"Apa yang sebenarnya Nenek rencanakan?" Tanya Arjen saat mereka sedang berjalan kaki dalam perjalanan pulang.
Setelah Broto pingsan, semua orang, kecuali Arjen dan Sandra, panik luar biasa. Mereka sibuk menelpon ambulan sebelum memanggil dokter sekolah.
Merasa kehadiran mereka tak dibutuhkan lagi, Sandra menarik tangan Arjen dan mengajaknya pulang.
"Tentu saja memberi pelajaran pada orang-orang sombong itu." Jawab Sandra dengan nada riang.
Arjen menghela nafas berat, "Padahal Nenek selalu menyuruhku untuk selalu bersikap rendah hati dan mawas diri. Tapi, sebelumnya aku ingin meminta maaf karena sudah membuat Nenek kerepotan."
Senyum Sandra melebar, "Tidak masalah. Manusia memang diciptakan untuk merepotkan satu sama lain. Jadi, jangan sungkan. Lagipula, kau tak mungkin menendangnya tanpa alasan. Menurutmu, kenapa anak itu menyerangmu?"
"Entahlah. Tim basket di kelas kami memang mengalahkannya. Tapi, masa karena dia menyerangku karena hal seremeh itu? Aku bahkan tak tahu namanya."
"Yah, biarkan saja kalau begitu. Yang sudah berlalu biarkan saja. Sejujurnya, ayah anak itu tadi lumayan juga. Jelas sekali kalau dia ahli bela diri."
"Hmm, begitu, ya? Pantas aku merasa kalau gerakannya agak mirip dengan Kakek." Arjen teringat saat-saat dimana Kakeknya mengajarinya dasar ilmu bela diri mulai dari kecil sampai ia masuk SMA. Sekarang, waktu Arjen sudah tersita banyak karena pekerjaan sambilan.
"Hei! Kakekmu itu orang yang sangaaat kuat. Menurutmu, kenapa Nenek mau menikahinya?"
"Karena… cinta?"
"Hahaha. Tahu apa kau soal cinta? Tentu saja karena Kakekmu keren sekali! Ah, memang masa muda itu adalah hal yang paling menyenangkan!"
Alis Arjen terangkat sebelah, "Memangnya Kakek saat muda seperti apa?"
"Hmm... Tampan, kuat, tinggi, baik hati, dan sangat-sangat tidak peka! Untunglah ia memiliki sikap seperti itu. Kakekmu dulu idola di sekolah. Tapi, bahkan sampai saat ini, ia tak menyadarinya. Sama sekali tidak." Pandangan Sandra melembut saat menerawang ke masa lalu.
"Sepertinya, Kakek dan Nenek melewati masa muda yang hebat." Komentar Arjen membuat lamunannya berantakan.
"Yah, cukuplah untuk membuat hati wanita tua ini sedikit berdebar." Sandra melihat arloji di tangannya. Sudah pukul dua siang.
Ia yakin suaminya pasti belum makan siang dan jika persiapannya masih belum selesai, wanita tua itu pasti tak punya waktu untuk memasak makan malam. "Kau sudah makan, Jen?"
"Mana mungkin." Sahut anak berambut cepak itu sambil menghela nafas berat.
"Baiklah. Ayo kita buat sesuatu yang enak!"
"Ayam goreng dan sambal terasi, Nek!'
"Kalau begitu, kita harus mampir ke supermarket dulu. Tiba-tiba Nenek ingin membuat bakmi kuah kesukaan Kakekmu."
"Oh! Itu ide bagus!"
"Hei, Arjen! Pembicaraan kita barusan, rahasiakan dari Kakek, ya. Dia bisa besar kepala."
Cucunya itu tertawa kecil. Membayangkan sosok Kakeknya yang pendiam dan tegas menjadi besar kepala, membuatnya geli. "Nenek tahu 'kan, kalau Kakek bukan orang seperti itu."
"Hei, hei! Jangan pernah meremehkan harga diri seorang laki-laki. Kakekmu itu, diluar dugaan, adalah orang yang menyukai pujian."
"Eh? Tidak mungkin!"
"Ck, ck, ck! Di dunia ini, hanya Nenek saja yang mampu memahaminya! Oh iya, untuk malam ini, kau jangan keluar dulu ya, Jen. Ada sesuatu yang ingin Kakek sampaikan padamu."
