Dua minggu sejak penolakan, Nyla merasakan sepi yang semakin menjadi. Di luar urusan perkuliahan, ia tidak memiliki teman. Pun juga ia tidak menghabiskan waktu lama di kampus. Seusai jam kuliah ia menyempatkan diri ke perpustakaan untuk meminjam buku kemudian pulang dan menghabiskan waktu di kos. Jika ada pertemuan di unit organisasi baru dia akan pulang sedikit lebih terlambat, itu pun seminggu sekali.
Perasaan seperti itu bukan hal baru bagi Nyla. Waktu masih sekolah ia sering kesepian. Dulu dengan kesepian ia bisa menjadi dirinya sendiri dan bisa menjadi pribadi yang lebih produktif. Tapi, berbeda dengan saat ini. Kebiasaannya bersama dengan Yoga membuat dia mulai bergantung pada kenyamanan semu itu.
Ingin rasanya Nyla bertanya tentang keadaan Yoga pada Vika. Dia pasti tahu tentang Yoga karena mereka teman sekelas. Namun itu bukan pilihan yang baik. Seperti kertas yang dilempar ke bara yang menganga tentu akan keluar api yang menghanguskannya. Ia tidak ingin menyesal, ia tidak ingin membuat harapan lagi. Baik untuk dirinya maupun untuk Yoga.
Menjelang ujian akhir semester banyak mahasiswa memenuhi kampus untuk belajar bersama. Basecamp unit kegiatan adalah tempat ternyaman untuk menghindar dari keramaian.
Nyla sebagai salah satu anggota inti di organisasi diberi hak memiliki kunci cadangan untuk bisa menggunakan ruangan itu. Ia tak melewatkannya. Menjelang sore hari, satu jam sebelum rapat dimulai, ia sudah berada di sana. Dia mengira dirinya yang tiba paling awal ternyata di sana sudah ada Vika dan juga Parta. Ketua dan wakil itu selalu terlihat solid untuk urusan organisasi. Pernah Nyla berpikir ‘mengapa mereka tidak jadian saja’ tapi kembali ia mengingat bagaimana sikap profesionalisme mereka.
“Ny, aku dengar kamu putus sama Yoga, ya?” Parta tanpa sungkan langsung melempar pertanyaan begitu Nyla memasuki ruangan.
Nyla mengabaikan pertanyaan itu. Ia lebih memilih berjalan lurus dan duduk di meja paling ujung. Keinginannya untuk menyendiri sepertinya tak bisa terkabulkan. Satu orang menyebalkan itu tidak akan pernah berhenti mengejeknya.
“Sepertinya patah hati benar ini?” Parta masih tidak puas melihat Nyla yang tanpa reaksi. Nada bicaranya begitu mengejek dengan volume suara yang sengaja tinggi.
“Shuuut…” Vika memperingatkan Parta untuk tenang dan tidak mengganggu Nyla.
“Aku dengar, kamu suka sama cowok lain? Siapa itu, Ny? Jangan bilang kalau cowok itu aku?” Kepongahan Parta yang sudah lama tak didengar kini muncul kembali ke permukaan, semakin terdengar menyebalkan saat Nyla sedang tak ingin dihibur.
“Anda terlalu berisik!” kata Nyla yang sudah mulai berani bersikap ketus.
“Jadi benar? Waw! Aku tidak habis pikir, ternyata kamu bisa mempermainkan perasaan cowok seperti Yoga.” Parta masih pada sikapnya pongahnya, duduk bersandar dengan santai dan tangan bersedekap. Ia menggelengkan kepalanya dan berdecak. Setengah suaranya ditujukan khusus pada Nyla yang masih memasang wajah masam.
“Aku tidak pernah menjadi pacar kak Yoga, Parta!” Nyla berani memanggil nama Parta secara langsung. Matanya nyalang menatap Parta dengan marah. Ia sudah sampai pada ambang kesabarannya.
