“Mengapa kamu selalu seperti itu? Kamu sangat benci melihat aku selalu lebih baik dari kamu?”
Mereka berdua keluar dari ruangan yang sama setelah mendengar banyak kata yang menyudutkan. Tak sekali pun mereka berani menjawab dan memperlihatkan muka. Semua menunduk dalam diam, hanya mengangguk dan dengan pelan mengatakan ya. Meski pujian dan terima kasih didapat Yoga, ia juga tak berani banyak bertingkah di situasi semacam itu. Sementara Parta yang dianggap sebagai biang keladi tentu saja diam seribu bahasa setelah berlutut meminta maaf.
Berjalan berdua setelah sekian lama berjarak tentu rasanya tidak akan nyaman. Mereka kini berhenti di ujung lorong, tepatnya balkon kecil tempat menikmati pemandangan untuk sekadar mengistirahatkan mata, yang letaknya tak jauh dari elevator khusus di lantai itu.
“Aku menginginkan Nyla. Aku tidak pernah benar-benar menginginkan milikmu seperti saat ini. Aku sangat ingin mendapatkannya, tapi kebiasaanku untuk selalu meng
Terima kasih sudah membaca. :) Jangan sungkan memberi komentar ya. see you next chapter.
“Ny, mungkin semester ini kita bisa laksanakan program yang ada. Pertama, tentu rekrutmen anggota baru. Kamu masih ingat kan dengan tahun lalu. Ya, kurang lebih seperti itu. Tapi, nanti akan ada sedikit tambahan sesuai dengan evaluasi yang ada. Lalu …” Parta menghela napas, “kemungkinan semester depan aku akan menyerahkan sebagian besar tugas sama kamu.” Nyla meletakkan buku yang sedari tadi menjadi incaran kedua bola matanya. “Mengapa seperti itu?” tanyanya sembari memicingkan kedua matanya. “Semester depan itu aku sudah semester enam. Aku ada SKS buat kerja praktik.” “Berapa lama?” tanya Nyla dengan nada ingin tahunya. “Kebijakan program sih kurang lebih tiga sampai empat bulan.” “Lama banget, sih. Sepertinya di programku tidak selama itu. Setidaknya tidak terus-terusan selama empat bulan.” Nyla menggerutu. Ia menyambar lagi bukunya dan pura-pura membaca. “Mengapa? Gak tahan kangen, ya?” goda Parta. “Terlalu percaya diri. Aku
“Berani apa kamu bilang?” Parta memegang kemudi dengan kuatnya. Dagunya menantang Nyla untuk menjawab seberani dia sebelumnya. “Coba katakan lagi!” Nyla menjawab dengan nada tinggi, “Berani untuk mengancam kamu!” “Mengancam apa?” Parta masih saja menantang. Dari sekian banyak amarah, luka yang terdalam adalah luka yang tertoreh dari orang yang paling disayangi. Orang yang diharapkan tidak pernah melukai dan mengecewakan. Orang yang dalam pikiran kita akan selalu mendukung dan selalu memeluk dengan membelai punggung, lembut dan menenangkan. Orang yang selalu menggenggam tangan kita dan menganggukkan kepala memberi kekuatan. “Pembunuh,” Nyla mengatakannya dengan suara lirih tapi penuh penekanan. Parta tak begitu mendengar, tapi gerak bibir Nyla sudah sangat jelas untuk memahami kata yang dikeluarkannya. Tangan kiri Parta yang bebas dari kemudi langsung melayang membuat pipi Nyla merona kemerahan. Gadis itu menunduk memegangi pipinya, antara peri
