Ada keraguan yang tersirat di wajah Amelia. Matanya mengerjap dan bibir bergerak seakan melontarkan kata-kata, tetapi ditelannya kembali.“Siapa orang yang mengirim pesan ini. Teman kakak?”Dia masih bergeming. Tidak bersuara. Hanya helaan napas dan kedua tangan menyatukan ujung-ujung jari dengan gerakan mengetuk, pertanda dia memikirkan sesuatu.“Ada apa, Kak Amel? Cerita pada Mama.” Tanganku menangkup kedua lengannya. Menatap dan mengangguk untuk menyakinkan dirinya.“Mama tidak marah?”Aku menggeleng.“Mama akan marah kalau Kak Amel berbohong kepada Mama.”“Termasuk kalau Amel berbuat salah?”Pertanyaan yang sulit dijawab, sekaligus menjebak. Anak zaman sekarang lebih banyak akalnya dibandingkan aku dulu. Yang menerima apapun perkataan orang tua, tanpa membantah. Apalagi mengatakan sesuatu dengan jaminan tidak boleh marahTangan Amel aku tarik untuk duduk di sofa. Membicarakan sesuatu sambil duduk, lebih menimbulkan efek tenang daripada berdiri.“Kak Amel Sayang. Dalam hidup itu ad
“Amelia dengan Kak Wisnu juga harus seperti itu?”“Hu-um. Tidak harus hubungan teman dan saudara saja, Sayang. Nantinya pun setelah Kak Amel mempunyai pasangan, juga seperti itu,” jawabku disambut anggukan oleh Amelia.Sempat tadi aku kesulitan memberi penjelasan apa yang ditanya olehnya tentang saling membantu dan saling memanfaatkan. Karena kedua kata itu sama-sama menerima dan memberi.“Yang dilakukan Kak Amelia kepada Sinta itu adalah membantu. Sedangkan yang dilakukan Sinta terhadap Kak Amelia itu adalah memanfaatkan.”Matanya masih menyorotkan rasa penasaran. Keningnya saja berkerut seakan mencerna apa yang aku ucapkan, tetapi tetap tidak mengerti. “Amelia belum mengerti, Ma.”Aku menghela napas sambil berpikir apa yang harus aku ucapkan. “Sekarang, Mama bertanya. Kak Amelia saat berteman dengan Sinta ada rasa pamrih tidak? Sampai-sampai mau mengeluarkan uang untuknya.”“Tidaklah, Ma. Amelia dulu senang berteman dengannya. Kami sering ngobrol. Dia juga sering curhat kalau ada
Aku seperti bicara dengan punggung. Dicuekin.Sedari tadi dia berkutat di depan laptop yang menyala, menunjukkan angka-angka dan grafik. Sedangkan di tangannya, beberapa berkas yang membuatnya sesekali menopang kepala dengan tangan. Entah, sebenarnya ada apa.“Mas Suma belum mau tidur?”“Belum,” jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari berkas-berkas di tangannya.Tadi sesampai di rumah juga sudah larut. Aku dan anak-anak makan malam tanpa Mas Suma. Sesampai rumah hanya membersihkan diri, kemudian berkutat seperti di hadapanku sekarang ini.“Aku harus memastikan semuanya aman. Seperti katamu, kan. Jangan sampai ada kebocoran di perahu, sekecil apapun. Karena kalau tidak ditemukan dan dibiarkan, akan menjadi besar dan mengakibatkan perahu karam.”Ucapannya meminjam ungkapan yang pernah aku lontarkan. Memang benar, tetapi bukan berarti waktu istirahat dipakai untuk kerja, kan?Pertanyaanku hanya dijawab, ya, belum, tidak, bahkan terkadang hanya hu-um.Ingin marah, tetapi kok merasa tida
Isi kepala laki-laki tidak sama dengan perempuan. Itu yang pernah aku baca. Dia selalu melakukan sesuatu atau berucap berdasarkan pikiran, bukan perasaan. Seperti Mas Suma tadi malam. Ingin rasanya aku menumpahkan kekesalan dengan menggigitnya kuat-kuat, atau mencubit dengan cubitan kecil yang sakit, atau menyihir dia jadi permen karet dan mengunyahnya lama-lama.. Bagaimana tidak mendidih kepala ini? Setelah berpacu dalam indahnya cinta, bukannya disayang atau dihujani kata cinta, justru dibisiki pekerjaan. Itupun langsung ditinggal mendengkur dan dikasih punggung. Kesal, kan? Memang, biasanya tidak seperti itu. Tapi…aku tidak ingin diabaikan. Apalagi ini gara-gara pekerjaan yang menyangkut nama Catherine. Wanita yang jelas-jelas ingin merebut suamiku. * “Selamat pagi, Ran.” Aku yang sedang menyiapkan makan pagi, hanya menoleh sebentar. Memiringkan pipi untuk menerima kecupannya. “Yang akan aku bawa sudah disiapkan?” bisik Mas Suma setelah mengalungkan tangan di pinggangku. Bib