“O, ya? Terus selama ini kalian dekat untuk apa saja? Jangan bilang tidak melakukan apapun,” ledek Parta semakin menjadi. Senyumnya yang mengejek membuat Nyla semakin gerah dan hendak beranjak pergi, jika Vika tak menghentikannya.
“Sudah Par!” Vika mencoba menghentikan mulut Parta yang tidak bisa berhenti menertawakan Nyla.
“Kita diskusi persiapan rapat saja,” ajak Vika mendekati Nyla dan mengajaknya duduk kembali.
Duduk bersama dengan Vika membuat Nyla semakin mengingat sosok Yoga. Dari sorot mata dan wajah riang Vika, ia berusaha menemukan Yoga. Semakin ia menelusuri semakin ia menemukan bayangan Yoga itu dalam kepalanya. Nyla takut, semakin dalam ia mencoba semakin jelas pula gambar yang ditemukannya. Bukan Vika yang dilihatnya, tapi Yoga yang ada di pikirannya.
“Halo? Ada apa, Ny? Apa ada yang aneh dengan wajahku?” tanya Vika yang merasa membuyarkan lamunan Nyla.
Nyla hanya menggelengkan kepalanya kemudian kembali fokus pada materi yang ditunjukkan Vika. Konsentrasinya tidak benar-benar tertuju pada pemaparan Vika. Bayangan Yoga masih sesekali melintas. "Ini tidak benar," batin Nyla.
“Aku mau kamu serius saat rapat,” bisik Parta tepat di dekat telinga Nyla. Raut canda yang menyebalkan sebelumnya kini telah berganti menjadi lebih serius. Ia memang selalu bisa menempatkan diri.
Acara olahraga antar jurusan di fakultas teknik adalah agenda rapat hari itu. Berbagai cabang olahraga telah disusun dengan komposisi yang seimbang. Setiap seksi sudah mendapat pengarahan untuk persiapan. Mereka mengagendakan kegiatan olahraga dapat berjalan sebelum libur semester yang artinya persiapan harus sudah matang sebelum ujian semester dilaksanakan sehingga mereka—terutama anggota baru—dapat mempersiapkan ujian dengan maksimal.
Seperti pesan Parta, Nyla sungguh-sungguh memperhatikan dan mencatat setiap detail hasil diskusi. Segala hal ia ketik serinci-rincinya. Sebagai seorang sekretaris tentu pekerjaan mencatat dianggap mudah oleh orang lain. Saking mudahnya banyak yang menganggap itu tugas yang kurang berkelas. Bagi Nyla tugas itu patut disyukuri karena belajar selalu dimulai dari awal, dimulai dari hal yang mudah. Melalui catatannya Nyla merekam semua proses dalam organisasi. Hal itu bisa menjadi bekal kelak saat ia ingin berkembang menjadi lebih tinggi. Semua itu sudah dipersiapkan dan direncanakan Nyla.
Usai rapat kerja, seperti biasa, Nyla menjadi kelompok yang terakhir pulang setelah merapikan kembali catatannya. Tinggal berdua dengan Parta karena Vika sudah lebih dulu pergi dengan alasan acara keluarga.
“Berhasil kan rapat kali ini. Kamu bisa fokus saat rapat meskipun kamu sedang ada masalah pribadi,” kata Parta memberi penegasan juga pujian, tapi Nyla tidak menggubrisnya. “Tapi sepertinya hanya saat rapat. Sekarang sudah kembali meratapi nasib ya?” ledek Parta karena tidak mendapat tanggapan dari Nyla.
“Tinggalkan aku sendiri,” kata Nyla lirih.
“Apa? Aku tidak dengar.” Parta pura-pura mencondongkan telinganya.
“Aku bilang tinggalkan aku sendiri!” tambah Nyla lebih keras dari sebelumnya.
“Hei, tenang nona. Aku di sini mau menghibur kamu. Kok malah jadi sasaran sih? Mau aku ajak jalan?” tawar Parta. “Janji deh, ini bakalan asyik,” lanjut Parta sedikit berbisik. Kini ia berdiri lebih dekat dengan Nyla yang masih sibuk merapikan boxfile notula.
