Nyla terus membayangkan kemungkinan di kampus tanpa adanya Vika dan Parta. Dia sudah terlampau berteman baik dengan keduanya dan dia tidak pernah memiliki teman sedekat hubungan mereka. Teman-teman di organisasi pun seolah menjaga jarak dengannya sejak kabar tentang Parta merebak. Semua tidak seindah yang dialami sebelumnya. Dia benar-benar tidak memiliki teman.
Kegiatan bakti sosial tetap berjalan sesuai rencana. Namun di tempat acara, Nyla seolah tidak memiliki teman. Rara menjaga jarak dan seolah bermuka dua. Dengan tidak adanya Parta dan Vika, ia merasa bisa memperlakukan Nyla dengan sesuka hati. Dia dengan berani menyuruh banyak hal kepada Nyla dan parahnya dia mendapat dukungan dari yang lain.
Nyla benar-benar merasa bahwa selama ini ia diberi kemudahan karena hubungan dekatnya dengan Vika dan Parta. Sungguh teramat sedih, tapi dia berusaha untuk tetap kuat. Bukan salah merak bukan pula salah dia, semua itu sudah dianggapnya sebagai hukum alam untuk orang biasa
Katakan sesuatu supaya penulis tidak semakin buntu (LOL)
“Jadi kemarin itu salah satu sponsor? Penyokong dana? Keren sih, tapi ...” Pergunjingan itu jelas bersumber dari salah satu gadis berambut panjang yang duduk di bagian tengah. Yang menjadi pusat perhatian dan dengan bangga menunjukkan kepiawaiannya dalam bergosip. Sangat tidak bermutu, tapi hal seperti itulah yang dicari dalam sebuah hubungan sosial. Untuk apa sebuah kualitas jika pada akhirnya tak ada yang berminat mencurahkan perhatiannya, mengakui keberadaannya. Eksistensi memang sangat berperan dan bagaimana cara mendapatkannya bukan lagi hal yang harus dipikirkan dengan kehati-hatian ekstra. Bukankah jika dipikirkan terlalu lama maka semua justru tidak akan terjadi? Semua ada masanya begitu juga dengan eksistensi itu sendiri. Dia Rara yang dengan senyum tersunggingnya sengaja menatap Nyla yang sedang melewati jalan setapak menuju arah basecamp. Dia mengarahkan semua yang ada di sampingnya untuk menunjukkan tatapan mencemooh pada objek yang sama, Nyla.
“Bisa ikut masuk ke mobil? Kita bisa cari tempat yang lebih nyaman untuk berbincang.” “Aku sudah pesan ojek dan ini sudah sore. Sudah seharusnya aku pulang,” tolak Nyla. Yang dia dengar dari Vika beberapa hari lalu, wanita ini menjadi saksi atas peristiwa yang terjadi, tapi sepertinya dia tidak pernah berniat untuk membantu Parta. Nada kesal merambati garis wajah Bela. Ia mencoba bersabar dengan gadis pujaan temannya itu. Terlebih di situasi semacam ini. Bukan saat yang tepat untuk menunjukkan keegoisan dan di depan Nyla, tidak akan pernah itu terjadi. Dia harus mengalah sebagai orang yang lebih dewasa. “Tidak ada orang yang menunggumu dan kamu cukup cerdas untuk membagi waktu. Soal ojek kamu bisa membatalkan tanpa merugikan mereka dan soal Parta aku tidak akan mengemis perbincangan lagi denganmu. Jika kali ini kamu bersikeras untuk tetap pulang.” Sekilas Nyla lupa bahwa Parta begitu percaya dengan temannya ini. Teman yang saling menguntungkan setidak
Kita tidak pernah tahu hal apa yang membuat kita bahagia sebelum kita benar-benar melakukannya. Bertemu dengan Bela membawa angin segar tersendiri bagi Nyla yang tadinya enggan untuk bertegur sapa. Kesepiannya mulai terobati. Masih ada yang secara langsung meluangkan waktu untuk peduli dengan keadaannya alih-alih mencemooh dan merendahkan seperti halnya sebagian orang di kampus. Bela memesankan taksi untuk Nyla sekaligus membayar ongkosnya meskipun dia tidak bisa turun mengantar gadis itu. Ibu Bela justru dengan cekatan, meskipun duduk di kursi roda, memberi bekal kepada Nyla setelah dia tahu bahwa Nyla tinggal tanpa keluarga. “Kalau ada waktu, sering-sering lah main ke mari. Tante akan sangat senang walaupun tante ditinggal sendirian,” candanya pada Nyla. Tapi itu benar, terkadang orang hanya perlu ditemani tidak harus didengarkan, tidak harus diperhatikan, dan mereka tetap merasakan kebahagiaan. Bukankah itu relasi matang yang sesungguhnya, menghargai keberadaan d
