“Kamu tidak istirahat? Yakin mau masuk hari ini?” tanya Yoga di depan pintu pagar kos Nyla.
Yoga sudah terbiasa menjemput Nyla saat mereka ada jam kuliah dengan waktu yang bersamaan. Seperti hari ini, sepulang dari latihan kepemimpinan Nyla memutuskan untuk mengikuti perkuliahan yang memang terjadwal di siang hari.
“Aku tidak mau ketinggalan satu pertemuan pun,” kata Nyla sambil menerima helm yang disodorkan Yoga.
“Gadis yang rajin,” Yoga mengelus puncak kepala Nyla dari atas motornya.
Setelah menggunakan helm dengan baik, Nyla naik ke atas motor Ninja warna merah milik Yoga. Mereka meluncur ke kampus tercinta.
“Aku langsung ke kelas ya, Kak,” kata Nyla seraya menyerahkan helmnya pada Yoga.
“Tunggu,” Yoga memegang tangan Nyla. Ia menatap Nyla dengan lembut. “Semangat ya,” lanjutnya.
“Pasti, Kak Yoga juga ya. Daaa.”
Yoga membalas lambaian tangan Nyla dengan masih duduk di atas motornya. Yoga bisa melihat senyum dan kegirangan Nyla meski melalui punggungnya saja dan saat yang bersamaan ia melihat gantungan kunci yang ada di tas Nyla. Merasa tidak asing. Ia menyipitkan matanya, menghalau cahaya yang masuk agar lebih bisa memikirkan hal yang terlintas di pikirannya. Ia mencoba mengingat. Ia merasa tidak salah. Ia yakin bahwa Nyla belum membeli gantungan kunci itu. ‘Lalu dari mana dia mendapatkan gantungan kunci itu?’ pikir Yoga lebih dalam lagi.
Trtrtrtrtrt…..
Handphone Nyla bergetar saat ia sedang berdiskusi dengan teman-temannya tentang mata kuliah ekonomi pertanian. Ia membuka pesan yang masuk dan mendapati nama Parta di sana.
“Bagaimana istirahat kamu? Sudah lebih baik?” bunyi dari pesan singkat itu.
Trtrtrtrtrt…..
Belum sempat Nyla mengetik balasan untuk Parta. Satu lagi pesan masuk, kali ini dari Yoga.
“Aku lagi praktikum di lab. Kalau sudah selesai tunggu saja di perpustakaan ya. Nanti aku kabari lagi.”
“Ok, Kak,” jawab Nyla untuk Yoga.
Ia hendak membalas pesan dari Parta, tapi teman-temannya sudah memanggil untuk melanjutkan diskusi. Ia meletakkan kembali handphonenya. Pikirannya tidak langsung tertuju pada diskusi. Nyla menyadari bahwa saat ini ada dua pribadi yang dekat dengannya, tidak hanya Yoga. Sekarang ada Parta. 'Parta,' batinnya ketika ia melihat gantungan kunci pemberian Parta semalam.
“Ny, menurut kamu bagaimana? Lebih menjanjikan produk mentah atau produk jadi atau perlu menggandeng mitra kerja?” Nyla terbelalak. Ia mencoba menguasai diri dna kembali pada forum diskusi. Napasnya diembuskan pelan, tapi panjang. Dan itu berhasil mengembalikan konsentrasinya.
“Oh, mana? Coba lihat sebentar. Sepertinya perlu disesuaikan dengan selera pasar dulu.” Nyla memandang sekeliling, pada teman-temannya, dan mendapati anggukan setuju. Hatinya lega karena ia bisa membuktikan, setidaknya pada diri sendiri, bahwa ia tetap bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
“Okey, kalau begitu kita search dulu selera pasar saat ini,” kata salah seorang dari teman Nyla.
Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla kembali bergetar. Telepon masuk dari Parta. Nyla mencoba mengabaikannya namun tak hanya sekali Parta meneleponnya. Sangat mengganggu dan membuat Nyla merasa tidak nyaman pada teman-temannya. “Sebentar ya, aku jawab telepon dulu,” kata Nyla berpamitan. Ia keluar dari ruangan untuk bisa menerima telepon dari Parta.
“Halo …,” jawab Nyla. Sesekali ia menoleh ke belakang. Beruntung teman-temannya masih terfokus pada materi diskusi.
“Halo Nyla, Bagaimana? Kamu baik-baik saja kan?” tanya suara di ujung telepon. Ada nada khawatir dari suara itu, tapi tetap khas seorang pemimpin. Bentuk kepedulian dari seorang senior kepada juniornya.