“Mengapa?” tanya Nyla dengan gamang sekaligus tak percaya. “Mengapa kamu melakukan semua itu?” Setiap hal pasti ada alasannya. Baik atau pun buruk yang dilakukan orang akan selalu ada dasar yang menyertainya. Selalu ada pertimbangan meski tak semuanya bisa diterima oleh akal orang lain. Terkadang untuk kepentingan diri sendiri. Terkadang untuk orang lain. Terkadang memang terpaksa harus dilakukan. Nyla ingin tahu alasan Parta hingga membuat sepupunya kehilangan sosok seorang ibu. Jika memang benar semua berawal dari kesalahan Parta, ia ingin tahu permasalahan apa yang membuat dia melakukan semua itu. Pada akhirnya, Nyla berharap alasan itu bisa menjadi sebuah pembenaran. Pembenaran yang sedikit melegakan hatinya. “Aku menginginkannya,” jawab Parta tanpa ekspresi membuat hati Nyla semakin mencelus. Kata-kata ringan itu terasa menusuk, tidak perih tapi menyakitkan. Untuk beberapa saat Parta memikirkan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia tidak punya
“Aku sudah berakhir sama Nyla, Pa. Sebenarnya bukan berakhir. Aku bahkan tidak pernah memulainya.” “Kamu tidak pernah menyatakan perasaanmu pada Nyla?” Parta menggeleng. Kini ia merangkum kedua lututnya dan menumpukan kepalanya di tengah. Ia memejamkan mata dan terus melanjutkan ceritanya. Semacam pengakuan pada ayahnya yang selama ini hanya tahu bahwa dirinya dan Nyla merupakan sepasang kekasih. “Lalu? Selama ini apa hubunganmu sama dia? Teman?” tanya Panji. Parta pun membuka mata dan menggeleng. Ia turun dari tempat tidurnya, menutup pintu dan jendela yang sudah semakin gila mengalirkan angin malam. “Aku sendiri tidak tahu, Pa. Ceritanya panjang.” Parta duduk santai di sofa dekat jendela sedang Panji duduk tenang di atas tempat tidur, siap mendengarkan curahan hati anaknya itu. Parta mulai bercerita tentang bagaimana ia meminta Nyla untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Bagaimana ia selalu memutuskan banyak hal untuk Nyla. Hingga pa
“Omong kosong!” Yoga dan Nyla menoleh ke arah sumber suara. Di sana Parta berdiri. “Nyla tidak ingin berbicara denganmu,” kata Yoga. “Sejak kapan kamu menjadi juru bicaranya. Kamu tidak punya hak untuk memutuskan.” Penampilan Parta yang terlihat biasa membuat Nyla kecewa. Dia berharap akan ada sesal sedih yang ditunjukkan Parta, namun pemuda itu masih terlihat tenang seperti tak pernah terjadi apa pun di antara mereka. “Jadi? Siapa yang harus pergi?” tanya Parta dengan tatapan lurus pada Nyla tanpa sekali pun menganggap keberadaan Yoga. Sementara itu Yoga mendecih saat Nyla masih terdiam. Pikirnya Nyla akan menolak dan lebih memilih bersamanya. “Aku dan kamu yang harus pergi,” Nyla mendahului Parta membimbingnya ke tempat sunyi yang jauh dari tatapan orang. Ia mengabaikan Yoga, begitu pun Parta. “Sialan!” umpat Yoga sambil menendang motor terdekat dengan sembarang. Ia terus memandang punggung kedua orang itu dengan tida
“Guys, aku pergi dulu ya.” Vika agak terburu-buru pergi setelah menerima telepon, menepi di ujung ruangan itu. Wajahnya serius dan penuh tanya. Tak ada yang tahu pembicaraan apa yang membuatnya meninggalkan tanggung jawabnya saat itu. “Kak Vika,” sapa Nyla. Mereka berpapasan tepat di pintu basecamp. Ada kecanggungan yang jelas di wajah Nyla—dan beberapa dari mereka di ruangan itu mengarahkan pandangan padanya, membuatnya semakin gugup—yang tidak bisa disembunyikan. Akan tetapi, Vika mengulas senyum yang membuat Nyla tak jadi menelan rasa pahit yang mulai beranjak naik dari perut ke rongga mulutnya. Meski masih terdiam beberapa saat, Nyla masih tak mampu melanjutkan kata-katanya. “Kak …,” katanya kembali tertahan. “Aku baik-baik saja, Ny,” jawab Vika yang sudah bisa memahami arah pembicaraan yang akan disampaikan Nyla sebelum gadis itu meneruskan kata-katanya. Ia tersenyum dan meminta jalan di depannya dengan mengarahkan dagun
