“Omong kosong!”
Yoga dan Nyla menoleh ke arah sumber suara. Di sana Parta berdiri.
“Nyla tidak ingin berbicara denganmu,” kata Yoga.
“Sejak kapan kamu menjadi juru bicaranya. Kamu tidak punya hak untuk memutuskan.”
Penampilan Parta yang terlihat biasa membuat Nyla kecewa. Dia berharap akan ada sesal sedih yang ditunjukkan Parta, namun pemuda itu masih terlihat tenang seperti tak pernah terjadi apa pun di antara mereka.
“Jadi? Siapa yang harus pergi?” tanya Parta dengan tatapan lurus pada Nyla tanpa sekali pun menganggap keberadaan Yoga.
Sementara itu Yoga mendecih saat Nyla masih terdiam. Pikirnya Nyla akan menolak dan lebih memilih bersamanya.
“Aku dan kamu yang harus pergi,” Nyla mendahului Parta membimbingnya ke tempat sunyi yang jauh dari tatapan orang. Ia mengabaikan Yoga, begitu pun Parta.
“Sialan!” umpat Yoga sambil menendang motor terdekat dengan sembarang. Ia terus memandang punggung kedua orang itu dengan tida
Terima kasih sudah membaca.
“Guys, aku pergi dulu ya.” Vika agak terburu-buru pergi setelah menerima telepon, menepi di ujung ruangan itu. Wajahnya serius dan penuh tanya. Tak ada yang tahu pembicaraan apa yang membuatnya meninggalkan tanggung jawabnya saat itu. “Kak Vika,” sapa Nyla. Mereka berpapasan tepat di pintu basecamp. Ada kecanggungan yang jelas di wajah Nyla—dan beberapa dari mereka di ruangan itu mengarahkan pandangan padanya, membuatnya semakin gugup—yang tidak bisa disembunyikan. Akan tetapi, Vika mengulas senyum yang membuat Nyla tak jadi menelan rasa pahit yang mulai beranjak naik dari perut ke rongga mulutnya. Meski masih terdiam beberapa saat, Nyla masih tak mampu melanjutkan kata-katanya. “Kak …,” katanya kembali tertahan. “Aku baik-baik saja, Ny,” jawab Vika yang sudah bisa memahami arah pembicaraan yang akan disampaikan Nyla sebelum gadis itu meneruskan kata-katanya. Ia tersenyum dan meminta jalan di depannya dengan mengarahkan dagun
“Kapan pastinya?” lanjut Vika. Menyampaikan banyak nasihat untuk orang yang sedang tidak dalam suasana yang baik terkadang hanya akan menjadi sia-sia. Apalagi jika orang itu adalah Parta. Orang yang sebenarnya paham tentang hal yang cukup sederhana seperti itu. Tapi, terkadang nasihat memang diperlukan untuk sekadar mengingatkan. “Besok aku sudah bisa mulai. Dengan surat ini semua mudah saja. Aku sudah membuat janji jauh-jauh hari, hanya percepatan waktu saja dan mereka setuju.” Parta membicarakan perihal tempat ia akan melaksanakan praktik kerja yang tak lain adalah relasinya sendiri. “Kamu yakin?” Vika masih tak percaya dengan keputusan Parta. Namun, temannya itu mengangguk mantap. Senyumnya pun diulas tak kalah mantap, tapi jauh di dalam hati dan pikirannya ada semacam ikatan tali yang tak bisa diurai dengan mudah. “Sebenarnya ada apa? Kamu tidak pernah menyerah seperti ini sebelumnya. Bahkan belum pernah aku melihat kamu seburuk in
Beberapa hariNylamerenung. Termasuk di Minggu pagi saat semua penghuni kosbercengkeramadi teras depandenganmenikmati camilanbuatan salah satu temannya—yang juga penghuni kos—beberapa bungkus penganan tradisionalberbahantepung dan buah pisang. Orang banyak menyebutnya nagasari, salah satu penganan yang cukup disukaiNylakarena rasanya yang manis dan teksturnya yang lembut. Tapi, pagi ituNylatak sepetibeberapa temannya. Ia memang bergabungdi terasyang teduhdengan berbagai tanaman hias yang digantung itu, namun dia hanya diam. Pikirannya membayang sosokPartayang meski sudah beberapa haritak dilihat, pemuda itu tetap nyata dalam angannya. Seolah d
“Ra, kamu sudah dapat chat kan dari Parta?” Vika segera menaruh tasnya begitu memasuki basecamp. Urusan organisasi masih harus ia tangani dengan serius selagi Parta menjalankan kerja praktik. Hari itu ada sedikit permasalahan yang ia dengar ketika melewati bagian administrasi kampus dan itu berkaitan dengan proposal kegiatan yang diajukan badan eksekutif. Vika langsung menuju tempat duduk Rara dan segera melihat layar laptop yang ditunjukkan Rara, entah isinya apa. Nyla yang berada di bagian lain ruangan itu hanya sepintas lalu mendengar dan langsung memusatkan perhatian ketika nama Parta tertangkap daun telinganya. “Coba kamu hubungi Parta lagi! Harusnya semua ini sudah selesai,” kata Vika setelah mencerna tampilan layar dari laptop Rara. Ia membuka beberapa berkas dokumen yang berada di samping meja Rara sembari mencocokkan dengan tampilan dokumen yang ada di layar laptop. Rara masih ragu dengan handphone di tangannya. Ia menatap