“Sudah hampir malam. Aku harus pulang," jawab Nyla berusaha sabar.
“Justru itu, semakin malam semakin asyik. Pikiran kacau kamu bisa segera dihalau. Bagaimana? Mau?” bujuk Parta.
“Ke mana?” Nyla menghentikan aktivitas tangannya, semua file sudah selesai ia rapikan. Kini wajahnya mendongak, menatap Parta yang menjulang tinggi berdiri di hadapannya.
“Sudah yuk, ikut saja!” Parta mengambil berkas yang dipegang Nyla dan memasukkan ke dalam lemari dengan asal. Ia kemudian meraih tangan Nyla dan menariknya untuk keluar.
Saat pikiran sedang kacau terkadang apa yang kita lakukan terasa berbeda dengan yang kita inginkan. Sepertinya keputusan bukan lagi kendali kita, tapi sesungguhnya alam bawah sadar telah memilihnya untuk kita. Seperti yang dilakukan Nyla saat menyetujui ajakan Parta. Jika dalam keadaan normal ia akan berpikir banyak kali untuk mengatakan ‘iya’. Namun menjelang malam itu Nyla tidak berpikir panjang, ia hanya melangkahkan kakinya dengan ringan mengikuti Parta yang ternyata membawanya berkeliling jalan tanpa tujuan.
“Kasih tahu deh, sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Nyla setelah cukup waktu lama Parta tak juga menghentikan mobilnya.
“Ke tempat yang indah,” jawab Parta singkat membuat Nyla semakin penasaran sekaligus tidak tenang. Ia tetap fokus pada jalanan yang cukup ramai lancar.
“Kamu belum pernah keluar malam ya?” tebak Parta setelah melihat Nyla yang gelisah.
“Pernah kok,” jawab Nyla singkat.
Parta tertawa ringan mendengar jawaban Nyla. Ia tahu gadis itu berbohong. Parta cukup paham dengan gadis-gadis di sekitarnya dan Nyla bukanlah gadis yang mengenal dunia malam. Udara malam seperti tak pernah menyentuh kulitnya.
Nyla semakin gelisah, duduknya terlihat tidak nyaman. Beberapa kali ia menengok ke luar jendela dan selalu memperhatikan dengan sungguh arah jalan dan papan petunjuk arah yang mereka lewati. Semakin gelisah lagi saat Parta mempercepat mobilnya dan memasuki jalanan yang mulai sepi.
“Kita sudah sampai.” Parta melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. Dari dalam mobil Nyla mendengar Parta berteriak dengan lantang. Teriakan bebas, melepaskan ekspresinya, mungkin juga kelelahannya.
Nyla masih tertegun di dalam mobil. Jendela yang setengah terbuka mengantarkan angin malam yang tak pernah dihirupnya di kota itu. Ia terkagum dengan pemandangan yang ada di depan matanya, namun ia juga takut dengan kesunyian alam di tempat itu.
Sebuah danau di tepi kota. Menyajikan pemandangan luas dengan langit yang berhias bintang-bintang dan kerlipan air danau yang memancarkan cahaya lampu dari kejauhan. Suara angin yang terkadang menerpa, deru kendaraan yang amat pelan dan jauh, serta bunyi hewan malam yang tak bisa ia deskripsikan.
“Ayo keluar,” Parta menghampiri Nyla, membuka pintu di sebelah kirinya dan meminta gadis itu untuk keluar dari mobil.
Nyla menurut, ia menikmati udara segar yang benar-benar terasa murni. Sudah lama ia rindu dengan kampung halamannya. Seolah sedang mengobati kerinduannya, ia menghirup dalam-dalam udara malam itu sebanyak-banyaknya. Aroma air berpadu angin yang bersih dari segala polusi. Pepohonan yang pelan mengantarkan kesejukan. Tenang, Nyla merasakannya.