“Kapan pastinya?” lanjut Vika. Menyampaikan banyak nasihat untuk orang yang sedang tidak dalam suasana yang baik terkadang hanya akan menjadi sia-sia. Apalagi jika orang itu adalah Parta. Orang yang sebenarnya paham tentang hal yang cukup sederhana seperti itu. Tapi, terkadang nasihat memang diperlukan untuk sekadar mengingatkan. “Besok aku sudah bisa mulai. Dengan surat ini semua mudah saja. Aku sudah membuat janji jauh-jauh hari, hanya percepatan waktu saja dan mereka setuju.” Parta membicarakan perihal tempat ia akan melaksanakan praktik kerja yang tak lain adalah relasinya sendiri. “Kamu yakin?” Vika masih tak percaya dengan keputusan Parta. Namun, temannya itu mengangguk mantap. Senyumnya pun diulas tak kalah mantap, tapi jauh di dalam hati dan pikirannya ada semacam ikatan tali yang tak bisa diurai dengan mudah. “Sebenarnya ada apa? Kamu tidak pernah menyerah seperti ini sebelumnya. Bahkan belum pernah aku melihat kamu seburuk in
Beberapa hariNylamerenung. Termasuk di Minggu pagi saat semua penghuni kosbercengkeramadi teras depandenganmenikmati camilanbuatan salah satu temannya—yang juga penghuni kos—beberapa bungkus penganan tradisionalberbahantepung dan buah pisang. Orang banyak menyebutnya nagasari, salah satu penganan yang cukup disukaiNylakarena rasanya yang manis dan teksturnya yang lembut. Tapi, pagi ituNylatak sepetibeberapa temannya. Ia memang bergabungdi terasyang teduhdengan berbagai tanaman hias yang digantung itu, namun dia hanya diam. Pikirannya membayang sosokPartayang meski sudah beberapa haritak dilihat, pemuda itu tetap nyata dalam angannya. Seolah d
“Selamat datang.” Parta membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nyla untuk turun. Setelah menunda dua hari, akhirnya Parta berhasil meyakinkan Nyla untuk pergi ke rumah ibunya. ‘Menginap’ kata itulah yang membuat Nyla harus berpikir ulang untuk mengatakan mau atau tidak mau. “Ini rumah siapa?” tanya Nyla yang masih belum diberitahu Parta. Terdengar suara pintu dibuka dari rumah sederhana itu. Nyla pun menoleh dan melihat wanita paruh baya tersenyum serta melambai padanya. Mata Nyla beralih ke Parta dengan penuh tanya, sayangnya Parta hanya mengangkat bahu dan langsung menggandeng tangan Nyla dan membawanya menghampiri pemilik rumah itu. “Kalian sudah datang?” sapa Ratna yang langsung memeluk Nyla. “Kamu benar-benar cantik, persis seperti yang dikatakan Parta. Pantas saja dia tergila-gila sama kamu,” imbuh Ratna usai mereka berpelukan. “Mama,” kata Parta memberitahu Nyla yang masih kebingungan. “Mama?” tanya Nyla pada Parta de
“Kak Parta? Ini benar, kan?” Nyla membulatkan matanya tak percaya. Pemuda yang berdiri tegap di depannya terlihat lebih sempurna daripada pemuda yang suka usil dan menyebalkan yang ada dalam ingatannya. Pemuda di depannya terlihat lebih ramah dan dewasa. Wajahnya lebih bersih seperti habis bercukur. Tatanan rambutnya juga lebih dewasa. Tapi, satu hal yang meyakinkan Nyla, aroma mint yang berhasil dihidunya. Sementara Nyla masih sibuk membandingkan pikiran dan kenyataan yang ada di depannya, Parta mengangguk dan melebarkan senyumnya sebagai jawaban.Angin kerinduan yang sangat lama bergemuruh di hati Nyla seperti mendapat kebebasan menyambut tuannya. Nyla merentangkan tangan dan langsung menghambur memeluk Parta. Menghirup sampai puas aroma yang menenangkan hatinya. Ia tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tidak peduli bahwa hal yang dilakukan mungkin akan membuatnya malu saat menyadarinya. Tidak peduli apakah akan mendapat penolakan—yang pa
