Kedua mata Arjen menatap kosong pada potret kakek dan neneknya. Ia tak bisa mengucapkan salam terakhir karena keduanya sudah di kremasi.
Masih terbayang jelas saat-saat terakhir ketika mereka berdua meregang nyawa di depan wajahnya.
Tangannya terkepal saat ia teringat seringai Asmodeus yang terlihat senang. Hatinya terbakar dan ia ingin sekali merobek wajah pangeran kegelapan itu agar ia tak dapat menyeringai lagi.
"Arjen, setidaknya makanlah sesuatu. Sejak kemarin, kau belum makan, 'kan?" Hanzo bertanya sambil menepuk pundaknya lembut.
Tapi, anak laki-laki itu tidak bereaksi dan terus menatap kedua potret milik orang yang paling ia sayangi.
Bagi Arjen, mereka berdua seperti orang tua yang tak pernah ia miliki sebelumnya.
Merawatnya sejak kecil dan memberinya kasih sayang yang sama seperti anak-anak lain.Masakan Neneknya juga tidak ada duanya. Sampai saat terakhir, ia masih belum sempat memakan ayam goreng sambal terasi atau bakmi kuah yang disukai kakeknya itu.
Kalau bisa, ia akan menyerahkan segalanya untuk melihat neneknya yang memunggunginya saat sedang sibuk di dapur. Hanya sekali saja, agar ia tak memiliki penyesalan apapun.
Arjen memang bisa dibilang tak begitu akrab dengan kakeknya yang cukup tegas dan disiplin kepadanya.
Tapi, sekarang ia benar-benar merindukan tatapan tajam kakeknya ketika Arjen melakukan kesalahan.
Atau suara dengusan dari laki-laki tua itu ketika melihat sesuatu yang lucu.
Neneknya pernah berkata bahwa Kakek Arjen memang memiliki sedikit kesulitan untuk mengekspresikan perasaannya.
"Cuma Nenek saja yang tahu perasaannya sesungguhnya." Kata Sandra saat itu.Arjen tahu kalau Kakek dan Neneknya saling menyayangi satu sama lain.
Tapi, saat ini, ia merasa terkhianati karena mereka berdua pergi bersamaan tanpa mengajak serta dirinya.Lalu, apa artinya hidupku sekarang? Tanya Arjen dengan nelangsa. Kenapa iblis itu tidak mencabut jantungku juga? Kenapa?
Ada sesuatu yang pahit di tenggorokan Arjen. Membuatnya ingin mencekik lehernya sendiri hingga perasaan sesak itu pergi.
Tapi kedua tangannya tak bergerak.Saat ini, rasanya baik otak dan tubuhnya tak bergerak dengan harmonis.
Kedua tangan dan kakinya seolah bukan miliknya lagi. Arjen merasa dirinya takkan bisa sama lagi."Arjen?" Panggil Hanzo untuk kesekian kalinya. "Apa kau bisa berdiri? Waktu untuk memakamkan mereka sudah tiba."
Anak itu tak menjawab. Tapi, tubuhnya secara otomatis berdiri. Tatapannya yang kosong terus terarah ke kedua bingkai foto itu.
Hanzo memberi tanda pada orang-orang di depannya untuk mendekat.Salah satu dari mereka menyerahkan potret Hendro kepada anggota terakhir keluarga Mataram tersebut.
Kedua tangan Arjen bergetar tak karuan. Tak pernah ia sangka bahwa potret itu sangat berat."Jangan memaksakan diri, Jen. Kau bisa duduk saja di sini." Kata Hanzo sambil membawa potret milik Sandra.
Lagi-lagi, Arjen tak menjawab. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi mulutnya tak mau terbuka. Jadi, yang bisa dilakukan hanyalah berdiri dan memegang potret Hendro sampai persinggahan terakhir.
Hanzo menatapnya dengan pandangan khawatir sebelum memberi tanda pada orang-orang di depannya untuk mulai berjalan.
Letak pemakaman tidak begitu jauh dari rumah duka.Tapi, tetap saja tak ada bedanya untuk Arjen. Langkahnya semakin berat dan ia berharap agar perjalanan ini takkan sampai pada tujuan.
Langit mendung mulai mengeluarkan suara gemuruh ketika Arjen dan barisan pelayat dalam balutan pakaian serba hitam sampai di depan makam.
