Kekesalanku tidak bisa aku hilangkan dari hati. Entah. Biasanya aku penuh dengan pemakluman, tetapi kali ini aku tidak mampu. Ini seperti areal pribadiku diganggu oleh pasangan penghianat itu. Maksudku, kalau tentang masalah Wisnu, ya jangan membawa istrinya, dong.Ini alasan lain, selain karena jadwal yang diajukan secara mendadak.Tidak hanya Mas Bram dan Wulan, Wisnupun kujadikan tersangka atas ketidaknyamanku ini. Untuk kali pertama, aku merasa tidak didengar oleh anakku ini.Sakit!Sampai-sampai Mas Suma turun tangan.“Rani. Ada yang ingin diceritakan?” ucapnya dengan nada lembut. Dia mengusap lengan ini, tapi tidak meredakan tanganku yang menguleni adonan donat. Awalnya rencanaku mengurai kekesalan dengan menguleni adonan menggunakan tangan. Akan tetapi kenapa adonan ini seperti ada yang salah? Aku tidak mencium bau ragi dan adonan tidak mengembang sedikitpun.Kesal!“Sudah. Tidak usah bikin makanan. Istirahat saja,” ucap Mas Suma dengan nada rendah.Dia mengambil tangan ini y
Aku memilih singgah di restoran langganan. Dia mempunyai ruang privat yang memberikan fasilitas pelanggannya untuk berbicara secara leluasa. Untungnya, masih ada ruang yang belum terpakai.Dengan kepala penuh tanda tanya, kami berdua duduk berhadapan setelah memesan paket menu makanan. Aku menatap anak gadisku yang wajahnya menyiratkan kekesalan sekaligus sedih. Entah, apa yang akan dibicarakan. Ada rasa ketakutan dan kawatir di hati ini. Pikiran jelek berseliweran dengan berbagai prasangka.“Amelia akan bicara apa?”Dia menggeleng. “Nanti, Pi. Setelah makanannya keluar. Aku tidak mau nanti pelayan mendengar percakapan kita.”Apa yang dia akan katakan, sampai-sampai tidak boleh di dengar orang lain. Aku menghela napas, mencoba sabar. Daripada nanti justru dia berdiam seribu bahasa? Apalagi tadi sempat berkata tidak mau diketahui Maharani.Satu persatu makanan sudah siap di meja. Pelayan sudah memberitahukan kalau semua sudah dihidangkan. Aroma menyeruak menggugah selera. Akan tetapi,
“Apa yang aku lakukan? Aku tidak mengusik keluargamu. Untuk apa?” seru Dewi membantah tuduhanku. Tangan ini terkepal keras. Perempuan di depanku ini tidak berubah dari dulu. Selalu bersikap seenaknya tanpa berpikir imbas yang di timbulkan.“Terus apa maksudmu mengirim pesan begitu kepada Amelia. Memberi peringatan kepadanya untuk hati-hati kepada Wisnu. Memang apa yang kamu ketahui tentang keluargaku?”Dia tersenyum sinis. Dengan santainya Dewi menuang teh untuknya dan untukku. Kemudian mempersilakanku dan dia meminumnya sampai tandas.“Apa yang aku katakan salah? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, kok. Wisnu itu orang luar. Dia hanya anak bawaan Maharani, kok. Wajah dong sebagai ibu kandung Amelia, aku mengkawatirkan haknya.”“Tapi yang kamu lakukan itu__”“Dan kamu sebagai ayahnya justru mengancam aku yang berusaha melindungi hak anakmu!” pungkasnya tidak mau kalah. Perempuan ini semakin menunjukkan keras kepalanya. Seharusnya aku yang marah-marah, kenapa justru sekarang dia yan
“Amelia itu masih polos. Dengan tipuan cinta dan masakannya, anakku itu meletakkan kepercayaan penuh kepada Maharani.”“Dewi! Kamu jangan salah sangka!”“Memang kenyataannya begitu, kan? Dia hanya tukang masak yang pintar berkata-kata.”“Dewi! Kalau kau__““Kalau apa?! Kamu akan mengancamku lagi?” seru mantan istriku ini, membuat tanganku semakin kuat terkepal.Mulut ini bergetar karena menahan amunisi penghancur untuknya. Melontarkan sekarang tidak menyelesaikan masalah, justru hanya membuat masalah bertambah banyak. Kalau aku tidak ingat Amelia, sudah habis perempuan di depanku ini.Aku mengirup udara dan mengembuskan dengan menggembungkan mulut. Berharap mengurai kekesalan ini, dan mendapatkan ketenangan untuk menghadapi Dewi.“Kamu sebagai ibu kandungnya, sebenarnya sayang tidak kepada Amelia?” tanyaku dengan nada suara lebih rendah. Meninggikan suara seperti tadi, tidak membuatnya gentar, justru menyulut emosinya. Aku harus mencari selanya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Ya
