“Ra, kamu sudah dapat chat kan dari Parta?” Vika segera menaruh tasnya begitu memasuki basecamp. Urusan organisasi masih harus ia tangani dengan serius selagi Parta menjalankan kerja praktik. Hari itu ada sedikit permasalahan yang ia dengar ketika melewati bagian administrasi kampus dan itu berkaitan dengan proposal kegiatan yang diajukan badan eksekutif.
Vika langsung menuju tempat duduk Rara dan segera melihat layar laptop yang ditunjukkan Rara, entah isinya apa. Nyla yang berada di bagian lain ruangan itu hanya sepintas lalu mendengar dan langsung memusatkan perhatian ketika nama Parta tertangkap daun telinganya.
“Coba kamu hubungi Parta lagi! Harusnya semua ini sudah selesai,” kata Vika setelah mencerna tampilan layar dari laptop Rara. Ia membuka beberapa berkas dokumen yang berada di samping meja Rara sembari mencocokkan dengan tampilan dokumen yang ada di layar laptop.
Rara masih ragu dengan handphone di tangannya. Ia menatap
Terima kasih karena tetap setia membaca. 🙏😊
Nyla terus tersenyum menatap layar handphone-nya. Ia mencoba mengatur napas supaya detak jantungnya bisa lebih rileks seirama dengan embusan udara yang masuk dan keluar dari rongga dadanya. Teramat gembira, itulah yang dirasakannya saat ini. Sebuah pop up chat dari Parta dengan terang tertuju padanya. “Ny, apa kabar?” Pesan itu hanya sekilas, hanya satu kali.Setelah beberapa menit menatap, kini Nyla sudah bisa menguasai dirinya meski senyum terus mengembang dan membuat rona merah di pipinya. “Kabar aku, baik.” Jemari lentik Nyla sudah bisa mengetik dengan lancar. Jawabnya singkat meski sesungguhnya ia ingin mengungkapkan banyak hal. Ia ingin mengungkapkan kerinduan yang sungguh dan nyata dari dirinya, tapi ia menunda. Ia ingin melihat lebih jauh tujuan pemuda itu mengirim pesan larut malam ke handphone-nya.“Satu, dua, tiga,” Nyla menghitung dalam hati. “Tidak,” Nyla tidak ingin menunda dan har
“Aku sudah siapkan rancangannya dan nanti malam baru aku tulis proposalnya. Tugas kamu nanti bantu aku koreksi dan ajukan ke bagian terkait. Sementara seperti itu. Nanti aku kabari lagi.” Meski dengan ekspresi dingin, Nyla menjawab pertanyaan—kemauan Rara—dengan cukup tenang dan lancar. Ia menoleh dan kembali mengamati wajah ceria Rara—dia satu angkatan dengannya dan cantik. Rara mengangguk mantap dan hendak menanggapi jawaban Nyla. Bisa jadi ucapan terima kasih, rasa senang dan bangganya, atau mungkin ide dan masukan lain. Tapi dia tidak sempat mengucapkannya. “Kamu bisa melakukan hal lain dulu,” tambah Nyla. Ia tidak ingin melihat lebih lama gadis itu—dan mendengar suaranya lebih lama—karena ia akan teringat Parta yang—setahu dia—sudah menghubunginya dua kali di malam hari. Mungkin lebih dari dua kali dan bisa jadi di malam yang sama larutnya ketika pemuda itu menghubunginya semalam. Selain karena tidak ingin berlama-lama dengan Rara, di ujung loron
“Kamu ganggu dia, lagi?” Mereka berdua keluar dari penatnya perbincangan di ruang tamu. Udara malam yang bebas terasa melegakan dan remang cahaya lampu terasa memberi ketenangan. Harusnya seperti itu, tapi ternyata sama saja. “Maksud kamu apa? Siapa? Nyla? Memangnya ada hubungan apa kamu sekarang dengan dia?” Rentetan pertanyaan retoris diakhiri senyum mengejek jelas tersungging di bibir Yoga. “Ada banyak mata yang melihat dan suara mereka bisa sampai ke telingaku. Aku sudah mencoba ikhlaskan dia, Yoga. Jadi tolong, kamu jangan ganggu dia. Biarkan dia dengan kebebasannya.” “Aku paham kalau kamu bakalan tahu meski kamu tidak di kampus hari itu. Tapi, apa? Kamu mengikhlaskan dia? Dia sendiri yang bilang kalau kamu menghubungi dia malam itu! Apa itu namanya? Apa!” Suara Yoga meninggi, kilatan matanya menunjukkan emosi dan kemarahan, yang sudah tertahan serta siap ia ledakkan dengan hebat. Parta mundur satu langkah. Yoga sedang tidak bisa diatasi
Mood booster yang alami, Parta langsung merasa semangat kembali. Mengabaikan file kerja praktik, ia langsung mencermati file-file yang dikirimkan Nyla. Bibirnya tersenyum sedikit terbuka mengembuskan napas. Ada rasa bangga yang menyelimuti. Ada bahagia yang ingin sekali dia teriakkan supaya orang lain tahu. Akan tetapi, dia mengurungkannya. Ekspresinya berubah. Dia menyadari siapa dirinya untuk Nyla.Dia membalas surel Nyla selayaknya ketua organisasi pada rekan kerjanya. Memberi masukan yang menurutnya hanya basa-basi karena semua yang dikerjakan Nyla sudah terlihat sempurna.Ingin sekali dia membayangkan ekspresi ceria Nyla, seperti di awal dia menjadi mahasiswa baru. Nyla yang energik. ‘Apakah Nyla yang dulu itu sudah tidak ada? Apakah aku orang dibalik berubahnya Nyla?’ Parta terus mencerna itu sambil menunggu balasan surel dari Nyla. Ia tak berani membayangkan lebih jauh lagi. Hatinya akan merasa sakit karena bersalah sudah membuat gadis itu m
