Di depan basecamp unit kegiatan, sebelum mereka berangkat menuju tempat perkemahan Renata membagi scraf pada para peserta latihan kepemimpinan. Vika dan Parta sudah berada di depan sementara Alex berada di mobil, siap mengangkut segala perlengkapan dengan beberapa teman yang lain.
“Lima belas menit lagi kita akan berangkat. Pastikan keperluan pribadi kalian tidak ada yang terlewatkan. Semua akan naik kendaraan yang sudah disediakan panitia. Perjalanan kurang lebih tiga jam dan sampai di sana kita akan langsung melakukan kegiatan. Jadi, manfaatkan waktu perjalanan dengan baik,” jelas Vika memberi instruksi pada peserta yang ada di depannya.
Di depan barisan Nyla duduk dengan kaki bersila. Semua duduk di lantai. Di belakang Nyla berbisik beberapa anggota lain yang membicarakan ketampanan Parta. Sosok yang memesona kaum hawa itu terlihat berbeda dengan setelan kaos berwarna hijau tua berpadu celana pantalon dengan warna senada juga sepatu gunung yang sedang digemari anak muda. Scraf yang sama dengan yang dibagikan untuk peserta terikat melingkar di pergelangan tangannya. Tak lupa di sana juga bertengger jam kompas yang terlihat mahal.
Penampilannya yang tidak biasa –yang memesona—sudah menjadi hal yang ditunggu kaum hawa di kampus teknik. Hanya mereka yang bergabung di unit badan eksekutif yang paling beruntung karena selalu bisa melihat pesona itu.
Sebelum berangkat peserta dibagi menjadi tiga tim dengan masing-masing terdiri dari enam orang. Tiga kendaraan sudah disediakan untuk masing-masing. Sementara itu panitia menggunakan dua kendaraan, termasuk kendaraan untuk perlengkapan.
Mereka berangkat bersama-sama setelah melakukan doa bersama. Nyla melambaikan tangan pada Yoga yang sedari awal mengantar dan memperhatikan dari kejauhan. Senyum sengit tergambar di wajah Parta mengetahui interaksi keduanya. Beruntung Vika tidak mendapati moment itu karena ia tidak pernah setuju jika Parta menunjukkan ekspresi itu di depan peserta pelatihan, apalagi itu ditujukan pada Yoga, orang yang disukainya.
“Par, buruan masuk!” teriak Vika yang sudah menunggu di mobil. Ia menyembulkan mukanya melalui jendela dan meletakkan telapak tangannya membentuk teropong di depan mulut.
“Di depan sudah ada Alex. Kita berangkat paling belakang,” jelas Parta saat memasuki mobil dan bersiap mengemudi.
Kegiatan pelatihan dibuka oleh dosen koordinator kegiatan mahasiswa yang telah diundang sebelumnya. Ia datang lebih awal dan mengamati para peserta mendirikan tenda dengan kekompakan masing-masing tim. Sesudah itu mereka bersiap mendengarkan wejangan dari dosen untuk selalu setia dalam komitmen dan selalu menjaga kekompakan untuk mewujudkan keselarasan dengan unit kegiatan lain maupun kepentingan di antara mahasiswa.
Kegiatan pertama setelah pembukaan adalah games kekompakan dengan tujuan melatih kerja sama dan kepercayaan di antara anggota tim. Dalam games kali ini semua panitia bergabung dengan tim peserta.
Games dimulai, mereka menepi dari lapangan hijau yang membentang. Satu anggota tim berdiri di sebuah tempat yang lebih tinggi, membelakangi yang lainnya. Sementara itu enam anggota tim yang lain, termasuk panitia di antaranya, berdiri di bagian bawah dan dibagi menjadi tiga pasang. Setiap pasang saling berpegangan tangan dan siap menopang satu anggota tim yang berdiri membelakangi dan akan menjatuhkan diri.