Arjen membuka pintu masuk supermarket untuk Neneknya dan membiarkannya masuk lebih dulu, "Kakek pasti marah karena perbuatanku hari ini."
"Tidak mungkin." Jawab Sandra saat memilih telur. "Kau ada kerja sambilan hari ini?"
Arjen menggeleng. Semenjak masuk SMA, setiap pagi Arjen mengirim koran dan susu, setelah pulang sekolah dan selama akhir pekan, ia bekerja di supermarket milik Pak Gio, tetangga sebelah rumah sekaligus ayah dari Mina, teman masa kecilnya.
Sebenarnya, hanya dengan mengandalkan uang pensiun dari kakek-neneknya, Arjen bisa hidup dengan layak.
Tapi, ia ingin menabung agar bisa kuliah di luar negeri. Meski tidak tahu akan kuliah dimana dan mengambil jurusan apa, Arjen ingin pergi ke tempat yang asing dan menantang dirinya untuk menjadi lebih baik lagi.
Saat ini, anak laki-laki itu sama sekali tidak menyadari jika keinginannya akan terkabul dengan mengorbankan kehidupannya yang berharga.
******
Sementara itu, di kediaman keluarga Mataram. Hendro sudah memakai jubah hitamnya dengan gambar burung Phoenix yang dijahit dari benang emas.
Pria tua itu duduk bersila sambil menggengam tasbih dari mutiara hitam yang langka. Mulutnya terus melantunkan doa-doa yang ditujukan pada gentong dari tanah liat di hadapannya. Gentong setinggi satu meter itu sudah ditutup rapat dengan kain putih dan disegel oleh beberapa kertas kuning yang berisi huruf-huruf asing yang ditulis menggunakan tinta merah.
Tak ada seorangpun yang tahu isinya. Bahkan Hendro, sang pewaris terakhir, tak berniat mencari tahu.
Ia hanya berfokus agar, bagaimanapun caranya, gentong itu tetap utuh tanpa terkena goresan apapun. Baginya, rasa ingin tahu hanya mendatangkan bencana.
Kedua matanya terpejam dan mulutnya terus berdoa.
Lalu muncullah sebuah cahaya putih yang menyilaukan. Namun, karena konsentrasi Hendro yang sangat kuat, hal itu sama sekali tak mengganggu sesi berdoanya."Wahai manusia yang beriman," suara yang muncul dari cahaya tanpa rupa itu terdengar merdu dan menyenangkan, "Aku datang memberikan kabar gembira. Ketulusanmu sudah tersampaikan dan kubebaskan engkau dari kewajiban untuk berdoa."
Hendro bergeming dan terus berdoa dengan khusyuk.
"Akan kuberikan surga penuh kenikmatan jika kau menurutiku. Uang, kekuasaan bahkan wanita berparas cantik. Percayalah, aku takkan menyalahi janji."
Hendro tetap tidak bereaksi.
Cahaya terang itu kemudian menampakkan wujud aslinya. Seorang laki-laki dengan tinggi nyaris tiga meter dengan dua tanduk di kepalanya, muncul dengan seringai yang mengerikan.
Kulitnya yang kecokelatan dihiasi dengan jubah dari bulu burung gagak. Rambut hitam lurus sebahu dengan kedua mata tajam berwarna yang senada membuat aura eksotik dari mahkluk itu menguar ke udara.
Dengan satu kedipan mata, ia bisa membuat perempuan, maupun laki-laki, bertekuk lutut dan jatuh dalam pesonanya.
Dialah Asmodeus, salah satu iblis yang mewakili satu dari tujuh dosa manusia yakni hawa nafsu. Wujudnya dapat berubah-ubah menjadi yang diinginkan untuk menjebak manusia untuk menjadi pengikutnya.
Meski begitu, wujudnya saat ini adalah yang paling ia senangi.
"Haaah! Aku sangat tidak menyukai manusia keras kepala sepertimu." Suara Asmodeus terdengar selembut mentega. Manusia biasa akan langsung tergerak hatinya untuk mengikuti perintahnya, "Jadi, kita persingkat saja. Dimana adik tiriku? Aku mau menjemputnya."
Hendro menjawabnya dengan doa-doa yang terus ia gumamkan.
"Aduh, kalau kau seperti ini terus, aku juga bisa sebal, lho." Asmodeus mengarahkan tangan kanannya untuk menyentuh pundak manusia itu.
