Menjadi seorang mahasiswa tidak jauh berbeda dengan siswa SMA. Yang membedakan hanya lah pakaian yang mereka kenakan. Pakaian yang bebas dari seragam sehingga memungkinkan adanya persaingan jati diri melalui fashion. Selebihnya sama. Tetap duduk di bangku kelas dan mendengarkan dosen mengajar di depan kelas. Belajar mulai pagi hingga siang hari –meskipun ada beberapa yang memilih jadwal khusus dari siang hingga malam. Begitulah kesan pertama Nyla sebagai mahasiswa.
Semester pertama di bangku kuliah lebih banyak digunakan oleh mahasiswa baru seperti Nyla untuk mempelajari beberapa teori. Sebagian besar aktivitas selalu berjibaku dengan buku. Perpustakaan menjadi pilihan Nyla untuk memperdalam teori mengenai teknik pertanian. Tidak sulit bagi Nyla karena dia berasal dari daerah pedesaan yang acap dengan dunia pertanian. Air, tanah, dan tanaman sudah seperti saudara bagi Nyla.
“Mengapa Kak Yoga memilih menekuni teknik informatika?”
“Pertama karena buat aku itu sesuai dengan kepribadianku. Aku lebih suka bekerja di zona nyamanku. Di situ aku berpikir kalau intervensi dari pihak luar tidak terlalu berpengaruh, jadi semuanya ada pada keputusanku. Kedua, dunia ini berkembang. Eksistensi dalam ujud nyata itu mulai dikesampingkan. Semakin hari kita semakin gencar dengan perang teknologi, terutama teknologi digital yang tidak bisa dilihat. Nah, di sini aku merasa ada tantangan untuk selalu berinovasi mengikuti perkembangan zaman. Saat itulah aku selalu merasa menjadi orang baru dan merasa berguna.”
“Kak Yoga keren, visioner.” Nyla terkagum-kagum memuji cara berpikir Yoga. Bertambah lagi poin positif Yoga yang tertanam dalam benak Nyla.
“Kalau kamu, bagaimana? Mengapa memilih teknik pertanian?”
“Alasan yang sederhana. Aku berasal dari pedesaan, dari keluarga petani. Selama ini aku melihat mereka bertani dengan pola pikir tradisional. Semua bergantung pada keberuntungan. Teknologi memang sudah mulai masuk, tapi tetap saja ada hal yang perlu aku wujudkan. Aku ingin menunjukkan bahwa bertani itu bisa lebih dari itu, lebih berkelas dan berkualitas.”
“Kamu juga keren, Nyla,” Yoga mengelus puncak kepala Nyla.
Ada debaran rasa yang menari-nari di hati Nyla. Pipinya yang mulai merona mati-matian ia tahan. Berusaha mengalihkan perhatian namun tidak berhasil. Ia salah tingkah dengan membalik-balik halaman buku di depannya tanpa membaca. Pikirannya membayang sebuah tanya. Selama beberapa bulan berkenalan tak pernah sekali pun Nyla bertanya tentang hubungan khusus yang mungkin dimiliki Yoga, begitu pun sebaliknya. Sempat terlintas bahwa Yoga memang dikirimkan Tuhan untuknya, bukan sekadar hubungan teman.
Nyla merasa bahwa ketika bersama dengan Yoga ada rasa senang dan tenang yang menyelimuti. Dirinya yang hidup sebatang kara di kota itu merasa memiliki keluarga yang selalu melindunginya. Yoga selalu ada saat Nyla membutuhkan teman untuk bercerita. Selalu ada solusi yang diberikan Yoga terutama untuk meringankan segala kesulitan yang dialami Nyla sebagai mahasiswa baru.
Suasana cukup tenang di balik bilik baca perpustakaan fakultas yang terletak di lantai tiga itu. Yoga sibuk dengan laptopnya mengerjakan beberapa tugas yang mulai berdatangan. Nyla mulai kembali membaca buku-buku yang sudah dipilih dan bertumpuk di depannya. Sesekali mereka saling curi pandang dan berhasil bertatap tanpa sengaja. Saling tersenyum menjadi bentuk komunikasi lain dari pertemuan mereka siang itu.
