Seharian duduk di dalam ruang kelas membuat Nyla merasakan kantuk. Beberapa kali ia menguap dan berusaha melebarkan pandangan matanya. Permen kopi yang ia beli di kantin tidak sempat ia nikmati. Kakak-kakak panitia tidak akan mentoleransi jika ada mahasiswa baru yang berani makan di ruang kelas saat mereka sedang presentasi. Ia melihat ke kanan dan kiri, semua terlihat sama dengan dirinya, menahan kantuk dan memaksa diri mengikuti penjelasan para panitia.
Materi hari itu adalah pengenalan kegiatan mahasiswa. Berbagai unit kegiatan dipresentasikan dengan sangat apik. Hanya satu yang menjadi perhatian Nyla, Badan Eksekutif. Ia sangat ingin bergabung di dalamnya. Pengalamannya menjadi ketua OSIS baginya merupakan bekal yang cukup.
“Kak, kapan kami boleh daftar kegiatan?” tanya Nyla saat sesi tanya-jawab dibuka. Ia merasa kantuknya sudah hilang seiring selesainya presentasi yang ditampilkan panitia.
“Pertanyaan yang bagus. Jadi, setelah kegiatan ini nanti akan ada stand unit kegiatan di gazebo taman. Silakan kalian boleh datang dan bertanya lebih jauh. Jika berminat bisa langsung minta formulir untuk pendaftaran,” jelas salah satu panitia.
“Oh, ya. Kalian boleh ikut satu atau dua kegiatan. Tidak boleh lebih karena itu akan mengganggu kegiatan belajar kalian. Jadi, pastikan pilihan kalian memang kegiatan yang benar-benar kalian inginkan sehingga kalian senang dan mendapat manfaatnya.”
“Syaratnya apa saja sih, Kak?” Seorang mahasiswa putra melanjutkan pertanyaan Nyla.
“Secara umum syaratnya adalah mahasiswa di sini. Kedua, mau berkomitmen untuk menjadi anggota yang benar-benar anggota, tidak hanya menumpang status keanggotaan saja. Ketiga, punya visi-misi yang sejalan, kalau visi dan misi kalian sejalan dengan senior dan dengan identitas unit pilihan kalian tentu nantinya akan dengan mudah diterima. Terakhir, bisa menjawab pertanyaan wawancara dengan baik dan meyakinkan.”
Gazebo taman yang teduh semakin terlihat tenang dengan sore yang menjelang. Semburat kuning yang lembut di ujung barat masih mampu menerobos pepohonan dengan samar. Beberapa stand kegiatan terlihat ramai dengan mahasiswa baru terutama stand hobby, olahraga dan kesenian. Satu stand yang terlihat ramai perlahan mulai sepi. Stand yang menjadi incaran Nyla. Stand Badan Eksekutif.
Nyla menuju stand yang terletak di bagian tengah taman itu dengan mantap. Nyla disambut baik oleh Vika yang saat itu –seperti terakhir mereka bertemu—sedang sibuk dengan laptopnya. Gadis itu tersenyum, menatap Nyla dan menghentikan jemarinya yang sibuk menari-nari di atas papan tombol.
Nyla langsung pada tujuannya, mendaftarkan diri menjadi anggota Badan Eksekutif. Ia meminta lembar formulir untuk diisi. Vika mengulurkan lembar formulir kemudian menariknya kembali sebelum Nyla sempat memegangnya.
“Kenapa, Kak?” Nyla bertanya kebingungan. Ia melihat pada penampilannya mengikuti arah pandang Vika. Merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya, Nyla kembali tengadah dan melihat Vika sudah menunjuk sebuah bangku kosong di dekat mereka.
“Kita isi formulir di sana.” Vika berdiri dan berjalan mendahului.
Setelah duduk bersama, Nyla siap mengisi formulir yang sudah diberikan oleh Vika. Ia mengeluarkan bolpoin dari tasnya dan menuliskan identitas diri. Vika duduk di depannya memperhatikan.
