Malam tanpa bintang telah datang di kota Altrazal. Bagi beberapa orang, malam itu sama seperti sebelumnya.
Namun, ada yang berbeda pada kuil suci yang terletak di sudut kota itu. Suasana riuh rendah memenuhi aula kuil suci.
Ruangan itu akan gelap gulita jika tidak ada lingkaran lilin yang mengelilingi mereka.
Ada sekitar lima puluh klerus yang berpakaian serba hitam sedang duduk bersimpuh sambil memanjatkan doa dengan sangat khusyuk.
Seorang lelaki tua berpakaian serba putih dengan jubah berhiaskan garis keemasan membentuk gambar burung Phoenix, memimpin doa di barisan paling depan.
Mereka semua menghadap ke sebuah lonceng raksasa bewarna kuning kehitaman karena karat.
Dahi Si Pemimpin basah karena keringat. Hal yang janggal mengingat malam ini adalah malam pertama di musim dingin.
Tiba-tiba lonceng tua itu berdentang sekali, menimbulkan suara sekeras halilintar.
Para klerus terkejut dan secara refleks, mereka terdiam. Lupa akan doa-doa yang harus dipanjatkan hingga fajar tiba. Pandangan mereka terlempar ke segala arah. Mencari kemungkinan bahwa ada musuh-musuh yang bersembunyi di dalam kegelapan.
Si Pemimpin berteriak, "Harap tenang! Tetaplah berdoa!"
Puluhan lelaki berpakaian hitam itu menelan ludah secara bersamaan dan kembali mengalunkan doa. Meski begitu, rasa takut itu sudah terlanjur menghancurkan konsentrasi sekaligus kekhusyukan mereka.
Keraguan perlahan merayap ke dalam hati mereka. Membisikkan bahwa doa-doa ini takkan mampu melindungi mereka dari kekuatan jahat.
Bisikan-bisikan tentang ketidakberdayaan, mulai menguasai mereka. Godaan untuk berlari dan pergi bersembunyi ke tempat yang lebih aman, membuat lubang keraguan dalam hati mereka semakin membesar.
Lonceng itu kembali berbunyi. Kali ini lebih menggelegar dari sebelumnya.
"Aku tidak tahan lagi! Aku mau pulang!!" Teriakan salah satu klerus yang tidak diketahui namanya itu, sontak membuat semua orang, kecuali Si Pemimpin, berteriak sekeras mungkin. Melampiaskan rasa frustasi serta keputusasaan mengenai doa yang belum dikabulkan itu.
"Hentikan! ITU ADALAH GODAAN SETAN YANG TERKUTUK! KEMBALILAH KALIAN SEMUA!" Teriak Si Pemimpin pada para klerus yang telah kabur ke segala arah, berusaha mencari perlindungan.
Si Pemimpin mulai gemetar ketika menyadari bahwa lonceng di hadapannya itu tidak lagi berdentang dengan lantang.
Melainkan bergetar hebat hingga membuat lantai yang dipijaknya berguncang hebat.
Ruangan menjadi gelap gulita karena lilin-lilin itu padam akibat guncangan itu.
Si Pemimpin menutup mata dan menempelkan kedua tangannya sambil memanjatkan doa.
"Hihihihi." Seru seseorang atau sesuatu yang ada di hadapan pria tua itu. "Berdoalah terus, wahai manusia bodoh."
Si Pemimpin tak berani membuka mata. Apapun yang ada di depannya pastilah bukan hal baik untuk dilihat.
Sebuah kalung platina dengan bandul burung merpati putih berada di genggaman tangan lelaki tua itu.
Perhiasan yang cukup mencolok untuk dipakai pria yang berumur lebih dari seabad itu, bukan hanya sekedar hiasan semata.
"BERDOALAH, WAHAI MANUSIA! AKU SUKA MELIHAT USAHA YANG SIA-SIA! HAHAHA!" Suara makhluk itu kasar, berat, dan serak. Tak mirip dengan makhluk hidup apapun yang ada di dunia ini.
Si Pemimpin tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Meskipun tentu saja, nyawanya terancam.
Aku sudah hidup terlalu lama, pikirnya saat itu. Setidaknya, aku harus memperingatkan semuanya agar mereka dapat menyelamatkan lebih banyak orang.