Sudah direncanakan, Parta memilih bergabung dengan tim Nyla. Kebetulan Nyla menjadi anggota yang dipilih untuk berdiri di atas. Ia menoleh ke belakang, agak lama baru kemudian ia merebahkan diri dan ditopang oleh teman-temannya. Sayangnya, sepasang teman yang paling dekat dengan Nyla tidak berpegangan kuat sehingga membuat kaki Nyla membentur tempat ia berdiri sebelumnya. Ia jatuh memerosot dan terkilir.
Parta memijat pelan kaki Nyla di tengah kepanikan anggota yang lain. Tatapan Parta menenangkan, menghilangkan bisik-bisik adanya perundungan saat pelatihan. Memang serba kejutan, Parta bisa menampilkan berbagai peran jika sudah berada dalam unit kegiatan itu.
Kejadian serupa, tidak jauh berbeda, juga terjadi pada dua tim yang lainnya sehingga diputuskan mereka untuk berkumpul bersama menuju tengah lapangan.
“Ada yang tahu makna dari games tadi?” tanya Parta sambil berdiri di tengah mereka yang sedang duduk melingkar di atas rumput. Sebagian besar dari mereka menunduk karena tahu mereka telah melakukan kesalahan dan tidak berani menjawab pertanyaan Parta. Satu kesalahan anggota merupakan kesalahan satu tim.
“Sudah disampaikan di awal. Games itu tadi berguna untuk melatih kerja sama, kepercayaan, dan kekompakan,” sahut Vika yang ternyata bisa berbicara dengan nada tinggi mengimbangi Parta yang sedang lunak.
“Lalu apa yang kalian lakukan? Kalian yang berada di atas dan masih menoleh ke belakang, itu artinya masih belum percaya pada tim kalian. Begitu juga dengan kalian yang berada di bawah dan takut menopang teman kalian. Sementara kalian yang melepaskan pegangan saat teman kalian jatuh,” sesaat Vika melihat berkeliling satu per satu “kalian orang yang belum bisa dipercaya, belum bisa bertanggung jawab!” Nada bicara Vika jauh lebih tegas dan keras di bagian akhir ucapannya.
“Sekarang, semua kembali ke tempat semula dan lakukan permainan yang sama. Tunjukkan kekompakan kalian, kerja sama, kepercayaan, dan jiwa kalian yang bertanggung jawab,” Parta mengakhiri pertemuan itu.
Semua tim kembali melakukan hal yang sama dengan sempurna dan permainan kedua pun dilanjutkan. Mereka diwajibkan untuk memecahkan berbagai persoalan dengan ragam permainan. Tim Nyla menjadi yang paling unggul di antara dua tim yang lain. Permainan terus mengalir membawa ketegangan juga tawa hingga tak terasa hari sudah mencapai batasnya.
“Bagaimana dengan hari ini?” Tiba-tiba Parta mendekati Nyla yang sedang menyusun kayu untuk menghangatkan area tenda.
“Menyenangkan, Kak,” jawab Nyla dengan sopan.
“Tim kamu hari ini unggul. Aku harap kalian bisa mempertahankannya di kegiatan berikutnya.”
“Akan kami usahakan yang terbaik,” jawab Nyla dengan mengangguk meyakinkan.
“Ok. Saatnya evaluasi, yuk. Beri tahu teman lain untuk kumpul di lapangan utama,” Parta berdiri dan mendahului pergi ke lapangan utama.
Setelah tidur semalam di tenda yang semakin dingin, pagi ini semua diwajibkan untuk bangun lebih awal untuk berolahraga bersama. Setiap ketua tim wajib memimpin senam dengan empat gerakan. Tiga puluh menit cukup menghangatkan badan mereka, menyiapkan tubuh untuk melanjutkan kegiatan hari kedua yang sudah diagendakan panitia.
Usai membersihkan diri dan sarapan mereka menyiapkan perangkat dan materi untuk presentasi visi-misi. Cukup memakan waktu mengingat banyaknya anggota. Semua siap untuk presentasi berdasarkan nomor undian yang diambil secara acak. Sesi tanya jawab diberikan sekaligus di akhir acara. Dalam keseluruhan kegiatan Nyla menampilkan diri sebagai peserta yang paling unggul. Tepuk tangan pertama yang menggema di akhir acara muncul dari kedua telapak tangan Parta. Pemuda itu melirik juga ke arah Vika, setuju dengan pandangannya tentang Nyla.