“Hai, Ny. Selamat, ya.” Renata dan Alex yang menggendong seorang anak kecil menghampiri Nyla. Hari itu Renata juga diwisuda. Berbeda dengan Alex yang justru menunda wisudanya karena lebih memilih untuk terus bekerja. Sudah hampir setahun ia menjadi kepala keluarga setelah pernikahan tiba-tiba yang mereka langsungkan karena kehamilan Renata yang di luar rencana.Nyla pernah menggeleng tak percaya waktu mendengar kabar itu, tapi melihat kebahagiaan keduanya rasanya tidak adil jika Nyla berpikir negatif tentang hubungan dan bentuk tanggung jawab yang sudah dengan berani mereka ambil. Sudah saatnya untuk berpikir terbuka, bukan berarti setuju dengan hal semacam itu, hanya perlu bijaksana untuk menyikapinya dan perlu menanggalkan pemikiran kolot yang sering mengatasnamakan kebenaran.“Terima kasih dan selamat juga untukmu, Ren. Kamu luar biasa,” tambah Nyla. Ia menggoda si kecil yang terlihat sibuk sendiri di gendongan Alex.Pertemuan
Nyla menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya. “Halo,” kata Nyla dengan ragu-ragu. “Hai, Ny!” teriak orang di seberang telepon. Suaranya begitu renyah, semangat, penuh keceriaan. Namun demikian, Nyla masih sulit mengidentifikasi suara yang melewati jarak dan segala sistem untuk bisa sampai ke telinganya itu. Ada jeda beberapa saat ketika Nyla masih sibuk dengan pikirannya hingga suara di ujung telepon kembali mengambil alih suasana. “Ny, kamu masih di situ?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir. “Kak Vika?” tanya Nyla dengan agak ragu. Cara pemilik suara itu khawatir mengingatkan Nyla pada sosok Vika yang memang sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya, sama sekali setelah kepindahannya bersama dengan Yoga dan tepatnya setelah peristiwa yang dialami Parta di tempat usaha yang kelola oleh sahabatnya itu. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Nada khawatir itu sudah kembali cerita lagi. “Hai, Kak. Ya ampun. Se
Percayalah, apa pun yang kita lakukan itu akan terasa menyenangkan dan menantang saat semuanya masih baru. Seperti halnya memuaskan rasa penasaran, kita ingin terus menaklukkan dan membuat diri kita menjadi pemenang. Mulai semester awal dengan segala ambisi yang tertanam, nyatanya Nyla mengalami banyak pengalaman dan rintangan yang semakin membuatnya merasa lengkap meniti setiap jejak langkah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Teman yang semakin berkurang, tanggung jawab yang semakin bertambah dan hanya bisa diselesaikan, dilakukan, seorang diri. Benar-benar sendiri karena setiap orang memiliki kesibukan yang sama dan tanggung jawab yang sama beratnya. Mengabaikan semua perasaannya, Nyla berhasil membulatkan tekad awalnya. Kesibukan dan keberhasilan sudah di depan mata dan siap menyambut telapak tangannya. “Satu minggu ini kamu tidak perlu datang jika kedatanganmu hanya untuk bekerja. Kamu boleh datang jika kamu memang perlu untuk kebutuhan kuliahmu. Bukan u
