar satu jam sudah Edward dan Barnard berlatih namun Barnard belum mau berhenti karena ia merasa, belum bisa menembak tepat sasaran seperti Edward. "Aku lelah. Ayo kita cari makanan,"ujar Edward namun Barnard tidak perduli, ia masih fokus menembak pada sasarannya. Edward pernah di posisi Barnard, layaknya candu dan tidak ingin di ganggu sama sekali hingga, Edward memutuskan meninggalkan Barnard sendiri. Namun, saat membuka pintu seseorang terlebih dahulu membuka pintu dari luar, melihat Barnard berlatih begitu semangat, hingga ia merasa begitu kagum namun kekagumannya berubah saat Barnard mengarahkan senjata ke arahnya, dan secepatnya Barnard melesatkan peluru. Namun, beruntung seseorang yang tidak lain adalah Carlos menghindar dengan cepat. "Kau ingin membunuhku?" tanya Carlos dengan tatapan tajamnya. Jika ingin main-main Carlos lebih ingin main-main saat ini. Sudah lama Carlos tidak bersenang-senang, biasanya Carlos selalu melatih nyali anggota baru yang ada dalam kelompok
Kaki kiri Carlos terluka, ia merasa tubuhnya bergetar hebat saat ini, sel darah Carlos seakan berhenti berjalan mengikuti nadinya. Nyatanya musuh Carlos saat ini bermain licik, mereka memasukkan racun kedalam peluru hingga melumpuhkan lawan dengan seketika di mana pun lawan terkena. "Ambilkan aku itu!" Carlos menunjuk ke arah botol berwarna biru di sudut lemari. Tidak menunggu lagi, Barnard langsung merangkak meraih botol namun tembakan dari luar menghalangi Barnard meraih botol, peluru mengenai botol kaca berwarna biru itu hingga botol pecah seketika saat terjatuh ke lantai. "Argh ... bangsat!" Umpat Carlos lalu merangkak mendekati Barnard sambil memegang kakinya yang terasa sakit. Cairan yang ada di lantai secepatnya Carlos raih lalu ia balurkan pada lukanya, setidaknya walaupun sedikit mampu menghentikan sel racun yang akan menyebar ke dalam tubuhnya. Barnard begitu syok dengan keadaan yang ia alami saat ini. "Aku sekarang tak lebih dari pemberontak dan bajingan," lirih Barnar
"Apa terjadi hal besar setelah peluru mengenaiku?" tanya Carlos lalu menatap sekeliling yang tampak remang-remang di matanya. "Kenapa semuanya terlihat kusam dan buram," lanjut Carlos lalu menatap ke arah kursi di sampingnya. "Itu karena racun menyebar ke seluruh sel tubuhmu, tak terkecuali matamu," jelas Edward membuat Carlos berdecak kesal. Kesabaran Carlos benar-benar habis, nyatanya orang yang ia rampok tahun lalu kini mencari celah untuk membunuhnya dengan cara berkomplot. "Apa dia Alice? lalu di mana George?" tanya Carlos lagi. " Ya itu Alice. George berada di kota Nakhaba, dia bersama dengan yang lainnya terluka dan sedang dalam penanganan, kami sempat bertarung namun kami beruntung tidak terkena peluru," jelas Edward setelah melirik sekilas ke arah Alice yang masih pingsan."Apa yang dia lakukan di sini?" Seketika wajah Carlos berubah masam. Kehadiran Alice membuat pikirannya kembali kacau, jika Alice masih bersama mereka maka kelompok yang Carlos pimpin akan lemah karen
"Cepat selidiki kelompok SUGOI, mereka baru saja melakukan aksinya," ucap seorang polisi sambil mengetuk-ngetuk meja. Polisi selalu menyelidiki peluru yang dipakai oleh kelompok SUGOI yang di pimpin oleh Carlos namun polisi sendiri heran karena peluru yang mereka gunakan selama ini selalu berbeda-beda. "Jika kita menemukan tempat persembunyian mereka, maka akan kupastikan mereka akan membusuk di penjara," lanjut Emir. Laki-laki bernama Emir ini adalah sahabat dekat Carlos dulunya namun ia memiliki konflik yang tidak diketahui oleh orang lain yang membuat Emir begitu benci pada Carlos. "Alamat mereka tidak bisa dilacak. Mereka terlalu tertutup dan ada orang dari kalangan polisi juga yang melindungi mereka," jelas teman Emir. Padahal tak ada polisi yang melindungi kelompok SUGOI, mereka saja yang terlalu kuat dan sulit untuk ditaklukkan."Kalau begitu aku akan menyelidiki kasus ini sendiri dan akan memenjarakan mereka." Emir terlihat begitu kesal, karena ulah Carlos semakin banyak