“Kak, ini visi dan misi harus diisi juga?” tanya Nyla sambil menunjuk kolom yang dimaksud menggunakan bolpoin.
“Iya, semua harus diisi,” jawab Vika singkat.
“Ok.” Nyla kembali menunduk mengisi formulir. Tulisannya rapi, tata kalimatnya bagus dan isinya pun berbobot. Diam-diam Vika kembali memujanya.
“Nyla, ya? Kemarin yang jadi perwakilan saat pelantikan itu kan?” Nyla menghentikan jemarinya dan mengangguk sementara Vika masih memperhatikan formulir yang selesai diisi dan masih dipegang Nyla.
“Kamu tahu itu artinya apa?” Kini Vika menyelidik Nyla dan tidak mendapati apa pun saat Nyla menggelengkan kepala. Sesaat Vika ragu, tapi sudah menjadi tugasnya untuk memberitahu. “Artinya kamu dapat hak istimewa, semacam wildcard, buat pilih unit kegiatan tanpa seleksi.”
“Benar itu, Kak?” Mata Nyla memancarkan aura kebahagiaan. Namun, semua itu seketika hilang. Seseorang berdeham dan membantahnya. Ia berdiri di antara Nyla dan Vika dengan tangan bersedekap. Entah muncul dari arah mana dia sebelumnya.
“Sudah tidak ada yang namanya wildcard. Semua punya kesempatan yang sama. Harus melewati proses pendaftaran, wawancara tulis dan lisan, seleksi, dan baru ditentukan diterima atau tidak. Lagian kalau kamu memang berkualitas harusnya kamu malu kalau sampai dapat hak istimewa.”
“Saya juga tidak berharap akan mendapat hak istimewa itu. Saya baru tahu tentang itu di meja ini. Beberapa menit yang lalu.”
“Kamu tidak berharap? Munafik, muka kamu itu kelihatan cengar-cengir senang," tuduh pemuda itu.
“Apa salahnya kalau saya senang mendengar kabar membahagiakan? Itu bentuk penghargaan dan saya pun juga berusaha menghargai.” Nyla berdiri dan menyerahkan formulir kepada Vika yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya berdebat.
“Saya sudah isi semuanya, Kak. Terima kasih," kata Nyla.
“Ok, nanti kami hubungi lewat telepon.” Vika menerima formulir itu dengan tersenyum.
“Baik, Kak. Permisi.” Nyla pergi dengan wajah sebal. Dalam hati ia mengutuk untuk tidak bertemu lagi dengan orang bernama Parta itu.
Parta mengambil tempat duduk yang tadinya dipakai oleh Nyla dan mengambil formulir yang dipegang oleh Vika. Ia mengangguk kagum setelah membaca isinya. Dengan prestasi dan pengalaman organisasi yang pernah diikuti, Nyla memang kandidat yang kuat untuk bisa bergabung menjadi anggota baru Badan Eksekutif. Generasi muda yang dibutuhkan. Namun semua yang sempat terlintas di kepala Parta tak lama bersinggah. Ia menutup mata dan mencibir dengan tawa khasnya setelah mengetahui asal-usul Nyla.
“Vik, dia itu dari kampung. Memang nanti bisa mengikuti kinerja kita? Teori sih bagus, praktiknya bisa apa tidak?” Parta memicingkan matanya.
“Bisa tidak sih kamu mengurangi tingkat kesombongan kamu itu. Ini bisa jadi bumerang buat kamu. Dari kampung atau kota itu sama saja. Tergantung bagaimana kita mengolah mereka. Kamu sendiri kan yang bilang kalau semua punya kesempatan sama.” Vika mulai jengah dengan tingkah Parta yang selalu meremehkan orang baru. Ia beranjak dan merebut formulir Nyla untuk kemudian di-input di laptopnya.
***
“Menyebalkan sekali sih jadi orang. Kalau bukan karena lebih senior sudah aku abaikan dia.” Nyla menggerutu seorang diri di meja kantin. Es teh yang dia pesan sudah tandas hingga sedotan yang ia hisap hanya mengalirkan udara dan menimbulkan suara gemuruh.