Sore hari usai belajar bersama di perpustakaan Yoga mengantar Nyla ke basecamp unit badan eksekutif untuk mengikuti rapat rutin bulanan. Masa orientasi anggota baru sebentar lagi akan sampai pada kegiatan puncak berupa latihan kepemimpinan yang akan dilaksanakan di luar kota setelah ujian paruh semester.
Para senior sudah mempersiapkan jauh-jauh hari untuk kegiatan tersebut. Setiap panitia sudah membagi diri pada tugas masing-masing yang sudah hampir sembilan puluh persen terlaksana. Sementara para anggota baru disibukkan dengan mempersiapkan materi presentasi berupa pengembangan dari visi dan misi yang pernah mereka tuliskan saat pertama kali mengisi formulir pendaftaran.
Di luar hal itu, ada berita lain, Nyla dan beberapa anggota baru lainnya mendengar kasak-kusuk bahwa mental mereka akan benar-benar diuji pada latihan kepemimpinan itu. Dua hingga tiga anggota baru yang tidak berkompeten akan dikeluarkan dari keanggotaan. Kabar yang membuat mereka berkeringat dingin dan gelisah bahkan sebelum rapat dimulai.
Rapat sore itu dipimpin oleh Parta. Rasanya sudah lama sekali Nyla tidak melihat wajah sombong itu dari dekat. Pembawaannya saat memimpin rapat menunjukkan kekuatan yang layak untuk diacungi jempol. Nyla baru bisa mengakui alasan mengapa banyak gadis di kampusnya yang tergila-gila pada Parta. Di samping keangkuhannya ternyata dia memiliki pesona lain yang menarik kaum hawa.
Nyla menepis pujiannya itu dengan sekelebat bayangan Yoga yang selalu membawa kesejukan untuknya.
“Jadi, latihan kepemimpinan akan kita laksanakan dalam bentuk perkemahan. Kita menyatu dengan alam untuk setiap kegiatan yang akan kita lakukan. Tidak perlu khawatir karena di sana kita tetap mendapatkan fasilitas listrik dan makan, tentunya. Jangan dibayangkan kita berkemah seperti anak SMA.”
“Boleh tahu gambaran kegiatan yang akan kita lakukan, Kak?” Salah satu anggota baru memberanikan diri untuk bertanya. Ia ingin memastikan kebenaran kasak-kusuk yang beredar.
“Secara garis besar sama dengan kegiatan kepemimpinan yang lain. Kita akan ada kegiatan outdoor berupa games kepemimpinan. Ada pemaparan materi, ini adalah bagian kalian untuk presentasi, jadi siapkan dengan sungguh-sungguh. Terakhir, akan ada sarasehan atau perenungan untuk memantapkan diri kalian di unit kegiatan kita ini.”
“Kak, ada kabar bahwa nanti akan ada yang dikeluarkan dari keanggotaan. Apakah itu benar?”
“Saya tidak tahu kalian dengar kabar itu dari mana. Yang pasti, kalau kalian layak, maka kalian akan dipertahankan. Poinnya adalah buat diri kalian layak di unit kegiatan kita ini. Kerjakan semua instruksi dengan komitmen yang sungguh-sungguh,” jawab Parta dengan nada yang sudah mulai jengah. “Pertanyaan seperti itu merupakan manifestasi mental kalian yang tidak kuat. Saya harap tidak ada lagi pertanyaan serupa,” tegas Parta.
Semua anggota baru sudah tidak berani lagi berbisik-bisik hingga rapat selesai.
“Menunggu Yoga?”
Parta mendekati Nyla yang masih duduk di tempatnya. Anggukan, itulah jawaban yang diperlihatkan Nyla atas pertanyaan Parta. Ruang unit kegiatan sudah sepi, tinggal mereka berdua.
Parta mengambil bangku di dekat Nyla. Ia duduk dengan gayanya –tangan bersedekap di depan dada.
“Masih berapa lama? Sudah hampir satu jam loh.”
Parta mengingatkan Nyla sambil mengarahkan dagunya pada jam dinding di bagian depan ruangan itu. Nyla mengikuti titik pandang Parta dan menemukan waktu sebentar lagi akan menutup hari.