“Aku baik-baik saja kok, Kak.”
“Syukur lah kalau begitu. Dari tadi aku coba hubungi, tapi tidak dijawab. Apakah mungkin aku sedang mengganggu istirahat kamu?” tanya Parta. Kini nada bicaranya berubah, terdengar sedikit merasa bersalah.
“Enggak kok, aku tidak sedang istirahat. Mmm, bagaimana ya." Nyla memutuskan untuk berterus terang. "Tidak mengganggu banget sih kak, tapi ini aku sedang ada diskusi sama teman-teman.” Nyla mengakhiri kata-katanya mengan menyatukan gigi atas dan bawah. Tak lupa, sekali lagi ia menoleh ke belakang, menoleh teman-temannya yang masih terlihat sibuk.
“Diskusi? Memangnya sekarang kamu lagi di mana?”
“Lagi di kampus.” Nyla menggigit lembut bibir bawahnya.
“Kamu tidak istirahat?” suara Parta masih mencecarnya antara khawatir, kasihan, dan juga marah.
“Aku tidak mau ketinggalan kuliah.”
“Ok kalau begitu, kamu lanjutkan diskusinya. Aku samperin kamu ke kampus.”
Parta menutup teleponnya sebelum Nyla sempat mencegahnya datang dan nyla hanya bisa menghela napas panjang. Kini ia menyadari bahwa Parta sedang berusaha mendekatinya. ‘Tapi kenapa?’ Pertanyaan yang saat ini belum bisa dijawab Nyla.
Teringat moment ketika penerimaan lilin saat malam kedua hari pelatihan kepemimpinan. Nyla melihat sisi lain Parta yang bisa menyentuh perasaannya. Bukan hanya cara berpikirnya, tetapi juga kedalaman hati yang menurut Nyla tidak berpura-pura. Dan gantungan kunci. Ya, selain kata-kata yang didengarnya malam itu, Nyla juga menerima gantungan kunci yang membawa pikirannya pada sosok ibu yang selalu mendampinginya. Pelukan hangat dari Parta seusai memberikan gantungan kunci seolah memberi tebusan akan kerinduannya pada sosok ibu, meskipun pelukan itu dari seorang laki-laki. Tak ada bedanya bagi Nyla saat itu karena suasananya begitu menyatu dengan pikiran dan perasaannya.
Meski kedekatan Nyla dengan Yoga sudah berlangsung beberapa bulan dan sudah semakin akrab layaknya pasangan, pelukan dari Parta itu merupakan pelukan pertama yang diterima Nyla dari seorang pria. Yoga tak pernah sekali pun menunjukkan keberaniannya untuk hal semacam itu, tapi Parta begitu tiba-tiba memberikan keinginannya yang sempat terpendam hingga tak pernah berani ia bayangkan.
Bagi banyak orang tentu tidak pantas memeluk orang lain tanpa izin apalagi memeluk lawan jenis. Ada kalanya orang akan tiba-tiba marah jika mendapat perlakuan semacam itu -berkedok pelecehan, tidak menghormati, dan kata-kata serupa akan menjadi alasan yang lumrah. Tapi, tidak bagi Nyla saat itu. Moment selalu bisa mengubah persepsi orang akan peristiwa yang dihadapi.
“Ny, sudah belum teleponnya?” suara memanggil dari dalam ruangan mengajak Nyla untuk kembali bergabung mengerjakan tugas. Membuyarkan lamunan Nyla tentang dua pemuda yang sedang menunjukkan kepedulian padanya. Yoga yang pertama dan sejak pertama selalu baik padanya dan Parta yang beberapa kali membuatnya jengah, tapi dengan sekali peran mampu menghangatkan ruang di hatinya.
“Sudah, sebentar,” jawab Nyla. Ia menyakukan handphonennya dan merapikan tatanan rambut serta bajunya kemudian masuk ke dalam ruangan dan kembali bergabung mengerjakan tugas.
“Ny, tadi ada yang cari kamu loh,” kata Doni, salah satu teman kelompok Nyla yang baru keluar dari toilet.
“Siapa?” tanya Nyla ingin tahu. Ia masih sibuk membalik-balik buku dan menyodorkan pada temannya untuk referensi sebelum akhirnya ia menoleh pada Doni, salah satu teman diskusinya.
“Anak teknik industri, kak Parta,” jawab Doni sembari duduk bergabung.