Saat itu kantin sudah mulai sepi dari kejauhan Yoga mendekat dan duduk di samping Nyla. Kedatangannya tidak mengagetkan juga tidak membuat Nyla menjadi terlihat senang. Ia masih menunjukkan keengganannya.
“Ada apa kok mukanya ditekuk seperti itu?” Yoga menelisik wajah Nyla. Ia mencoba tersenyum dan menghibur, tapi Nyla tetap tidak menunjukkan perubahan.
“Itu, si Parta. Ketemu lagi tadi. Menyebalkan.”
“Kak Parta, Nyla.” Yoga mengoreksi.
“Dia tidak sebaik Kak Yoga. Malas aku panggil kakak ke dia. Huft. Bisa tidak sih kalau aku tidak ketemu dia.” Nyla melirik Yoga berharap Yoga menyampaikan pembelaan untuk mendukung dan menghiburnya.
“Kalau kamu ikut Badan Eksekutif sudah pasti kamu akan selalu ketemu sama dia. Dia aktif banget di unit itu.”
“Terus bagaimana dong?” Nyla mengerucutkan bibirnya membuat Yoga sedikit tertawa. Yoga melihat Nyla seolah masih anak kecil yang suka merajuk padahal mereka hanya selisih dua tahun.
“Ya mau tidak mau kamu harus menjalaninya. Ingat pesanku kemarin tidak? Kalau kita sudah berani memulai maka Tuhan akan memberi kita kekuatan. Kalau kita sudah bisa menjalani tahap awal maka Tuhan akan selalu menyertai hingga tahap akhir. Siapa yang setia di jalan itu, dia yang kuat dan yang akan berhasil. Kamu baru bertemu Parta, mungkin ke depan ada yang lebih menyebalkan dari pada dia. Kamu harus siap untuk itu.” Nyla mengangguk pelan dan memandang wajah Yoga kemudian tersenyum.
Mereka sudah terlihat akrab dan bisa saling bertukar pengalaman. Nyla merasa nyaman dengan perlakuan Yoga padanya. Tipe seorang kakak yang menjaga dan menasihati adiknya. Bagi Yoga, Nyla adalah sosok gadis yang polos dan cerdas.
Yoga melihat sosok dirinya sendiri ketika melihat Nyla. Jika mengingat pertama menjadi mahasiswa, Yoga juga tidak bisa bergaul dengan banyak orang karena merasa berbeda. Tapi pada bagian ini, Nyla tidak bisa disamakan. Ia memiliki keberanian yang bisa membuat dirinya semakin cemerlang. Yoga ingin membantu dalam hal itu untuk mengobati kekecewaannya pada diri sendiri.
“Terima kasih Kak Yoga. Aku senang bisa berkenalan dengan Kak Yoga.” Nyla tulus menyampaikan terima kasih. Wajahnya kini sudah sepenuhnya kembali pada Nyla yang ceria dan penuh semangat. Ia tidak pernah menyangka akan memiliki teman senior yang baik dan begitu membantu.
“Sama-sama. Aku juga senang bisa berkenalan dengan Nyla. Setiap hal baru itu memang tidak mudah, tapi kamu tidak boleh menyerah.”
Mereka menyantap bakso yang sudah diantarkan oleh pedagang. Sesekali Yoga melihat wajah Nyla begitu pula sebaliknya hingga beberapa kali mereka saling bertatapan dan tertawa bersama.
Mendapat teman dengan kepribadian yang sama memang menyenangkan. Kita merasa memiliki teman berjuang yang bisa saling mendukung dan menguatkan. Kadang kita terlalu sibuk dengan hal yang tidak kita inginkan hingga membuat kita tidak menyadari bahwa Tuhan selalu mengirimkan teman-teman itu kepada kita. Jika Tuhan mendekatkan kita pada orang yang menurut kita menyebalkan –seperti halnya Parta bagi Nyla—kita selalu menggerutu padahal itu juga merupakan cara Tuhan untuk membuat kita semakin kuat dan tumbuh berkembang.