Acara terakhir dilaksanakan malam hari. Renungan yang membuat para peserta menangis oleh wejangan para senior. Tak terkecuali peserta putra, mereka pun tak sanggup menahan butiran air mata. Semua meresapi kebersamaan, suka dan duka selama dua hari di alam itu. Satu per satu bergiliran menemui senior mereka –Parta dan Vika— untuk mendapatkan lilin peresmian mereka.
Tiba giliran Nyla, ia mendekati satu orang yang sudah menunggunya. Parta. Nyla berharap dia akan bertemu Vika, tapi kenyataan mendekatkan dia pada Parta. Ada yang berbeda kali ini, bahkan selama kegiatan pelatihan jika Nyla menyadarinya. Sikap Parta menurut Nyla sangat melindungi dan mendukung berbeda dengan kesehariannya yang suka memojokkan dan merendahkan.
“Ny, kamu setuju tidak kalau kebersamaan itu patut disyukuri?” tanya Parta dengan lembut.
“Iya, Kak,” Nyla mengangguk setuju. Mereka sedang duduk bersebelahan, bersila di atas rumput tanpa alas. Dingin dari tanah meresap perlahan ke tubuh mereka begitu juga sebaliknya, kehangatan mereka membuat area tempat duduk mereka lebih hangat.
“Pernah tidak kamu menyesali sebuah kebersamaan?” lanjut Parta.
“Pernah, Kak,” Nyla menjawab jujur. Sesaat ia berpikir tentang keluarganya. Tiba-tiba ia meresapi kata-kata Parta dan mulai meneteskan air mata.
Parta memberikan selembar tisu yang sudah disiapkan di sampingnya kepada Nyla.
“Kamu mau bercerita?” Parta mengamati wajah Nyla yang samar di kegelapan. Dalam pandangannya, Nyla tampak menggelengkan kepala. Hingga jeda sedikit lebih lama.
“Tidak perlu malu atau menyesal. Aku pun pernah mengalaminya. Pernah aku menyesali kebersamaan yang kukira akan selamanya saling menguntungkan saling membuat kemajuan. Tidak ada yang abadi, tapi selalu ada pilihan untuk terus bertahan dan berkembang. Itu pelajaran yang membuat kita semakin dewasa.”
“Kamu pernah terluka, pernah kecewa?” lanjutnya lebih mirip pada pertanyaan retoris. “Semua itu turut menentukan bagaimana kita bersikap dan bertumbuh. Jika kita berada di lingkungan yang tepat, kita akan bertumbuh dengan baik. Kamu pernah bilang kalau aku angkuh karena tumbuh di keluarga berkecukupan. Aku benar-benar marah lho waktu itu,” Parta tersenyum mengingat ekspresinya kala itu.
“Kalau kamu paham, orang miskin pun bisa juga angkuh, Ny. Ada banyak hal sebagai penyebabnya. Bisa karena luka lama, ketidakpuasan, atau juga tuntutan pergaulan. Aku tidak akan memberitahu alasan aku bersikap seperti yang kamu tuduhkan. Inilah aku,” sekilas Parta memperhatikan Nyla yang masih duduk merenung di sampingnya.
“Semua itu teori yang aku tahu kamu pasti lebih paham. Aku hanya mau katakan bahwa apa pun yang terjadi ke depan. Kebersamaan kita dalam satu unit harus selalu menjadi hal yang patut kita syukuri. Harus kamu ingat bahwa luka dan kecewa yang mungkin nanti akan kamu temui itu adalah jalan pendewasaan.”
“Kamu hebat selama dua hari ini. Aku harap kamu bisa tetap berkomitmen untuk unit kita.”
“Pasti, Kak.”
Parta melihat Nyla memandang ke arahnya dan tersenyum.