“Aku pikir Kak Bela tidak akan menghubungi aku.” Meskipun baru sekali berkunjung, dan ini kedua kalinya, Nyla sudah merasa nyaman bertamu di apartemen Bela. Itu semua karena keramahan Bela dan ibunya. Begitu Bela membukakan pintu Nyla langsung mengekor Bela dan duduk di sofa tanpa perlu dipersilakan. Sementara itu Bela terus berjalan ke kamarnya. “Jangan konyol. Aku bukan orang yang suka ingkar janji,” jawab Bela sesaat setelah ia kembali dari kamarnya. Ia keluar dengan membawa sebuah kotak kemudian duduk di sebelah Nyla dan membuka kotak itu. Nyla melihat isinya dengan sangat takjub. Botol-botol kecil beraneka bentuk dan warna yang sangat menarik. Benda-benda yang semakin menunjukkan sisi feminim seorang wanita. Jika hanya satu atau dua dia pernah melihatnya, tapi sebanyak itu, satu kotak penuh, ia hanya pernah melihatnya di toko bukan milik seseorang. “Mau coba?” tawar Bela, tetapi Nyla hanya tersenyum dan menggeleng. Ia merasa tidak cocok menyapukan kuteks
Parta mencerna setiap informasi yang diberikan oleh Robi. Dialah satu-satunya jalan untuk bisa mendengar kabar tentang gadis itu, Nyla. Sementara tentang hubungan Robi dan Bela, baginya itu tidak mengejutkan, ia sudah pernah menduga bahwa kedua orang itu saling menyukai dan beruntungnya kepercayaan Bela tidak berkurang sedikit pun sehingga Robi pun juga menaruh perhatian padanya. Akan berbeda cerita, jika Bela tidak menjadi saksi kejadian malam itu maka bisa dipastikan pikiran negatif tidak bisa ditepis. Robi dan Bela pun juga tidak seserius sekarang ini. Dampak positif untuk orang lain dari kejadian yang dialami Parta. Menitipkan Nyla pada Bela membawa angin kelegaan bagi Parta. Meskipun keduanya sangat berbeda, tapi Parta yakin mereka bisa saling mengisi apalagi Robi sendiri mengatakan bahwa dia sudah tidak mengizinkan Bela pergi ke tempat hiburan malam. Sepenuhnya Parta percaya Bela bisa menjadi teman untuk Nyla. Sekarang tinggal kabar tentang Yoga. Meskipun Vika
Beny’s Books & Coffee. Sebuah papan nama terpampang jelas di depan ruko berlantai tiga tak jauh dari kampus Nyla. Sebuah gambar buku terbuka di samping secangkir kopi melengkapi tampilan papan nama yang membentang sepanjang dua meter. Itulah tempat usaha yang diberikan Robi untuk Bela, toko buku sekaligus mini kafe dengan nama yang jelas dipaksakan, tapi itulah pilihan Robi dan Bela tidak bisa bernegosiasi untuk hal itu. Semuanya sudah satu paket. Bela tampak mengembuskan napas begitu turun dari mobil merah kesayangannya. Sama seperti yang dilakukan Nyla, Ia memandangi papan nama itu dengan enggan dan kemudian hanya mampu mengangkat kedua bahu saat Nyla memicingkan mata dan menaruh tanya pada tatapannya. “Kita masuk saja!” ajak Bela yang langsung menggamit lengan Nyla. Melangkah ringan memasuki tempat yang akan menjadi milik mereka. Sepi. Masih sepi. Bela kembali memasukkan kunci ke dalam tas mungilnya dan membiarkan pintu
Parta terus tersenyum saat melihat ekspresi terkejut Nyla. Satu-satunya potret yang dikirim Bela begitu ia keluar dari jeruji besi. Dua bulan berada di ruang yang dingin dan engap itu dengan mudah dilupakan begitu mendapati kerinduannya sedikit terpenuhi. Gadis yang terlihat semakin cantik di matanya. “Kamu yakin? Dia akan sangat senang kalau kamu datang atau setidaknya temui aku. Ingat, aku ini temanmu, bukan sekadar orang suruhanmu!” oceh Bela saat Parta melakukan panggilan video dengannya. “Dia tidak akan mengenaliku,” kata Parta sambil menunjukkan jambang yang mulai memenuhi wajahnya. Ia sedikit bercermin melalui tampilan layar handphonenya. Benar, selama ditahan hingga sudah seminggu keluar, ia hanya beberapa kali mencukur jambangnya. “Dan kamu ... ayolah, masa hanya ada satu foto?” gerutu Parta. Ia merengek meminta foto Nyla yang lainnya. “Kamu pikir Nyla mau difoto? Sekali pun aku bilang untuk ditunjukkan padamu, pasti dia tidak akan mau. Kalau memang
“Ayolah, Pa. Ajari anak kesayangan papa ini untuk merayu wanita.” Parta merengek pada ayahnya yang sibuk merapikan koper sementara dirinya duduk santai sambil memeluk ibunya. Ia mengatakan itu dengan sengaja dan menantang. Ia ingin memancing ayahnya untuk bersikap romantis pada ibunya. “Singkirkan harapanmu itu! Cepat cukur kumis dan jambangmu itu. Kamu kelihatan lebih tua dari papa,” sentak Panji. Raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun karena dia terus menunduk merapikan koper yang masih saja susah untuk ditutup. “Wow. Aku tak pernah menyangka papa akan menggunakan nada tinggi saat bicara padaku di depan mama. Tapi aku beruntung karena mama pasti selalu membelaku.” Parta mendongak sambil tersenyum untuk melihat ibunya. “Bukan lebih tua. Seperti ini dia lebih dewasa. Kita tidak perlu banyak cerewet lagi padanya,” jawab Ratna sambil tersenyum dan mengelus punggung Parta. Sedari tadi Panji hanya berfokus pada tugasnya merapikan isi koper hingg