Setelah selesai makan Yoga dan Nyla berpisah. Masing-masing berpamitan untuk pulang. Waktu perjumpaan mereka tidak pernah direncanakan sehingga kata perpisahan pun terasa ringan dilayangkan. Belum pernah mereka bertukar nomor telepon tapi mereka selalu percaya bahwa ada saat untuk mereka bertemu dan berguna untuk satu sama lain.
Nyla melambaikan tangan dan mendahului meninggalkan meja kantin. Sementara Yoga menunggu punggung Nyla menghilang di balik pepohonan kemudian mengambil kunci motor di sakunya. Ia berjalan ke arah parkiran dan mendapati seseorang sudah menunggunya. Orang itu duduk di atas motornya dan menatap dengan sorot mata yang tajam.
Selamat membaca dan mohon masukannya. :)
Sudah hampir tiga puluh menit Parta mondar-mandir di parkiran motor. Ia menunggu Yoga yang tidak ada kabarnya meskipun sudah dihubungi beberapa kali. Karena tidak kunjung datang, Parta pun memainkan game di handphone-nya dengan naik di atas motor Yoga. Langkah kaki mulai terdengar jelas dan Parta menghentikan gerak tangannya lalu mengarahkan pandangannya pada sosok yang semakin mendekat. Yoga sudah tiba dengan langkah yang tenang seolah tidak peduli dengan tatapan Parta. Dia tahu bahwa Parta akan mencarinya karena sedari tadi handphone-nya bergetar dan memperlihatkan nama pemuda itu. Kali ini orang itu sudah berada di depannya dan tak bisa diabaikan lagi. “Ada apa?” Yoga pura-pura tidak mengetahui maksud kedatangan Parta yang saat itu tetap duduk bergeming di atas motor. “Ke mana saja? Dihubungi susah sekali. Punya hobby baru?” Pertanyaan dengan nada tinggi keluar dari mulut Parta. Dia tipe orang yang tidak mau diabaikan. “
Menjadi seorang mahasiswa tidak jauh berbeda dengan siswa SMA. Yang membedakan hanya lah pakaian yang mereka kenakan. Pakaian yang bebas dari seragam sehingga memungkinkan adanya persaingan jati diri melalui fashion. Selebihnya sama. Tetap duduk di bangku kelas dan mendengarkan dosen mengajar di depan kelas. Belajar mulai pagi hingga siang hari –meskipun ada beberapa yang memilih jadwal khusus dari siang hingga malam. Begitulah kesan pertama Nyla sebagai mahasiswa. Semester pertama di bangku kuliah lebih banyak digunakan oleh mahasiswa baru seperti Nyla untuk mempelajari beberapa teori. Sebagian besar aktivitas selalu berjibaku dengan buku. Perpustakaan menjadi pilihan Nyla untuk memperdalam teori mengenai teknik pertanian. Tidak sulit bagi Nyla karena dia berasal dari daerah pedesaan yang acap dengan dunia pertanian. Air, tanah, dan tanaman sudah seperti saudara bagi Nyla. “Mengapa Kak Yoga memilih menekuni teknik informatika?” “Pertama karena buat
Hari Minggu ini Nyla ditemani Yoga untuk membeli beberapa keperluan, khususnya keperluan untuk latihan kepemimpinan. Mereka lebih memilih pusat perbelanjaan alih-alih ke toko khusus. Selain karena harga yang bersaing –berkemungkinan mendapat yang lebih murah— barang yang ditawarkan pun jauh lebih beragam dan mereka juga tidak perlu berpindah-pindah ke tempat yang jauh. Yoga berkeliling di lorong tersendiri saat mereka berada di toko alat perkemahan. Ia berada di deretan topi yang dengan aneka jenis dan warnanya. Satu topi rimba berwarna hijau tua dengan jahitan berpola daun semanggi di bagian depannya menjadi pilihan Yoga. Diraihnya topi itu dan dibawanya ke kasir. Setelah melakukan pembayaran, segera ia memasukkan topi itu ke dalam kantong belanja yang sedari tadi ia bawa. Berharap Nyla tidak mengetahui. Ia akan memberikannya sebagai kejutan saat pulang mengantarnya. “Ada yang ingin dibeli?” Yoga mendekati Nyla yang sedang menunduk memperhatikan beberapa gantungan k