“Ok, saatnya kamu menerima lilin,” Parta mengakhiri permenungan yang singkat dengan Nyla.
Ia mengambil lilin di sampingnya dan menyalakannya untuk Nyla. Kini, setelah memutar tubuhnya, wajah gadis itu terlihat jelas di hadapannya. Senyum bahagia dan gembira terpancar setelah ia mendapatkan lilin itu.
“Dan ini,” Parta mengambil sesuatu dari kantongnya, meraih tangan kanan Nyla yang bebas kemudian meninggalkan sesuatu di sana dan menangkupkan jemari Nyla. “Hadiah khusus dariku untuk kamu,” lanjutnya disertai senyum yang menawan.
“Kamu tidak istirahat? Yakin mau masuk hari ini?” tanya Yoga di depan pintu pagar kos Nyla. Yoga sudah terbiasa menjemput Nyla saat mereka ada jam kuliah dengan waktu yang bersamaan. Seperti hari ini, sepulang dari latihan kepemimpinan Nyla memutuskan untuk mengikuti perkuliahan yang memang terjadwal di siang hari. “Aku tidak mau ketinggalan satu pertemuan pun,” kata Nyla sambil menerima helm yang disodorkan Yoga. “Gadis yang rajin,” Yoga mengelus puncak kepala Nyla dari atas motornya. Setelah menggunakan helm dengan baik, Nyla naik ke atas motor Ninja warna merah milik Yoga. Mereka meluncur ke kampus tercinta. “Aku langsung ke kelas ya, Kak,” kata Nyla seraya menyerahkan helmnya pada Yoga. “Tunggu,” Yoga memegang tangan Nyla. Ia menatap Nyla dengan lembut. “Semangat ya,” lanjutnya. “Pasti, Kak Yoga juga ya. Daaa.” Yoga membalas lambaian tangan Nyla dengan masih duduk di atas motornya. Yoga bisa melihat senyum dan kegir
Dalam beberapa hari Nyla mencoba menghindari Yoga. Bayangan Vika yang menyukai Yoga membuatnya enggan untuk lebih dekat dengan Yoga hingga semuanya menjadi jelas. Ia merasa bersalah sudah menjalin hubungan akrab dengan Yoga dan akan menjadi rasa yang terus tidak nyaman jika ia lanjutkan. Setelah mengetahui kenyataan Vika menyukai Yoga, seolah Nyla adalah orang yang tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih atas segala sikap baik yang diterima dari Vika. Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla di atas nakas bergetar. “Aku di depan kos kamu, Ny. Kamu di mana?” Tampilan pop up menunjukkan detail isi pesan yang dikirimkan oleh Yoga. Nyla melanjutkan menyisir rambutnya di depan kaca. Ia mengabaikan pesan itu. Trtrtrtrtrt….. Lagi. “Aku tunggu kamu ni, buruan ya, sudah mulai panas ini, nanti kita bisa telat.” “Maaf, Kak. Aku lupa memberitahu. Aku sudah di kampus, tadi berangkat buru-buru.” Nyla mengetik pesan balasan u
Dua minggu sejak penolakan, Nyla merasakan sepi yang semakin menjadi. Di luar urusan perkuliahan, ia tidak memiliki teman. Pun juga ia tidak menghabiskan waktu lama di kampus. Seusai jam kuliah ia menyempatkan diri ke perpustakaan untuk meminjam buku kemudian pulang dan menghabiskan waktu di kos. Jika ada pertemuan di unit organisasi baru dia akan pulang sedikit lebih terlambat, itu pun seminggu sekali. Perasaan seperti itu bukan hal baru bagi Nyla. Waktu masih sekolah ia sering kesepian. Dulu dengan kesepian ia bisa menjadi dirinya sendiri dan bisa menjadi pribadi yang lebih produktif. Tapi, berbeda dengan saat ini. Kebiasaannya bersama dengan Yoga membuat dia mulai bergantung pada kenyamanan semu itu. Ingin rasanya Nyla bertanya tentang keadaan Yoga pada Vika. Dia pasti tahu tentang Yoga karena mereka teman sekelas. Namun itu bukan pilihan yang baik. Seperti kertas yang dilempar ke bara yang menganga tentu akan keluar api yang menghanguskannya. Ia tidak ingin menye