Dua hari berlalu setelah kematian pencuri handal di kota Lausan, kota masih saja ricuh dan gaduh. Masih terjadi pencurian besar-besaran di toko perhiasan emas. Kota yang tak pernah ada damainya saking banyaknya penjudi di kota-kota besar dan pembunuhan tanpa aturan. Kini di rumah yang baru saja anggota SUGOI tempati merasa tak ada lagi perintah seperti biasanya, mereka lebih banyak diam dan menunggu keadaan tenang. "Aku harus menghilangkan bukti," gumam Barnard sambil mengambil sarung tangan yang sempat ia simpan di laci kamarnya. Barnard tergesa keluar kamar namun George menangkap gerakan Barnard yang berjalan tergesa-gesa. "Mau apa dia?" George mengikuti langkah Barnard ke halaman belakang. Sesampainya George di halaman belakang George terkejut saat melihat api telah menyala dan berkobar. "Kau merahasiakan sesuatu." George menuding seraya berjalan mendekati Barnard. Seketika Barnard menoleh dan terlihat jelas wajah Barnard gugup, wajah yang tadinya penuh kemenangan kini tamp
Saat penembakan beberapa hari lalu karena kelicikan Barnard, kini Carlos lebih berhati-hati dalam menghadapi Barnard."Apa dia sudah sadar?" Carlos menatap dingin tubuh Barnard yang terbaring lemah tidak berdaya. "Belum, Bos." George mendekati Barnard lalu memegang nadi Barnard. "Dia tidak mati kan?" "Tidak, Bos." Barnard berlahan membuka matanya, semua terlihat samar di mata Barnard terlebih ia saat ini tidak bisa melihat warna dengan jelas, di mata Barnard hanya terlihat warna putih, hitam dan abu-abu. "Kau sudah bangun, kebetulan sekali." Carlos berlahan mendekati Barnard lalu mengusap kepala Barnard. "Anda siapa? Saya di mana?" Barnard menyentuh kepalanya yang terasa sangat panas dan sakit. Obat dan alat ternyata bekerja dengan bagus, Barnard kehilangan ingatannya, bahkan ingatan masa lalunya. "Kamu bekerja dengan saya. Kamu adalah agen rahasia dalam kelompok SUGOI. Tugasmu adalah ...." Carlos membantu Barnard bangkit dari tidurnya. Setelah beberapa hari terbaring kini Ba
Malam dengan gemerlap lampu diskotik menerangi ruang penuh dengan suara musik dan tawa, terdengar samar seseorang sedang berbisik di ujung bar sambil melirik ke arah seorang pria yang duduk sendiri. "Bawa minuman ini padanya!" Seorang laki-laki berpakaian jas rapi menyuruh seorang pelayan mengantarkan minuman padanya. Barnard duduk sambil menatap gelas yang berisi anggur di tangannya, pikirannya tak luput pada wanita yang kini menjadi sekretarisnya, Barnard menaruh kecurigaan kalau wanita itu menginginkan sesuatu yang lebih darinya. "Tuan, mau anggur dengan rasa khas yang agak klasik namun menarik untuk rasa yang lebih baru," ucap salah seorang pelayanan bar yang sebelumnya adalah suruhan laki-laki misterius itu. Suara pelayan itu cukup membuat Barnard terkejut namun ia masih bisa mengontrol emosinya. Barnard menegak dengan cepat minuman yang baru saja diberikan oleh pelayan namun minuman itu justru membuatnya begitu cepat pusing dan rasa ingin muntah. "Oh, Tuhan! Aku sepert
"Caline, apa kau yakin bisa membuatnya tunduk padamu?" tanya Carlos sesaat mereka tiba di rumah. Berlian yang baru saja mereka curi segera mereka simpan di salah satu tempat yang begitu rahasia. Carlos tidak begitu yakin dengan rencana yang di susun oleh Caline. "Aku yakin, aku tahu siapa Barnard, satu langkah lagi ...." Bragh .... Suara pintu di dobrak begitu memekakkan telinga, terlihat seseorang berdiri sambil menodongkan pistol ke arah mereka berdua, senyum penuh kemenangan terlihat jelas di wajah itu walaupun terlihat sedikit ada dendam. "George!""Kau terkejut?" George terkekeh lalu mendekati mereka berdua. "Harusnya kau bekerja dan mengandalkan aku, bukan wanita jalang ini. Wanita bisa saja berkhianat bukan?" George terlihat begitu kesal pada Carlos namun Caline hanya diam saja. "Bukan begitu, Caline akan membuat Barnard jatuh lagi. Caline mampu menguras semua harta yang Barnard miliki dan kita akan kaya raya," terang Carlos namun George hanya diam saja. Rasa dendamnya