Di depan basecamp unit kegiatan, sebelum mereka berangkat menuju tempat perkemahan Renata membagi scraf pada para peserta latihan kepemimpinan. Vika dan Parta sudah berada di depan sementara Alex berada di mobil, siap mengangkut segala perlengkapan dengan beberapa teman yang lain. “Lima belas menit lagi kita akan berangkat. Pastikan keperluan pribadi kalian tidak ada yang terlewatkan. Semua akan naik kendaraan yang sudah disediakan panitia. Perjalanan kurang lebih tiga jam dan sampai di sana kita akan langsung melakukan kegiatan. Jadi, manfaatkan waktu perjalanan dengan baik,” jelas Vika memberi instruksi pada peserta yang ada di depannya. Di depan barisan Nyla duduk dengan kaki bersila. Semua duduk di lantai. Di belakang Nyla berbisik beberapa anggota lain yang membicarakan ketampanan Parta. Sosok yang memesona kaum hawa itu terlihat berbeda dengan setelan kaos berwarna hijau tua berpadu celana pantalon dengan warna senada juga sepatu gunung yang s
“Kamu tidak istirahat? Yakin mau masuk hari ini?” tanya Yoga di depan pintu pagar kos Nyla. Yoga sudah terbiasa menjemput Nyla saat mereka ada jam kuliah dengan waktu yang bersamaan. Seperti hari ini, sepulang dari latihan kepemimpinan Nyla memutuskan untuk mengikuti perkuliahan yang memang terjadwal di siang hari. “Aku tidak mau ketinggalan satu pertemuan pun,” kata Nyla sambil menerima helm yang disodorkan Yoga. “Gadis yang rajin,” Yoga mengelus puncak kepala Nyla dari atas motornya. Setelah menggunakan helm dengan baik, Nyla naik ke atas motor Ninja warna merah milik Yoga. Mereka meluncur ke kampus tercinta. “Aku langsung ke kelas ya, Kak,” kata Nyla seraya menyerahkan helmnya pada Yoga. “Tunggu,” Yoga memegang tangan Nyla. Ia menatap Nyla dengan lembut. “Semangat ya,” lanjutnya. “Pasti, Kak Yoga juga ya. Daaa.” Yoga membalas lambaian tangan Nyla dengan masih duduk di atas motornya. Yoga bisa melihat senyum dan kegir
Dalam beberapa hari Nyla mencoba menghindari Yoga. Bayangan Vika yang menyukai Yoga membuatnya enggan untuk lebih dekat dengan Yoga hingga semuanya menjadi jelas. Ia merasa bersalah sudah menjalin hubungan akrab dengan Yoga dan akan menjadi rasa yang terus tidak nyaman jika ia lanjutkan. Setelah mengetahui kenyataan Vika menyukai Yoga, seolah Nyla adalah orang yang tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih atas segala sikap baik yang diterima dari Vika. Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla di atas nakas bergetar. “Aku di depan kos kamu, Ny. Kamu di mana?” Tampilan pop up menunjukkan detail isi pesan yang dikirimkan oleh Yoga. Nyla melanjutkan menyisir rambutnya di depan kaca. Ia mengabaikan pesan itu. Trtrtrtrtrt….. Lagi. “Aku tunggu kamu ni, buruan ya, sudah mulai panas ini, nanti kita bisa telat.” “Maaf, Kak. Aku lupa memberitahu. Aku sudah di kampus, tadi berangkat buru-buru.” Nyla mengetik pesan balasan u