Di depan batu nisan, terdapat lubang sedalam beberapa meter. Seorang laki-laki dengan hati hati menaruh guci putih porselen berisi abu dan tulang milik kakeknya ke dalam sana dengan menggunakan katrol.
Lalu, seorang lagi melakukan hal yang sama pada guci milik neneknya.
Arjen melihatnya tanpa sanggup berkomentar.
Ia ingin berteriak atau menangis meraung-raung di tanah makam yang dipenuhi rumput hijau yang dipangkas rapi. Tapi, tubuhnya beku. Suaranya juga tak muncul.Seorang laki-laki lain, yang memakai baju hitam serta jubah putih pendej, maju sampai di depan batu nisan sambil membacakan pidato mengenai kematian dan kehidupan surga maupun neraka.
Laki-laki itu juga mengatakan bahwa Hendro dan Sandra telah menemukan kedamaian.
Arjen menjadi penasaran, apakah kedamaian itu akan ia temukan jika tubuhnya menjadi abu dan terkubur di dalam tanah.
Rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi tepat ketika si laki-laki tua menyelesaikan pidatonya. Para pelayat lainnya juga mulai meninggalkan area pemakanan untuk mencari tempat berteduh.
Hanzo menepuk pundak anak remaja di sebelahnya itu, "Arjen, sebaiknya kita menyingkir dulu. Hujan di musim kemarau biasanya berdurasi agak lama."
Tidak ada respon. Bahkan Hanzo sampai mengguncang tubuh anak itu sampai beberapa kali.
Hujan semakin deras dan laki-laki berambut hitam cepak itu menggelengkan kepala sebelum pergi kembali ke rumah duka. Meninggalkan Arjen berduka sendirian.Air dingin membasahi sekujur tubuhnya hingga meresap ke pori-pori kulitnya.
Potret Hendro dan Sandra yang tersenyum tersiram hujan. Anak itu menunduk ke tanah makam dan bertanya-tanya apa mereka akan merasa kedinginan karena air hujan ini.Tapi, pikiran itu menghilang setelah Arjen ingat bahwa mereka telah menjadi abu yang bahkan tak bisa merasakan jari-jemarinya.
"Kau anggota keluarga Mataram yang terakhir?" Tanya sebuah suara serak milik seorang laki-laki dari balik punggung anak itu. "Aku turut berduka cita. Mereka adalah orang yang hebat. Tapi, bisakah kita bicara sebentar?"
Arjen tak menjawab ataupun menoleh ke sumber suara. Ia hanya berdiri di sana dan terus memandangi kedua potret kakek dan neneknya.
Kenangan-kenangan sejak kecil yang ia miliki mulai menyerbunya. Mungkin keduanya tak memberikannya harta warisan, tapi Arjen merasa bahwa ingatan-ingatan dan momen berharga bersama mereka adalah harta yang luar biasa. Ia akan menyimpannya dalam sudut hatinya dan membukanya setiap ia ingin melihat sosok keduanya.
Arjen sangat merindukan mereka. Jika bisa, ia ingin memeluk mereka sambil mengucapkan kalimat perpisahan dengan benar.
"Kau dengar aku?" Tanya lelaki di belakang punggungnya. Suara hujan deras membuatnya mengira bahwa mungkin Arjen tak bisa mendengarnya dengan baik.
Lalu terdengar sebuah suara lagi. Kali ini, bernada lebih tinggi dan penuh amarah milik seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh bekas luka.
Tangannya meraih pundak Arjen dengan kasar, "Hei! Aku tahu kau sedang berduka! Tapi, ini masalah yang lebih penting dan menyangkut keselamatan orang banyak!"
Laki-laki yang sebelumnya berusaha memisahkan mereka, "Kayhan! Kau keterlaluan! Sabarlah sedikit."
"Aku tak selembek kau, Berni! Anak semacam ini memang perlu diberi pelajaran agar menghormati orang yang lebih tua!"
"Hentikan!" Teriak Berni saat melihat Kayhan melayangkan tinjunya pada anak yang sedang berduka tersebut.