Setelah satu tahun berlalu dari hadapan Jack dan Starla kini Barnard kembali muncul dengan gaya baru. Ia begitu muak dalam gangguan Jack dan orang-orang yang membuatnya tidak nyaman, maka sementara ia menghindari mereka karena ingin hidup tenang. Di negara ini tak cukup membuat Barnard senang, ia masih memikirkan apa yang seharusnya ia dapatkan, kini bersama dua orang pengawal yang telah menemaninya hampir dua tahun Barnard ingin membalas dendam pada Jack. "Ternyata kau lagi," ucap Jack yang sedang merapikan jasnya.Bagaimana bisa Jack lupa dengan kerja sama yang mengatasnamakan nama samaran lagi, ini kali ke dua Jack tertipu oleh Barnard, Barnard menggunakan nama pengawalnya untuk kerjasama dengan Jack, tak lain tujuannya untuk merebut perusahaan Jack lagi. "Ada masalah kah, Tuan? Bisnis tetaplah bisnis sedangkan aku akan tetap menjadi musuhmu bukan?" Barnard terlihat santai menanggapi perkataan Jack. Tampilan dan gaya Barnard saat ini sungguh bukan lagi dirinya yang dulu, pakaia
Dor.... Dor.... Brandal yang sebelumnya telah di bayar oleh nyonya besar yang memiliki banyak uang dalam jumlah besar kini telah mendatangi rumah Barnard dan mereka mencari keributan dengan Barnard. "Banjingan kau, Jack!" umpat Barnard lalu bangkit dari duduknya. Cukup lama ia tidak menyelesaikan laporan keuangan di kantornya, kini pekerjaannya menumpuk tapi pengacau datang dan merusak konsetrasi yang ada. Sebelumnya Barnard berpikir kalau yang datang mengacau adalah Jack tapi ia salah, nyatanya ada beberapa berandal yang sedang terbahak di luar rumahnya sementara Jack masih berada di rumah Edgar. "Berani sekali!" Barnard tersenyum sinis lalu berjalan masuk ke dalam ruangan rahasianya dan mengambil sejatanya. "Tuan ... Tuan belum sehat betul, jadi saya mohon jangan seperti ini." Salah satu dari pengawal yang mengikutinya kini berucap sambil meraih senjata yang Barnard simpan juga. "Lalu, apa kalian berdua rela mati demi aku?" Keduanya saling menatap namun Barnard justru menin
"Tak ada wanita yang setia, semuanya pelacur ketika uang yang berbicara," maki Barnard lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. Ia teramat kesal pada Flow saat ini, ia berpikir kalau Flow hanya menginginkan harta dan harta. Tak lama masuk kedua orang yang sebelumnya mengawal Barnard. Meraka terlihat tergesa-gesa dan saling dorong mendorong. "Mau apa lagi!" Barnard memasang wajah kesalnya. "Kami bertugas melindungi Anda, Tuan." Kedua pengawal yang di tugaskan untuk melindungi Barnard sama-sama membungkuk di hadapan Barnard. Laki-laki yang bernama Bobby dan Candra itu terseyum ke arah Barnard seolah mengisyaratkan agar diri mereka tidak di usir sari rumah Barnard. "Baiklah, duduk! Tapi jika kalian berani macam-macam maka kalian berdua yang akan aku habisi dengan tanganku sendiri," pungkas Barnard lalu pergi meninggalkan mereka berdua setelah mengepalkan tangannya, kedua pengawal itu bergidik ngeri tapi mereka harus melakukan ini semua karena perintah. ***Di tempat lain, wanita yang be