“Tinggal saja, saya bisa tunggu sendiri.”
“Bukan masalah bisa sendiri atau tidak. Hari ini aku yang pegang kunci ruangan. Itu artinya aku yang seharusnya menjadi orang terakhir di ruangan ini. Aku juga bisa digantung Vika kalau dia tahu aku meninggalkan anak baru di sini. Sekarang begini saja, aku antar kamu pulang.”
Parta memutuskan sepihak tanpa memberi tawaran. Ia bangkit dan membereskan tasnya, sedangkan Nyla tampak menimbang. Ia tak memiliki pilihan untuk tetap tinggal karena hari sudah hampir malam. Lagi pula dia juga merasa tidak nyaman sudah membuat Parta menunggu dirinya dijemput Yoga. Rasanya kurang etis jika harus menolak tawaran baik orang lain. Akhirnya, setelah Parta mengunci pintu ruangan Nyla membuntutinya berjalan menuju parkiran.
Parta memilih tempat parkir yang berbeda dari mahasiswa lain. Ia lebih memilih memarkirkan mobilnya di lapangan parkir utama yang lebih luas. Untuk dapat sampai ke sana dibutuhkan waktu beberapa menit dengan berjalan kaki. Bagi Parta itu sudah biasa, namun tidak bagi Nyla.
Entah apa yang ada dalam pikiran Nyla, tiba-tiba ia tersandung dan terhuyung hampir menabrak Parta yang berada di depannya. Saat yang bersamaan Parta melihat motor Yoga melaju ke arah berlawanan.
“Kamu tidak bisa hati-hati ya?” kata Parta memarahi Nyla.
“Maaf, agak gelap, Kak. Aku tidak bisa lihat jalan,” jawab Nyla sekenanya.
“Sini!”
Parta menggandeng tangan Nyla dan melanjutkan perjalanan mereka dalam diam. Sempat Nyla ingin melepaskan tangannya dari genggaman Parta, tapi kaitan tangan itu jauh lebih kuat.
“Kuliahmu lancar?” Parta membuka pembicaraan saat mereka sudah dalam perjalanan.
“Lancar, aku bisa mengikuti dengan baik.”
“Sudah seharusnya seperti itu sih. Sudah siap untuk ujian paruh semester?” lanjut Parta.
“Sudah, saya sudah belajar. Terima kasih untuk perhatiannya.”
“Siapa bilang aku perhatian, Nyla. Aku cuma ingin tahu saja, cuma mengingatkan saja. Kamu kan kuliah pakai uang beasiswa, jadi harus sungguh-sungguh. Kasihan yang kasih kamu beasiswa kalau kamu tidak sungguh-sungguh. Biaya kuliah di sini tidak sedikit.”
Nyla menelan ludah pahit. Ia merasa ditohok oleh kata-kata Parta. Sejauh ini dia berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seorang diri. Tidak ada yang mendukungnya, tidak ada yang memedulikan saat ia terjatuh bahkan anggota keluarganya pun tidak.
“Sepertinya kamu terlalu ikut campur urusan orang lain. Kamu tidak tahu tahu bagaimana aku berjuang untuk mendapatkan beasiswa itu. Kata-kata kamu barusan itu terlalu kejam. Terlalu menuduh seolah-olah aku berfoya-foya dengan uang beasiswa. Aku memang orang kampung, tapi aku tahu bagaimana harus menempatkan diri.”
“Tidak perlu sensitif dong. Dunia ini memang kejam anggap saja aku kasih kamu pelatihan untuk bisa menjadi orang yang tebal telinga.”
“Tidak usah bawa-bawa dunia. Aku sudah tahu bagaimana cara menyikapinya. Kamu itu hanya orang yang selalu hidup serba kecukupan sehingga kamu tumbuh menjadi orang angkuh. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya berjuang, bagaimana menghargai orang lain.”
Parta mulai tersulut dengan jawaban panjang Nyla. Ia membanting kemudi, menepikan mobilnya.