Ia segera mendorong rekannya itu menjauh. Tapi, hal itu malah membuat Arjen terpukul mundur dan jatuh terduduk di tengah batu nisan milik kakek dan neneknya. Kepalanya tertunduk sehingga sulit untuk menebak ekspresinya.
"Oi! Kau tak boleh sembarangan memukul anak orang! Berlakulah sedewasa umurmu!" Teriak Berni kencang sambil mencengkeram kerah kemeja hitam lawan bicaranya.
Kedua mata cokelat Kayhan melotot."Kenapa? Hanya karena ia berduka bukan berarti ia boleh berlaku tidak sopan seperti itu! Lagipula, kau sudah meminta waktunya baik-baik tapi dia juga menolakmu, 'kan? Gila! Aku tak tahu bagaimana cara pasangan Mataram itu mendidik cucunya sampai menjadi anak seperti ini.
Wajah Berni merah karena amarah, "Aku bersumpah akan menjahit mulutmu nanti! Kay, pakailah otakmu sedikit!"
"Cuih!" Kayhan meludah ke batu nisan milik Hendro. "Sudah bagus mereka pergi dari sini. Kenapa juga harus kembali ke sini? Merepotkan saja! Untunglah mereka mati, aku jadi tak perlu repot untuk membunuhnya!"
Kepalan tangan Berni hampir saja mendarat di wajah kasar Kayhan, kalau saja ia tak terlempar beberapa meter sampai punggungnya menabrak salah satu batu nisan.
"Eh?" Berni melihat kepalan tangannya dengan pandangan tak percaya.
Kayhan mengelap sudut bibirnya yang berdarah. Ada sesuatu yang keras dalam mulutnya. Ketika meludah, barulah ia sadar bahwa beberapa giginya telah tanggal. Ia menyeringai ke arah si penyerang, "Heee, ini wujud aslimu, ya."
Berni menoleh ke belakang punggungnya dan melihat Arjen telah terbakar.
Atau kelihatannya saja begitu.
Api dengan warna semerah darah, membara dan mengelilingi sekujur tubuh Arjen. Wajahnya nampak bengis.
"Kau... beraninya menghina Kakek dan Nenekku!" Suara Arjen menjadi lebih berat dari suara aslinya.
Berni menelan ludah. Instingnya mengatakan bahwa ia harus kabur karena makhluk dihadapannya ini sangatlah kuat dan takkan memberi ampun pada musuhnya.
Saat ia bersiap untuk lari, Kayhan sudah berdiri dan mengeluarkan pedang dari belakang punggungnya.
"Ayo, Anak Iblis! Serang aku sekuat mungkin!" Katanya sambil berlari ke arah Arjen.
"KAY! Berhenti! Kau takkan menang!"
BUGH!
Gerakan Kayhan maupun Berni berhenti saat melihat Arjen jatuh tersungkur di atas tanah. Api yang mengelilinginya telah menghilang.
Di belakang anak itu, Hanzo sudah bersedekap dengan raut wajah serius. "Bagaimana bisa dua orang pemimpin dari keluarga yang terpandang seperti kalian, bisa membuat keributan di tempat seperti ini?"
Kayhan mengembalikan senjatanya ke dalam sarung pedang di belakang punggungnya.
Sedangkan Berni mengangguk sekilas, "Han, kami ini--,"
Hanzo membopong Arjen yang masih pingsan, "Mari kita masuk terlebih dahulu. Rasanya, hujan ini takkan berhenti sampai petang nanti."
"Oh? Kakak sudah sadar?" Tanya Sucubus pada saudaranya yang baru terbangun setelah beberapa hari setelah kejadian itu.Incubus mengedarkan pandangannya dan mendapati mereka berada di dalam gua yang agak pengap. Suasana begitu hening hingga ia dapat mendengar bunyi tetesan air dalam irama yang teratur."Ini tempat singgahku." Kata Sucubus sambil duduk di sebuah altar kecil, dekat dengan deretan lilin yang menyala-nyala. "Ada beberapa manusia bodoh yang menggunakan tempat ini untuk melakukan ritual palsu.""Ritual palsu?""Untuk memanggil Yang Mulia Mammon. Jadi, kumakan saja sekalian dia dan pengikutnya." Mammon adalah salah satu pangeran kegelapan, lambang dari dosa keserakahan dan biasa dipanggil untuk melakukan ritual yang dapat memperkaya diri dengan mengorbankan nyawa manusia sebagai gantinya.Incubus menaikkan satu alisnya, "Nampaknya, kau mengalami hal buruk."