Dua minggu sejak penolakan, Nyla merasakan sepi yang semakin menjadi. Di luar urusan perkuliahan, ia tidak memiliki teman. Pun juga ia tidak menghabiskan waktu lama di kampus. Seusai jam kuliah ia menyempatkan diri ke perpustakaan untuk meminjam buku kemudian pulang dan menghabiskan waktu di kos. Jika ada pertemuan di unit organisasi baru dia akan pulang sedikit lebih terlambat, itu pun seminggu sekali. Perasaan seperti itu bukan hal baru bagi Nyla. Waktu masih sekolah ia sering kesepian. Dulu dengan kesepian ia bisa menjadi dirinya sendiri dan bisa menjadi pribadi yang lebih produktif. Tapi, berbeda dengan saat ini. Kebiasaannya bersama dengan Yoga membuat dia mulai bergantung pada kenyamanan semu itu. Ingin rasanya Nyla bertanya tentang keadaan Yoga pada Vika. Dia pasti tahu tentang Yoga karena mereka teman sekelas. Namun itu bukan pilihan yang baik. Seperti kertas yang dilempar ke bara yang menganga tentu akan keluar api yang menghanguskannya. Ia tidak ingin menye
“Jadi waktu itu kamu ajak dia keluar malam? Kamu tidak aneh-aneh kan sama dia? Kamu tidak perlakukan dia seperti kamu perlakukan wanita di luar sana kan?” cecar Vika pada Parta. Dari kejauhan Vika sesekali melirik Parta yang sedang berlaku seperti anak kecil dimarahi ibunya. Vika sebagai ketua unit organisasi menggandeng Parta sebagai wakilnya karena nilai akademis dan kecakapannya dalam menjalin komunikasi. Ia tahu bahwa di luar lingkungan kampus Parta akan menjadi orang yang berbeda, tapi ia memiliki profesionalitas yang bisa diandalkan. Kehidupan pribadinya sangat jarang ia bawa dalam urusan organisasi. Kedewasaan Vika dalam menilai seseorang itu juga lah yang membuat Parta nyaman berteman dengan Vika bahkan sesekali bercerita tentang kehidupannya. “Sudah?” Satu kata yang keluar dari mulut Parta terasa mengisyaratkan kalau dirinya ingin dipukul oleh Vika yang sudah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Aku serius Parta! Nyla itu gadis baik-bai
“Selamat datang.” Parta membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nyla untuk turun. Setelah menunda dua hari, akhirnya Parta berhasil meyakinkan Nyla untuk pergi ke rumah ibunya. ‘Menginap’ kata itulah yang membuat Nyla harus berpikir ulang untuk mengatakan mau atau tidak mau. “Ini rumah siapa?” tanya Nyla yang masih belum diberitahu Parta. Terdengar suara pintu dibuka dari rumah sederhana itu. Nyla pun menoleh dan melihat wanita paruh baya tersenyum serta melambai padanya. Mata Nyla beralih ke Parta dengan penuh tanya, sayangnya Parta hanya mengangkat bahu dan langsung menggandeng tangan Nyla dan membawanya menghampiri pemilik rumah itu. “Kalian sudah datang?” sapa Ratna yang langsung memeluk Nyla. “Kamu benar-benar cantik, persis seperti yang dikatakan Parta. Pantas saja dia tergila-gila sama kamu,” imbuh Ratna usai mereka berpelukan. “Mama,” kata Parta memberitahu Nyla yang masih kebingungan. “Mama?” tanya Nyla pada Parta de
“Kak Parta? Ini benar, kan?” Nyla membulatkan matanya tak percaya. Pemuda yang berdiri tegap di depannya terlihat lebih sempurna daripada pemuda yang suka usil dan menyebalkan yang ada dalam ingatannya. Pemuda di depannya terlihat lebih ramah dan dewasa. Wajahnya lebih bersih seperti habis bercukur. Tatanan rambutnya juga lebih dewasa. Tapi, satu hal yang meyakinkan Nyla, aroma mint yang berhasil dihidunya. Sementara Nyla masih sibuk membandingkan pikiran dan kenyataan yang ada di depannya, Parta mengangguk dan melebarkan senyumnya sebagai jawaban.Angin kerinduan yang sangat lama bergemuruh di hati Nyla seperti mendapat kebebasan menyambut tuannya. Nyla merentangkan tangan dan langsung menghambur memeluk Parta. Menghirup sampai puas aroma yang menenangkan hatinya. Ia tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tidak peduli bahwa hal yang dilakukan mungkin akan membuatnya malu saat menyadarinya. Tidak peduli apakah akan mendapat penolakan—yang pa