“What, Kak Parta!" Hampir semua teman-teman Nyla mengalihkan perhatiannya pada Rika. Teriaknya cukup lantang hingga membuat Doni merasa menyesal. "Si cowok ganteng, mencari kamu, Ny?” tanya Rika dengan antusias tanpa basa basi sekaligus tak percaya. “Kamu bisa seberuntung itu dekat sama cowok idaman di kampus ini,” lanjutnya. Kini ia bertopang dagu, kehilangan fokus dari laptopnya saat mendengar kata Parta. Ia juga tak peduli dengan tatapan teman-temannya yang menggeleng ke arahnya.
“Ah, tidak seperti itu juga kali. Aku kan satu unit organisasi sama dia, jadi kenal. Mungkin ada urusan organisasi yang mau dia bicarakan,” sanggah Nyla mengenai kedekatannya dengan Parta. Ia lebih malu dengan sikap Rika yang berlebihan tentang hal itu.
“Kalau begitu kenalkan kami dong sama dia, ya tidak La?” kata Rika. Ia mengerling pada Lala untuk mendapat dukungan.
“Heboh banget sih kalian jadi cewek. Kalian tidak tahu pergaulan dan reputasi dia di luar seperti apa?” Kini Doni mulai bersuara lagi.
Serentak mereka menghentikan tugas yang sedang mereka kerjakan, untuk kedua kalinya. Topik berganti. Mereka mencoba mendengarkan Doni.
“Jadi, aku kasih tahu nih ya. Oke lah dia keren, tampan, dan kaya, belum lagi akademis dan kegiatan organisasi yang dia jalani. Tapi, di luar sana," Doni mengisyaratkan telunjuknya ke luar ruangan. "Dia punya banyak cewek tahu, ganti-ganti cewek. Jadi, ya, jangan terlalu berharap sama cowok seperti itu. Yang lebih baik kan ada,” kata Doni mencoba mempengaruhi. Ia melemparkan arah matanya sembarang, menghindari tatapan dari kaum hawa di sekelilingnya.
Keseriusan ruangan itu berganti menjadi gelak tawa, tak terkecuali Nyla.
“Ya ampun, Don. Itu maksud kamu? Tidak aneh kalau dia punya banyak cewek, sering ganti-ganti. Dia memang pantas dapat yang terbaik,” kata Lala yang heran dengan pemikiran Doni.
“Saking banyaknya yang mau sama dia, wajar saja dia pilih-pilih. Kalau sudah ada yang ditentukan aku yakin dia bakalan setia,” tambah Rika.
“Alam bawah sadar kamu sesungguhnya ingin seperti dia. Iya kan?” Nyla menggoda Doni, satu-satunya cowok di kelompok itu yang seketika menjadi ciut dan malu hingga akhirnya mereka kembali memilih untuk segera menyelesaikan diskusi mereka.
“Ok, daaa. Sampai jumpa besok,” kata Nyla pada teman-temannya yang berpamitan usai mengerjakan tugas bersama.
Selesai membereskan buku ke dalam tasnya, Nyla berjalan ke perpustakaan untuk menunggu Yoga. Tak lupa ia menulis pesan untuk memberi kabar pada Yoga bahwa dirinya sudah selesai mengerjakan tugas.
“Bagaimana kuliah hari ini?” Parta datang mendekati Nyla yang sedang membaca buku. Membuat Nyla mendongak dan menghentikan aktivitasnya.
“Berjalan dengan baik,” jawab Nyla setelah mematung beberapa saat.
“Aku tadi mencari kamu, kata temanmu kamu lagi mengerjakan tugas kelompok. Aku tadi tunggu di luar, tapi sepertinya kamu tidak melihatku,” jelas Parta yang kemudian duduk di depan Nyla.
“Tadi Doni sudah bilang sama aku, tapi kebetulan tadi memang masih sibuk, jadi aku tidak keluar,” jawab Nyla.
“Sekarang sudah selesai?”
“Sudah, kan sekarang sudah di sini.”
“O, iya. Ini diminum,” kata Parta sambil menyodorkan sebuah minuman kemasan untuk Nyla.
“Buat aku?” tanya Nyla meyakinkan.
“Iya, buat siap lagi. Tidak ada racunnya, tadi aku sudah minum,” canda Parta.
“Bukan begitu Kak, di sini tidak boleh minum. Kak Parta tidak tahu?”
