“Guys, aku pergi dulu ya.”
Vika agak terburu-buru pergi setelah menerima telepon, menepi di ujung ruangan itu. Wajahnya serius dan penuh tanya. Tak ada yang tahu pembicaraan apa yang membuatnya meninggalkan tanggung jawabnya saat itu.
“Kak Vika,” sapa Nyla.
Mereka berpapasan tepat di pintu basecamp. Ada kecanggungan yang jelas di wajah Nyla—dan beberapa dari mereka di ruangan itu mengarahkan pandangan padanya, membuatnya semakin gugup—yang tidak bisa disembunyikan. Akan tetapi, Vika mengulas senyum yang membuat Nyla tak jadi menelan rasa pahit yang mulai beranjak naik dari perut ke rongga mulutnya.
Meski masih terdiam beberapa saat, Nyla masih tak mampu melanjutkan kata-katanya. “Kak …,” katanya kembali tertahan.
“Aku baik-baik saja, Ny,” jawab Vika yang sudah bisa memahami arah pembicaraan yang akan disampaikan Nyla sebelum gadis itu meneruskan kata-katanya. Ia tersenyum dan meminta jalan di depannya dengan mengarahkan dagun
Haiii, terima kasih sudah membaca sampai di chapter ini. Semoga tetap betah baca. ;)
“Kapan pastinya?” lanjut Vika. Menyampaikan banyak nasihat untuk orang yang sedang tidak dalam suasana yang baik terkadang hanya akan menjadi sia-sia. Apalagi jika orang itu adalah Parta. Orang yang sebenarnya paham tentang hal yang cukup sederhana seperti itu. Tapi, terkadang nasihat memang diperlukan untuk sekadar mengingatkan. “Besok aku sudah bisa mulai. Dengan surat ini semua mudah saja. Aku sudah membuat janji jauh-jauh hari, hanya percepatan waktu saja dan mereka setuju.” Parta membicarakan perihal tempat ia akan melaksanakan praktik kerja yang tak lain adalah relasinya sendiri. “Kamu yakin?” Vika masih tak percaya dengan keputusan Parta. Namun, temannya itu mengangguk mantap. Senyumnya pun diulas tak kalah mantap, tapi jauh di dalam hati dan pikirannya ada semacam ikatan tali yang tak bisa diurai dengan mudah. “Sebenarnya ada apa? Kamu tidak pernah menyerah seperti ini sebelumnya. Bahkan belum pernah aku melihat kamu seburuk in
Beberapa hariNylamerenung. Termasuk di Minggu pagi saat semua penghuni kosbercengkeramadi teras depandenganmenikmati camilanbuatan salah satu temannya—yang juga penghuni kos—beberapa bungkus penganan tradisionalberbahantepung dan buah pisang. Orang banyak menyebutnya nagasari, salah satu penganan yang cukup disukaiNylakarena rasanya yang manis dan teksturnya yang lembut. Tapi, pagi ituNylatak sepetibeberapa temannya. Ia memang bergabungdi terasyang teduhdengan berbagai tanaman hias yang digantung itu, namun dia hanya diam. Pikirannya membayang sosokPartayang meski sudah beberapa haritak dilihat, pemuda itu tetap nyata dalam angannya. Seolah d
“Ra, kamu sudah dapat chat kan dari Parta?” Vika segera menaruh tasnya begitu memasuki basecamp. Urusan organisasi masih harus ia tangani dengan serius selagi Parta menjalankan kerja praktik. Hari itu ada sedikit permasalahan yang ia dengar ketika melewati bagian administrasi kampus dan itu berkaitan dengan proposal kegiatan yang diajukan badan eksekutif. Vika langsung menuju tempat duduk Rara dan segera melihat layar laptop yang ditunjukkan Rara, entah isinya apa. Nyla yang berada di bagian lain ruangan itu hanya sepintas lalu mendengar dan langsung memusatkan perhatian ketika nama Parta tertangkap daun telinganya. “Coba kamu hubungi Parta lagi! Harusnya semua ini sudah selesai,” kata Vika setelah mencerna tampilan layar dari laptop Rara. Ia membuka beberapa berkas dokumen yang berada di samping meja Rara sembari mencocokkan dengan tampilan dokumen yang ada di layar laptop. Rara masih ragu dengan handphone di tangannya. Ia menatap