“O, ya? Dengar baik-baik! Kamu tidak bisa menilai orang dari apa yang kamu lihat. Kamu juga tidak bisa menilai orang dari apa yang kamu dengar. Lebih lagi, kamu tidak bisa menilai orang hanya dari kata-kata orang lain. Dunia itu luas, kehidupanku juga luas, tidak bisa kalau hanya dinilai dari satu sisi. Kamu memang cerdas tapi cara berpikir kamu masih sempit! Kamu itu seperti kura-kura yang masih suka sembunyi di balik cangkang. Suka cari ketenangan. Kamu belum siap dengan dunia yang kejam.”
Parta keluar dari mobilnya, mengitari bagian depan mobil, dan membuka pintu di samping Nyla.
“Sekarang turun!” katanya.
Nyla memandang Parta dengan tidak percaya. Ia berpikir bahwa kata-kata yang baru saja didengarnya juga bisa berlaku untuk Parta. Nyla menginjakkan sepatunya ke aspal dan berjalan menjauh dari mobil. Ia masih diam tak menanggapi kemarahan Parta. Di belakangnya Parta membanting pintu mobil dengan keras hingga membuat Nyla berbalik karena terkejut.
“Satu hal lagi, aku tahu banyak tentang kamu,” tambah Parta sebelum kembali memasuki mobilnya dan melaju meninggalkan Nyla di tengah bising kendaraan yang berlalu lalang.
Terima kasih sudah membaca. Mohon tuliskan komentar ya. :)
Hari Minggu ini Nyla ditemani Yoga untuk membeli beberapa keperluan, khususnya keperluan untuk latihan kepemimpinan. Mereka lebih memilih pusat perbelanjaan alih-alih ke toko khusus. Selain karena harga yang bersaing –berkemungkinan mendapat yang lebih murah— barang yang ditawarkan pun jauh lebih beragam dan mereka juga tidak perlu berpindah-pindah ke tempat yang jauh. Yoga berkeliling di lorong tersendiri saat mereka berada di toko alat perkemahan. Ia berada di deretan topi yang dengan aneka jenis dan warnanya. Satu topi rimba berwarna hijau tua dengan jahitan berpola daun semanggi di bagian depannya menjadi pilihan Yoga. Diraihnya topi itu dan dibawanya ke kasir. Setelah melakukan pembayaran, segera ia memasukkan topi itu ke dalam kantong belanja yang sedari tadi ia bawa. Berharap Nyla tidak mengetahui. Ia akan memberikannya sebagai kejutan saat pulang mengantarnya. “Ada yang ingin dibeli?” Yoga mendekati Nyla yang sedang menunduk memperhatikan beberapa gantungan k
Di depan basecamp unit kegiatan, sebelum mereka berangkat menuju tempat perkemahan Renata membagi scraf pada para peserta latihan kepemimpinan. Vika dan Parta sudah berada di depan sementara Alex berada di mobil, siap mengangkut segala perlengkapan dengan beberapa teman yang lain. “Lima belas menit lagi kita akan berangkat. Pastikan keperluan pribadi kalian tidak ada yang terlewatkan. Semua akan naik kendaraan yang sudah disediakan panitia. Perjalanan kurang lebih tiga jam dan sampai di sana kita akan langsung melakukan kegiatan. Jadi, manfaatkan waktu perjalanan dengan baik,” jelas Vika memberi instruksi pada peserta yang ada di depannya. Di depan barisan Nyla duduk dengan kaki bersila. Semua duduk di lantai. Di belakang Nyla berbisik beberapa anggota lain yang membicarakan ketampanan Parta. Sosok yang memesona kaum hawa itu terlihat berbeda dengan setelan kaos berwarna hijau tua berpadu celana pantalon dengan warna senada juga sepatu gunung yang s
“Kamu tidak istirahat? Yakin mau masuk hari ini?” tanya Yoga di depan pintu pagar kos Nyla. Yoga sudah terbiasa menjemput Nyla saat mereka ada jam kuliah dengan waktu yang bersamaan. Seperti hari ini, sepulang dari latihan kepemimpinan Nyla memutuskan untuk mengikuti perkuliahan yang memang terjadwal di siang hari. “Aku tidak mau ketinggalan satu pertemuan pun,” kata Nyla sambil menerima helm yang disodorkan Yoga. “Gadis yang rajin,” Yoga mengelus puncak kepala Nyla dari atas motornya. Setelah menggunakan helm dengan baik, Nyla naik ke atas motor Ninja warna merah milik Yoga. Mereka meluncur ke kampus tercinta. “Aku langsung ke kelas ya, Kak,” kata Nyla seraya menyerahkan helmnya pada Yoga. “Tunggu,” Yoga memegang tangan Nyla. Ia menatap Nyla dengan lembut. “Semangat ya,” lanjutnya. “Pasti, Kak Yoga juga ya. Daaa.” Yoga membalas lambaian tangan Nyla dengan masih duduk di atas motornya. Yoga bisa melihat senyum dan kegir