Bagi Si Pemimpin, pepatah yang mengatakan bahwa ketidaktahuan adalah sebuah anugerah, tidak berlaku dalam situasi ini.
Dicengkeramnya bandul merpati itu dengan keras hingga muncul cahaya putih yang menerangi seluruh bagian kuil suci.
Kemudian jutaan atau mungkin milyaran burung merpati muncul dari dalam dirinya dan terbang ke segala arah. Menyebarkan sebuah berita besar pada semua rohaniawan di dunia ini.
[SEGEL KUTUKAN LONCENG BERTUAH TELAH HANCUR. PENGUASA KEGELAPAN TELAH KEMBALI.]
"Hihihi, ya, ya. Bagus sekali! Katakan pada semua manusia untuk menyambutku. Hihihi."
Begitu cahaya padam, semua yang berada dalam aula kuil itu menghilang. Lonceng, makhluk tak dikenal serta Si Pemimpin. Semuanya lenyap.
*
"Duh, tim kita kalah! Sialan!" Teriak salah satu anggota tim basket dari kelas 2A di SMA Nusantara. Langkah mereka terhenti di semifinal karena di kalahkan oleh kelas 2E.
"Ini gara-gara si Arjen, sih." Keluh seorang pemain yang bertubuh paling tinggi.
"Anjir, bener! Padahal dia cuma anak eskul sastra klasik, tapi maennya bagus banget. Andra, posisi lu bisa terancam kalo si Arjen masuk tim inti."
Anak laki-laki yang dipanggi Andra itu tersenyum kecut. Posisinya sebagai center tim inti sekolah, seolah dipecundangi karena ia tak mampu menghalau permainan Arjen yang agresif ketika berada di bawah jaring.
"Halah, mereka menang karena kebetulan. Lihat aja, nanti 2E bakal mampus dikalahin di final."
Si anak paling tinggi kembali berkomentar. Kali ini nadanya naik satu oktaf, "Gimana bisa? Skor akhir kita tuh 30-56. Kebetulan dari Hongkong?! Elu sendiri yang paling paham, 'kan? Bisa-bisanya ngebiarin dia gerak bebas di bawah ring."
"Eh, udahlah. Yang penting, kita fokus aja ke pertandingan buat ngerebutin juara tiga." Kata salah satu anggota yang berniat melerai Andra dan rekan setimnya itu.
Tapi, Andra merasa tidak rela dengan ucapan temannya yang seolah-olah menyalahkan dirinya atas kekalahan tim.
Basket adalah olahraga yang mengutamakan kerjasama tim. Center bertugas sebagai pemain yang membendung tembakan dari lawan, menyusup pertahanan lawan, dan menjadi protector alias pelindung daerah pertahanan terutama di bawah ring.
Apalagi Andra Syahputra merupakan salah satu pemain unggulan yang bahkan mulai dilirik pencari bakat untuk bergabung dengan seleksi timnas U-19.
Harga dirinya tak mampu menerima hal itu. Belum lagi ada rasa kerdil dalam dirinya saat bertanding melawan Arjen.
Anak yang tingginya tak lebih dari pundak Andra itu, mampu melompat lebih tinggi darinya.Sebagai point foward, gerakannya lincah hingga setiap operan maupun bidikannya, baik di bawah ring maupun dari three-point area, nyaris tak pernah meleset.
Sudah begitu separuh poin tim lawannya itu merupakan hasil kerja keras dari Arjen.
Kalau para pencari bakat mengetahui hal ini, bisa-bisa nama Andra yang dicoret dari daftar seleksi. Mengingat hanya akan dipilih satu orang dari setiap sekolah.
Rasa asing yang janggal tiba-tiba menyergap Andra. Membuat ia tak mampu memfokuskan diri selain mencari cara untuk menghentikan Arjen. Tidak hanya untuk pertandingan final saja.
Tapi, Andra harus memastikan bahwa ia takkan mengancam posisinya.
"Ndra, ayo kita latihan passing dulu. Ntar pertandingannya abis jam makan siang." Kata anak laki-laki yang tadi melerainya.
"Gue mau ke kamar mandi dulu."