Mereka berdua bersandar di depan mobil. Nyla masih memejamkan mata menikmati suasana dan Parta memperhatikannya dengan teliti. Ia tidak salah, selain cerdas gadis itu juga polos. Garis wajahnya semakin lama semakin memesona.
“Ada apa?” Nyla membuka matanya dan langsung mendapati Parta memperhatikan dirinya.
“Senang kan? Aku memang selalu tahu apa yang diperlukan wanita,” Parta tersenyum dan menjawab dengan tenang. Ia tidak merasa malu karena ketahuan memperhatikan gadis itu, justru ia membanggakan dirinya yang berhasil membuat Nyla menikmati malam.
“Hmmm. Terima kasih.” Nyla kembali memejamkan matanya. Berkelana menuju dunia yang menjadi impiannya.
“Jadi waktu itu kamu ajak dia keluar malam? Kamu tidak aneh-aneh kan sama dia? Kamu tidak perlakukan dia seperti kamu perlakukan wanita di luar sana kan?” cecar Vika pada Parta. Dari kejauhan Vika sesekali melirik Parta yang sedang berlaku seperti anak kecil dimarahi ibunya. Vika sebagai ketua unit organisasi menggandeng Parta sebagai wakilnya karena nilai akademis dan kecakapannya dalam menjalin komunikasi. Ia tahu bahwa di luar lingkungan kampus Parta akan menjadi orang yang berbeda, tapi ia memiliki profesionalitas yang bisa diandalkan. Kehidupan pribadinya sangat jarang ia bawa dalam urusan organisasi. Kedewasaan Vika dalam menilai seseorang itu juga lah yang membuat Parta nyaman berteman dengan Vika bahkan sesekali bercerita tentang kehidupannya. “Sudah?” Satu kata yang keluar dari mulut Parta terasa mengisyaratkan kalau dirinya ingin dipukul oleh Vika yang sudah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Aku serius Parta! Nyla itu gadis baik-bai
Pucuk dicita ulam pun tiba. Tak disangka Nyla membuntuti Parta hingga mendekati parkiran mobil. Nyla yang terengah mengejar akhirnya sampai dan membungkuk mengatur napas. Di depannya Parta terus memasang senyum mengejek dengan tangan bersedekap di depan dada. Gaya khasnya yang menyombongkan diri merasa dibutuhkan dan diandalkan. “Mereka menolak pesananku,” kata Nyla masih dengan napas yang belum teratur. “Aku tahu itu.” Jawaban tenang Parta membuat Nyla melongo. Orang itu selalu merasa tahu lebih awal. Sangat menyebalkan apalagi dengan senyum seringainya. Ia menelengkan kepalanya, satu gesture untuk menyuruh Nyla masuk ke dalam mobil. “Aku sudah katakan kalau aku ada janji dengan temanku.” Parta kembali mengingatkan sembari memasang seatbelt sebelum dia menancap gas keluar dari area parkir kafe itu. “Ya, aku tahu. Aku hanya akan diam dan menunggu untuk diantar pulang.” Nyla memandang Parta meyakinkan diri dengan keputusannya.