“Hehehee, aku jarang ke bilik baca seperti ini. Kalau begitu, bagaimana kita pindah ke taman tengah saja? Sini aku bawakan bukunya.”
Nyla mengekor Parta yang sudah lebih dulu bangkit membawa buku bacaannya ke taman buatan yang berada di tengah perpustakaan itu. Di sana angin dan cahaya matahari masuk dengan sempurna. Hanya saja memang terlihat lebih ramai jika dibandingkan dengan bilik baca yang khusus untuk membaca. Di taman para pengunjung diizinkan untuk berdiskusi dalam kelompok besar juga diizinkan untuk membawa makanan.
“Sekarang diminum dong,” Parta masih memaksa Nyla untuk minum pemberiannya. Melihat Nyla meminumnya membuat hati Parta senang, itu semua dipancarkan oleh senyumnya yang menawan.
Nyla melanjutkan aktivitasnya membaca. Parta yang tidak ingin mengganggu lebih memilih bermain games dengan handphonenya dan sesekali memperhatikan keseriusan Nyla.
Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla yang diletakkan di atas meja bergetar menampilkan adanya pesan dari Yoga. Setelah membaca isinya Nyla pun celingukan berusaha mencari sosok itu.
“Aku mau pulang bareng Kak Yoga, dia sudah di sini,” kata Nyla dengan membereskan tasnya.
Di balik jendela kaca ruangan itu Parta dan Nyla melihat Yoga sedang berjalan. Dari arah yang berlawanan ada Vika yang sudah tersenyum menyapa Yoga dari kejauhan.
“Tunggu deh, Ny,” Parta mencegah Nyla menghampiri Yoga. Mereka berdua melihat Vika yang sudah berada dekat di depan Yoga dan keduanya tampak sedang berbincang dengan riang.
“Bisa tidak kalau Vika sama Yoga dulu? Dia sudah lama suka sama Yoga, sejak awal, tapi tidak pernah punya kesempatan seperti itu,” jelas Parta pada Nyla.
Nyla kembali duduk pada tempatnya. Ada semburat keterkejutan yang tampak di raut wajah Nyla. Satu hal yang tidak pernah ia tahu dari seniornya itu selain kata baik, cewek yang baik. Vika selalu bersikap baik pada Nyla, selalu mendukungnya bahkan ketika Parta –temannya—merendahkan dan meremehkannya. Begitu juga dengan perlakuan Yoga padanya, baik.
“Kamu pulang sama aku saja. Aku antar,” kata Parta.
“Tidak perlu kak. Aku pulang sendiri saja,” kata Nyla dengan tatapan menerawang.
“Heiii,” Parta melambaikan tagannya di depan wajah Nyla. “Aku akan antar sampai tempat kosmu. Tenang saja, aku tidak akan menurunkanmu di jalan seperti waktu itu. Aku janji. Yuk, kita keluar lewat pintu lain,” ajak Parta dengan meraih tangan Nyla.
“Kak Vika suka sama Kak Yoga? Apa Kak Yoga juga suka sama Kak Vika?” Pertanyaan Nyla seolah ditujukan untuk dirinya sendiri.
Dalam beberapa hari Nyla mencoba menghindari Yoga. Bayangan Vika yang menyukai Yoga membuatnya enggan untuk lebih dekat dengan Yoga hingga semuanya menjadi jelas. Ia merasa bersalah sudah menjalin hubungan akrab dengan Yoga dan akan menjadi rasa yang terus tidak nyaman jika ia lanjutkan. Setelah mengetahui kenyataan Vika menyukai Yoga, seolah Nyla adalah orang yang tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih atas segala sikap baik yang diterima dari Vika. Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla di atas nakas bergetar. “Aku di depan kos kamu, Ny. Kamu di mana?” Tampilan pop up menunjukkan detail isi pesan yang dikirimkan oleh Yoga. Nyla melanjutkan menyisir rambutnya di depan kaca. Ia mengabaikan pesan itu. Trtrtrtrtrt….. Lagi. “Aku tunggu kamu ni, buruan ya, sudah mulai panas ini, nanti kita bisa telat.” “Maaf, Kak. Aku lupa memberitahu. Aku sudah di kampus, tadi berangkat buru-buru.” Nyla mengetik pesan balasan u
Dua minggu sejak penolakan, Nyla merasakan sepi yang semakin menjadi. Di luar urusan perkuliahan, ia tidak memiliki teman. Pun juga ia tidak menghabiskan waktu lama di kampus. Seusai jam kuliah ia menyempatkan diri ke perpustakaan untuk meminjam buku kemudian pulang dan menghabiskan waktu di kos. Jika ada pertemuan di unit organisasi baru dia akan pulang sedikit lebih terlambat, itu pun seminggu sekali. Perasaan seperti itu bukan hal baru bagi Nyla. Waktu masih sekolah ia sering kesepian. Dulu dengan kesepian ia bisa menjadi dirinya sendiri dan bisa menjadi pribadi yang lebih produktif. Tapi, berbeda dengan saat ini. Kebiasaannya bersama dengan Yoga membuat dia mulai bergantung pada kenyamanan semu itu. Ingin rasanya Nyla bertanya tentang keadaan Yoga pada Vika. Dia pasti tahu tentang Yoga karena mereka teman sekelas. Namun itu bukan pilihan yang baik. Seperti kertas yang dilempar ke bara yang menganga tentu akan keluar api yang menghanguskannya. Ia tidak ingin menye