Namun, gerakannya terhenti saat jari telunjuknya malah menyentuh tabir transparan yang menutupi tubuh pria tua itu.
"Hmm, menarik." Katanya saat melihat ujung jemarinya yang gosong setelah menyentuh tabir tersebut.
Asmodeus bukan iblis sembarangan. Ia memiliki kekuatan yang mampu menuntun dunia pada kerusakan. Tapi, tentu saja ia tak menginginkannya.
Baginya, memanipulasi manusia untuk mengikuti hawa nafsu dan melihat mereka melakukan dosa adalah hal yang paling nikmat untuk iblis terkutuk semacam dirinya.
Salah satu hiburan bagi dirinya yang telah hidup selama miliaran tahun. Bahkan sebelum dunia ini tercipta. Meski jaman telah berubah, Asmodeus merasa bahwa manusia tetap sama seperti sebelumnya.
Dia yakin sekali takkan ada yang mampu mengalahkannya.
Mungkin, hanya beberapa manusia terpilihlah yang pernah meninggalkan goresan di tubuhnya."Untuk ukuran seorang pelindung, kau itu lumayan juga. Pantas ayah malah menitipkannya padamu. Aku jadi penasaran sekuat apa dia." Kata iblis itu dengan senyum menawan.
Ia lalu melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan yang gelap itu. Mata hitam legamnya terpaku pada gentong tanah liat yang mengeluarkan aroma memikat. Apapun yang berada dalam gentong tersebut, berhasil memancingnya untuk mendekat.
Menyadari hal tersebut, Hendro, tetap dengan mata tertutup, mulai bersuara dengan keras, "Aku berlindung dari godaan setan yang terkutuk, yang menuntun manusia menuju kesesatan--,"
"SIAL!" Bentak Asmodeus kala ia menyadari kalau ini adalah jebakan.
Hendro melempar tasbih hitam ke arahnya. "Dan sekiranya kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir sambil memukul wajah dan punggung mereka dan berkata, ' Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar.'"
Asmodeus tahu bahwa ia takkan bisa mati hanya karena seorang manusia lemah seperti Hendro.
Tapi, kekuatannya bisa dilumpuhkan atau lebih buruk lagi, disegel, dalam waktu yang tidak diketahui.
Tasbih itu kemudian menjerat kaki dan mulai mengikat tubuh Asmodeus hingga membuat iblis itu menggeram kesakitan.
Mendengar hal itu, Hendro segera berbalik dan berlari meninggalkan ruangan tersebut. Setelah ia membuka mata, Hendro langsung mencari kunci mobil sebelum mengunci pintu depan.
Langkahnya berderap cepat menuju mobil sedan hitamnya. Dalam benaknya hanya terbayang wajah Sandra dan cucunya, Arjen.
Apapun yang terjadi, ia harus menyelamatkan mereka.
Tak ada tempat yang aman di dunia ini karena intaian para iblis juga setan selalu membayangi setiap gerak-gerik umat manusia. Namun, Hendro tahu bahwa selama perlindungan Tuhan masih ada, mereka akan selalu memiliki harapan.
Mobil yang dikendarainya meluncur lancar saat melewati pagar rumahnya yang terbuka lebar.
Untuk pertama kalinya, Hendro mensyukuri kecerobohan istrinya itu.
Ia mulai mengarahkan mobil menuju arah sekolah Arjen. Jantungnya masih berdegup keras akan kejadian barusan.
Hendro tahu ini bukan waktu yang tepat untuk merasa panik karena ia harus tetap berkepala dingin, mencari solusi yang dapat memperpanjang hidup mereka lebih lama lagi.
Meski begitu, seluruh tubuhnya tetap gemetaran dan keringat dingin membasahi dahinya.
"Tenang. Aku harus tenang." Ucapnya sambil memegang setir kemudi dengan erat.
Kemudian matanya menangkap dua sosok yang dicarinya keluar dari supermarket di seberang jalan.
Hendro menghentikan mobilnya dan membuka jendela sebelum berteriak dengan suara yang lantang, "Sandra! Arjen! Sebelah sini! Ayo cepat masuk!"