Berbagai kegiatan di luar akademis ditiadakan selama ujian semester. Semua mahasiswa bertekun dalam belajar untuk mendapatkan nilai terbaik. Selama seminggu penuh Nyla hanya belajar dan belajar. Temannya adalah buku, baik di kos maupun di kampus. Baik di kelas, di taman, di kantin, maupun di perpustakaan. Kunci ruang kegiatan semua dipegang oleh Vika, termasuk kunci cadangan yang sering dibawa Nyla sehingga Nyla tidak bisa memanfaatkan ruang itu untuk belajar. Nyla merasa beruntung dengan kecerdasan yang dimilikinya. Sedikit belajar saja sudah membuat Nyla bisa mengingat semua materi juga cara mengaplikasikannya. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu ia merasa tidak baik jika harus iri dengan kelebihan orang lain. Nyla bisa dikatakan berhasil dalam dunia akademis, namun tak ada yang tahu bagaimana kehidupan melingkupi dan membentuk kepribadiannya. Beruntung, ketegaran yang diwariskan ibunya selalu ia pegang untuk bertahan hidup sesulit apa
Para panitia kegiatan sudah bersiap sejak pagi hari. Mulai dari basecamp, seksi perlengkapan sudah membawa beberapa keperluan untuk dibawa ke gedung olahraga yang telah mereka sewa. Beberapa volunteer dari jurusan diizinkan untuk membantu di belakang. Setelah semua siap, sekitar pukul tujuh secara resmi acara dibuka oleh dekan yang telah diundang. Selanjutnya, pertandingan pun dimulai. Bulu tangkis dipilih sebagai olahraga pembuka untuk menghangatkan suasana. Penonton masih silih berganti sesuai dengan pemain yang bertanding. Jika pemain yang didukung sudah tidak bertanding mereka akan pergi digantikan oleh pendukung dari pemain lainnya. Kesibukan panitia masih seputar seksi perlengkapan dan pertandingan. Keramaian belum kentara hingga pemain yang melaju ke babak semifinal ditentukan. Berikutnya pertandingan yang ditunggu. Futsal. Lebih ramai dari pertandingan sebelumnya. Nyla turut bergabung di tribune untuk meramaikan acara.
“Vik. Kita tukar jadwal ya, hari ini kamu yang atur. Aku tidak bisa bantu. Ada urusan mendesak,” kata Parta. Ia memutuskan mengikuti Vika ke dalam ruang panitia di dekat lapangan. Ada hal yang mengusik pikirannya dan harus segera ia cari tahu. “Sama Nyla?” Vika bertanya karena pertemuan mereka sebelumnya. “Anggap saja begitu. Masih ada Alex sama seksi acara. Aku pergi dulu.” Tatapan Parta bertemu dengan Yoga yang berada di dekat Vika. Sama halnya dengan Parta, Yoga menatap dengan sengit menunjukkan keengganannya karena melihat secara langsung gadis yang pernah didekatinya ternyata berhubungan dengan Parta dan itu tidak hanya anggapan atau isapan jempol belaka. “Okey. Hati-hati,” pesan Vika. Parta pergi ke luar. Yang disampaikan Nyla memang benar. Dia sendiri melihat Bela dengan mata kepalanya sendiri. Tidak ingin dia kehilangan jejak, Parta berlari ke luar mencari ke sekeliling gedung olahraga tapi tidak juga menemukan. Ia kembali ke dalam, kali ini d
“Semua sudah datang? Lengkap?” tanya Vika retoris. Pandangannya beredar. Bibirnya menghitung dengan bantuan telunjuk tangan. Ia mencocokkan jumlah panitia dan mencatatnya pada kertas di papan jalan yang dipegangnya. “Ok. Sebelum kita mulai. Kita ambil sikap doa. Berdoa dimulai.” Vika memimpin. Mereka berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing. Semua menciptakan suasana khusyuk dengan menundukkan kepala. “Berdoa selesai.” Vika menutup sesi berdoa. “Setelah dua hari kita berhasil melaksanakan pertandingan dengan lancar, hari ini adalah hari penentuan. Hari final bagi para pemain dan tim yang lolos di babak sebelumnya. Tentu hari ini akan sangat ramai. Antusias mereka akan lebih menyala, baik dari peserta maupun tim pendukung. Aku sangat berharap semua bekerja dengan sungguh-sungguh. Mohon bantuan dari kalian yang sudah off untuk membantu seksi keamanan. Terjun ke berbagai sudut lapangan, tribune, juga penjagaan bagian luar gedung.” “Sudah pah
