Aku seperti bicara dengan punggung. Dicuekin.Sedari tadi dia berkutat di depan laptop yang menyala, menunjukkan angka-angka dan grafik. Sedangkan di tangannya, beberapa berkas yang membuatnya sesekali menopang kepala dengan tangan. Entah, sebenarnya ada apa.“Mas Suma belum mau tidur?”“Belum,” jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari berkas-berkas di tangannya.Tadi sesampai di rumah juga sudah larut. Aku dan anak-anak makan malam tanpa Mas Suma. Sesampai rumah hanya membersihkan diri, kemudian berkutat seperti di hadapanku sekarang ini.“Aku harus memastikan semuanya aman. Seperti katamu, kan. Jangan sampai ada kebocoran di perahu, sekecil apapun. Karena kalau tidak ditemukan dan dibiarkan, akan menjadi besar dan mengakibatkan perahu karam.”Ucapannya meminjam ungkapan yang pernah aku lontarkan. Memang benar, tetapi bukan berarti waktu istirahat dipakai untuk kerja, kan?Pertanyaanku hanya dijawab, ya, belum, tidak, bahkan terkadang hanya hu-um.Ingin marah, tetapi kok merasa tida
Isi kepala laki-laki tidak sama dengan perempuan. Itu yang pernah aku baca. Dia selalu melakukan sesuatu atau berucap berdasarkan pikiran, bukan perasaan. Seperti Mas Suma tadi malam. Ingin rasanya aku menumpahkan kekesalan dengan menggigitnya kuat-kuat, atau mencubit dengan cubitan kecil yang sakit, atau menyihir dia jadi permen karet dan mengunyahnya lama-lama.. Bagaimana tidak mendidih kepala ini? Setelah berpacu dalam indahnya cinta, bukannya disayang atau dihujani kata cinta, justru dibisiki pekerjaan. Itupun langsung ditinggal mendengkur dan dikasih punggung. Kesal, kan? Memang, biasanya tidak seperti itu. Tapi…aku tidak ingin diabaikan. Apalagi ini gara-gara pekerjaan yang menyangkut nama Catherine. Wanita yang jelas-jelas ingin merebut suamiku. * “Selamat pagi, Ran.” Aku yang sedang menyiapkan makan pagi, hanya menoleh sebentar. Memiringkan pipi untuk menerima kecupannya. “Yang akan aku bawa sudah disiapkan?” bisik Mas Suma setelah mengalungkan tangan di pinggangku. Bib
“Mama kenapa?” Suara Wisnu mengagetkan aku. Segera, kertas yang membuat jantung berdegub kencang ini aku lipat dan kumasukkan ke saku. Aku menoleh, dan mendapati anak lelakiku menekuk tubuhnya dengan bertumpu ke kedua lutut. Napasnya terengah-engah dengan keringat bercucuran. “Biasanya pagi-pagi kuliah atau ada kegiatan kampus. Nah sekarang di rumah, mata mengajak tidur terus,” keluhnya tadi pagi sebelum bersiap. Dia pagi-pagi sudah olah raga keliling komplek. Katanya, ini untuk tetap menjaga rutinitas tubuh. Jangan sampai, di rumah justru memupuk kemalasan. Dengan alasan tidak ada kegiatan pagi, dan membiarkan diri bergelung dalam selimut. “Ma! Tidak ada apa-apa, kan?” tanya Wisnu lagi setelah menormalkan napas. Matanya menatapku menyelidik, seakan menerka-nerka ekspresiku. “Tidak apa-apa, Kak. Memang Mama kenapa?” “Tadi Wisnu lihat Mama mengusap mata. Seperti menangis. Ada masalah.” Aku menunjukkan senyuman, bahkan tertawa kecil untuk menghilangkan rasa curiga. “Tadi Mama ng
Benar kata temanku dulu. Tidak semua yang ada di pikiran, bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seringkali menuangkan isi kepala melalui tulisan pesan atau surat. Ini terasa lebih indah dan mengena.Itu seharusnya.Di awal kalimat ‘Dear Maharani matahariku….’ Aku sudah membayangkan kalimat berikutnya penuh dengan kata-kata puitis dan rayuan yang mendayu-dayu. Namun, yang aku dapati justru tulisan yang benar-benar menunjukkan siapa suamiku-realistis, jauh dari kata romantis, dan terkesan kaku.Justru kalau dia jago gombal, otakku akan berpikir dia menggombali siapa saja di luar sana. Aman, walaupun tetap waspada. Karena zaman sekarang, banyak perempuan yang penasaran dengan laki-laki seperti Mas Suma ini. Bos yang terkenal kaku.“Ma, jadi diantar ke galeri?” Kepala Wisnu melongok setelah mengetuk pintu.“Masuk, Kak!”Aku menurunkan kaki dari ranjang. Kemudian beranjak untuk bersiap. Tadi setelah mendapat izin dari Mas Suma, aku meminta anakku untuk ikut ke galleri. Apalagi Sapto juga data