Dalam beberapa hari Nyla mencoba menghindari Yoga. Bayangan Vika yang menyukai Yoga membuatnya enggan untuk lebih dekat dengan Yoga hingga semuanya menjadi jelas. Ia merasa bersalah sudah menjalin hubungan akrab dengan Yoga dan akan menjadi rasa yang terus tidak nyaman jika ia lanjutkan. Setelah mengetahui kenyataan Vika menyukai Yoga, seolah Nyla adalah orang yang tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih atas segala sikap baik yang diterima dari Vika. Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla di atas nakas bergetar. “Aku di depan kos kamu, Ny. Kamu di mana?” Tampilan pop up menunjukkan detail isi pesan yang dikirimkan oleh Yoga. Nyla melanjutkan menyisir rambutnya di depan kaca. Ia mengabaikan pesan itu. Trtrtrtrtrt….. Lagi. “Aku tunggu kamu ni, buruan ya, sudah mulai panas ini, nanti kita bisa telat.” “Maaf, Kak. Aku lupa memberitahu. Aku sudah di kampus, tadi berangkat buru-buru.” Nyla mengetik pesan balasan u
Dua minggu sejak penolakan, Nyla merasakan sepi yang semakin menjadi. Di luar urusan perkuliahan, ia tidak memiliki teman. Pun juga ia tidak menghabiskan waktu lama di kampus. Seusai jam kuliah ia menyempatkan diri ke perpustakaan untuk meminjam buku kemudian pulang dan menghabiskan waktu di kos. Jika ada pertemuan di unit organisasi baru dia akan pulang sedikit lebih terlambat, itu pun seminggu sekali. Perasaan seperti itu bukan hal baru bagi Nyla. Waktu masih sekolah ia sering kesepian. Dulu dengan kesepian ia bisa menjadi dirinya sendiri dan bisa menjadi pribadi yang lebih produktif. Tapi, berbeda dengan saat ini. Kebiasaannya bersama dengan Yoga membuat dia mulai bergantung pada kenyamanan semu itu. Ingin rasanya Nyla bertanya tentang keadaan Yoga pada Vika. Dia pasti tahu tentang Yoga karena mereka teman sekelas. Namun itu bukan pilihan yang baik. Seperti kertas yang dilempar ke bara yang menganga tentu akan keluar api yang menghanguskannya. Ia tidak ingin menye
“Jadi waktu itu kamu ajak dia keluar malam? Kamu tidak aneh-aneh kan sama dia? Kamu tidak perlakukan dia seperti kamu perlakukan wanita di luar sana kan?” cecar Vika pada Parta. Dari kejauhan Vika sesekali melirik Parta yang sedang berlaku seperti anak kecil dimarahi ibunya. Vika sebagai ketua unit organisasi menggandeng Parta sebagai wakilnya karena nilai akademis dan kecakapannya dalam menjalin komunikasi. Ia tahu bahwa di luar lingkungan kampus Parta akan menjadi orang yang berbeda, tapi ia memiliki profesionalitas yang bisa diandalkan. Kehidupan pribadinya sangat jarang ia bawa dalam urusan organisasi. Kedewasaan Vika dalam menilai seseorang itu juga lah yang membuat Parta nyaman berteman dengan Vika bahkan sesekali bercerita tentang kehidupannya. “Sudah?” Satu kata yang keluar dari mulut Parta terasa mengisyaratkan kalau dirinya ingin dipukul oleh Vika yang sudah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Aku serius Parta! Nyla itu gadis baik-bai
Pucuk dicita ulam pun tiba. Tak disangka Nyla membuntuti Parta hingga mendekati parkiran mobil. Nyla yang terengah mengejar akhirnya sampai dan membungkuk mengatur napas. Di depannya Parta terus memasang senyum mengejek dengan tangan bersedekap di depan dada. Gaya khasnya yang menyombongkan diri merasa dibutuhkan dan diandalkan. “Mereka menolak pesananku,” kata Nyla masih dengan napas yang belum teratur. “Aku tahu itu.” Jawaban tenang Parta membuat Nyla melongo. Orang itu selalu merasa tahu lebih awal. Sangat menyebalkan apalagi dengan senyum seringainya. Ia menelengkan kepalanya, satu gesture untuk menyuruh Nyla masuk ke dalam mobil. “Aku sudah katakan kalau aku ada janji dengan temanku.” Parta kembali mengingatkan sembari memasang seatbelt sebelum dia menancap gas keluar dari area parkir kafe itu. “Ya, aku tahu. Aku hanya akan diam dan menunggu untuk diantar pulang.” Nyla memandang Parta meyakinkan diri dengan keputusannya.