"Oke, agak cepetan, ya. Soalnya lapangannya harus gantian."
Andra mengangguk dan merasa tersinggung dengan ucapan anak itu yang seolah sedang mengasihaninya.
Ia lalu kembali pada kenangan-kenangan masa lalunya yang dihabiskannya untuk berlatih basket. Bahkan sejak SMP, ia sudah berlatih dengan keras untuk bisa mempertahankan posisinya sebagai anggota tim inti yang handal.
Bukan pertama kalinya ia merasakan pahitnya kekalahan. Tapi kali ini, segala tingkah lakunya sedang diamati. Ia tak boleh kalah meski hanya dalam pertandingan amatir.
Yang harus dia lakukan hanyalah mempertahankan kemenangan yang absolut sampai ia lulus. Hanya itu saja.
Lalu perasaan janggal itu berhasil dikenali Andra sebagai rasa takut. Dalam pikirannya, tubuh Arjen seolah membesar dan membayangi setiap langkahnya.
Jauh dalam hatinya, Andra tahu bahwa Arjen merupakan lawan yang tangguh.
Kamar mandi nampak lengang saat Andra memasukinya. Lampu neon putih berkedip sesekali. Anak lelaki itu memutar keran wastafel dan mulai mencuci wajahnya.
Ketika ia melihat ke arah cermin, pintu tengah yang berada di balik punggungnya terbuka.
Jantungnya merosot saat ia menemukan Arjen dengan wajah mengantuk berjalan kearahnya untuk mencuci tangan.Andra merasa kesal saat Arjen hanya meliriknya tanpa mengatakan apapun.
"Lu ngeremehin gue, ya?" Tanya Andra dengan suara rendah dan matanya terkunci pada pantulan cermin.
"Hah?" Alis Arjen terangkat saat melihat lawan bicaranya. Ia mengenali anak itu sebagai lawannya saat pertandingan basket.
Tapi, Arjen tak mengetahui namanya.
Andra mematikan keran dan salah mengira kalau raut kebingungan Arjen sebagai ekspresi meremehkan, "Jangan songong, lu! Baru juga menang sekali. Di final nanti pasti pertandingan bakal lebih sulit."
"Oh, oke." Sahut Arjen santai.
Sebenarnya, ia sama sekali tak memiliki ketertarikan dalam pertandingan olahraga apapun.Keikutsertaannya karena dia kurang beruntung saat pengambilan nomer lotere. Padahal posisi yang dia incar untuk festival olahraga sekolah ini adalah sebagai suporter yang bisa duduk sambil bertepuk tangan.
Tangan Andra terkepal saat mendengar jawaban acuh tak acuh tersebut. Seolah-olah Arjen bahkan tak melihatnya sebagai pesaing.
Amarahnya semakin berkobar saat anak berambut cepak itu beranjak pergi."Hei, mau kabur kemana lu?" Tanya Andra dengan wajah merah dan alis yang saling bertautan.
Tangannya yang terkepal tiba-tiba mengarah ke cermin dan membuatnya pecah berkeping-keping.
Andra mengambil satu potongan yang besar. Sekuat tenaga ia mendorong pecahan kaca itu dan menusuk dada Arjen, yang belum sempat melarikan diri.