“Jadi waktu itu kamu ajak dia keluar malam? Kamu tidak aneh-aneh kan sama dia? Kamu tidak perlakukan dia seperti kamu perlakukan wanita di luar sana kan?” cecar Vika pada Parta. Dari kejauhan Vika sesekali melirik Parta yang sedang berlaku seperti anak kecil dimarahi ibunya. Vika sebagai ketua unit organisasi menggandeng Parta sebagai wakilnya karena nilai akademis dan kecakapannya dalam menjalin komunikasi. Ia tahu bahwa di luar lingkungan kampus Parta akan menjadi orang yang berbeda, tapi ia memiliki profesionalitas yang bisa diandalkan. Kehidupan pribadinya sangat jarang ia bawa dalam urusan organisasi. Kedewasaan Vika dalam menilai seseorang itu juga lah yang membuat Parta nyaman berteman dengan Vika bahkan sesekali bercerita tentang kehidupannya. “Sudah?” Satu kata yang keluar dari mulut Parta terasa mengisyaratkan kalau dirinya ingin dipukul oleh Vika yang sudah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Aku serius Parta! Nyla itu gadis baik-bai
Pucuk dicita ulam pun tiba. Tak disangka Nyla membuntuti Parta hingga mendekati parkiran mobil. Nyla yang terengah mengejar akhirnya sampai dan membungkuk mengatur napas. Di depannya Parta terus memasang senyum mengejek dengan tangan bersedekap di depan dada. Gaya khasnya yang menyombongkan diri merasa dibutuhkan dan diandalkan. “Mereka menolak pesananku,” kata Nyla masih dengan napas yang belum teratur. “Aku tahu itu.” Jawaban tenang Parta membuat Nyla melongo. Orang itu selalu merasa tahu lebih awal. Sangat menyebalkan apalagi dengan senyum seringainya. Ia menelengkan kepalanya, satu gesture untuk menyuruh Nyla masuk ke dalam mobil. “Aku sudah katakan kalau aku ada janji dengan temanku.” Parta kembali mengingatkan sembari memasang seatbelt sebelum dia menancap gas keluar dari area parkir kafe itu. “Ya, aku tahu. Aku hanya akan diam dan menunggu untuk diantar pulang.” Nyla memandang Parta meyakinkan diri dengan keputusannya.
Berbagai kegiatan di luar akademis ditiadakan selama ujian semester. Semua mahasiswa bertekun dalam belajar untuk mendapatkan nilai terbaik. Selama seminggu penuh Nyla hanya belajar dan belajar. Temannya adalah buku, baik di kos maupun di kampus. Baik di kelas, di taman, di kantin, maupun di perpustakaan. Kunci ruang kegiatan semua dipegang oleh Vika, termasuk kunci cadangan yang sering dibawa Nyla sehingga Nyla tidak bisa memanfaatkan ruang itu untuk belajar. Nyla merasa beruntung dengan kecerdasan yang dimilikinya. Sedikit belajar saja sudah membuat Nyla bisa mengingat semua materi juga cara mengaplikasikannya. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu ia merasa tidak baik jika harus iri dengan kelebihan orang lain. Nyla bisa dikatakan berhasil dalam dunia akademis, namun tak ada yang tahu bagaimana kehidupan melingkupi dan membentuk kepribadiannya. Beruntung, ketegaran yang diwariskan ibunya selalu ia pegang untuk bertahan hidup sesulit apa
Para panitia kegiatan sudah bersiap sejak pagi hari. Mulai dari basecamp, seksi perlengkapan sudah membawa beberapa keperluan untuk dibawa ke gedung olahraga yang telah mereka sewa. Beberapa volunteer dari jurusan diizinkan untuk membantu di belakang. Setelah semua siap, sekitar pukul tujuh secara resmi acara dibuka oleh dekan yang telah diundang. Selanjutnya, pertandingan pun dimulai. Bulu tangkis dipilih sebagai olahraga pembuka untuk menghangatkan suasana. Penonton masih silih berganti sesuai dengan pemain yang bertanding. Jika pemain yang didukung sudah tidak bertanding mereka akan pergi digantikan oleh pendukung dari pemain lainnya. Kesibukan panitia masih seputar seksi perlengkapan dan pertandingan. Keramaian belum kentara hingga pemain yang melaju ke babak semifinal ditentukan. Berikutnya pertandingan yang ditunggu. Futsal. Lebih ramai dari pertandingan sebelumnya. Nyla turut bergabung di tribune untuk meramaikan acara.