Berbagai kegiatan di luar akademis ditiadakan selama ujian semester. Semua mahasiswa bertekun dalam belajar untuk mendapatkan nilai terbaik. Selama seminggu penuh Nyla hanya belajar dan belajar. Temannya adalah buku, baik di kos maupun di kampus. Baik di kelas, di taman, di kantin, maupun di perpustakaan. Kunci ruang kegiatan semua dipegang oleh Vika, termasuk kunci cadangan yang sering dibawa Nyla sehingga Nyla tidak bisa memanfaatkan ruang itu untuk belajar. Nyla merasa beruntung dengan kecerdasan yang dimilikinya. Sedikit belajar saja sudah membuat Nyla bisa mengingat semua materi juga cara mengaplikasikannya. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu ia merasa tidak baik jika harus iri dengan kelebihan orang lain. Nyla bisa dikatakan berhasil dalam dunia akademis, namun tak ada yang tahu bagaimana kehidupan melingkupi dan membentuk kepribadiannya. Beruntung, ketegaran yang diwariskan ibunya selalu ia pegang untuk bertahan hidup sesulit apa
“Selamat datang.” Parta membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nyla untuk turun. Setelah menunda dua hari, akhirnya Parta berhasil meyakinkan Nyla untuk pergi ke rumah ibunya. ‘Menginap’ kata itulah yang membuat Nyla harus berpikir ulang untuk mengatakan mau atau tidak mau. “Ini rumah siapa?” tanya Nyla yang masih belum diberitahu Parta. Terdengar suara pintu dibuka dari rumah sederhana itu. Nyla pun menoleh dan melihat wanita paruh baya tersenyum serta melambai padanya. Mata Nyla beralih ke Parta dengan penuh tanya, sayangnya Parta hanya mengangkat bahu dan langsung menggandeng tangan Nyla dan membawanya menghampiri pemilik rumah itu. “Kalian sudah datang?” sapa Ratna yang langsung memeluk Nyla. “Kamu benar-benar cantik, persis seperti yang dikatakan Parta. Pantas saja dia tergila-gila sama kamu,” imbuh Ratna usai mereka berpelukan. “Mama,” kata Parta memberitahu Nyla yang masih kebingungan. “Mama?” tanya Nyla pada Parta de
“Kak Parta? Ini benar, kan?” Nyla membulatkan matanya tak percaya. Pemuda yang berdiri tegap di depannya terlihat lebih sempurna daripada pemuda yang suka usil dan menyebalkan yang ada dalam ingatannya. Pemuda di depannya terlihat lebih ramah dan dewasa. Wajahnya lebih bersih seperti habis bercukur. Tatanan rambutnya juga lebih dewasa. Tapi, satu hal yang meyakinkan Nyla, aroma mint yang berhasil dihidunya. Sementara Nyla masih sibuk membandingkan pikiran dan kenyataan yang ada di depannya, Parta mengangguk dan melebarkan senyumnya sebagai jawaban.Angin kerinduan yang sangat lama bergemuruh di hati Nyla seperti mendapat kebebasan menyambut tuannya. Nyla merentangkan tangan dan langsung menghambur memeluk Parta. Menghirup sampai puas aroma yang menenangkan hatinya. Ia tidak peduli dengan orang di sekitarnya. Tidak peduli bahwa hal yang dilakukan mungkin akan membuatnya malu saat menyadarinya. Tidak peduli apakah akan mendapat penolakan—yang pa