"Suamiku, kau mendengarnya?" Tanya seorang wanita kepada pria yang matanya terus menatap layar televisi selama dua jam ini.Si wanita berusia di akhir enam puluhan. Tapi, tubuhnya tetap bergerak lincah dan otaknya juga masih tajam. Ia mengguncang bahu suaminya dua kali sebelum bertanya lagi. Kali ini, nadanya terdengar mendesak, "Kau dengar tidak?"Si lelaki, yang baru saja berusia tujuh puluh, mengangguk. Sama seperti istrinya, kondisi fisik dan mentalnya masih prima. "Sepertinya, waktunya sudah tiba. Kita harus bersiap-siap.""Bagaimana dengan Arjen? Ia takkan pulang sampai sore nanti. Ada acara olahraga di sekolahnya. Perlukah aku menjemputnya?" Tanya istrinya lagi dengan panik."Pastikan saja kalau ia sudah berada di dalam rumah sebelum matahari tenggelam." Jawab si suami sebelum ia mematikan layar televisi dan pergi menuju kamarnya.Wanita tua itu lantas mulai bersia
"Apa yang sebenarnya Nenek rencanakan?" Tanya Arjen saat mereka sedang berjalan kaki dalam perjalanan pulang.Setelah Broto pingsan, semua orang, kecuali Arjen dan Sandra, panik luar biasa. Mereka sibuk menelpon ambulan sebelum memanggil dokter sekolah.Merasa kehadiran mereka tak dibutuhkan lagi, Sandra menarik tangan Arjen dan mengajaknya pulang."Tentu saja memberi pelajaran pada orang-orang sombong itu." Jawab Sandra dengan nada riang.Arjen menghela nafas berat, "Padahal Nenek selalu menyuruhku untuk selalu bersikap rendah hati dan mawas diri. Tapi, sebelumnya aku ingin meminta maaf karena sudah membuat Nenek kerepotan."Senyum Sandra melebar, "Tidak masalah. Manusia memang diciptakan untuk merepotkan satu sama lain. Jadi, jangan sungkan. Lagipula, kau tak mungkin menendangnya tanpa alasan. Menurutmu, kenapa anak itu menyerangmu?""Entahlah. Tim bas
Sucubus, iblis penggoda laki-laki, tersenyum kecil kala ia berdiri di salah satu gedung tertinggi di kota itu.Tubuh moleknya gagal disembunyikan dengan gaun pendek warna merah yang dikenakannya saat ini. Rambut hitam panjangnya menari-nari karena belaian angin. Wajah cantiknya tidak bisa ditandingi oleh manusia manapun. "Kakak, kau lihat itu?"Incubus, saudara kembarnya yang bertugas untuk menggoda para wanita, mengangguk malas. Laki-laki bertubuh kekar itu hanya memakai celana hitam selutut, memamerkan otot perut dan lengannya yang sempurna.Kulitnya putih bersih sama seperti adiknya. Rambutnya dipotong pendek dan ada satu tanduk di dahinya. Raut wajahnya yang maskulin nampak begitu sempurna.Seolah-olah, Tuhan menghabiskan waktu khusus untuk menciptakan dua iblis bersaudara itu."Yah, begitulah. Aku terkejut dengan iman milik laki-laki.""Aah♡! Aku jadi bergairah sekali saat meliha
Incubus tak pernah merasa sekesal ini. Sudah lama sekali, sejak ada seorang wanita yang berani menyerangnya dengan makhluk-makhluk ilusi tersebut. Sakit di tubuhnya masih bisa ia tahan. Tapi, harga dirinya sebagai iblis penggoda terluka lebih dalam dari yang ia kira. Untunglah, Sucubus tak ada disana. Ia tak sanggup membayangkan ejekan dan cemoohannya selama seribu tahun kedepan. Siapa wanita tua itu? Tanyanya dalam hati. Makhluk ilusi yang dipanggilnya juga cukup kuat. Benar-benar pasangan suami istri yang menyebalkan. Iblis jantan itu perlahan bangkit dari jalan tol yang sepi. Puluhan harimau putih masih menggigiti tubuhnya hingga ia merasa geli. Tapi, perasaan itu kembali tercampur dengan hasrat yang menggebu. Bagaimanapun ia ingin menggoda wanita itu jatuh dalam pengaruhnya. Tapi, bagaimana? Sementara ia berpikir, mobil sedan itu b