Nyla terus tersenyum menatap layar handphone-nya. Ia mencoba mengatur napas supaya detak jantungnya bisa lebih rileks seirama dengan embusan udara yang masuk dan keluar dari rongga dadanya. Teramat gembira, itulah yang dirasakannya saat ini. Sebuah pop up chat dari Parta dengan terang tertuju padanya. “Ny, apa kabar?” Pesan itu hanya sekilas, hanya satu kali.Setelah beberapa menit menatap, kini Nyla sudah bisa menguasai dirinya meski senyum terus mengembang dan membuat rona merah di pipinya. “Kabar aku, baik.” Jemari lentik Nyla sudah bisa mengetik dengan lancar. Jawabnya singkat meski sesungguhnya ia ingin mengungkapkan banyak hal. Ia ingin mengungkapkan kerinduan yang sungguh dan nyata dari dirinya, tapi ia menunda. Ia ingin melihat lebih jauh tujuan pemuda itu mengirim pesan larut malam ke handphone-nya.“Satu, dua, tiga,” Nyla menghitung dalam hati. “Tidak,” Nyla tidak ingin menunda dan har
“Aku sudah siapkan rancangannya dan nanti malam baru aku tulis proposalnya. Tugas kamu nanti bantu aku koreksi dan ajukan ke bagian terkait. Sementara seperti itu. Nanti aku kabari lagi.” Meski dengan ekspresi dingin, Nyla menjawab pertanyaan—kemauan Rara—dengan cukup tenang dan lancar. Ia menoleh dan kembali mengamati wajah ceria Rara—dia satu angkatan dengannya dan cantik. Rara mengangguk mantap dan hendak menanggapi jawaban Nyla. Bisa jadi ucapan terima kasih, rasa senang dan bangganya, atau mungkin ide dan masukan lain. Tapi dia tidak sempat mengucapkannya. “Kamu bisa melakukan hal lain dulu,” tambah Nyla. Ia tidak ingin melihat lebih lama gadis itu—dan mendengar suaranya lebih lama—karena ia akan teringat Parta yang—setahu dia—sudah menghubunginya dua kali di malam hari. Mungkin lebih dari dua kali dan bisa jadi di malam yang sama larutnya ketika pemuda itu menghubunginya semalam. Selain karena tidak ingin berlama-lama dengan Rara, di ujung loron
“Kamu ganggu dia, lagi?” Mereka berdua keluar dari penatnya perbincangan di ruang tamu. Udara malam yang bebas terasa melegakan dan remang cahaya lampu terasa memberi ketenangan. Harusnya seperti itu, tapi ternyata sama saja. “Maksud kamu apa? Siapa? Nyla? Memangnya ada hubungan apa kamu sekarang dengan dia?” Rentetan pertanyaan retoris diakhiri senyum mengejek jelas tersungging di bibir Yoga. “Ada banyak mata yang melihat dan suara mereka bisa sampai ke telingaku. Aku sudah mencoba ikhlaskan dia, Yoga. Jadi tolong, kamu jangan ganggu dia. Biarkan dia dengan kebebasannya.” “Aku paham kalau kamu bakalan tahu meski kamu tidak di kampus hari itu. Tapi, apa? Kamu mengikhlaskan dia? Dia sendiri yang bilang kalau kamu menghubungi dia malam itu! Apa itu namanya? Apa!” Suara Yoga meninggi, kilatan matanya menunjukkan emosi dan kemarahan, yang sudah tertahan serta siap ia ledakkan dengan hebat. Parta mundur satu langkah. Yoga sedang tidak bisa diatasi