“Hai, Ny. Selamat, ya.” Renata dan Alex yang menggendong seorang anak kecil menghampiri Nyla. Hari itu Renata juga diwisuda. Berbeda dengan Alex yang justru menunda wisudanya karena lebih memilih untuk terus bekerja. Sudah hampir setahun ia menjadi kepala keluarga setelah pernikahan tiba-tiba yang mereka langsungkan karena kehamilan Renata yang di luar rencana.Nyla pernah menggeleng tak percaya waktu mendengar kabar itu, tapi melihat kebahagiaan keduanya rasanya tidak adil jika Nyla berpikir negatif tentang hubungan dan bentuk tanggung jawab yang sudah dengan berani mereka ambil. Sudah saatnya untuk berpikir terbuka, bukan berarti setuju dengan hal semacam itu, hanya perlu bijaksana untuk menyikapinya dan perlu menanggalkan pemikiran kolot yang sering mengatasnamakan kebenaran.“Terima kasih dan selamat juga untukmu, Ren. Kamu luar biasa,” tambah Nyla. Ia menggoda si kecil yang terlihat sibuk sendiri di gendongan Alex.Pertemuan
Nyla menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya. “Halo,” kata Nyla dengan ragu-ragu. “Hai, Ny!” teriak orang di seberang telepon. Suaranya begitu renyah, semangat, penuh keceriaan. Namun demikian, Nyla masih sulit mengidentifikasi suara yang melewati jarak dan segala sistem untuk bisa sampai ke telinganya itu. Ada jeda beberapa saat ketika Nyla masih sibuk dengan pikirannya hingga suara di ujung telepon kembali mengambil alih suasana. “Ny, kamu masih di situ?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir. “Kak Vika?” tanya Nyla dengan agak ragu. Cara pemilik suara itu khawatir mengingatkan Nyla pada sosok Vika yang memang sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya, sama sekali setelah kepindahannya bersama dengan Yoga dan tepatnya setelah peristiwa yang dialami Parta di tempat usaha yang kelola oleh sahabatnya itu. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Nada khawatir itu sudah kembali cerita lagi. “Hai, Kak. Ya ampun. Se
Percayalah, apa pun yang kita lakukan itu akan terasa menyenangkan dan menantang saat semuanya masih baru. Seperti halnya memuaskan rasa penasaran, kita ingin terus menaklukkan dan membuat diri kita menjadi pemenang. Mulai semester awal dengan segala ambisi yang tertanam, nyatanya Nyla mengalami banyak pengalaman dan rintangan yang semakin membuatnya merasa lengkap meniti setiap jejak langkah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Teman yang semakin berkurang, tanggung jawab yang semakin bertambah dan hanya bisa diselesaikan, dilakukan, seorang diri. Benar-benar sendiri karena setiap orang memiliki kesibukan yang sama dan tanggung jawab yang sama beratnya. Mengabaikan semua perasaannya, Nyla berhasil membulatkan tekad awalnya. Kesibukan dan keberhasilan sudah di depan mata dan siap menyambut telapak tangannya. “Satu minggu ini kamu tidak perlu datang jika kedatanganmu hanya untuk bekerja. Kamu boleh datang jika kamu memang perlu untuk kebutuhan kuliahmu. Bukan u