Hanzo Kalingga merasa bahwa langit tak pernah sekelabu ini. Apalagi di bulan Mei yang sudah masuk musim kemarau semacam ini.Namun, sekarang berbeda. Langit seolah bisa memuntahkan air matanya sewaktu-waktu. Hanzo takkan lupa momen dimana ia melihat mobil sedan yang terlempar dengan kekuatan super itu, jatuh ke dalam danau. Menyisakan seorang anak remaja yang tak sadarkan diri. Sementara dua orang lainnya tewas secara mengenaskan yaitu Hendro dan Sandra. Di masa lalu, mereka berdua adalah tokoh tersohor akan kekuatan sekaligus sifat rendah hati mereka meskipun berasal dari salah satu dari lima keluarga terpandang di dunia Atrazal ini. Mereka berdua juga sempat mendirikan padepokan untuk mengajari para muridnya. Hanzo termasuk salah satunya. Tapi, karena insiden enam belas tahun yang lalu, padepokan itu resmi ditutup dan
Kedua mata Arjen menatap kosong pada potret kakek dan neneknya. Ia tak bisa mengucapkan salam terakhir karena keduanya sudah di kremasi. Masih terbayang jelas saat-saat terakhir ketika mereka berdua meregang nyawa di depan wajahnya. Tangannya terkepal saat ia teringat seringai Asmodeus yang terlihat senang. Hatinya terbakar dan ia ingin sekali merobek wajah pangeran kegelapan itu agar ia tak dapat menyeringai lagi. "Arjen, setidaknya makanlah sesuatu. Sejak kemarin, kau belum makan, 'kan?" Hanzo bertanya sambil menepuk pundaknya lembut. Tapi, anak laki-laki itu tidak bereaksi dan terus menatap kedua potret milik orang yang paling ia sayangi. Bagi Arjen, mereka berdua seperti orang tua yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Merawatnya sejak kecil dan memberinya kasih sayang yang sama seperti anak-anak lain. Masakan
"Oh? Kakak sudah sadar?" Tanya Sucubus pada saudaranya yang baru terbangun setelah beberapa hari setelah kejadian itu.Incubus mengedarkan pandangannya dan mendapati mereka berada di dalam gua yang agak pengap. Suasana begitu hening hingga ia dapat mendengar bunyi tetesan air dalam irama yang teratur."Ini tempat singgahku." Kata Sucubus sambil duduk di sebuah altar kecil, dekat dengan deretan lilin yang menyala-nyala. "Ada beberapa manusia bodoh yang menggunakan tempat ini untuk melakukan ritual palsu.""Ritual palsu?""Untuk memanggil Yang Mulia Mammon. Jadi, kumakan saja sekalian dia dan pengikutnya." Mammon adalah salah satu pangeran kegelapan, lambang dari dosa keserakahan dan biasa dipanggil untuk melakukan ritual yang dapat memperkaya diri dengan mengorbankan nyawa manusia sebagai gantinya.Incubus menaikkan satu alisnya, "Nampaknya, kau mengalami hal buruk."
Arjen terbangun di sebuah kamar yang familiar. Dinding bercat putih dengan poster-poster band favoritnya serta ranjangnya yang berkeriut setiap kali ia bergerak. Ini adalah kamarnya yang telah ditinggalinya selama enam belas tahun. Wangi ayam yang baru diangkat dari penggorengan begitu memikat. Memaksanya bangun dan berjalan menuju ruang makan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati kakeknya yang membaca koran sementara neneknya sedang sibuk di dapur. "Kakek? Nenek? Kalian masih hidup?" Tanya Arjen dengan setengah sadar. "Astaga, Arjen! Cuci tangan dulu sebelum makan!" Seru neneknya ketika ia menaruh ayam goreng di atas piring saji. Dengan gerakan tangkas, Sandra mematikan lampu dan membawa piring putih itu ke atas meja makan. "Suamiku, kau mau tambah kopi lagi?" Tanya Sandra sambil mengangkat sebuah teko dari atas meja. Sebagai jawaban