“Aku tidak apa-apa, Kak. Hanya luka ringan saja. Tidak perlu dikhawatirkan.” Nyla mencoba melepaskan diri dari pegangan Parta meski jalannya masih sedikit linglung akibat obat pereda pusing yang diminum di rumah sakit. Kondisinya tidak begitu parah. Hanya luka luar di bagian kepalanya dan itu sudah dibalut dengan perban. Pertolongan pertama yang dilakukan Parta untuk Nyla mendapat pujian dari dokter karena dilakukan dengan rapi dan tepat. “Terlalu percaya diri. Aku tidak khawatir sama kamu. Aku cuma tidak mau dianggap menelantarkan kamu. Kan aku yang antar kamu. Bisa digorok Vika kalau dia dengar yang tidak-tidak.” ”Takut banget sih sama kak Vika.” “Dia kan ketua kita.” Setelah menebus obat di apotek, mereka kini dalam perjalanan pulang. Parta akan mengantar Nyla ke kos baru kemudian dirinya kembali ke gedung olahraga. Renata memutuskan untuk mendahului pergi kembali ke gedung setelah memastikan keadaan Nyla baik-baik saja. “Jadi aku h
“Sudah lama menunggu?” Seorang wanita berpenampilan sedikit terbuka mendekati pria yang tengah duduk sendirian. “Lumayan,” jawab orang itu. Dua orang itu duduk di bangku tinggi depan meja bar. Alunan musik masih terdengar ramah di telinga. Pengunjung pun belum terlalu ramai. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Si pria memegang gelas yang berisi cairan bening agak kecokelatan. Es di dalamnya memancarkan kilau saat bertabrakan dengan cahaya lampu yang silih berganti warna. Ditenggaknya minuman itu hingga es di dalamnya berbunyi, beradu dengan gelas bening yang polos. “Aku pikir kamu sibuk dengan pacarmu itu.” Si wanita masih mengamati wajah pria itu dari samping. Ia sedang menunggu minuman yang sama yang masih diracik oleh orang di balik meja. “Orang itu suruhan kamu, kan?” Parta langsung pada inti persoalan. “Kamu selalu terus terang. Yap. Benar sekali.” Sorot mata tajam Parta
“Selamat datang.” Parta membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nyla untuk turun. Setelah menunda dua hari, akhirnya Parta berhasil meyakinkan Nyla untuk pergi ke rumah ibunya. ‘Menginap’ kata itulah yang membuat Nyla harus berpikir ulang untuk mengatakan mau atau tidak mau. “Ini rumah siapa?” tanya Nyla yang masih belum diberitahu Parta. Terdengar suara pintu dibuka dari rumah sederhana itu. Nyla pun menoleh dan melihat wanita paruh baya tersenyum serta melambai padanya. Mata Nyla beralih ke Parta dengan penuh tanya, sayangnya Parta hanya mengangkat bahu dan langsung menggandeng tangan Nyla dan membawanya menghampiri pemilik rumah itu. “Kalian sudah datang?” sapa Ratna yang langsung memeluk Nyla. “Kamu benar-benar cantik, persis seperti yang dikatakan Parta. Pantas saja dia tergila-gila sama kamu,” imbuh Ratna usai mereka berpelukan. “Mama,” kata Parta memberitahu Nyla yang masih kebingungan. “Mama?” tanya Nyla pada Parta de
“Kak Parta? Ini benar, kan?” Nyla membulatkan matanya tak percaya. Pemuda yang berdiri tegap di depannya terlihat lebih sempurna daripada pemuda yang suka usil dan menyebalkan yang ada dalam ingatannya. Pemuda di depannya terlihat lebih ramah dan dewasa. Wajahnya lebih bersih seperti habis bercukur. Tatanan rambutnya juga lebih dewasa. Tapi, satu hal yang meyakinkan Nyla, aroma mint yang berhasil dihidunya. Sementara Nyla masih sibuk membandingkan pikiran dan kenyataan yang ada di depannya, Parta mengangguk dan melebarkan senyumnya sebagai jawaban.Angin kerinduan yang sangat lama bergemuruh di hati Nyla seperti mendapat kebebasan menyambut tuannya. Nyla merentangkan tangan dan langsung menghambur memeluk Parta. Menghirup sampai puas aroma yang menenangkan hatinya. Ia tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tidak peduli bahwa hal yang dilakukan mungkin akan membuatnya malu saat menyadarinya. Tidak peduli apakah akan mendapat penolakan—yang pa