“Vik. Kita tukar jadwal ya, hari ini kamu yang atur. Aku tidak bisa bantu. Ada urusan mendesak,” kata Parta. Ia memutuskan mengikuti Vika ke dalam ruang panitia di dekat lapangan. Ada hal yang mengusik pikirannya dan harus segera ia cari tahu. “Sama Nyla?” Vika bertanya karena pertemuan mereka sebelumnya. “Anggap saja begitu. Masih ada Alex sama seksi acara. Aku pergi dulu.” Tatapan Parta bertemu dengan Yoga yang berada di dekat Vika. Sama halnya dengan Parta, Yoga menatap dengan sengit menunjukkan keengganannya karena melihat secara langsung gadis yang pernah didekatinya ternyata berhubungan dengan Parta dan itu tidak hanya anggapan atau isapan jempol belaka. “Okey. Hati-hati,” pesan Vika. Parta pergi ke luar. Yang disampaikan Nyla memang benar. Dia sendiri melihat Bela dengan mata kepalanya sendiri. Tidak ingin dia kehilangan jejak, Parta berlari ke luar mencari ke sekeliling gedung olahraga tapi tidak juga menemukan. Ia kembali ke dalam, kali ini d
“Semua sudah datang? Lengkap?” tanya Vika retoris. Pandangannya beredar. Bibirnya menghitung dengan bantuan telunjuk tangan. Ia mencocokkan jumlah panitia dan mencatatnya pada kertas di papan jalan yang dipegangnya. “Ok. Sebelum kita mulai. Kita ambil sikap doa. Berdoa dimulai.” Vika memimpin. Mereka berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing. Semua menciptakan suasana khusyuk dengan menundukkan kepala. “Berdoa selesai.” Vika menutup sesi berdoa. “Setelah dua hari kita berhasil melaksanakan pertandingan dengan lancar, hari ini adalah hari penentuan. Hari final bagi para pemain dan tim yang lolos di babak sebelumnya. Tentu hari ini akan sangat ramai. Antusias mereka akan lebih menyala, baik dari peserta maupun tim pendukung. Aku sangat berharap semua bekerja dengan sungguh-sungguh. Mohon bantuan dari kalian yang sudah off untuk membantu seksi keamanan. Terjun ke berbagai sudut lapangan, tribune, juga penjagaan bagian luar gedung.” “Sudah pah
“Selamat datang.” Parta membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nyla untuk turun. Setelah menunda dua hari, akhirnya Parta berhasil meyakinkan Nyla untuk pergi ke rumah ibunya. ‘Menginap’ kata itulah yang membuat Nyla harus berpikir ulang untuk mengatakan mau atau tidak mau. “Ini rumah siapa?” tanya Nyla yang masih belum diberitahu Parta. Terdengar suara pintu dibuka dari rumah sederhana itu. Nyla pun menoleh dan melihat wanita paruh baya tersenyum serta melambai padanya. Mata Nyla beralih ke Parta dengan penuh tanya, sayangnya Parta hanya mengangkat bahu dan langsung menggandeng tangan Nyla dan membawanya menghampiri pemilik rumah itu. “Kalian sudah datang?” sapa Ratna yang langsung memeluk Nyla. “Kamu benar-benar cantik, persis seperti yang dikatakan Parta. Pantas saja dia tergila-gila sama kamu,” imbuh Ratna usai mereka berpelukan. “Mama,” kata Parta memberitahu Nyla yang masih kebingungan. “Mama?” tanya Nyla pada Parta de
“Kak Parta? Ini benar, kan?” Nyla membulatkan matanya tak percaya. Pemuda yang berdiri tegap di depannya terlihat lebih sempurna daripada pemuda yang suka usil dan menyebalkan yang ada dalam ingatannya. Pemuda di depannya terlihat lebih ramah dan dewasa. Wajahnya lebih bersih seperti habis bercukur. Tatanan rambutnya juga lebih dewasa. Tapi, satu hal yang meyakinkan Nyla, aroma mint yang berhasil dihidunya. Sementara Nyla masih sibuk membandingkan pikiran dan kenyataan yang ada di depannya, Parta mengangguk dan melebarkan senyumnya sebagai jawaban.Angin kerinduan yang sangat lama bergemuruh di hati Nyla seperti mendapat kebebasan menyambut tuannya. Nyla merentangkan tangan dan langsung menghambur memeluk Parta. Menghirup sampai puas aroma yang menenangkan hatinya. Ia tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tidak peduli bahwa hal yang dilakukan mungkin akan membuatnya malu saat menyadarinya. Tidak peduli apakah akan mendapat penolakan—yang pa