Pada jaman dahulu kala, sebelum terciptanya kehidupan di dunia ini, Iblis adalah hamba sang pencipta yang setia dan penurut. Selama ribuan tahun, kehidupan di atas langit begitu damai.Hingga pada suatu waktu, Sang Pencipta menciptakan sepasang manusia dari tanah liat. Perasaan iri muncul dalam diri iblis ketika mengetahui bahwa manusia dari tanah liat memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka yang tercipta dari api yang menyala-nyala.Untuk pertama kalinya, mereka membangkang dan sebagai hasilnya, para iblis diusir dari langit. Didorong dengan perasaan dendam, iblis menggoda sepasang manusia hingga mereka juga diusir dari langit.Selama tujuh hari, Sang Pencipta menciptakan dunia beserta isinya agar sepasang manusia tersebut dapat bertaubat dan merefleksikan kesalahannya.Namun, iblis tak ingin melewatkan kesempatan ini. Mereka lantas mengikat diri mereka dengan sumpah bahwa sa
Arjen terbangun di sebuah kamar yang familiar. Dinding bercat putih dengan poster-poster band favoritnya serta ranjangnya yang berkeriut setiap kali ia bergerak. Ini adalah kamarnya yang telah ditinggalinya selama enam belas tahun. Wangi ayam yang baru diangkat dari penggorengan begitu memikat. Memaksanya bangun dan berjalan menuju ruang makan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati kakeknya yang membaca koran sementara neneknya sedang sibuk di dapur. "Kakek? Nenek? Kalian masih hidup?" Tanya Arjen dengan setengah sadar. "Astaga, Arjen! Cuci tangan dulu sebelum makan!" Seru neneknya ketika ia menaruh ayam goreng di atas piring saji. Dengan gerakan tangkas, Sandra mematikan lampu dan membawa piring putih itu ke atas meja makan. "Suamiku, kau mau tambah kopi lagi?" Tanya Sandra sambil mengangkat sebuah teko dari atas meja. Sebagai jawaban
"Oh? Kakak sudah sadar?" Tanya Sucubus pada saudaranya yang baru terbangun setelah beberapa hari setelah kejadian itu.Incubus mengedarkan pandangannya dan mendapati mereka berada di dalam gua yang agak pengap. Suasana begitu hening hingga ia dapat mendengar bunyi tetesan air dalam irama yang teratur."Ini tempat singgahku." Kata Sucubus sambil duduk di sebuah altar kecil, dekat dengan deretan lilin yang menyala-nyala. "Ada beberapa manusia bodoh yang menggunakan tempat ini untuk melakukan ritual palsu.""Ritual palsu?""Untuk memanggil Yang Mulia Mammon. Jadi, kumakan saja sekalian dia dan pengikutnya." Mammon adalah salah satu pangeran kegelapan, lambang dari dosa keserakahan dan biasa dipanggil untuk melakukan ritual yang dapat memperkaya diri dengan mengorbankan nyawa manusia sebagai gantinya.Incubus menaikkan satu alisnya, "Nampaknya, kau mengalami hal buruk."
Kedua mata Arjen menatap kosong pada potret kakek dan neneknya. Ia tak bisa mengucapkan salam terakhir karena keduanya sudah di kremasi. Masih terbayang jelas saat-saat terakhir ketika mereka berdua meregang nyawa di depan wajahnya. Tangannya terkepal saat ia teringat seringai Asmodeus yang terlihat senang. Hatinya terbakar dan ia ingin sekali merobek wajah pangeran kegelapan itu agar ia tak dapat menyeringai lagi. "Arjen, setidaknya makanlah sesuatu. Sejak kemarin, kau belum makan, 'kan?" Hanzo bertanya sambil menepuk pundaknya lembut. Tapi, anak laki-laki itu tidak bereaksi dan terus menatap kedua potret milik orang yang paling ia sayangi. Bagi Arjen, mereka berdua seperti orang tua yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Merawatnya sejak kecil dan memberinya kasih sayang yang sama seperti anak-anak lain. Masakan
Hanzo Kalingga merasa bahwa langit tak pernah sekelabu ini. Apalagi di bulan Mei yang sudah masuk musim kemarau semacam ini.Namun, sekarang berbeda. Langit seolah bisa memuntahkan air matanya sewaktu-waktu. Hanzo takkan lupa momen dimana ia melihat mobil sedan yang terlempar dengan kekuatan super itu, jatuh ke dalam danau. Menyisakan seorang anak remaja yang tak sadarkan diri. Sementara dua orang lainnya tewas secara mengenaskan yaitu Hendro dan Sandra. Di masa lalu, mereka berdua adalah tokoh tersohor akan kekuatan sekaligus sifat rendah hati mereka meskipun berasal dari salah satu dari lima keluarga terpandang di dunia Atrazal ini. Mereka berdua juga sempat mendirikan padepokan untuk mengajari para muridnya. Hanzo termasuk salah satunya. Tapi, karena insiden enam belas tahun yang lalu, padepokan itu resmi ditutup dan