“Jadi waktu itu kamu ajak dia keluar malam? Kamu tidak aneh-aneh kan sama dia? Kamu tidak perlakukan dia seperti kamu perlakukan wanita di luar sana kan?” cecar Vika pada Parta. Dari kejauhan Vika sesekali melirik Parta yang sedang berlaku seperti anak kecil dimarahi ibunya. Vika sebagai ketua unit organisasi menggandeng Parta sebagai wakilnya karena nilai akademis dan kecakapannya dalam menjalin komunikasi. Ia tahu bahwa di luar lingkungan kampus Parta akan menjadi orang yang berbeda, tapi ia memiliki profesionalitas yang bisa diandalkan. Kehidupan pribadinya sangat jarang ia bawa dalam urusan organisasi. Kedewasaan Vika dalam menilai seseorang itu juga lah yang membuat Parta nyaman berteman dengan Vika bahkan sesekali bercerita tentang kehidupannya. “Sudah?” Satu kata yang keluar dari mulut Parta terasa mengisyaratkan kalau dirinya ingin dipukul oleh Vika yang sudah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Aku serius Parta! Nyla itu gadis baik-bai
Pucuk dicita ulam pun tiba. Tak disangka Nyla membuntuti Parta hingga mendekati parkiran mobil. Nyla yang terengah mengejar akhirnya sampai dan membungkuk mengatur napas. Di depannya Parta terus memasang senyum mengejek dengan tangan bersedekap di depan dada. Gaya khasnya yang menyombongkan diri merasa dibutuhkan dan diandalkan. “Mereka menolak pesananku,” kata Nyla masih dengan napas yang belum teratur. “Aku tahu itu.” Jawaban tenang Parta membuat Nyla melongo. Orang itu selalu merasa tahu lebih awal. Sangat menyebalkan apalagi dengan senyum seringainya. Ia menelengkan kepalanya, satu gesture untuk menyuruh Nyla masuk ke dalam mobil. “Aku sudah katakan kalau aku ada janji dengan temanku.” Parta kembali mengingatkan sembari memasang seatbelt sebelum dia menancap gas keluar dari area parkir kafe itu. “Ya, aku tahu. Aku hanya akan diam dan menunggu untuk diantar pulang.” Nyla memandang Parta meyakinkan diri dengan keputusannya.
Berbagai kegiatan di luar akademis ditiadakan selama ujian semester. Semua mahasiswa bertekun dalam belajar untuk mendapatkan nilai terbaik. Selama seminggu penuh Nyla hanya belajar dan belajar. Temannya adalah buku, baik di kos maupun di kampus. Baik di kelas, di taman, di kantin, maupun di perpustakaan. Kunci ruang kegiatan semua dipegang oleh Vika, termasuk kunci cadangan yang sering dibawa Nyla sehingga Nyla tidak bisa memanfaatkan ruang itu untuk belajar. Nyla merasa beruntung dengan kecerdasan yang dimilikinya. Sedikit belajar saja sudah membuat Nyla bisa mengingat semua materi juga cara mengaplikasikannya. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu ia merasa tidak baik jika harus iri dengan kelebihan orang lain. Nyla bisa dikatakan berhasil dalam dunia akademis, namun tak ada yang tahu bagaimana kehidupan melingkupi dan membentuk kepribadiannya. Beruntung, ketegaran yang diwariskan ibunya selalu ia pegang untuk bertahan hidup sesulit apa
Para panitia kegiatan sudah bersiap sejak pagi hari. Mulai dari basecamp, seksi perlengkapan sudah membawa beberapa keperluan untuk dibawa ke gedung olahraga yang telah mereka sewa. Beberapa volunteer dari jurusan diizinkan untuk membantu di belakang. Setelah semua siap, sekitar pukul tujuh secara resmi acara dibuka oleh dekan yang telah diundang. Selanjutnya, pertandingan pun dimulai. Bulu tangkis dipilih sebagai olahraga pembuka untuk menghangatkan suasana. Penonton masih silih berganti sesuai dengan pemain yang bertanding. Jika pemain yang didukung sudah tidak bertanding mereka akan pergi digantikan oleh pendukung dari pemain lainnya. Kesibukan panitia masih seputar seksi perlengkapan dan pertandingan. Keramaian belum kentara hingga pemain yang melaju ke babak semifinal ditentukan. Berikutnya pertandingan yang ditunggu. Futsal. Lebih ramai dari pertandingan sebelumnya. Nyla turut bergabung di tribune untuk meramaikan acara.