Nyla terus tersenyum menatap layar handphone-nya. Ia mencoba mengatur napas supaya detak jantungnya bisa lebih rileks seirama dengan embusan udara yang masuk dan keluar dari rongga dadanya. Teramat gembira, itulah yang dirasakannya saat ini. Sebuah pop up chat dari Parta dengan terang tertuju padanya. “Ny, apa kabar?” Pesan itu hanya sekilas, hanya satu kali.Setelah beberapa menit menatap, kini Nyla sudah bisa menguasai dirinya meski senyum terus mengembang dan membuat rona merah di pipinya. “Kabar aku, baik.” Jemari lentik Nyla sudah bisa mengetik dengan lancar. Jawabnya singkat meski sesungguhnya ia ingin mengungkapkan banyak hal. Ia ingin mengungkapkan kerinduan yang sungguh dan nyata dari dirinya, tapi ia menunda. Ia ingin melihat lebih jauh tujuan pemuda itu mengirim pesan larut malam ke handphone-nya.“Satu, dua, tiga,” Nyla menghitung dalam hati. “Tidak,” Nyla tidak ingin menunda dan har
“Aku sudah siapkan rancangannya dan nanti malam baru aku tulis proposalnya. Tugas kamu nanti bantu aku koreksi dan ajukan ke bagian terkait. Sementara seperti itu. Nanti aku kabari lagi.” Meski dengan ekspresi dingin, Nyla menjawab pertanyaan—kemauan Rara—dengan cukup tenang dan lancar. Ia menoleh dan kembali mengamati wajah ceria Rara—dia satu angkatan dengannya dan cantik. Rara mengangguk mantap dan hendak menanggapi jawaban Nyla. Bisa jadi ucapan terima kasih, rasa senang dan bangganya, atau mungkin ide dan masukan lain. Tapi dia tidak sempat mengucapkannya. “Kamu bisa melakukan hal lain dulu,” tambah Nyla. Ia tidak ingin melihat lebih lama gadis itu—dan mendengar suaranya lebih lama—karena ia akan teringat Parta yang—setahu dia—sudah menghubunginya dua kali di malam hari. Mungkin lebih dari dua kali dan bisa jadi di malam yang sama larutnya ketika pemuda itu menghubunginya semalam. Selain karena tidak ingin berlama-lama dengan Rara, di ujung loron
“Kamu ganggu dia, lagi?” Mereka berdua keluar dari penatnya perbincangan di ruang tamu. Udara malam yang bebas terasa melegakan dan remang cahaya lampu terasa memberi ketenangan. Harusnya seperti itu, tapi ternyata sama saja. “Maksud kamu apa? Siapa? Nyla? Memangnya ada hubungan apa kamu sekarang dengan dia?” Rentetan pertanyaan retoris diakhiri senyum mengejek jelas tersungging di bibir Yoga. “Ada banyak mata yang melihat dan suara mereka bisa sampai ke telingaku. Aku sudah mencoba ikhlaskan dia, Yoga. Jadi tolong, kamu jangan ganggu dia. Biarkan dia dengan kebebasannya.” “Aku paham kalau kamu bakalan tahu meski kamu tidak di kampus hari itu. Tapi, apa? Kamu mengikhlaskan dia? Dia sendiri yang bilang kalau kamu menghubungi dia malam itu! Apa itu namanya? Apa!” Suara Yoga meninggi, kilatan matanya menunjukkan emosi dan kemarahan, yang sudah tertahan serta siap ia ledakkan dengan hebat. Parta mundur satu langkah. Yoga sedang tidak bisa diatasi
Mood booster yang alami, Parta langsung merasa semangat kembali. Mengabaikan file kerja praktik, ia langsung mencermati file-file yang dikirimkan Nyla. Bibirnya tersenyum sedikit terbuka mengembuskan napas. Ada rasa bangga yang menyelimuti. Ada bahagia yang ingin sekali dia teriakkan supaya orang lain tahu. Akan tetapi, dia mengurungkannya. Ekspresinya berubah. Dia menyadari siapa dirinya untuk Nyla.Dia membalas surel Nyla selayaknya ketua organisasi pada rekan kerjanya. Memberi masukan yang menurutnya hanya basa-basi karena semua yang dikerjakan Nyla sudah terlihat sempurna.Ingin sekali dia membayangkan ekspresi ceria Nyla, seperti di awal dia menjadi mahasiswa baru. Nyla yang energik. ‘Apakah Nyla yang dulu itu sudah tidak ada? Apakah aku orang dibalik berubahnya Nyla?’ Parta terus mencerna itu sambil menunggu balasan surel dari Nyla. Ia tak berani membayangkan lebih jauh lagi. Hatinya akan merasa sakit karena bersalah sudah membuat gadis itu m