“Hai, Ny. Selamat, ya.” Renata dan Alex yang menggendong seorang anak kecil menghampiri Nyla. Hari itu Renata juga diwisuda. Berbeda dengan Alex yang justru menunda wisudanya karena lebih memilih untuk terus bekerja. Sudah hampir setahun ia menjadi kepala keluarga setelah pernikahan tiba-tiba yang mereka langsungkan karena kehamilan Renata yang di luar rencana.Nyla pernah menggeleng tak percaya waktu mendengar kabar itu, tapi melihat kebahagiaan keduanya rasanya tidak adil jika Nyla berpikir negatif tentang hubungan dan bentuk tanggung jawab yang sudah dengan berani mereka ambil. Sudah saatnya untuk berpikir terbuka, bukan berarti setuju dengan hal semacam itu, hanya perlu bijaksana untuk menyikapinya dan perlu menanggalkan pemikiran kolot yang sering mengatasnamakan kebenaran.“Terima kasih dan selamat juga untukmu, Ren. Kamu luar biasa,” tambah Nyla. Ia menggoda si kecil yang terlihat sibuk sendiri di gendongan Alex.Pertemuan
Nyla menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya. “Halo,” kata Nyla dengan ragu-ragu. “Hai, Ny!” teriak orang di seberang telepon. Suaranya begitu renyah, semangat, penuh keceriaan. Namun demikian, Nyla masih sulit mengidentifikasi suara yang melewati jarak dan segala sistem untuk bisa sampai ke telinganya itu. Ada jeda beberapa saat ketika Nyla masih sibuk dengan pikirannya hingga suara di ujung telepon kembali mengambil alih suasana. “Ny, kamu masih di situ?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir. “Kak Vika?” tanya Nyla dengan agak ragu. Cara pemilik suara itu khawatir mengingatkan Nyla pada sosok Vika yang memang sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya, sama sekali setelah kepindahannya bersama dengan Yoga dan tepatnya setelah peristiwa yang dialami Parta di tempat usaha yang kelola oleh sahabatnya itu. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Nada khawatir itu sudah kembali cerita lagi. “Hai, Kak. Ya ampun. Se
Percayalah, apa pun yang kita lakukan itu akan terasa menyenangkan dan menantang saat semuanya masih baru. Seperti halnya memuaskan rasa penasaran, kita ingin terus menaklukkan dan membuat diri kita menjadi pemenang. Mulai semester awal dengan segala ambisi yang tertanam, nyatanya Nyla mengalami banyak pengalaman dan rintangan yang semakin membuatnya merasa lengkap meniti setiap jejak langkah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Teman yang semakin berkurang, tanggung jawab yang semakin bertambah dan hanya bisa diselesaikan, dilakukan, seorang diri. Benar-benar sendiri karena setiap orang memiliki kesibukan yang sama dan tanggung jawab yang sama beratnya. Mengabaikan semua perasaannya, Nyla berhasil membulatkan tekad awalnya. Kesibukan dan keberhasilan sudah di depan mata dan siap menyambut telapak tangannya. “Satu minggu ini kamu tidak perlu datang jika kedatanganmu hanya untuk bekerja. Kamu boleh datang jika kamu memang perlu untuk kebutuhan kuliahmu. Bukan u