Sucubus, iblis penggoda laki-laki, tersenyum kecil kala ia berdiri di salah satu gedung tertinggi di kota itu.Tubuh moleknya gagal disembunyikan dengan gaun pendek warna merah yang dikenakannya saat ini. Rambut hitam panjangnya menari-nari karena belaian angin. Wajah cantiknya tidak bisa ditandingi oleh manusia manapun. "Kakak, kau lihat itu?"Incubus, saudara kembarnya yang bertugas untuk menggoda para wanita, mengangguk malas. Laki-laki bertubuh kekar itu hanya memakai celana hitam selutut, memamerkan otot perut dan lengannya yang sempurna.Kulitnya putih bersih sama seperti adiknya. Rambutnya dipotong pendek dan ada satu tanduk di dahinya. Raut wajahnya yang maskulin nampak begitu sempurna.Seolah-olah, Tuhan menghabiskan waktu khusus untuk menciptakan dua iblis bersaudara itu."Yah, begitulah. Aku terkejut dengan iman milik laki-laki.""Aah♡! Aku jadi bergairah sekali saat meliha
Incubus tak pernah merasa sekesal ini. Sudah lama sekali, sejak ada seorang wanita yang berani menyerangnya dengan makhluk-makhluk ilusi tersebut. Sakit di tubuhnya masih bisa ia tahan. Tapi, harga dirinya sebagai iblis penggoda terluka lebih dalam dari yang ia kira. Untunglah, Sucubus tak ada disana. Ia tak sanggup membayangkan ejekan dan cemoohannya selama seribu tahun kedepan. Siapa wanita tua itu? Tanyanya dalam hati. Makhluk ilusi yang dipanggilnya juga cukup kuat. Benar-benar pasangan suami istri yang menyebalkan. Iblis jantan itu perlahan bangkit dari jalan tol yang sepi. Puluhan harimau putih masih menggigiti tubuhnya hingga ia merasa geli. Tapi, perasaan itu kembali tercampur dengan hasrat yang menggebu. Bagaimanapun ia ingin menggoda wanita itu jatuh dalam pengaruhnya. Tapi, bagaimana? Sementara ia berpikir, mobil sedan itu b
Hanzo Kalingga merasa bahwa langit tak pernah sekelabu ini. Apalagi di bulan Mei yang sudah masuk musim kemarau semacam ini.Namun, sekarang berbeda. Langit seolah bisa memuntahkan air matanya sewaktu-waktu. Hanzo takkan lupa momen dimana ia melihat mobil sedan yang terlempar dengan kekuatan super itu, jatuh ke dalam danau. Menyisakan seorang anak remaja yang tak sadarkan diri. Sementara dua orang lainnya tewas secara mengenaskan yaitu Hendro dan Sandra. Di masa lalu, mereka berdua adalah tokoh tersohor akan kekuatan sekaligus sifat rendah hati mereka meskipun berasal dari salah satu dari lima keluarga terpandang di dunia Atrazal ini. Mereka berdua juga sempat mendirikan padepokan untuk mengajari para muridnya. Hanzo termasuk salah satunya. Tapi, karena insiden enam belas tahun yang lalu, padepokan itu resmi ditutup dan
Kedua mata Arjen menatap kosong pada potret kakek dan neneknya. Ia tak bisa mengucapkan salam terakhir karena keduanya sudah di kremasi. Masih terbayang jelas saat-saat terakhir ketika mereka berdua meregang nyawa di depan wajahnya. Tangannya terkepal saat ia teringat seringai Asmodeus yang terlihat senang. Hatinya terbakar dan ia ingin sekali merobek wajah pangeran kegelapan itu agar ia tak dapat menyeringai lagi. "Arjen, setidaknya makanlah sesuatu. Sejak kemarin, kau belum makan, 'kan?" Hanzo bertanya sambil menepuk pundaknya lembut. Tapi, anak laki-laki itu tidak bereaksi dan terus menatap kedua potret milik orang yang paling ia sayangi. Bagi Arjen, mereka berdua seperti orang tua yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Merawatnya sejak kecil dan memberinya kasih sayang yang sama seperti anak-anak lain. Masakan
"Oh? Kakak sudah sadar?" Tanya Sucubus pada saudaranya yang baru terbangun setelah beberapa hari setelah kejadian itu.Incubus mengedarkan pandangannya dan mendapati mereka berada di dalam gua yang agak pengap. Suasana begitu hening hingga ia dapat mendengar bunyi tetesan air dalam irama yang teratur."Ini tempat singgahku." Kata Sucubus sambil duduk di sebuah altar kecil, dekat dengan deretan lilin yang menyala-nyala. "Ada beberapa manusia bodoh yang menggunakan tempat ini untuk melakukan ritual palsu.""Ritual palsu?""Untuk memanggil Yang Mulia Mammon. Jadi, kumakan saja sekalian dia dan pengikutnya." Mammon adalah salah satu pangeran kegelapan, lambang dari dosa keserakahan dan biasa dipanggil untuk melakukan ritual yang dapat memperkaya diri dengan mengorbankan nyawa manusia sebagai gantinya.Incubus menaikkan satu alisnya, "Nampaknya, kau mengalami hal buruk."