“Vik. Kita tukar jadwal ya, hari ini kamu yang atur. Aku tidak bisa bantu. Ada urusan mendesak,” kata Parta. Ia memutuskan mengikuti Vika ke dalam ruang panitia di dekat lapangan. Ada hal yang mengusik pikirannya dan harus segera ia cari tahu. “Sama Nyla?” Vika bertanya karena pertemuan mereka sebelumnya. “Anggap saja begitu. Masih ada Alex sama seksi acara. Aku pergi dulu.” Tatapan Parta bertemu dengan Yoga yang berada di dekat Vika. Sama halnya dengan Parta, Yoga menatap dengan sengit menunjukkan keengganannya karena melihat secara langsung gadis yang pernah didekatinya ternyata berhubungan dengan Parta dan itu tidak hanya anggapan atau isapan jempol belaka. “Okey. Hati-hati,” pesan Vika. Parta pergi ke luar. Yang disampaikan Nyla memang benar. Dia sendiri melihat Bela dengan mata kepalanya sendiri. Tidak ingin dia kehilangan jejak, Parta berlari ke luar mencari ke sekeliling gedung olahraga tapi tidak juga menemukan. Ia kembali ke dalam, kali ini d
“Selamat datang.” Parta membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nyla untuk turun. Setelah menunda dua hari, akhirnya Parta berhasil meyakinkan Nyla untuk pergi ke rumah ibunya. ‘Menginap’ kata itulah yang membuat Nyla harus berpikir ulang untuk mengatakan mau atau tidak mau. “Ini rumah siapa?” tanya Nyla yang masih belum diberitahu Parta. Terdengar suara pintu dibuka dari rumah sederhana itu. Nyla pun menoleh dan melihat wanita paruh baya tersenyum serta melambai padanya. Mata Nyla beralih ke Parta dengan penuh tanya, sayangnya Parta hanya mengangkat bahu dan langsung menggandeng tangan Nyla dan membawanya menghampiri pemilik rumah itu. “Kalian sudah datang?” sapa Ratna yang langsung memeluk Nyla. “Kamu benar-benar cantik, persis seperti yang dikatakan Parta. Pantas saja dia tergila-gila sama kamu,” imbuh Ratna usai mereka berpelukan. “Mama,” kata Parta memberitahu Nyla yang masih kebingungan. “Mama?” tanya Nyla pada Parta de
“Kak Parta? Ini benar, kan?” Nyla membulatkan matanya tak percaya. Pemuda yang berdiri tegap di depannya terlihat lebih sempurna daripada pemuda yang suka usil dan menyebalkan yang ada dalam ingatannya. Pemuda di depannya terlihat lebih ramah dan dewasa. Wajahnya lebih bersih seperti habis bercukur. Tatanan rambutnya juga lebih dewasa. Tapi, satu hal yang meyakinkan Nyla, aroma mint yang berhasil dihidunya. Sementara Nyla masih sibuk membandingkan pikiran dan kenyataan yang ada di depannya, Parta mengangguk dan melebarkan senyumnya sebagai jawaban.Angin kerinduan yang sangat lama bergemuruh di hati Nyla seperti mendapat kebebasan menyambut tuannya. Nyla merentangkan tangan dan langsung menghambur memeluk Parta. Menghirup sampai puas aroma yang menenangkan hatinya. Ia tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tidak peduli bahwa hal yang dilakukan mungkin akan membuatnya malu saat menyadarinya. Tidak peduli apakah akan mendapat penolakan—yang pa