Arjen terbangun di sebuah kamar yang familiar. Dinding bercat putih dengan poster-poster band favoritnya serta ranjangnya yang berkeriut setiap kali ia bergerak. Ini adalah kamarnya yang telah ditinggalinya selama enam belas tahun. Wangi ayam yang baru diangkat dari penggorengan begitu memikat. Memaksanya bangun dan berjalan menuju ruang makan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati kakeknya yang membaca koran sementara neneknya sedang sibuk di dapur. "Kakek? Nenek? Kalian masih hidup?" Tanya Arjen dengan setengah sadar. "Astaga, Arjen! Cuci tangan dulu sebelum makan!" Seru neneknya ketika ia menaruh ayam goreng di atas piring saji. Dengan gerakan tangkas, Sandra mematikan lampu dan membawa piring putih itu ke atas meja makan. "Suamiku, kau mau tambah kopi lagi?" Tanya Sandra sambil mengangkat sebuah teko dari atas meja. Sebagai jawaban
Pada jaman dahulu kala, sebelum terciptanya kehidupan di dunia ini, Iblis adalah hamba sang pencipta yang setia dan penurut. Selama ribuan tahun, kehidupan di atas langit begitu damai.Hingga pada suatu waktu, Sang Pencipta menciptakan sepasang manusia dari tanah liat. Perasaan iri muncul dalam diri iblis ketika mengetahui bahwa manusia dari tanah liat memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka yang tercipta dari api yang menyala-nyala.Untuk pertama kalinya, mereka membangkang dan sebagai hasilnya, para iblis diusir dari langit. Didorong dengan perasaan dendam, iblis menggoda sepasang manusia hingga mereka juga diusir dari langit.Selama tujuh hari, Sang Pencipta menciptakan dunia beserta isinya agar sepasang manusia tersebut dapat bertaubat dan merefleksikan kesalahannya.Namun, iblis tak ingin melewatkan kesempatan ini. Mereka lantas mengikat diri mereka dengan sumpah bahwa sa
Malam tanpa bintang telah datang di kota Altrazal. Bagi beberapa orang, malam itu sama seperti sebelumnya.Namun, ada yang berbeda pada kuil suci yang terletak di sudut kota itu. Suasana riuh rendah memenuhi aula kuil suci.Ruangan itu akan gelap gulita jika tidak ada lingkaran lilin yang mengelilingi mereka.Ada sekitar lima puluh klerus yang berpakaian serba hitam sedang duduk bersimpuh sambil memanjatkan doa dengan sangat khusyuk.Seorang lelaki tua berpakaian serba putih dengan jubah berhiaskan garis keemasan membentuk gambar burung Phoenix, memimpin doa di barisan paling depan.Mereka semuamenghadap ke sebuah lonceng raksasa bewarna kuning kehitaman karena karat.Dahi Si Pemimpin basah karena keringat. Hal yang janggal mengingat malam ini adalah malam pertama di musim dingin.Tiba-tiba lonceng tua itu berdentang sekali, menimbulkan
"Suamiku, kau mendengarnya?" Tanya seorang wanita kepada pria yang matanya terus menatap layar televisi selama dua jam ini.Si wanita berusia di akhir enam puluhan. Tapi, tubuhnya tetap bergerak lincah dan otaknya juga masih tajam. Ia mengguncang bahu suaminya dua kali sebelum bertanya lagi. Kali ini, nadanya terdengar mendesak, "Kau dengar tidak?"Si lelaki, yang baru saja berusia tujuh puluh, mengangguk. Sama seperti istrinya, kondisi fisik dan mentalnya masih prima. "Sepertinya, waktunya sudah tiba. Kita harus bersiap-siap.""Bagaimana dengan Arjen? Ia takkan pulang sampai sore nanti. Ada acara olahraga di sekolahnya. Perlukah aku menjemputnya?" Tanya istrinya lagi dengan panik."Pastikan saja kalau ia sudah berada di dalam rumah sebelum matahari tenggelam." Jawab si suami sebelum ia mematikan layar televisi dan pergi menuju kamarnya.Wanita tua itu lantas mulai bersia