“Hai, Ny. Selamat, ya.” Renata dan Alex yang menggendong seorang anak kecil menghampiri Nyla. Hari itu Renata juga diwisuda. Berbeda dengan Alex yang justru menunda wisudanya karena lebih memilih untuk terus bekerja. Sudah hampir setahun ia menjadi kepala keluarga setelah pernikahan tiba-tiba yang mereka langsungkan karena kehamilan Renata yang di luar rencana.Nyla pernah menggeleng tak percaya waktu mendengar kabar itu, tapi melihat kebahagiaan keduanya rasanya tidak adil jika Nyla berpikir negatif tentang hubungan dan bentuk tanggung jawab yang sudah dengan berani mereka ambil. Sudah saatnya untuk berpikir terbuka, bukan berarti setuju dengan hal semacam itu, hanya perlu bijaksana untuk menyikapinya dan perlu menanggalkan pemikiran kolot yang sering mengatasnamakan kebenaran.“Terima kasih dan selamat juga untukmu, Ren. Kamu luar biasa,” tambah Nyla. Ia menggoda si kecil yang terlihat sibuk sendiri di gendongan Alex.Pertemuan
Nyla menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya. “Halo,” kata Nyla dengan ragu-ragu. “Hai, Ny!” teriak orang di seberang telepon. Suaranya begitu renyah, semangat, penuh keceriaan. Namun demikian, Nyla masih sulit mengidentifikasi suara yang melewati jarak dan segala sistem untuk bisa sampai ke telinganya itu. Ada jeda beberapa saat ketika Nyla masih sibuk dengan pikirannya hingga suara di ujung telepon kembali mengambil alih suasana. “Ny, kamu masih di situ?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir. “Kak Vika?” tanya Nyla dengan agak ragu. Cara pemilik suara itu khawatir mengingatkan Nyla pada sosok Vika yang memang sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya, sama sekali setelah kepindahannya bersama dengan Yoga dan tepatnya setelah peristiwa yang dialami Parta di tempat usaha yang kelola oleh sahabatnya itu. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Nada khawatir itu sudah kembali cerita lagi. “Hai, Kak. Ya ampun. Se
Percayalah, apa pun yang kita lakukan itu akan terasa menyenangkan dan menantang saat semuanya masih baru. Seperti halnya memuaskan rasa penasaran, kita ingin terus menaklukkan dan membuat diri kita menjadi pemenang. Mulai semester awal dengan segala ambisi yang tertanam, nyatanya Nyla mengalami banyak pengalaman dan rintangan yang semakin membuatnya merasa lengkap meniti setiap jejak langkah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Teman yang semakin berkurang, tanggung jawab yang semakin bertambah dan hanya bisa diselesaikan, dilakukan, seorang diri. Benar-benar sendiri karena setiap orang memiliki kesibukan yang sama dan tanggung jawab yang sama beratnya. Mengabaikan semua perasaannya, Nyla berhasil membulatkan tekad awalnya. Kesibukan dan keberhasilan sudah di depan mata dan siap menyambut telapak tangannya. “Satu minggu ini kamu tidak perlu datang jika kedatanganmu hanya untuk bekerja. Kamu boleh datang jika kamu memang perlu untuk kebutuhan kuliahmu. Bukan u