Nyla ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar di senyum Bela saat sahabatnya itu mengenakan gaun sederhana yang akan digunakan untuk acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Robi. Beberapa kali ia keluar dan masuk kembali ke kamar pas untuk mencoba beberapa gaun dan meminta pendapat Nyla. Ada rasa bangga yang terbersit di benak Nyla saat menyadari bahwa dirinya menjadi pribadi yang dipercaya untuk memberi pendapat dalam hal yang sangat penting bagi sahabatnya itu. “Bagaimana? Aku lebih suka yang warna emas, tapi kurasa aku tidak bisa menahan untuk mencoba yang satu ini dan rasanya sangat pas dan cantik,” celoteh Bela yang sedang memutar badannya dan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Sementara itu Nyla duduk di belakangnya dan terus mengamati. “Kamu hanya mengagendakan untuk makan malam satu kali. Tidak mungkin dalam waktu yang sama kamu akan berganti pakaian.” Nyla menatap Bela yang sekarang membelakangi cermin dan sedang menunjukkan penampilanny
Bela tidak berhenti berjalan ke sana ke mari di antara beberapa bangku pengunjung. Beberapa karyawan yang sedang membersihkan kafe malam itu sesekali mencuri pandang dan menaruh curiga pada sikap tidak biasa dari atasannya itu. Sesekali juga mereka berbisik, namun tak ada satu pun yang berani bertanya secara langsung. Biasanya Bela akan menyampaikan beberapa instruksi yang menurut karyawannya sangat membosankan, instruksi yang selalu diulang-ulang setiap mereka mulai menutup kafe. Nyla yang baru turun dari lantai dua melihat pemandangan itu. Matanya beralih dari satu sisi kafe ke sisi yang lainnya. Beberapa karyawan yang sudah selesai beres-beres namun masih berkumpul dan tidak segera pulang. Mereka saling mendorong satu sama lain untuk mendekati Bela. Bela yang mendapat perhatian dari karyawannya itu juga menjadi perhatian Nyla. Ada apa dengan mereka hari ini? “Ada apa? Mengapa kalian belum pulang?” tanya Nyla saat mendekati karyawannya yang sudah berganti
Vika terbahak-bahak ketika mendengar Yoga menceritakan kemurungan Parta karena cemburu dan takut Nyla memiliki pacar baru. Suasana meja makan begitu renyah, tidak hanya dentang sendok garpu yang beradu dengan piring. Vika dan Parta pun lebih sengit, terutama Vika, mengejek satu sama lain. Parta terus memprotes masakan Vika yang jelas hanya mengada-ada karena buktinya ia melahap semua makanan. Belum lagi Yoga yang terus membela Vika membuat Parta semakin terpojok. Tapi tidak masalah, itu semua hanya canda. Mereka sadar bahwa jauh dari keluarga membuat mereka harus saling menguatkan satu sama lain. Dan itu cara yang mereka pilih. “Jadi? Bagaimana? Kamu mau balik, Par? Kalau kamu tidak balik, bisa-bisa Nyla diambil cowok lain.” “Dalam imajinasimu, Vik! Nyla tidak mungkin semudah itu melupakan cowok sekeren aku. Lagian aku yakin banget kalau itu cowok tidak bisa menyaingi kelebihanku.” “Ingat, Par. Nyla pernah suka loh sama aku,” sela Yoga memberi penekan
“Apa?” Parta masih menyimak cerita Bela namun tidak yakin dengan pendengarannya saat ini. “Tidak perlu heran!” tegas Bela yang bisa dipastikan kekesalannya. Tidak ada orang yang suka mengulang-ulang perkataan yang baru saja selesai disampaikan, begitu juga dengan Bela. “Kamu jangan merusak semangat aku dong Bel! Yang benar saja? Nyla tidak mungkin semudah itu jatuh cinta sama orang lain.” Parta menghela napas dan menghentikan aktivitasnya. Fokusnya hanya pada earphone yang memenuhi telinganya. Cerita panjang yang disampaikan Bela diakhiri dengan berita yang ingin ditolak oleh Parta. Pemuda itu sudah tidak fokus membaca buku di depannya. Jemarinya juga beberapa kali salah mengetik. “Aku tidak bilang kalau Nyla jatuh cinta sama itu cowok. Aku cuma bilang kalau ada cowok yang suka sama Nyla dan berusaha mendekati Nyla.” “Terus?” tanya Parta. Ia tidak sungguh bertanya karena jawabannya tentu akan membuatnya berpikir lebih dalam. “Terus ak