Arjen terbangun di sebuah kamar yang familiar. Dinding bercat putih dengan poster-poster band favoritnya serta ranjangnya yang berkeriut setiap kali ia bergerak. Ini adalah kamarnya yang telah ditinggalinya selama enam belas tahun. Wangi ayam yang baru diangkat dari penggorengan begitu memikat. Memaksanya bangun dan berjalan menuju ruang makan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati kakeknya yang membaca koran sementara neneknya sedang sibuk di dapur. "Kakek? Nenek? Kalian masih hidup?" Tanya Arjen dengan setengah sadar. "Astaga, Arjen! Cuci tangan dulu sebelum makan!" Seru neneknya ketika ia menaruh ayam goreng di atas piring saji. Dengan gerakan tangkas, Sandra mematikan lampu dan membawa piring putih itu ke atas meja makan. "Suamiku, kau mau tambah kopi lagi?" Tanya Sandra sambil mengangkat sebuah teko dari atas meja. Sebagai jawaban
Pada jaman dahulu kala, sebelum terciptanya kehidupan di dunia ini, Iblis adalah hamba sang pencipta yang setia dan penurut. Selama ribuan tahun, kehidupan di atas langit begitu damai.Hingga pada suatu waktu, Sang Pencipta menciptakan sepasang manusia dari tanah liat. Perasaan iri muncul dalam diri iblis ketika mengetahui bahwa manusia dari tanah liat memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka yang tercipta dari api yang menyala-nyala.Untuk pertama kalinya, mereka membangkang dan sebagai hasilnya, para iblis diusir dari langit. Didorong dengan perasaan dendam, iblis menggoda sepasang manusia hingga mereka juga diusir dari langit.Selama tujuh hari, Sang Pencipta menciptakan dunia beserta isinya agar sepasang manusia tersebut dapat bertaubat dan merefleksikan kesalahannya.Namun, iblis tak ingin melewatkan kesempatan ini. Mereka lantas mengikat diri mereka dengan sumpah bahwa sa
Malam tanpa bintang telah datang di kota Altrazal. Bagi beberapa orang, malam itu sama seperti sebelumnya.Namun, ada yang berbeda pada kuil suci yang terletak di sudut kota itu. Suasana riuh rendah memenuhi aula kuil suci.Ruangan itu akan gelap gulita jika tidak ada lingkaran lilin yang mengelilingi mereka.Ada sekitar lima puluh klerus yang berpakaian serba hitam sedang duduk bersimpuh sambil memanjatkan doa dengan sangat khusyuk.Seorang lelaki tua berpakaian serba putih dengan jubah berhiaskan garis keemasan membentuk gambar burung Phoenix, memimpin doa di barisan paling depan.Mereka semuamenghadap ke sebuah lonceng raksasa bewarna kuning kehitaman karena karat.Dahi Si Pemimpin basah karena keringat. Hal yang janggal mengingat malam ini adalah malam pertama di musim dingin.Tiba-tiba lonceng tua itu berdentang sekali, menimbulkan
Pada jaman dahulu kala, sebelum terciptanya kehidupan di dunia ini, Iblis adalah hamba sang pencipta yang setia dan penurut. Selama ribuan tahun, kehidupan di atas langit begitu damai.Hingga pada suatu waktu, Sang Pencipta menciptakan sepasang manusia dari tanah liat. Perasaan iri muncul dalam diri iblis ketika mengetahui bahwa manusia dari tanah liat memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka yang tercipta dari api yang menyala-nyala.Untuk pertama kalinya, mereka membangkang dan sebagai hasilnya, para iblis diusir dari langit. Didorong dengan perasaan dendam, iblis menggoda sepasang manusia hingga mereka juga diusir dari langit.Selama tujuh hari, Sang Pencipta menciptakan dunia beserta isinya agar sepasang manusia tersebut dapat bertaubat dan merefleksikan kesalahannya.Namun, iblis tak ingin melewatkan kesempatan ini. Mereka lantas mengikat diri mereka dengan sumpah bahwa sa
