“Lepas!” Parta meradang. Teriaknya lantang tertahan. Suaranya dalam. Ia mencengkeram erat kursi roda. Di atasnya ada tangan rapuh nenek yang menahannya agar tak berjalan mendekati dua sosok itu.
“Tenang, Par. Aku hanya mencoba membantu Nyla.” Yoga melepaskan tangan Nyla. “Iya, kan, Ny?” Yoga menoleh pada Nyla yang terdiam karena terkejut dengan kedatangan Parta.
Pandangan Parta tak lepas dari Yoga. Sementara itu Yoga melangkah mendekat dengan senyum yang mengembang. Pemuda itu bertumpu di depan kursi roda dan mencium tangan keriput nenek yang sudah kembali berada di pangkuan.
“Nenek tahu, kan, kalau aku tidak akan berani mengambil milik Parta.” Yoga berkata seolah tidak terjadi apa pun. Ia mendongak menatap neneknya dengan tersenyum. Senyum yang semakin membuat Parta ingin melempar kepalan tangan.
“Nenek merindukan kalian berdua yang akur, yang rukun. Nenek ini sudah tua, jangan kalian menambah beban pikiran nenek yang sakit-sakitan ini.” Nenek menepu
Terima kasih sudah membaca. Boleh tulis masukannya, ya. :)
Parta membanting tas ke bangku yang selalu menjadi tempat duduknya ketika jam kuliah. Wajahnya muram menunjukkan kekesalan karena beberapa kali handphonenya tidak berhenti bergetar. Ayahnya. Parta mendengus, “Ada apa sih, Pa. Aku baru saja sampai kampus. Buat apa aku ke sana? Aku ada janji sama teman kuliah hari ini. Ok, nanti jam pulang kantor aku mampir ke sana.” Parta menutup panggilannya. Parta mendekati teman-temannya yang sedang berdiskusi. Mereka sedang merencanakan pembuatan proposal untuk pengajuan kegiatan praktik kerja pertama yang menjadi mata kuliah wajib di semester lima. Lama berdiskusi hingga mereka memutuskan untuk menjalani praktik kerja bersama di dalam kota. Proposal sudah rapi dan siap diberikan pada dosen pengampu. Pembagian tugas selama praktik kerja juga sudah ditentukan. Usai bertemu dengan teman-temannya, Parta mencoba ke basecamp. Berharap bisa bertemu Nyla karena sejak peristiwa makan malam
“Mengapa kamu selalu seperti itu? Kamu sangat benci melihat aku selalu lebih baik dari kamu?” Mereka berdua keluar dari ruangan yang sama setelah mendengar banyak kata yang menyudutkan. Tak sekali pun mereka berani menjawab dan memperlihatkan muka. Semua menunduk dalam diam, hanya mengangguk dan dengan pelan mengatakan ya. Meski pujian dan terima kasih didapat Yoga, ia juga tak berani banyak bertingkah di situasi semacam itu. Sementara Parta yang dianggap sebagai biang keladi tentu saja diam seribu bahasa setelah berlutut meminta maaf. Berjalan berdua setelah sekian lama berjarak tentu rasanya tidak akan nyaman. Mereka kini berhenti di ujung lorong, tepatnya balkon kecil tempat menikmati pemandangan untuk sekadar mengistirahatkan mata, yang letaknya tak jauh dari elevator khusus di lantai itu. “Aku menginginkan Nyla. Aku tidak pernah benar-benar menginginkan milikmu seperti saat ini. Aku sangat ingin mendapatkannya, tapi kebiasaanku untuk selalu meng
“Ny, mungkin semester ini kita bisa laksanakan program yang ada. Pertama, tentu rekrutmen anggota baru. Kamu masih ingat kan dengan tahun lalu. Ya, kurang lebih seperti itu. Tapi, nanti akan ada sedikit tambahan sesuai dengan evaluasi yang ada. Lalu …” Parta menghela napas, “kemungkinan semester depan aku akan menyerahkan sebagian besar tugas sama kamu.” Nyla meletakkan buku yang sedari tadi menjadi incaran kedua bola matanya. “Mengapa seperti itu?” tanyanya sembari memicingkan kedua matanya. “Semester depan itu aku sudah semester enam. Aku ada SKS buat kerja praktik.” “Berapa lama?” tanya Nyla dengan nada ingin tahunya. “Kebijakan program sih kurang lebih tiga sampai empat bulan.” “Lama banget, sih. Sepertinya di programku tidak selama itu. Setidaknya tidak terus-terusan selama empat bulan.” Nyla menggerutu. Ia menyambar lagi bukunya dan pura-pura membaca. “Mengapa? Gak tahan kangen, ya?” goda Parta. “Terlalu percaya diri. Aku