"Kau sudah sadar?" Edgar tersenyum sinis menatap Jack yang terbaring lemah di atas ranjang tanpa alas, sementara Starla terikat di kursi besi di sudut kamar. Wanita itu terlalu banyak bicara sejak kemarin hingga membuat Edgar muak. Sebelumnya Starla menolak kalau ayahnya di bawa ke dalam rumah oleh Edgar karena Starla ingin ayahnya mendapatkan perawat yang layak dan hendak membunuh Edgar menggunakan pisau dapur namun Edgar yang licik tidak membiarkan Starla begitu saja lolos dari genggamannya. "Bajingan. Aku menyesal telah percaya padamu!" pekik Starla yang baru saja tersadar dari pingsannya, namun Edgar bersifat masa bodo pada wanita yang sempat ia katakan cinta itu. "Apa? Menyesal? Sudah terlambat, aku ingin melakukan apa yang ingin aku lakukan. Aku cukup puas atas pelayanan yang kau berikan jadi ...." "Diam!" Jack berteriak lalu memegang tangan Edgar yang berada tidak jauh dari ranjang di mana ia tertidur. Walaupun hanya tangannya yang bisa ia gerakkan namun Jack tidak ingin d
"Kenapa kita ada di sini?" tanya Barnard pada Flow yang datang menjenguk Barnard dalam ruangan pengobatan. "Aku yang membawa kau kemari, itu pun karena mereka," tutur Flow, ia merasa begitu canggung karena ada Carlos yang mendengarkan percakapannya. Di samping Flow ada Carlos yang menatap ke arahnya sembari mencoba membuang angin dalam suntikan. Setiap dia jam sekali Carlos akan mengecek keadaan Barnard. "Mereka." Barnard mencoba mengingat dua orang yang di tunjukkan oleh Flow. Orang-orang itu tak terlihat begitu asing, Barnard yakin pernah melihat mereka tapi ia tidak bisa memastikan di mana. "Maaf, Tuan. Beberapa bulan lalu kami ingin membawa Anda pada seseorang namun Anda memberontak," terang dua orang yang kini berada tidak jauh dari Flow. Pikiran Barnard kembali berputar pada beberapa bulan silam, ia mengingat kembali kejadian yang membuatnya jatuh ke dalam sungai hingga terhanyut ke lautan dan berakhir terdampar di bibir pantai dengan luka sayatan ranting dan gigitan binat
Dua kali tembakan ke arah Jack. Jack segera bersembunyi di balik tembok untuk menghindari tembakan mereka, Jack pun segera mengeluarkan senjatanya yang berada dalam saku jasnya dan segera menembak ke arah dua orang yang mengikuti Barnard sebelumnya, namun saat Jack menoleh ia terkejut karena telah kehilangan jejak sosok pelindung Barnard. Begitu pun dengan Barnard yang sudah tidak ada lagi di lantai, Flow juga ikut menghilang. "Bajingan!" Jack berdecak kesal, ia seakan tidak percaya telah kehilangan dua tawanannya sekaligus. "Di mana kalian?" tanya Jack sesaat setelah panggilan di terima oleh anak buahnya. "Di luar bos, kami melihat Barnard dan wanita itu di bawa oleh orang suruhanmu. Mereka sepertinya melebihi kami hebatnya, kami berdua salut, Bos," jelas anak buah Jack, Jack berdecak kesal, giginya menggertak. Ia tidak menyangka kalau anak buahnya benar-benar bodoh, kedua anak buahnya membiarkan orang asing yang telah membawa Barnard begitu saja tanpa ada pencegahan sedikit pu
"Misi apa lagi?" Barnard menghela napas berat, ia menatap lurus ke depan walaupun lawan bicaranya saat ini berada di sampingnya. Sejujurnya Barnard cukup muak dengan printah dari orang yang menindas dirinya terus menerus. Walaupun telah melakukan apa yang di mau oleh pria yang berada di sampingnya namun pria itu masih bersikeras untuk membuat Barnard hancur. Xiauli tersenyum menatap wajah Barnard yang kini terlihat kesal. "Tidak banyak, aku hanya ingin kau membunuh wakil pejabat negeri, dia terlalu banyak alasan dan menghindar dariku," ucap Xiauli lalu tersenyum. Bukan tanpa alasan, Xiauli ingin membunuh pejabat negara sekaligus temannya itu agar ia dapat bebas dari hukuman yang telah di tetapkan, namun Barnard tidak menyadarinya, Barnard hanya menganggap Xiauli terlalu serakah dengan kedudukan dan tahta. "Bagaimana?" lanjut Xiauli saat melihat Barnard terdiam. Tidak mudah bagi Barnard untuk menerima misi lagi dari Xiauli karena ia akan mendapatkan lebih banyak musuh dan masalah