Arjen terbangun di sebuah kamar yang familiar. Dinding bercat putih dengan poster-poster band favoritnya serta ranjangnya yang berkeriut setiap kali ia bergerak. Ini adalah kamarnya yang telah ditinggalinya selama enam belas tahun. Wangi ayam yang baru diangkat dari penggorengan begitu memikat. Memaksanya bangun dan berjalan menuju ruang makan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati kakeknya yang membaca koran sementara neneknya sedang sibuk di dapur. "Kakek? Nenek? Kalian masih hidup?" Tanya Arjen dengan setengah sadar. "Astaga, Arjen! Cuci tangan dulu sebelum makan!" Seru neneknya ketika ia menaruh ayam goreng di atas piring saji. Dengan gerakan tangkas, Sandra mematikan lampu dan membawa piring putih itu ke atas meja makan. "Suamiku, kau mau tambah kopi lagi?" Tanya Sandra sambil mengangkat sebuah teko dari atas meja. Sebagai jawaban
"Oh? Kakak sudah sadar?" Tanya Sucubus pada saudaranya yang baru terbangun setelah beberapa hari setelah kejadian itu.Incubus mengedarkan pandangannya dan mendapati mereka berada di dalam gua yang agak pengap. Suasana begitu hening hingga ia dapat mendengar bunyi tetesan air dalam irama yang teratur."Ini tempat singgahku." Kata Sucubus sambil duduk di sebuah altar kecil, dekat dengan deretan lilin yang menyala-nyala. "Ada beberapa manusia bodoh yang menggunakan tempat ini untuk melakukan ritual palsu.""Ritual palsu?""Untuk memanggil Yang Mulia Mammon. Jadi, kumakan saja sekalian dia dan pengikutnya." Mammon adalah salah satu pangeran kegelapan, lambang dari dosa keserakahan dan biasa dipanggil untuk melakukan ritual yang dapat memperkaya diri dengan mengorbankan nyawa manusia sebagai gantinya.Incubus menaikkan satu alisnya, "Nampaknya, kau mengalami hal buruk."
Kedua mata Arjen menatap kosong pada potret kakek dan neneknya. Ia tak bisa mengucapkan salam terakhir karena keduanya sudah di kremasi. Masih terbayang jelas saat-saat terakhir ketika mereka berdua meregang nyawa di depan wajahnya. Tangannya terkepal saat ia teringat seringai Asmodeus yang terlihat senang. Hatinya terbakar dan ia ingin sekali merobek wajah pangeran kegelapan itu agar ia tak dapat menyeringai lagi. "Arjen, setidaknya makanlah sesuatu. Sejak kemarin, kau belum makan, 'kan?" Hanzo bertanya sambil menepuk pundaknya lembut. Tapi, anak laki-laki itu tidak bereaksi dan terus menatap kedua potret milik orang yang paling ia sayangi. Bagi Arjen, mereka berdua seperti orang tua yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Merawatnya sejak kecil dan memberinya kasih sayang yang sama seperti anak-anak lain. Masakan
Hanzo Kalingga merasa bahwa langit tak pernah sekelabu ini. Apalagi di bulan Mei yang sudah masuk musim kemarau semacam ini.Namun, sekarang berbeda. Langit seolah bisa memuntahkan air matanya sewaktu-waktu. Hanzo takkan lupa momen dimana ia melihat mobil sedan yang terlempar dengan kekuatan super itu, jatuh ke dalam danau. Menyisakan seorang anak remaja yang tak sadarkan diri. Sementara dua orang lainnya tewas secara mengenaskan yaitu Hendro dan Sandra. Di masa lalu, mereka berdua adalah tokoh tersohor akan kekuatan sekaligus sifat rendah hati mereka meskipun berasal dari salah satu dari lima keluarga terpandang di dunia Atrazal ini. Mereka berdua juga sempat mendirikan padepokan untuk mengajari para muridnya. Hanzo termasuk salah satunya. Tapi, karena insiden enam belas tahun yang lalu, padepokan itu resmi ditutup dan