“Hai, Ny. Selamat, ya.” Renata dan Alex yang menggendong seorang anak kecil menghampiri Nyla. Hari itu Renata juga diwisuda. Berbeda dengan Alex yang justru menunda wisudanya karena lebih memilih untuk terus bekerja. Sudah hampir setahun ia menjadi kepala keluarga setelah pernikahan tiba-tiba yang mereka langsungkan karena kehamilan Renata yang di luar rencana.Nyla pernah menggeleng tak percaya waktu mendengar kabar itu, tapi melihat kebahagiaan keduanya rasanya tidak adil jika Nyla berpikir negatif tentang hubungan dan bentuk tanggung jawab yang sudah dengan berani mereka ambil. Sudah saatnya untuk berpikir terbuka, bukan berarti setuju dengan hal semacam itu, hanya perlu bijaksana untuk menyikapinya dan perlu menanggalkan pemikiran kolot yang sering mengatasnamakan kebenaran.“Terima kasih dan selamat juga untukmu, Ren. Kamu luar biasa,” tambah Nyla. Ia menggoda si kecil yang terlihat sibuk sendiri di gendongan Alex.Pertemuan
Nyla menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya. “Halo,” kata Nyla dengan ragu-ragu. “Hai, Ny!” teriak orang di seberang telepon. Suaranya begitu renyah, semangat, penuh keceriaan. Namun demikian, Nyla masih sulit mengidentifikasi suara yang melewati jarak dan segala sistem untuk bisa sampai ke telinganya itu. Ada jeda beberapa saat ketika Nyla masih sibuk dengan pikirannya hingga suara di ujung telepon kembali mengambil alih suasana. “Ny, kamu masih di situ?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir. “Kak Vika?” tanya Nyla dengan agak ragu. Cara pemilik suara itu khawatir mengingatkan Nyla pada sosok Vika yang memang sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya, sama sekali setelah kepindahannya bersama dengan Yoga dan tepatnya setelah peristiwa yang dialami Parta di tempat usaha yang kelola oleh sahabatnya itu. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Nada khawatir itu sudah kembali cerita lagi. “Hai, Kak. Ya ampun. Se
Percayalah, apa pun yang kita lakukan itu akan terasa menyenangkan dan menantang saat semuanya masih baru. Seperti halnya memuaskan rasa penasaran, kita ingin terus menaklukkan dan membuat diri kita menjadi pemenang. Mulai semester awal dengan segala ambisi yang tertanam, nyatanya Nyla mengalami banyak pengalaman dan rintangan yang semakin membuatnya merasa lengkap meniti setiap jejak langkah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Teman yang semakin berkurang, tanggung jawab yang semakin bertambah dan hanya bisa diselesaikan, dilakukan, seorang diri. Benar-benar sendiri karena setiap orang memiliki kesibukan yang sama dan tanggung jawab yang sama beratnya. Mengabaikan semua perasaannya, Nyla berhasil membulatkan tekad awalnya. Kesibukan dan keberhasilan sudah di depan mata dan siap menyambut telapak tangannya. “Satu minggu ini kamu tidak perlu datang jika kedatanganmu hanya untuk bekerja. Kamu boleh datang jika kamu memang perlu untuk kebutuhan kuliahmu. Bukan u
Nyla ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar di senyum Bela saat sahabatnya itu mengenakan gaun sederhana yang akan digunakan untuk acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Robi. Beberapa kali ia keluar dan masuk kembali ke kamar pas untuk mencoba beberapa gaun dan meminta pendapat Nyla. Ada rasa bangga yang terbersit di benak Nyla saat menyadari bahwa dirinya menjadi pribadi yang dipercaya untuk memberi pendapat dalam hal yang sangat penting bagi sahabatnya itu. “Bagaimana? Aku lebih suka yang warna emas, tapi kurasa aku tidak bisa menahan untuk mencoba yang satu ini dan rasanya sangat pas dan cantik,” celoteh Bela yang sedang memutar badannya dan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Sementara itu Nyla duduk di belakangnya dan terus mengamati. “Kamu hanya mengagendakan untuk makan malam satu kali. Tidak mungkin dalam waktu yang sama kamu akan berganti pakaian.” Nyla menatap Bela yang sekarang membelakangi cermin dan sedang menunjukkan penampilanny