Mood booster yang alami, Parta langsung merasa semangat kembali. Mengabaikan file kerja praktik, ia langsung mencermati file-file yang dikirimkan Nyla. Bibirnya tersenyum sedikit terbuka mengembuskan napas. Ada rasa bangga yang menyelimuti. Ada bahagia yang ingin sekali dia teriakkan supaya orang lain tahu. Akan tetapi, dia mengurungkannya. Ekspresinya berubah. Dia menyadari siapa dirinya untuk Nyla.Dia membalas surel Nyla selayaknya ketua organisasi pada rekan kerjanya. Memberi masukan yang menurutnya hanya basa-basi karena semua yang dikerjakan Nyla sudah terlihat sempurna.Ingin sekali dia membayangkan ekspresi ceria Nyla, seperti di awal dia menjadi mahasiswa baru. Nyla yang energik. ‘Apakah Nyla yang dulu itu sudah tidak ada? Apakah aku orang dibalik berubahnya Nyla?’ Parta terus mencerna itu sambil menunggu balasan surel dari Nyla. Ia tak berani membayangkan lebih jauh lagi. Hatinya akan merasa sakit karena bersalah sudah membuat gadis itu m
Panji datang bersama pengacaranya. Ia melihat Parta berada di balik sel dan keinginannya untuk berbicara langsung hanya berdua tidak dikabulkan.Dari hasil sampel yang diambil semalam terbukti bahwa Parta tidak mengonsumsi obat-obatan terlarang dan hal ini lebih menyulitkan pihak kepolisian. Sekarang sudah ada titik terang untuk Parta, ia tahu jalan permasalahannya dan apa yang pernah terlintas di kepalanya memang benar. Yoga mengonsumsi narkoba, lagi, dan malam itu ia sedang melakukan transaksi.Setelah mendapat kesempatan berbicara, Parta menyampaikan semua itu pada ayah dan pengacaranya.“Kakek sudah tahu kalau aku di sini?” tanya Parta selagi menunggu pengacaranya berbicara dengan petugas. Hal itu pasti menyulitkan ayahnya.“Belum. Ini terlalu pagi. Kamu tenang saja, dia akan baik-baik saja. Papa justru lebih mengkhawatirkan kamu.”“Aku tahu. Aku minta maaf,” sesal Parta. “Lalu, di mana dia sekarang?&rd
“Selamat datang.” Parta membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nyla untuk turun. Setelah menunda dua hari, akhirnya Parta berhasil meyakinkan Nyla untuk pergi ke rumah ibunya. ‘Menginap’ kata itulah yang membuat Nyla harus berpikir ulang untuk mengatakan mau atau tidak mau. “Ini rumah siapa?” tanya Nyla yang masih belum diberitahu Parta. Terdengar suara pintu dibuka dari rumah sederhana itu. Nyla pun menoleh dan melihat wanita paruh baya tersenyum serta melambai padanya. Mata Nyla beralih ke Parta dengan penuh tanya, sayangnya Parta hanya mengangkat bahu dan langsung menggandeng tangan Nyla dan membawanya menghampiri pemilik rumah itu. “Kalian sudah datang?” sapa Ratna yang langsung memeluk Nyla. “Kamu benar-benar cantik, persis seperti yang dikatakan Parta. Pantas saja dia tergila-gila sama kamu,” imbuh Ratna usai mereka berpelukan. “Mama,” kata Parta memberitahu Nyla yang masih kebingungan. “Mama?” tanya Nyla pada Parta de
“Kak Parta? Ini benar, kan?” Nyla membulatkan matanya tak percaya. Pemuda yang berdiri tegap di depannya terlihat lebih sempurna daripada pemuda yang suka usil dan menyebalkan yang ada dalam ingatannya. Pemuda di depannya terlihat lebih ramah dan dewasa. Wajahnya lebih bersih seperti habis bercukur. Tatanan rambutnya juga lebih dewasa. Tapi, satu hal yang meyakinkan Nyla, aroma mint yang berhasil dihidunya. Sementara Nyla masih sibuk membandingkan pikiran dan kenyataan yang ada di depannya, Parta mengangguk dan melebarkan senyumnya sebagai jawaban.Angin kerinduan yang sangat lama bergemuruh di hati Nyla seperti mendapat kebebasan menyambut tuannya. Nyla merentangkan tangan dan langsung menghambur memeluk Parta. Menghirup sampai puas aroma yang menenangkan hatinya. Ia tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tidak peduli bahwa hal yang dilakukan mungkin akan membuatnya malu saat menyadarinya. Tidak peduli apakah akan mendapat penolakan—yang pa