"Apa yang sebenarnya Nenek rencanakan?" Tanya Arjen saat mereka sedang berjalan kaki dalam perjalanan pulang.Setelah Broto pingsan, semua orang, kecuali Arjen dan Sandra, panik luar biasa. Mereka sibuk menelpon ambulan sebelum memanggil dokter sekolah.Merasa kehadiran mereka tak dibutuhkan lagi, Sandra menarik tangan Arjen dan mengajaknya pulang."Tentu saja memberi pelajaran pada orang-orang sombong itu." Jawab Sandra dengan nada riang.Arjen menghela nafas berat, "Padahal Nenek selalu menyuruhku untuk selalu bersikap rendah hati dan mawas diri. Tapi, sebelumnya aku ingin meminta maaf karena sudah membuat Nenek kerepotan."Senyum Sandra melebar, "Tidak masalah. Manusia memang diciptakan untuk merepotkan satu sama lain. Jadi, jangan sungkan. Lagipula, kau tak mungkin menendangnya tanpa alasan. Menurutmu, kenapa anak itu menyerangmu?""Entahlah. Tim bas
Sucubus, iblis penggoda laki-laki, tersenyum kecil kala ia berdiri di salah satu gedung tertinggi di kota itu.Tubuh moleknya gagal disembunyikan dengan gaun pendek warna merah yang dikenakannya saat ini. Rambut hitam panjangnya menari-nari karena belaian angin. Wajah cantiknya tidak bisa ditandingi oleh manusia manapun. "Kakak, kau lihat itu?"Incubus, saudara kembarnya yang bertugas untuk menggoda para wanita, mengangguk malas. Laki-laki bertubuh kekar itu hanya memakai celana hitam selutut, memamerkan otot perut dan lengannya yang sempurna.Kulitnya putih bersih sama seperti adiknya. Rambutnya dipotong pendek dan ada satu tanduk di dahinya. Raut wajahnya yang maskulin nampak begitu sempurna.Seolah-olah, Tuhan menghabiskan waktu khusus untuk menciptakan dua iblis bersaudara itu."Yah, begitulah. Aku terkejut dengan iman milik laki-laki.""Aah♡! Aku jadi bergairah sekali saat meliha
Incubus tak pernah merasa sekesal ini. Sudah lama sekali, sejak ada seorang wanita yang berani menyerangnya dengan makhluk-makhluk ilusi tersebut. Sakit di tubuhnya masih bisa ia tahan. Tapi, harga dirinya sebagai iblis penggoda terluka lebih dalam dari yang ia kira. Untunglah, Sucubus tak ada disana. Ia tak sanggup membayangkan ejekan dan cemoohannya selama seribu tahun kedepan. Siapa wanita tua itu? Tanyanya dalam hati. Makhluk ilusi yang dipanggilnya juga cukup kuat. Benar-benar pasangan suami istri yang menyebalkan. Iblis jantan itu perlahan bangkit dari jalan tol yang sepi. Puluhan harimau putih masih menggigiti tubuhnya hingga ia merasa geli. Tapi, perasaan itu kembali tercampur dengan hasrat yang menggebu. Bagaimanapun ia ingin menggoda wanita itu jatuh dalam pengaruhnya. Tapi, bagaimana? Sementara ia berpikir, mobil sedan itu b
Pada jaman dahulu kala, sebelum terciptanya kehidupan di dunia ini, Iblis adalah hamba sang pencipta yang setia dan penurut. Selama ribuan tahun, kehidupan di atas langit begitu damai.Hingga pada suatu waktu, Sang Pencipta menciptakan sepasang manusia dari tanah liat. Perasaan iri muncul dalam diri iblis ketika mengetahui bahwa manusia dari tanah liat memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka yang tercipta dari api yang menyala-nyala.Untuk pertama kalinya, mereka membangkang dan sebagai hasilnya, para iblis diusir dari langit. Didorong dengan perasaan dendam, iblis menggoda sepasang manusia hingga mereka juga diusir dari langit.Selama tujuh hari, Sang Pencipta menciptakan dunia beserta isinya agar sepasang manusia tersebut dapat bertaubat dan merefleksikan kesalahannya.Namun, iblis tak ingin melewatkan kesempatan ini. Mereka lantas mengikat diri mereka dengan sumpah bahwa sa