Nyla ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar di senyum Bela saat sahabatnya itu mengenakan gaun sederhana yang akan digunakan untuk acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Robi. Beberapa kali ia keluar dan masuk kembali ke kamar pas untuk mencoba beberapa gaun dan meminta pendapat Nyla. Ada rasa bangga yang terbersit di benak Nyla saat menyadari bahwa dirinya menjadi pribadi yang dipercaya untuk memberi pendapat dalam hal yang sangat penting bagi sahabatnya itu. “Bagaimana? Aku lebih suka yang warna emas, tapi kurasa aku tidak bisa menahan untuk mencoba yang satu ini dan rasanya sangat pas dan cantik,” celoteh Bela yang sedang memutar badannya dan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Sementara itu Nyla duduk di belakangnya dan terus mengamati. “Kamu hanya mengagendakan untuk makan malam satu kali. Tidak mungkin dalam waktu yang sama kamu akan berganti pakaian.” Nyla menatap Bela yang sekarang membelakangi cermin dan sedang menunjukkan penampilanny
Bela tidak berhenti berjalan ke sana ke mari di antara beberapa bangku pengunjung. Beberapa karyawan yang sedang membersihkan kafe malam itu sesekali mencuri pandang dan menaruh curiga pada sikap tidak biasa dari atasannya itu. Sesekali juga mereka berbisik, namun tak ada satu pun yang berani bertanya secara langsung. Biasanya Bela akan menyampaikan beberapa instruksi yang menurut karyawannya sangat membosankan, instruksi yang selalu diulang-ulang setiap mereka mulai menutup kafe. Nyla yang baru turun dari lantai dua melihat pemandangan itu. Matanya beralih dari satu sisi kafe ke sisi yang lainnya. Beberapa karyawan yang sudah selesai beres-beres namun masih berkumpul dan tidak segera pulang. Mereka saling mendorong satu sama lain untuk mendekati Bela. Bela yang mendapat perhatian dari karyawannya itu juga menjadi perhatian Nyla. Ada apa dengan mereka hari ini? “Ada apa? Mengapa kalian belum pulang?” tanya Nyla saat mendekati karyawannya yang sudah berganti
Vika terbahak-bahak ketika mendengar Yoga menceritakan kemurungan Parta karena cemburu dan takut Nyla memiliki pacar baru. Suasana meja makan begitu renyah, tidak hanya dentang sendok garpu yang beradu dengan piring. Vika dan Parta pun lebih sengit, terutama Vika, mengejek satu sama lain. Parta terus memprotes masakan Vika yang jelas hanya mengada-ada karena buktinya ia melahap semua makanan. Belum lagi Yoga yang terus membela Vika membuat Parta semakin terpojok. Tapi tidak masalah, itu semua hanya canda. Mereka sadar bahwa jauh dari keluarga membuat mereka harus saling menguatkan satu sama lain. Dan itu cara yang mereka pilih. “Jadi? Bagaimana? Kamu mau balik, Par? Kalau kamu tidak balik, bisa-bisa Nyla diambil cowok lain.” “Dalam imajinasimu, Vik! Nyla tidak mungkin semudah itu melupakan cowok sekeren aku. Lagian aku yakin banget kalau itu cowok tidak bisa menyaingi kelebihanku.” “Ingat, Par. Nyla pernah suka loh sama aku,” sela Yoga memberi penekan
“Apa?” Parta masih menyimak cerita Bela namun tidak yakin dengan pendengarannya saat ini. “Tidak perlu heran!” tegas Bela yang bisa dipastikan kekesalannya. Tidak ada orang yang suka mengulang-ulang perkataan yang baru saja selesai disampaikan, begitu juga dengan Bela. “Kamu jangan merusak semangat aku dong Bel! Yang benar saja? Nyla tidak mungkin semudah itu jatuh cinta sama orang lain.” Parta menghela napas dan menghentikan aktivitasnya. Fokusnya hanya pada earphone yang memenuhi telinganya. Cerita panjang yang disampaikan Bela diakhiri dengan berita yang ingin ditolak oleh Parta. Pemuda itu sudah tidak fokus membaca buku di depannya. Jemarinya juga beberapa kali salah mengetik. “Aku tidak bilang kalau Nyla jatuh cinta sama itu cowok. Aku cuma bilang kalau ada cowok yang suka sama Nyla dan berusaha mendekati Nyla.” “Terus?” tanya Parta. Ia tidak sungguh bertanya karena jawabannya tentu akan membuatnya berpikir lebih dalam. “Terus ak