Panji datang bersama pengacaranya. Ia melihat Parta berada di balik sel dan keinginannya untuk berbicara langsung hanya berdua tidak dikabulkan.Dari hasil sampel yang diambil semalam terbukti bahwa Parta tidak mengonsumsi obat-obatan terlarang dan hal ini lebih menyulitkan pihak kepolisian. Sekarang sudah ada titik terang untuk Parta, ia tahu jalan permasalahannya dan apa yang pernah terlintas di kepalanya memang benar. Yoga mengonsumsi narkoba, lagi, dan malam itu ia sedang melakukan transaksi.Setelah mendapat kesempatan berbicara, Parta menyampaikan semua itu pada ayah dan pengacaranya.“Kakek sudah tahu kalau aku di sini?” tanya Parta selagi menunggu pengacaranya berbicara dengan petugas. Hal itu pasti menyulitkan ayahnya.“Belum. Ini terlalu pagi. Kamu tenang saja, dia akan baik-baik saja. Papa justru lebih mengkhawatirkan kamu.”“Aku tahu. Aku minta maaf,” sesal Parta. “Lalu, di mana dia sekarang?&rd
Nyla terus membayangkan kemungkinan di kampus tanpa adanya Vika dan Parta. Dia sudah terlampau berteman baik dengan keduanya dan dia tidak pernah memiliki teman sedekat hubungan mereka. Teman-teman di organisasi pun seolah menjaga jarak dengannya sejak kabar tentang Parta merebak. Semua tidak seindah yang dialami sebelumnya. Dia benar-benar tidak memiliki teman. Kegiatan bakti sosial tetap berjalan sesuai rencana. Namun di tempat acara, Nyla seolah tidak memiliki teman. Rara menjaga jarak dan seolah bermuka dua. Dengan tidak adanya Parta dan Vika, ia merasa bisa memperlakukan Nyla dengan sesuka hati. Dia dengan berani menyuruh banyak hal kepada Nyla dan parahnya dia mendapat dukungan dari yang lain. Nyla benar-benar merasa bahwa selama ini ia diberi kemudahan karena hubungan dekatnya dengan Vika dan Parta. Sungguh teramat sedih, tapi dia berusaha untuk tetap kuat. Bukan salah merak bukan pula salah dia, semua itu sudah dianggapnya sebagai hukum alam untuk orang biasa
“Jadi kemarin itu salah satu sponsor? Penyokong dana? Keren sih, tapi ...” Pergunjingan itu jelas bersumber dari salah satu gadis berambut panjang yang duduk di bagian tengah. Yang menjadi pusat perhatian dan dengan bangga menunjukkan kepiawaiannya dalam bergosip. Sangat tidak bermutu, tapi hal seperti itulah yang dicari dalam sebuah hubungan sosial. Untuk apa sebuah kualitas jika pada akhirnya tak ada yang berminat mencurahkan perhatiannya, mengakui keberadaannya. Eksistensi memang sangat berperan dan bagaimana cara mendapatkannya bukan lagi hal yang harus dipikirkan dengan kehati-hatian ekstra. Bukankah jika dipikirkan terlalu lama maka semua justru tidak akan terjadi? Semua ada masanya begitu juga dengan eksistensi itu sendiri. Dia Rara yang dengan senyum tersunggingnya sengaja menatap Nyla yang sedang melewati jalan setapak menuju arah basecamp. Dia mengarahkan semua yang ada di sampingnya untuk menunjukkan tatapan mencemooh pada objek yang sama, Nyla.
“Bisa ikut masuk ke mobil? Kita bisa cari tempat yang lebih nyaman untuk berbincang.” “Aku sudah pesan ojek dan ini sudah sore. Sudah seharusnya aku pulang,” tolak Nyla. Yang dia dengar dari Vika beberapa hari lalu, wanita ini menjadi saksi atas peristiwa yang terjadi, tapi sepertinya dia tidak pernah berniat untuk membantu Parta. Nada kesal merambati garis wajah Bela. Ia mencoba bersabar dengan gadis pujaan temannya itu. Terlebih di situasi semacam ini. Bukan saat yang tepat untuk menunjukkan keegoisan dan di depan Nyla, tidak akan pernah itu terjadi. Dia harus mengalah sebagai orang yang lebih dewasa. “Tidak ada orang yang menunggumu dan kamu cukup cerdas untuk membagi waktu. Soal ojek kamu bisa membatalkan tanpa merugikan mereka dan soal Parta aku tidak akan mengemis perbincangan lagi denganmu. Jika kali ini kamu bersikeras untuk tetap pulang.” Sekilas Nyla lupa bahwa Parta begitu percaya dengan temannya ini. Teman yang saling menguntungkan setidak