Arjen terbangun di sebuah kamar yang familiar. Dinding bercat putih dengan poster-poster band favoritnya serta ranjangnya yang berkeriut setiap kali ia bergerak. Ini adalah kamarnya yang telah ditinggalinya selama enam belas tahun. Wangi ayam yang baru diangkat dari penggorengan begitu memikat. Memaksanya bangun dan berjalan menuju ruang makan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati kakeknya yang membaca koran sementara neneknya sedang sibuk di dapur. "Kakek? Nenek? Kalian masih hidup?" Tanya Arjen dengan setengah sadar. "Astaga, Arjen! Cuci tangan dulu sebelum makan!" Seru neneknya ketika ia menaruh ayam goreng di atas piring saji. Dengan gerakan tangkas, Sandra mematikan lampu dan membawa piring putih itu ke atas meja makan. "Suamiku, kau mau tambah kopi lagi?" Tanya Sandra sambil mengangkat sebuah teko dari atas meja. Sebagai jawaban
"Oh? Kakak sudah sadar?" Tanya Sucubus pada saudaranya yang baru terbangun setelah beberapa hari setelah kejadian itu.Incubus mengedarkan pandangannya dan mendapati mereka berada di dalam gua yang agak pengap. Suasana begitu hening hingga ia dapat mendengar bunyi tetesan air dalam irama yang teratur."Ini tempat singgahku." Kata Sucubus sambil duduk di sebuah altar kecil, dekat dengan deretan lilin yang menyala-nyala. "Ada beberapa manusia bodoh yang menggunakan tempat ini untuk melakukan ritual palsu.""Ritual palsu?""Untuk memanggil Yang Mulia Mammon. Jadi, kumakan saja sekalian dia dan pengikutnya." Mammon adalah salah satu pangeran kegelapan, lambang dari dosa keserakahan dan biasa dipanggil untuk melakukan ritual yang dapat memperkaya diri dengan mengorbankan nyawa manusia sebagai gantinya.Incubus menaikkan satu alisnya, "Nampaknya, kau mengalami hal buruk."
Kedua mata Arjen menatap kosong pada potret kakek dan neneknya. Ia tak bisa mengucapkan salam terakhir karena keduanya sudah di kremasi. Masih terbayang jelas saat-saat terakhir ketika mereka berdua meregang nyawa di depan wajahnya. Tangannya terkepal saat ia teringat seringai Asmodeus yang terlihat senang. Hatinya terbakar dan ia ingin sekali merobek wajah pangeran kegelapan itu agar ia tak dapat menyeringai lagi. "Arjen, setidaknya makanlah sesuatu. Sejak kemarin, kau belum makan, 'kan?" Hanzo bertanya sambil menepuk pundaknya lembut. Tapi, anak laki-laki itu tidak bereaksi dan terus menatap kedua potret milik orang yang paling ia sayangi. Bagi Arjen, mereka berdua seperti orang tua yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Merawatnya sejak kecil dan memberinya kasih sayang yang sama seperti anak-anak lain. Masakan
Hanzo Kalingga merasa bahwa langit tak pernah sekelabu ini. Apalagi di bulan Mei yang sudah masuk musim kemarau semacam ini.Namun, sekarang berbeda. Langit seolah bisa memuntahkan air matanya sewaktu-waktu. Hanzo takkan lupa momen dimana ia melihat mobil sedan yang terlempar dengan kekuatan super itu, jatuh ke dalam danau. Menyisakan seorang anak remaja yang tak sadarkan diri. Sementara dua orang lainnya tewas secara mengenaskan yaitu Hendro dan Sandra. Di masa lalu, mereka berdua adalah tokoh tersohor akan kekuatan sekaligus sifat rendah hati mereka meskipun berasal dari salah satu dari lima keluarga terpandang di dunia Atrazal ini. Mereka berdua juga sempat mendirikan padepokan untuk mengajari para muridnya. Hanzo termasuk salah satunya. Tapi, karena insiden enam belas tahun yang lalu, padepokan itu resmi ditutup dan