Setelah kata istri disematkan kepada seorang perempuan, dia harus sadar satu hal. Saat itu juga dia mempunyai bayi besar yang kadang rewel, manja, lucu, dan juga ngeselin. Dia itu namanya suami.Jadi tidak apa-apa, kan, aku manja sedikit kepada Maharani, istriku?Matanya menatapku sejenak, seakan tidak percaya. Sempat ada keraguan, dia akan mengomel seperti biasanya. Namun, aku bernapas lega saat senyumannya merekah, dan terdengar dia tertawa kecil.“Iya. Sini,” ucapnya sambil mengambil bangku kayu. Membantuku membuka kemeja dan menyuruhku duduk dan memulai mewaslap punggungku. Seketika, rasa nyaman terasa di tubuhku. Perpaduan dengan hangatnya waslap, pijatan, dan aroma terapi yang menyeruak di penciumanku.“Kurang keras?” Maharani menggosok dari atas ke bawah tepat di tulang belakang. Pegal yang tadi terasa sirna. Syaraf tulang belakangku seperti terbangun dan segar kembali.“Enak,” ucapku sambil memejamkan mata.“Badannya Mas Suma kaku. Ini karena kecapekan dan lama di posisi yang
“Papi sakit, Ma?” tanya Amelia yang datang akan membantuku menyiapkan makan pagi. Pasti dia menerka dari apa yang aku kerjakan.“Iya. Ini Mama siapkan makanannya.”Aku menyiapkan bubur beras yang direbus dengan kaldu ayam kampung. Sedangkan, dia mulai mengelap piring dan peralatan lainnya yang akan ditata di meja. Anak gadisku ini sudah mulai bisa, dan mengerjakan sesuatu tanpa disuruh. Walaupun tetap ada Bik Inah yang mendampinginya.Awalnya Mas Suma menegurku. “Ran, untuk apa Amelia seperti itu. Kan ada Bik Inah dan yang lain?”“Amelia mengawasi dan sesekali ikut membantu. Itu saja, Mas. Walaupun dia tidak mengerjakan semuanya, tetapi dia juga harus tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ini persiapan kalau nanti di rumah calon mertua. Dia tidak canggung.”“Itu masih lama.”“Justru itu, dibiasakan dari sekarang. Nantinya dia tidak berat.” Itu yang aku ucapkan kala itu.Memang, keluarga suamiku ini, apa-apa dikerjakan pembantu. Mereka tinggal panggil orang, kalau perlu tenaga profesion
Tidak tega melihat Mas Suma dianiaya Denish. Sekarang ditambah Anind yang ingin memperlakukan papinya sama seperti kakaknya. Dia menekan-nekan mainan yang seperti alat pengukur suhu.Kalau sudah seperti ini, mana ada yang tahu kalau bos besar Tuan Kusuma tidak berdaya dalam kungkungan dua balita. Bukannya membantu, Amelia justru ikut-ikutan menggoda mas Suma.Mereka terlihat kangen atas kehadiran Mas Suma. Tawa tergelak mulai terdengar. Mas Suma yang awalnya terlihat tersiksa, sekarang sudah asyik ikut bermain.“Aduh. Papi tangannya sakit….” Mas Suma pura-pura meringis sambil menunjukan kedua tangannya..“Eis ijit, ya. Pappi tidak boleh nanis. Adek Anind ijit tanan satunya.” Denish memberi perintah kepada adiknya. Tangan-tangan kecil mereka memijit Mas Suma yang sudah bisa melemparkan senyum kepadaku. Amelia duduk di tepi ranjang menjaga adik-adiknya.Memastikan semua aman, aku meninggalkan mereka berempat di kamar.“Ma… Mama sibuk?” Wisnu yang duduk di ruang tengah menghentikan langk
Kekesalanku tidak bisa aku hilangkan dari hati. Entah. Biasanya aku penuh dengan pemakluman, tetapi kali ini aku tidak mampu. Ini seperti areal pribadiku diganggu oleh pasangan penghianat itu. Maksudku, kalau tentang masalah Wisnu, ya jangan membawa istrinya, dong.Ini alasan lain, selain karena jadwal yang diajukan secara mendadak.Tidak hanya Mas Bram dan Wulan, Wisnupun kujadikan tersangka atas ketidaknyamanku ini. Untuk kali pertama, aku merasa tidak didengar oleh anakku ini.Sakit!Sampai-sampai Mas Suma turun tangan.“Rani. Ada yang ingin diceritakan?” ucapnya dengan nada lembut. Dia mengusap lengan ini, tapi tidak meredakan tanganku yang menguleni adonan donat. Awalnya rencanaku mengurai kekesalan dengan menguleni adonan menggunakan tangan. Akan tetapi kenapa adonan ini seperti ada yang salah? Aku tidak mencium bau ragi dan adonan tidak mengembang sedikitpun.Kesal!“Sudah. Tidak usah bikin makanan. Istirahat saja,” ucap Mas Suma dengan nada rendah.Dia mengambil tangan ini y