“Hai, Ny. Selamat, ya.” Renata dan Alex yang menggendong seorang anak kecil menghampiri Nyla. Hari itu Renata juga diwisuda. Berbeda dengan Alex yang justru menunda wisudanya karena lebih memilih untuk terus bekerja. Sudah hampir setahun ia menjadi kepala keluarga setelah pernikahan tiba-tiba yang mereka langsungkan karena kehamilan Renata yang di luar rencana.Nyla pernah menggeleng tak percaya waktu mendengar kabar itu, tapi melihat kebahagiaan keduanya rasanya tidak adil jika Nyla berpikir negatif tentang hubungan dan bentuk tanggung jawab yang sudah dengan berani mereka ambil. Sudah saatnya untuk berpikir terbuka, bukan berarti setuju dengan hal semacam itu, hanya perlu bijaksana untuk menyikapinya dan perlu menanggalkan pemikiran kolot yang sering mengatasnamakan kebenaran.“Terima kasih dan selamat juga untukmu, Ren. Kamu luar biasa,” tambah Nyla. Ia menggoda si kecil yang terlihat sibuk sendiri di gendongan Alex.Pertemuan
Nyla menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan benda kecil itu ke telinganya. “Halo,” kata Nyla dengan ragu-ragu. “Hai, Ny!” teriak orang di seberang telepon. Suaranya begitu renyah, semangat, penuh keceriaan. Namun demikian, Nyla masih sulit mengidentifikasi suara yang melewati jarak dan segala sistem untuk bisa sampai ke telinganya itu. Ada jeda beberapa saat ketika Nyla masih sibuk dengan pikirannya hingga suara di ujung telepon kembali mengambil alih suasana. “Ny, kamu masih di situ?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir. “Kak Vika?” tanya Nyla dengan agak ragu. Cara pemilik suara itu khawatir mengingatkan Nyla pada sosok Vika yang memang sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya, sama sekali setelah kepindahannya bersama dengan Yoga dan tepatnya setelah peristiwa yang dialami Parta di tempat usaha yang kelola oleh sahabatnya itu. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Nada khawatir itu sudah kembali cerita lagi. “Hai, Kak. Ya ampun. Se
Percayalah, apa pun yang kita lakukan itu akan terasa menyenangkan dan menantang saat semuanya masih baru. Seperti halnya memuaskan rasa penasaran, kita ingin terus menaklukkan dan membuat diri kita menjadi pemenang. Mulai semester awal dengan segala ambisi yang tertanam, nyatanya Nyla mengalami banyak pengalaman dan rintangan yang semakin membuatnya merasa lengkap meniti setiap jejak langkah yang sudah disiapkan untuk dirinya. Teman yang semakin berkurang, tanggung jawab yang semakin bertambah dan hanya bisa diselesaikan, dilakukan, seorang diri. Benar-benar sendiri karena setiap orang memiliki kesibukan yang sama dan tanggung jawab yang sama beratnya. Mengabaikan semua perasaannya, Nyla berhasil membulatkan tekad awalnya. Kesibukan dan keberhasilan sudah di depan mata dan siap menyambut telapak tangannya. “Satu minggu ini kamu tidak perlu datang jika kedatanganmu hanya untuk bekerja. Kamu boleh datang jika kamu memang perlu untuk kebutuhan kuliahmu. Bukan u
Nyla ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar di senyum Bela saat sahabatnya itu mengenakan gaun sederhana yang akan digunakan untuk acara makan malam antara keluarganya dan keluarga Robi. Beberapa kali ia keluar dan masuk kembali ke kamar pas untuk mencoba beberapa gaun dan meminta pendapat Nyla. Ada rasa bangga yang terbersit di benak Nyla saat menyadari bahwa dirinya menjadi pribadi yang dipercaya untuk memberi pendapat dalam hal yang sangat penting bagi sahabatnya itu. “Bagaimana? Aku lebih suka yang warna emas, tapi kurasa aku tidak bisa menahan untuk mencoba yang satu ini dan rasanya sangat pas dan cantik,” celoteh Bela yang sedang memutar badannya dan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Sementara itu Nyla duduk di belakangnya dan terus mengamati. “Kamu hanya mengagendakan untuk makan malam satu kali. Tidak mungkin dalam waktu yang sama kamu akan berganti pakaian.” Nyla menatap Bela yang sekarang membelakangi cermin dan sedang menunjukkan penampilanny