Incubus tak pernah merasa sekesal ini. Sudah lama sekali, sejak ada seorang wanita yang berani menyerangnya dengan makhluk-makhluk ilusi tersebut. Sakit di tubuhnya masih bisa ia tahan. Tapi, harga dirinya sebagai iblis penggoda terluka lebih dalam dari yang ia kira. Untunglah, Sucubus tak ada disana. Ia tak sanggup membayangkan ejekan dan cemoohannya selama seribu tahun kedepan. Siapa wanita tua itu? Tanyanya dalam hati. Makhluk ilusi yang dipanggilnya juga cukup kuat. Benar-benar pasangan suami istri yang menyebalkan. Iblis jantan itu perlahan bangkit dari jalan tol yang sepi. Puluhan harimau putih masih menggigiti tubuhnya hingga ia merasa geli. Tapi, perasaan itu kembali tercampur dengan hasrat yang menggebu. Bagaimanapun ia ingin menggoda wanita itu jatuh dalam pengaruhnya. Tapi, bagaimana? Sementara ia berpikir, mobil sedan itu b
Sucubus, iblis penggoda laki-laki, tersenyum kecil kala ia berdiri di salah satu gedung tertinggi di kota itu.Tubuh moleknya gagal disembunyikan dengan gaun pendek warna merah yang dikenakannya saat ini. Rambut hitam panjangnya menari-nari karena belaian angin. Wajah cantiknya tidak bisa ditandingi oleh manusia manapun. "Kakak, kau lihat itu?"Incubus, saudara kembarnya yang bertugas untuk menggoda para wanita, mengangguk malas. Laki-laki bertubuh kekar itu hanya memakai celana hitam selutut, memamerkan otot perut dan lengannya yang sempurna.Kulitnya putih bersih sama seperti adiknya. Rambutnya dipotong pendek dan ada satu tanduk di dahinya. Raut wajahnya yang maskulin nampak begitu sempurna.Seolah-olah, Tuhan menghabiskan waktu khusus untuk menciptakan dua iblis bersaudara itu."Yah, begitulah. Aku terkejut dengan iman milik laki-laki.""Aah♡! Aku jadi bergairah sekali saat meliha
"Apa yang sebenarnya Nenek rencanakan?" Tanya Arjen saat mereka sedang berjalan kaki dalam perjalanan pulang.Setelah Broto pingsan, semua orang, kecuali Arjen dan Sandra, panik luar biasa. Mereka sibuk menelpon ambulan sebelum memanggil dokter sekolah.Merasa kehadiran mereka tak dibutuhkan lagi, Sandra menarik tangan Arjen dan mengajaknya pulang."Tentu saja memberi pelajaran pada orang-orang sombong itu." Jawab Sandra dengan nada riang.Arjen menghela nafas berat, "Padahal Nenek selalu menyuruhku untuk selalu bersikap rendah hati dan mawas diri. Tapi, sebelumnya aku ingin meminta maaf karena sudah membuat Nenek kerepotan."Senyum Sandra melebar, "Tidak masalah. Manusia memang diciptakan untuk merepotkan satu sama lain. Jadi, jangan sungkan. Lagipula, kau tak mungkin menendangnya tanpa alasan. Menurutmu, kenapa anak itu menyerangmu?""Entahlah. Tim bas
"Suamiku, kau mendengarnya?" Tanya seorang wanita kepada pria yang matanya terus menatap layar televisi selama dua jam ini.Si wanita berusia di akhir enam puluhan. Tapi, tubuhnya tetap bergerak lincah dan otaknya juga masih tajam. Ia mengguncang bahu suaminya dua kali sebelum bertanya lagi. Kali ini, nadanya terdengar mendesak, "Kau dengar tidak?"Si lelaki, yang baru saja berusia tujuh puluh, mengangguk. Sama seperti istrinya, kondisi fisik dan mentalnya masih prima. "Sepertinya, waktunya sudah tiba. Kita harus bersiap-siap.""Bagaimana dengan Arjen? Ia takkan pulang sampai sore nanti. Ada acara olahraga di sekolahnya. Perlukah aku menjemputnya?" Tanya istrinya lagi dengan panik."Pastikan saja kalau ia sudah berada di dalam rumah sebelum matahari tenggelam." Jawab si suami sebelum ia mematikan layar televisi dan pergi menuju kamarnya.Wanita tua itu lantas mulai bersia