Incubus tak pernah merasa sekesal ini. Sudah lama sekali, sejak ada seorang wanita yang berani menyerangnya dengan makhluk-makhluk ilusi tersebut. Sakit di tubuhnya masih bisa ia tahan. Tapi, harga dirinya sebagai iblis penggoda terluka lebih dalam dari yang ia kira. Untunglah, Sucubus tak ada disana. Ia tak sanggup membayangkan ejekan dan cemoohannya selama seribu tahun kedepan. Siapa wanita tua itu? Tanyanya dalam hati. Makhluk ilusi yang dipanggilnya juga cukup kuat. Benar-benar pasangan suami istri yang menyebalkan. Iblis jantan itu perlahan bangkit dari jalan tol yang sepi. Puluhan harimau putih masih menggigiti tubuhnya hingga ia merasa geli. Tapi, perasaan itu kembali tercampur dengan hasrat yang menggebu. Bagaimanapun ia ingin menggoda wanita itu jatuh dalam pengaruhnya. Tapi, bagaimana? Sementara ia berpikir, mobil sedan itu b
Sucubus, iblis penggoda laki-laki, tersenyum kecil kala ia berdiri di salah satu gedung tertinggi di kota itu.Tubuh moleknya gagal disembunyikan dengan gaun pendek warna merah yang dikenakannya saat ini. Rambut hitam panjangnya menari-nari karena belaian angin. Wajah cantiknya tidak bisa ditandingi oleh manusia manapun. "Kakak, kau lihat itu?"Incubus, saudara kembarnya yang bertugas untuk menggoda para wanita, mengangguk malas. Laki-laki bertubuh kekar itu hanya memakai celana hitam selutut, memamerkan otot perut dan lengannya yang sempurna.Kulitnya putih bersih sama seperti adiknya. Rambutnya dipotong pendek dan ada satu tanduk di dahinya. Raut wajahnya yang maskulin nampak begitu sempurna.Seolah-olah, Tuhan menghabiskan waktu khusus untuk menciptakan dua iblis bersaudara itu."Yah, begitulah. Aku terkejut dengan iman milik laki-laki.""Aah♡! Aku jadi bergairah sekali saat meliha
"Apa yang sebenarnya Nenek rencanakan?" Tanya Arjen saat mereka sedang berjalan kaki dalam perjalanan pulang.Setelah Broto pingsan, semua orang, kecuali Arjen dan Sandra, panik luar biasa. Mereka sibuk menelpon ambulan sebelum memanggil dokter sekolah.Merasa kehadiran mereka tak dibutuhkan lagi, Sandra menarik tangan Arjen dan mengajaknya pulang."Tentu saja memberi pelajaran pada orang-orang sombong itu." Jawab Sandra dengan nada riang.Arjen menghela nafas berat, "Padahal Nenek selalu menyuruhku untuk selalu bersikap rendah hati dan mawas diri. Tapi, sebelumnya aku ingin meminta maaf karena sudah membuat Nenek kerepotan."Senyum Sandra melebar, "Tidak masalah. Manusia memang diciptakan untuk merepotkan satu sama lain. Jadi, jangan sungkan. Lagipula, kau tak mungkin menendangnya tanpa alasan. Menurutmu, kenapa anak itu menyerangmu?""Entahlah. Tim bas
"Suamiku, kau mendengarnya?" Tanya seorang wanita kepada pria yang matanya terus menatap layar televisi selama dua jam ini.Si wanita berusia di akhir enam puluhan. Tapi, tubuhnya tetap bergerak lincah dan otaknya juga masih tajam. Ia mengguncang bahu suaminya dua kali sebelum bertanya lagi. Kali ini, nadanya terdengar mendesak, "Kau dengar tidak?"Si lelaki, yang baru saja berusia tujuh puluh, mengangguk. Sama seperti istrinya, kondisi fisik dan mentalnya masih prima. "Sepertinya, waktunya sudah tiba. Kita harus bersiap-siap.""Bagaimana dengan Arjen? Ia takkan pulang sampai sore nanti. Ada acara olahraga di sekolahnya. Perlukah aku menjemputnya?" Tanya istrinya lagi dengan panik."Pastikan saja kalau ia sudah berada di dalam rumah sebelum matahari tenggelam." Jawab si suami sebelum ia mematikan layar televisi dan pergi menuju kamarnya.Wanita tua itu lantas mulai bersia