Bela tidak berhenti berjalan ke sana ke mari di antara beberapa bangku pengunjung. Beberapa karyawan yang sedang membersihkan kafe malam itu sesekali mencuri pandang dan menaruh curiga pada sikap tidak biasa dari atasannya itu. Sesekali juga mereka berbisik, namun tak ada satu pun yang berani bertanya secara langsung. Biasanya Bela akan menyampaikan beberapa instruksi yang menurut karyawannya sangat membosankan, instruksi yang selalu diulang-ulang setiap mereka mulai menutup kafe. Nyla yang baru turun dari lantai dua melihat pemandangan itu. Matanya beralih dari satu sisi kafe ke sisi yang lainnya. Beberapa karyawan yang sudah selesai beres-beres namun masih berkumpul dan tidak segera pulang. Mereka saling mendorong satu sama lain untuk mendekati Bela. Bela yang mendapat perhatian dari karyawannya itu juga menjadi perhatian Nyla. Ada apa dengan mereka hari ini? “Ada apa? Mengapa kalian belum pulang?” tanya Nyla saat mendekati karyawannya yang sudah berganti
Vika terbahak-bahak ketika mendengar Yoga menceritakan kemurungan Parta karena cemburu dan takut Nyla memiliki pacar baru. Suasana meja makan begitu renyah, tidak hanya dentang sendok garpu yang beradu dengan piring. Vika dan Parta pun lebih sengit, terutama Vika, mengejek satu sama lain. Parta terus memprotes masakan Vika yang jelas hanya mengada-ada karena buktinya ia melahap semua makanan. Belum lagi Yoga yang terus membela Vika membuat Parta semakin terpojok. Tapi tidak masalah, itu semua hanya canda. Mereka sadar bahwa jauh dari keluarga membuat mereka harus saling menguatkan satu sama lain. Dan itu cara yang mereka pilih. “Jadi? Bagaimana? Kamu mau balik, Par? Kalau kamu tidak balik, bisa-bisa Nyla diambil cowok lain.” “Dalam imajinasimu, Vik! Nyla tidak mungkin semudah itu melupakan cowok sekeren aku. Lagian aku yakin banget kalau itu cowok tidak bisa menyaingi kelebihanku.” “Ingat, Par. Nyla pernah suka loh sama aku,” sela Yoga memberi penekan
“Apa?” Parta masih menyimak cerita Bela namun tidak yakin dengan pendengarannya saat ini. “Tidak perlu heran!” tegas Bela yang bisa dipastikan kekesalannya. Tidak ada orang yang suka mengulang-ulang perkataan yang baru saja selesai disampaikan, begitu juga dengan Bela. “Kamu jangan merusak semangat aku dong Bel! Yang benar saja? Nyla tidak mungkin semudah itu jatuh cinta sama orang lain.” Parta menghela napas dan menghentikan aktivitasnya. Fokusnya hanya pada earphone yang memenuhi telinganya. Cerita panjang yang disampaikan Bela diakhiri dengan berita yang ingin ditolak oleh Parta. Pemuda itu sudah tidak fokus membaca buku di depannya. Jemarinya juga beberapa kali salah mengetik. “Aku tidak bilang kalau Nyla jatuh cinta sama itu cowok. Aku cuma bilang kalau ada cowok yang suka sama Nyla dan berusaha mendekati Nyla.” “Terus?” tanya Parta. Ia tidak sungguh bertanya karena jawabannya tentu akan membuatnya berpikir lebih dalam. “Terus ak