“Hai, Ny. Selamat, ya.” Renata dan Alex yang menggendong seorang anak kecil menghampiri Nyla. Hari itu Renata juga diwisuda. Berbeda dengan Alex yang justru menunda wisudanya karena lebih memilih untuk terus bekerja. Sudah hampir setahun ia menjadi kepala keluarga setelah pernikahan tiba-tiba yang mereka langsungkan karena kehamilan Renata yang di luar rencana.Nyla pernah menggeleng tak percaya waktu mendengar kabar itu, tapi melihat kebahagiaan keduanya rasanya tidak adil jika Nyla berpikir negatif tentang hubungan dan bentuk tanggung jawab yang sudah dengan berani mereka ambil. Sudah saatnya untuk berpikir terbuka, bukan berarti setuju dengan hal semacam itu, hanya perlu bijaksana untuk menyikapinya dan perlu menanggalkan pemikiran kolot yang sering mengatasnamakan kebenaran.“Terima kasih dan selamat juga untukmu, Ren. Kamu luar biasa,” tambah Nyla. Ia menggoda si kecil yang terlihat sibuk sendiri di gendongan Alex.Pertemuan
Nyla menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya. “Halo,” kata Nyla dengan ragu-ragu. “Hai, Ny!” teriak orang di seberang telepon. Suaranya begitu renyah, semangat, penuh keceriaan. Namun demikian, Nyla masih sulit mengidentifikasi suara yang melewati jarak dan segala sistem untuk bisa sampai ke telinganya itu. Ada jeda beberapa saat ketika Nyla masih sibuk dengan pikirannya hingga suara di ujung telepon kembali mengambil alih suasana. “Ny, kamu masih di situ?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir. “Kak Vika?” tanya Nyla dengan agak ragu. Cara pemilik suara itu khawatir mengingatkan Nyla pada sosok Vika yang memang sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya, sama sekali setelah kepindahannya bersama dengan Yoga dan tepatnya setelah peristiwa yang dialami Parta di tempat usaha yang kelola oleh sahabatnya itu. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Nada khawatir itu sudah kembali cerita lagi. “Hai, Kak. Ya ampun. Se
Percayalah, apa pun yang kita lakukan itu akan terasa menyenangkan dan menantang saat semuanya masih baru. Seperti halnya memuaskan rasa penasaran, kita ingin terus menaklukkan dan membuat diri kita menjadi pemenang. Mulai semester awal dengan segala ambisi yang tertanam, nyatanya Nyla mengalami banyak pengalaman dan rintangan yang semakin membuatnya merasa lengkap meniti setiap jejak langkah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Teman yang semakin berkurang, tanggung jawab yang semakin bertambah dan hanya bisa diselesaikan, dilakukan, seorang diri. Benar-benar sendiri karena setiap orang memiliki kesibukan yang sama dan tanggung jawab yang sama beratnya. Mengabaikan semua perasaannya, Nyla berhasil membulatkan tekad awalnya. Kesibukan dan keberhasilan sudah di depan mata dan siap menyambut telapak tangannya. “Satu minggu ini kamu tidak perlu datang jika kedatanganmu hanya untuk bekerja. Kamu boleh datang jika kamu memang perlu untuk kebutuhan kuliahmu. Bukan u