“Berani apa kamu bilang?” Parta memegang kemudi dengan kuatnya. Dagunya menantang Nyla untuk menjawab seberani dia sebelumnya. “Coba katakan lagi!” Nyla menjawab dengan nada tinggi, “Berani untuk mengancam kamu!” “Mengancam apa?” Parta masih saja menantang. Dari sekian banyak amarah, luka yang terdalam adalah luka yang tertoreh dari orang yang paling disayangi. Orang yang diharapkan tidak pernah melukai dan mengecewakan. Orang yang dalam pikiran kita akan selalu mendukung dan selalu memeluk dengan membelai punggung, lembut dan menenangkan. Orang yang selalu menggenggam tangan kita dan menganggukkan kepala memberi kekuatan. “Pembunuh,” Nyla mengatakannya dengan suara lirih tapi penuh penekanan. Parta tak begitu mendengar, tapi gerak bibir Nyla sudah sangat jelas untuk memahami kata yang dikeluarkannya. Tangan kiri Parta yang bebas dari kemudi langsung melayang membuat pipi Nyla merona kemerahan. Gadis itu menunduk memegangi pipinya, antara peri
“Mengapa?” tanya Nyla dengan gamang sekaligus tak percaya. “Mengapa kamu melakukan semua itu?” Setiap hal pasti ada alasannya. Baik atau pun buruk yang dilakukan orang akan selalu ada dasar yang menyertainya. Selalu ada pertimbangan meski tak semuanya bisa diterima oleh akal orang lain. Terkadang untuk kepentingan diri sendiri. Terkadang untuk orang lain. Terkadang memang terpaksa harus dilakukan. Nyla ingin tahu alasan Parta hingga membuat sepupunya kehilangan sosok seorang ibu. Jika memang benar semua berawal dari kesalahan Parta, ia ingin tahu permasalahan apa yang membuat dia melakukan semua itu. Pada akhirnya, Nyla berharap alasan itu bisa menjadi sebuah pembenaran. Pembenaran yang sedikit melegakan hatinya. “Aku menginginkannya,” jawab Parta tanpa ekspresi membuat hati Nyla semakin mencelus. Kata-kata ringan itu terasa menusuk, tidak perih tapi menyakitkan. Untuk beberapa saat Parta memikirkan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia tidak punya
“Aku sudah berakhir sama Nyla, Pa. Sebenarnya bukan berakhir. Aku bahkan tidak pernah memulainya.” “Kamu tidak pernah menyatakan perasaanmu pada Nyla?” Parta menggeleng. Kini ia merangkum kedua lututnya dan menumpukan kepalanya di tengah. Ia memejamkan mata dan terus melanjutkan ceritanya. Semacam pengakuan pada ayahnya yang selama ini hanya tahu bahwa dirinya dan Nyla merupakan sepasang kekasih. “Lalu? Selama ini apa hubunganmu sama dia? Teman?” tanya Panji. Parta pun membuka mata dan menggeleng. Ia turun dari tempat tidurnya, menutup pintu dan jendela yang sudah semakin gila mengalirkan angin malam. “Aku sendiri tidak tahu, Pa. Ceritanya panjang.” Parta duduk santai di sofa dekat jendela sedang Panji duduk tenang di atas tempat tidur, siap mendengarkan curahan hati anaknya itu. Parta mulai bercerita tentang bagaimana ia meminta Nyla untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Bagaimana ia selalu memutuskan banyak hal untuk Nyla. Hingga pa
“Omong kosong!” Yoga dan Nyla menoleh ke arah sumber suara. Di sana Parta berdiri. “Nyla tidak ingin berbicara denganmu,” kata Yoga. “Sejak kapan kamu menjadi juru bicaranya. Kamu tidak punya hak untuk memutuskan.” Penampilan Parta yang terlihat biasa membuat Nyla kecewa. Dia berharap akan ada sesal sedih yang ditunjukkan Parta, namun pemuda itu masih terlihat tenang seperti tak pernah terjadi apa pun di antara mereka. “Jadi? Siapa yang harus pergi?” tanya Parta dengan tatapan lurus pada Nyla tanpa sekali pun menganggap keberadaan Yoga. Sementara itu Yoga mendecih saat Nyla masih terdiam. Pikirnya Nyla akan menolak dan lebih memilih bersamanya. “Aku dan kamu yang harus pergi,” Nyla mendahului Parta membimbingnya ke tempat sunyi yang jauh dari tatapan orang. Ia mengabaikan Yoga, begitu pun Parta. “Sialan!” umpat Yoga sambil menendang motor terdekat dengan sembarang. Ia terus memandang punggung kedua orang itu dengan tida
“Guys, aku pergi dulu ya.” Vika agak terburu-buru pergi setelah menerima telepon, menepi di ujung ruangan itu. Wajahnya serius dan penuh tanya. Tak ada yang tahu pembicaraan apa yang membuatnya meninggalkan tanggung jawabnya saat itu. “Kak Vika,” sapa Nyla. Mereka berpapasan tepat di pintu basecamp. Ada kecanggungan yang jelas di wajah Nyla—dan beberapa dari mereka di ruangan itu mengarahkan pandangan padanya, membuatnya semakin gugup—yang tidak bisa disembunyikan. Akan tetapi, Vika mengulas senyum yang membuat Nyla tak jadi menelan rasa pahit yang mulai beranjak naik dari perut ke rongga mulutnya. Meski masih terdiam beberapa saat, Nyla masih tak mampu melanjutkan kata-katanya. “Kak …,” katanya kembali tertahan. “Aku baik-baik saja, Ny,” jawab Vika yang sudah bisa memahami arah pembicaraan yang akan disampaikan Nyla sebelum gadis itu meneruskan kata-katanya. Ia tersenyum dan meminta jalan di depannya dengan mengarahkan dagun