Bela tidak berhenti berjalan ke sana ke mari di antara beberapa bangku pengunjung. Beberapa karyawan yang sedang membersihkan kafe malam itu sesekali mencuri pandang dan menaruh curiga pada sikap tidak biasa dari atasannya itu. Sesekali juga mereka berbisik, namun tak ada satu pun yang berani bertanya secara langsung. Biasanya Bela akan menyampaikan beberapa instruksi yang menurut karyawannya sangat membosankan, instruksi yang selalu diulang-ulang setiap mereka mulai menutup kafe. Nyla yang baru turun dari lantai dua melihat pemandangan itu. Matanya beralih dari satu sisi kafe ke sisi yang lainnya. Beberapa karyawan yang sudah selesai beres-beres namun masih berkumpul dan tidak segera pulang. Mereka saling mendorong satu sama lain untuk mendekati Bela. Bela yang mendapat perhatian dari karyawannya itu juga menjadi perhatian Nyla. Ada apa dengan mereka hari ini? “Ada apa? Mengapa kalian belum pulang?” tanya Nyla saat mendekati karyawannya yang sudah berganti
Vika terbahak-bahak ketika mendengar Yoga menceritakan kemurungan Parta karena cemburu dan takut Nyla memiliki pacar baru. Suasana meja makan begitu renyah, tidak hanya dentang sendok garpu yang beradu dengan piring. Vika dan Parta pun lebih sengit, terutama Vika, mengejek satu sama lain. Parta terus memprotes masakan Vika yang jelas hanya mengada-ada karena buktinya ia melahap semua makanan. Belum lagi Yoga yang terus membela Vika membuat Parta semakin terpojok. Tapi tidak masalah, itu semua hanya canda. Mereka sadar bahwa jauh dari keluarga membuat mereka harus saling menguatkan satu sama lain. Dan itu cara yang mereka pilih. “Jadi? Bagaimana? Kamu mau balik, Par? Kalau kamu tidak balik, bisa-bisa Nyla diambil cowok lain.” “Dalam imajinasimu, Vik! Nyla tidak mungkin semudah itu melupakan cowok sekeren aku. Lagian aku yakin banget kalau itu cowok tidak bisa menyaingi kelebihanku.” “Ingat, Par. Nyla pernah suka loh sama aku,” sela Yoga memberi penekan
“Apa?” Parta masih menyimak cerita Bela namun tidak yakin dengan pendengarannya saat ini. “Tidak perlu heran!” tegas Bela yang bisa dipastikan kekesalannya. Tidak ada orang yang suka mengulang-ulang perkataan yang baru saja selesai disampaikan, begitu juga dengan Bela. “Kamu jangan merusak semangat aku dong Bel! Yang benar saja? Nyla tidak mungkin semudah itu jatuh cinta sama orang lain.” Parta menghela napas dan menghentikan aktivitasnya. Fokusnya hanya pada earphone yang memenuhi telinganya. Cerita panjang yang disampaikan Bela diakhiri dengan berita yang ingin ditolak oleh Parta. Pemuda itu sudah tidak fokus membaca buku di depannya. Jemarinya juga beberapa kali salah mengetik. “Aku tidak bilang kalau Nyla jatuh cinta sama itu cowok. Aku cuma bilang kalau ada cowok yang suka sama Nyla dan berusaha mendekati Nyla.” “Terus?” tanya Parta. Ia tidak sungguh bertanya karena jawabannya tentu akan membuatnya berpikir lebih dalam. “Terus ak