Nyla ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar di senyum Bela saat sahabatnya itu mengenakan gaun sederhana yang akan digunakan untuk acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Robi. Beberapa kali ia keluar dan masuk kembali ke kamar pas untuk mencoba beberapa gaun dan meminta pendapat Nyla. Ada rasa bangga yang terbersit di benak Nyla saat menyadari bahwa dirinya menjadi pribadi yang dipercaya untuk memberi pendapat dalam hal yang sangat penting bagi sahabatnya itu. “Bagaimana? Aku lebih suka yang warna emas, tapi kurasa aku tidak bisa menahan untuk mencoba yang satu ini dan rasanya sangat pas dan cantik,” celoteh Bela yang sedang memutar badannya dan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Sementara itu Nyla duduk di belakangnya dan terus mengamati. “Kamu hanya mengagendakan untuk makan malam satu kali. Tidak mungkin dalam waktu yang sama kamu akan berganti pakaian.” Nyla menatap Bela yang sekarang membelakangi cermin dan sedang menunjukkan penampilanny
Bela tidak berhenti berjalan ke sana ke mari di antara beberapa bangku pengunjung. Beberapa karyawan yang sedang membersihkan kafe malam itu sesekali mencuri pandang dan menaruh curiga pada sikap tidak biasa dari atasannya itu. Sesekali juga mereka berbisik, namun tak ada satu pun yang berani bertanya secara langsung. Biasanya Bela akan menyampaikan beberapa instruksi yang menurut karyawannya sangat membosankan, instruksi yang selalu diulang-ulang setiap mereka mulai menutup kafe. Nyla yang baru turun dari lantai dua melihat pemandangan itu. Matanya beralih dari satu sisi kafe ke sisi yang lainnya. Beberapa karyawan yang sudah selesai beres-beres namun masih berkumpul dan tidak segera pulang. Mereka saling mendorong satu sama lain untuk mendekati Bela. Bela yang mendapat perhatian dari karyawannya itu juga menjadi perhatian Nyla. Ada apa dengan mereka hari ini? “Ada apa? Mengapa kalian belum pulang?” tanya Nyla saat mendekati karyawannya yang sudah berganti
Vika terbahak-bahak ketika mendengar Yoga menceritakan kemurungan Parta karena cemburu dan takut Nyla memiliki pacar baru. Suasana meja makan begitu renyah, tidak hanya dentang sendok garpu yang beradu dengan piring. Vika dan Parta pun lebih sengit, terutama Vika, mengejek satu sama lain. Parta terus memprotes masakan Vika yang jelas hanya mengada-ada karena buktinya ia melahap semua makanan. Belum lagi Yoga yang terus membela Vika membuat Parta semakin terpojok. Tapi tidak masalah, itu semua hanya canda. Mereka sadar bahwa jauh dari keluarga membuat mereka harus saling menguatkan satu sama lain. Dan itu cara yang mereka pilih. “Jadi? Bagaimana? Kamu mau balik, Par? Kalau kamu tidak balik, bisa-bisa Nyla diambil cowok lain.” “Dalam imajinasimu, Vik! Nyla tidak mungkin semudah itu melupakan cowok sekeren aku. Lagian aku yakin banget kalau itu cowok tidak bisa menyaingi kelebihanku.” “Ingat, Par. Nyla pernah suka loh sama aku,” sela Yoga memberi penekan
“Apa?” Parta masih menyimak cerita Bela namun tidak yakin dengan pendengarannya saat ini. “Tidak perlu heran!” tegas Bela yang bisa dipastikan kekesalannya. Tidak ada orang yang suka mengulang-ulang perkataan yang baru saja selesai disampaikan, begitu juga dengan Bela. “Kamu jangan merusak semangat aku dong Bel! Yang benar saja? Nyla tidak mungkin semudah itu jatuh cinta sama orang lain.” Parta menghela napas dan menghentikan aktivitasnya. Fokusnya hanya pada earphone yang memenuhi telinganya. Cerita panjang yang disampaikan Bela diakhiri dengan berita yang ingin ditolak oleh Parta. Pemuda itu sudah tidak fokus membaca buku di depannya. Jemarinya juga beberapa kali salah mengetik. “Aku tidak bilang kalau Nyla jatuh cinta sama itu cowok. Aku cuma bilang kalau ada cowok yang suka sama Nyla dan berusaha mendekati Nyla.” “Terus?” tanya Parta. Ia tidak sungguh bertanya karena jawabannya tentu akan membuatnya berpikir lebih dalam. “Terus ak