Incubus tak pernah merasa sekesal ini. Sudah lama sekali, sejak ada seorang wanita yang berani menyerangnya dengan makhluk-makhluk ilusi tersebut. Sakit di tubuhnya masih bisa ia tahan. Tapi, harga dirinya sebagai iblis penggoda terluka lebih dalam dari yang ia kira. Untunglah, Sucubus tak ada disana. Ia tak sanggup membayangkan ejekan dan cemoohannya selama seribu tahun kedepan. Siapa wanita tua itu? Tanyanya dalam hati. Makhluk ilusi yang dipanggilnya juga cukup kuat. Benar-benar pasangan suami istri yang menyebalkan. Iblis jantan itu perlahan bangkit dari jalan tol yang sepi. Puluhan harimau putih masih menggigiti tubuhnya hingga ia merasa geli. Tapi, perasaan itu kembali tercampur dengan hasrat yang menggebu. Bagaimanapun ia ingin menggoda wanita itu jatuh dalam pengaruhnya. Tapi, bagaimana? Sementara ia berpikir, mobil sedan itu b
Sucubus, iblis penggoda laki-laki, tersenyum kecil kala ia berdiri di salah satu gedung tertinggi di kota itu.Tubuh moleknya gagal disembunyikan dengan gaun pendek warna merah yang dikenakannya saat ini. Rambut hitam panjangnya menari-nari karena belaian angin. Wajah cantiknya tidak bisa ditandingi oleh manusia manapun. "Kakak, kau lihat itu?"Incubus, saudara kembarnya yang bertugas untuk menggoda para wanita, mengangguk malas. Laki-laki bertubuh kekar itu hanya memakai celana hitam selutut, memamerkan otot perut dan lengannya yang sempurna.Kulitnya putih bersih sama seperti adiknya. Rambutnya dipotong pendek dan ada satu tanduk di dahinya. Raut wajahnya yang maskulin nampak begitu sempurna.Seolah-olah, Tuhan menghabiskan waktu khusus untuk menciptakan dua iblis bersaudara itu."Yah, begitulah. Aku terkejut dengan iman milik laki-laki.""Aah♡! Aku jadi bergairah sekali saat meliha
"Apa yang sebenarnya Nenek rencanakan?" Tanya Arjen saat mereka sedang berjalan kaki dalam perjalanan pulang.Setelah Broto pingsan, semua orang, kecuali Arjen dan Sandra, panik luar biasa. Mereka sibuk menelpon ambulan sebelum memanggil dokter sekolah.Merasa kehadiran mereka tak dibutuhkan lagi, Sandra menarik tangan Arjen dan mengajaknya pulang."Tentu saja memberi pelajaran pada orang-orang sombong itu." Jawab Sandra dengan nada riang.Arjen menghela nafas berat, "Padahal Nenek selalu menyuruhku untuk selalu bersikap rendah hati dan mawas diri. Tapi, sebelumnya aku ingin meminta maaf karena sudah membuat Nenek kerepotan."Senyum Sandra melebar, "Tidak masalah. Manusia memang diciptakan untuk merepotkan satu sama lain. Jadi, jangan sungkan. Lagipula, kau tak mungkin menendangnya tanpa alasan. Menurutmu, kenapa anak itu menyerangmu?""Entahlah. Tim bas
"Suamiku, kau mendengarnya?" Tanya seorang wanita kepada pria yang matanya terus menatap layar televisi selama dua jam ini.Si wanita berusia di akhir enam puluhan. Tapi, tubuhnya tetap bergerak lincah dan otaknya juga masih tajam. Ia mengguncang bahu suaminya dua kali sebelum bertanya lagi. Kali ini, nadanya terdengar mendesak, "Kau dengar tidak?"Si lelaki, yang baru saja berusia tujuh puluh, mengangguk. Sama seperti istrinya, kondisi fisik dan mentalnya masih prima. "Sepertinya, waktunya sudah tiba. Kita harus bersiap-siap.""Bagaimana dengan Arjen? Ia takkan pulang sampai sore nanti. Ada acara olahraga di sekolahnya. Perlukah aku menjemputnya?" Tanya istrinya lagi dengan panik."Pastikan saja kalau ia sudah berada di dalam rumah sebelum matahari tenggelam." Jawab si suami sebelum ia mematikan layar televisi dan pergi menuju kamarnya.Wanita tua itu lantas mulai bersia