“Mama kenapa?” Suara Wisnu mengagetkan aku. Segera, kertas yang membuat jantung berdegub kencang ini aku lipat dan kumasukkan ke saku. Aku menoleh, dan mendapati anak lelakiku menekuk tubuhnya dengan bertumpu ke kedua lutut. Napasnya terengah-engah dengan keringat bercucuran. “Biasanya pagi-pagi kuliah atau ada kegiatan kampus. Nah sekarang di rumah, mata mengajak tidur terus,” keluhnya tadi pagi sebelum bersiap. Dia pagi-pagi sudah olah raga keliling komplek. Katanya, ini untuk tetap menjaga rutinitas tubuh. Jangan sampai, di rumah justru memupuk kemalasan. Dengan alasan tidak ada kegiatan pagi, dan membiarkan diri bergelung dalam selimut. “Ma! Tidak ada apa-apa, kan?” tanya Wisnu lagi setelah menormalkan napas. Matanya menatapku menyelidik, seakan menerka-nerka ekspresiku. “Tidak apa-apa, Kak. Memang Mama kenapa?” “Tadi Wisnu lihat Mama mengusap mata. Seperti menangis. Ada masalah.” Aku menunjukkan senyuman, bahkan tertawa kecil untuk menghilangkan rasa curiga. “Tadi Mama ng
Benar kata temanku dulu. Tidak semua yang ada di pikiran, bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seringkali menuangkan isi kepala melalui tulisan pesan atau surat. Ini terasa lebih indah dan mengena.Itu seharusnya.Di awal kalimat ‘Dear Maharani matahariku….’ Aku sudah membayangkan kalimat berikutnya penuh dengan kata-kata puitis dan rayuan yang mendayu-dayu. Namun, yang aku dapati justru tulisan yang benar-benar menunjukkan siapa suamiku-realistis, jauh dari kata romantis, dan terkesan kaku.Justru kalau dia jago gombal, otakku akan berpikir dia menggombali siapa saja di luar sana. Aman, walaupun tetap waspada. Karena zaman sekarang, banyak perempuan yang penasaran dengan laki-laki seperti Mas Suma ini. Bos yang terkenal kaku.“Ma, jadi diantar ke galeri?” Kepala Wisnu melongok setelah mengetuk pintu.“Masuk, Kak!”Aku menurunkan kaki dari ranjang. Kemudian beranjak untuk bersiap. Tadi setelah mendapat izin dari Mas Suma, aku meminta anakku untuk ikut ke galleri. Apalagi Sapto juga data
Setelah kata istri disematkan kepada seorang perempuan, dia harus sadar satu hal. Saat itu juga dia mempunyai bayi besar yang kadang rewel, manja, lucu, dan juga ngeselin. Dia itu namanya suami.Jadi tidak apa-apa, kan, aku manja sedikit kepada Maharani, istriku?Matanya menatapku sejenak, seakan tidak percaya. Sempat ada keraguan, dia akan mengomel seperti biasanya. Namun, aku bernapas lega saat senyumannya merekah, dan terdengar dia tertawa kecil.“Iya. Sini,” ucapnya sambil mengambil bangku kayu. Membantuku membuka kemeja dan menyuruhku duduk dan memulai mewaslap punggungku. Seketika, rasa nyaman terasa di tubuhku. Perpaduan dengan hangatnya waslap, pijatan, dan aroma terapi yang menyeruak di penciumanku.“Kurang keras?” Maharani menggosok dari atas ke bawah tepat di tulang belakang. Pegal yang tadi terasa sirna. Syaraf tulang belakangku seperti terbangun dan segar kembali.“Enak,” ucapku sambil memejamkan mata.“Badannya Mas Suma kaku. Ini karena kecapekan dan lama di posisi yang
“Papi sakit, Ma?” tanya Amelia yang datang akan membantuku menyiapkan makan pagi. Pasti dia menerka dari apa yang aku kerjakan.“Iya. Ini Mama siapkan makanannya.”Aku menyiapkan bubur beras yang direbus dengan kaldu ayam kampung. Sedangkan, dia mulai mengelap piring dan peralatan lainnya yang akan ditata di meja. Anak gadisku ini sudah mulai bisa, dan mengerjakan sesuatu tanpa disuruh. Walaupun tetap ada Bik Inah yang mendampinginya.Awalnya Mas Suma menegurku. “Ran, untuk apa Amelia seperti itu. Kan ada Bik Inah dan yang lain?”“Amelia mengawasi dan sesekali ikut membantu. Itu saja, Mas. Walaupun dia tidak mengerjakan semuanya, tetapi dia juga harus tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ini persiapan kalau nanti di rumah calon mertua. Dia tidak canggung.”“Itu masih lama.”“Justru itu, dibiasakan dari sekarang. Nantinya dia tidak berat.” Itu yang aku ucapkan kala itu.Memang, keluarga suamiku ini, apa-apa dikerjakan pembantu. Mereka tinggal panggil orang, kalau perlu tenaga profesion