Nyla ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar di senyum Bela saat sahabatnya itu mengenakan gaun sederhana yang akan digunakan untuk acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Robi. Beberapa kali ia keluar dan masuk kembali ke kamar pas untuk mencoba beberapa gaun dan meminta pendapat Nyla. Ada rasa bangga yang terbersit di benak Nyla saat menyadari bahwa dirinya menjadi pribadi yang dipercaya untuk memberi pendapat dalam hal yang sangat penting bagi sahabatnya itu. “Bagaimana? Aku lebih suka yang warna emas, tapi kurasa aku tidak bisa menahan untuk mencoba yang satu ini dan rasanya sangat pas dan cantik,” celoteh Bela yang sedang memutar badannya dan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Sementara itu Nyla duduk di belakangnya dan terus mengamati. “Kamu hanya mengagendakan untuk makan malam satu kali. Tidak mungkin dalam waktu yang sama kamu akan berganti pakaian.” Nyla menatap Bela yang sekarang membelakangi cermin dan sedang menunjukkan penampilanny
Bela tidak berhenti berjalan ke sana ke mari di antara beberapa bangku pengunjung. Beberapa karyawan yang sedang membersihkan kafe malam itu sesekali mencuri pandang dan menaruh curiga pada sikap tidak biasa dari atasannya itu. Sesekali juga mereka berbisik, namun tak ada satu pun yang berani bertanya secara langsung. Biasanya Bela akan menyampaikan beberapa instruksi yang menurut karyawannya sangat membosankan, instruksi yang selalu diulang-ulang setiap mereka mulai menutup kafe. Nyla yang baru turun dari lantai dua melihat pemandangan itu. Matanya beralih dari satu sisi kafe ke sisi yang lainnya. Beberapa karyawan yang sudah selesai beres-beres namun masih berkumpul dan tidak segera pulang. Mereka saling mendorong satu sama lain untuk mendekati Bela. Bela yang mendapat perhatian dari karyawannya itu juga menjadi perhatian Nyla. Ada apa dengan mereka hari ini? “Ada apa? Mengapa kalian belum pulang?” tanya Nyla saat mendekati karyawannya yang sudah berganti
Vika terbahak-bahak ketika mendengar Yoga menceritakan kemurungan Parta karena cemburu dan takut Nyla memiliki pacar baru. Suasana meja makan begitu renyah, tidak hanya dentang sendok garpu yang beradu dengan piring. Vika dan Parta pun lebih sengit, terutama Vika, mengejek satu sama lain. Parta terus memprotes masakan Vika yang jelas hanya mengada-ada karena buktinya ia melahap semua makanan. Belum lagi Yoga yang terus membela Vika membuat Parta semakin terpojok. Tapi tidak masalah, itu semua hanya canda. Mereka sadar bahwa jauh dari keluarga membuat mereka harus saling menguatkan satu sama lain. Dan itu cara yang mereka pilih. “Jadi? Bagaimana? Kamu mau balik, Par? Kalau kamu tidak balik, bisa-bisa Nyla diambil cowok lain.” “Dalam imajinasimu, Vik! Nyla tidak mungkin semudah itu melupakan cowok sekeren aku. Lagian aku yakin banget kalau itu cowok tidak bisa menyaingi kelebihanku.” “Ingat, Par. Nyla pernah suka loh sama aku,” sela Yoga memberi penekan
“Apa?” Parta masih menyimak cerita Bela namun tidak yakin dengan pendengarannya saat ini. “Tidak perlu heran!” tegas Bela yang bisa dipastikan kekesalannya. Tidak ada orang yang suka mengulang-ulang perkataan yang baru saja selesai disampaikan, begitu juga dengan Bela. “Kamu jangan merusak semangat aku dong Bel! Yang benar saja? Nyla tidak mungkin semudah itu jatuh cinta sama orang lain.” Parta menghela napas dan menghentikan aktivitasnya. Fokusnya hanya pada earphone yang memenuhi telinganya. Cerita panjang yang disampaikan Bela diakhiri dengan berita yang ingin ditolak oleh Parta. Pemuda itu sudah tidak fokus membaca buku di depannya. Jemarinya juga beberapa kali salah mengetik. “Aku tidak bilang kalau Nyla jatuh cinta sama itu cowok. Aku cuma bilang kalau ada cowok yang suka sama Nyla dan berusaha mendekati Nyla.” “Terus?” tanya Parta. Ia tidak sungguh bertanya karena jawabannya tentu akan membuatnya berpikir lebih dalam. “Terus ak