Nyla ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar di senyum Bela saat sahabatnya itu mengenakan gaun sederhana yang akan digunakan untuk acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Robi. Beberapa kali ia keluar dan masuk kembali ke kamar pas untuk mencoba beberapa gaun dan meminta pendapat Nyla. Ada rasa bangga yang terbersit di benak Nyla saat menyadari bahwa dirinya menjadi pribadi yang dipercaya untuk memberi pendapat dalam hal yang sangat penting bagi sahabatnya itu. “Bagaimana? Aku lebih suka yang warna emas, tapi kurasa aku tidak bisa menahan untuk mencoba yang satu ini dan rasanya sangat pas dan cantik,” celoteh Bela yang sedang memutar badannya dan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Sementara itu Nyla duduk di belakangnya dan terus mengamati. “Kamu hanya mengagendakan untuk makan malam satu kali. Tidak mungkin dalam waktu yang sama kamu akan berganti pakaian.” Nyla menatap Bela yang sekarang membelakangi cermin dan sedang menunjukkan penampilanny
Bela tidak berhenti berjalan ke sana ke mari di antara beberapa bangku pengunjung. Beberapa karyawan yang sedang membersihkan kafe malam itu sesekali mencuri pandang dan menaruh curiga pada sikap tidak biasa dari atasannya itu. Sesekali juga mereka berbisik, namun tak ada satu pun yang berani bertanya secara langsung. Biasanya Bela akan menyampaikan beberapa instruksi yang menurut karyawannya sangat membosankan, instruksi yang selalu diulang-ulang setiap mereka mulai menutup kafe. Nyla yang baru turun dari lantai dua melihat pemandangan itu. Matanya beralih dari satu sisi kafe ke sisi yang lainnya. Beberapa karyawan yang sudah selesai beres-beres namun masih berkumpul dan tidak segera pulang. Mereka saling mendorong satu sama lain untuk mendekati Bela. Bela yang mendapat perhatian dari karyawannya itu juga menjadi perhatian Nyla. Ada apa dengan mereka hari ini? “Ada apa? Mengapa kalian belum pulang?” tanya Nyla saat mendekati karyawannya yang sudah berganti
Vika terbahak-bahak ketika mendengar Yoga menceritakan kemurungan Parta karena cemburu dan takut Nyla memiliki pacar baru. Suasana meja makan begitu renyah, tidak hanya dentang sendok garpu yang beradu dengan piring. Vika dan Parta pun lebih sengit, terutama Vika, mengejek satu sama lain. Parta terus memprotes masakan Vika yang jelas hanya mengada-ada karena buktinya ia melahap semua makanan. Belum lagi Yoga yang terus membela Vika membuat Parta semakin terpojok. Tapi tidak masalah, itu semua hanya canda. Mereka sadar bahwa jauh dari keluarga membuat mereka harus saling menguatkan satu sama lain. Dan itu cara yang mereka pilih. “Jadi? Bagaimana? Kamu mau balik, Par? Kalau kamu tidak balik, bisa-bisa Nyla diambil cowok lain.” “Dalam imajinasimu, Vik! Nyla tidak mungkin semudah itu melupakan cowok sekeren aku. Lagian aku yakin banget kalau itu cowok tidak bisa menyaingi kelebihanku.” “Ingat, Par. Nyla pernah suka loh sama aku,” sela Yoga memberi penekan
“Apa?” Parta masih menyimak cerita Bela namun tidak yakin dengan pendengarannya saat ini. “Tidak perlu heran!” tegas Bela yang bisa dipastikan kekesalannya. Tidak ada orang yang suka mengulang-ulang perkataan yang baru saja selesai disampaikan, begitu juga dengan Bela. “Kamu jangan merusak semangat aku dong Bel! Yang benar saja? Nyla tidak mungkin semudah itu jatuh cinta sama orang lain.” Parta menghela napas dan menghentikan aktivitasnya. Fokusnya hanya pada earphone yang memenuhi telinganya. Cerita panjang yang disampaikan Bela diakhiri dengan berita yang ingin ditolak oleh Parta. Pemuda itu sudah tidak fokus membaca buku di depannya. Jemarinya juga beberapa kali salah mengetik. “Aku tidak bilang kalau Nyla jatuh cinta sama itu cowok. Aku cuma bilang kalau ada cowok yang suka sama Nyla dan berusaha mendekati Nyla.” “Terus?” tanya Parta. Ia tidak sungguh bertanya karena jawabannya tentu akan membuatnya berpikir lebih dalam. “Terus ak