Rasa penasaranku semakin membuncah. Amelia aku tanyai tetap bungkam. Dia hanya mengatakan kalau akulah ‘ibunya’ yang sebenarnya. Rasa tersanjung, pasti iya. Walaupun keingintahuan dengan apa yang sudah terjadi, masih mengusik hati ini.Beberapa saat setelah Amelia masuk kamar, Mas Suma pulang. Dia melebarkan senyuman, walau aku masih menangkap kegelisahan dari sikapnya. Sebenarnya, aku ingin bertanya langsung, tapi niatku itu aku urungkan saat teringat nasehat Ibu.“Nduk sebagai perempuan memang kita itu hobinya ngomel, atau mengajukan pertanyaan sampai njlimet met-met-met. Kalau belum titik, tidak berhenti. Itu sah-sah saja, tetapi jangan di waktu-waktu ini,” ucap Ibu kala itu.“Ada waktu yang dihindari? Ibu ini ada-ada saja,” seruku sambil tersenyum.“Ya ada, to. Pertama, saat orang baru pulang. Jangan baru buka pintu langsung dicecar pertanyaan. Orang bisa marah. Karena di saat itu, pikirannya itu belum jejek. Belum mengumpul sepenuhnya, masih campur baur dengan urusan di luar ruma
Siapa sih yang mau dijelek-jelekkan? Apalagi yang dikatakan itu tidak benar. Pasti semua akan mengatakan tidak mau. Akan tetapi menghadapi seseorang seperti Dewi, menjawab dan membalas ucapannya hanya akan menambah masalah. Seperti menyiram minyak ke api yang sedang berkobar. Bukan tidak mungkin, api justru menyambar kita dan merugikan kita juga. Lebih baik didiamkan saja. Toh nanti akan padam sendiri. Ibaratnya buah yang busuk, dia akan jatuh sendiri. Kenapa kita harus merugikan diri dengan membuang waktu? “Aku tahu. Maharaniku perempuan tanggung yang tidak akan terpengaruh dengan hal yang tidak penting.” Mas Suma mengucapkan sambil meraih tangan ini. Menepuk pelan, seakan meminta pengertianku. Huuft! Dimana-mana yang berhubungan dengan mantan selalu menjengkelkan. Apalagi mantan yang masih penasaran dan merasa perlu diikutkan seperti Dewi ini. “Aku akan berusaha memaklumi, asalkan….” “Apa?” “Keluargaku ini. Mas Suma dan Amelia percaya penuh denganku. Itu saja yang aku peduli
Idealis. Itu yang terbersit di kepala ini saat mengulas keinginan Amelia. Sejujurnya aku mengacungkan jempol untuknya. Seumuran dia sudah mempunyai keinginan besar. Bahkan sampai memikirkan tentang bangsa ini. “Kalau mereka bisa, seharusnya orang kita bisa dong? Pertanyaannya kita mau atau tidak. Dan, nantinya Amel yang akan menggerakkan,” ucapnya dengan optimis saat menjelaskan keinginannya. Cara berpikirnya pun membuatku bangga kepadanya. “Inginnya apa, baru dirumuskan harus bagaimana.” Dia yang dulu manja dan malas, sekarang sudah menjelma menjadi remaja yang berpikir luas dan mempunyai pendirian. Walaupun sesekali kumat manjanya. Awal sebelum dia direstui melanjutkan sekolah di ibu kota, aku dan Mas Suma berdiskusi dulu tentang pilihannya ini. Ada yang membuat Mas Suma berat, ada juga sisi yang membanggakan. “Ran…. Menurut kamu, Amelia apa sudah mandiri dan bisa dilepas?” Saat itu terlihat guratan ketidakrelaan pada dirinya. Ingin berkata iya, tapi ragu. Sebenarnya sifat dan s
Kurang konstan dalam berusaha itu bukan budaya, apalagi tidak disiplin. Namun, kenapa itu seolah-olah disematkan pada orang-orang kita? Katanya karena kita pengekspor karet terbesar, jadinya ada jam karet yang molor. Ada-ada saja. Mas Suma dan Amelia saling pandang. Mereka terlihat terusik dengan pertanyaanku. Apa yang salah dengan orang-orang kita? “Oh, itu perlu pendekatan budaya. Kita memang mengadaptasi pemikiran mereka, akan tetapi tetap disesuaikan dengan keadaan di sini,” jelas Mas Suma disambut anggukan oleh Amelia yang menyetujuinya. “Iya, Ma. Betul sekali. Kalau persis sama, orang kita belum tentu sanggup. Kedisiplinan mereka kuat, dan perjuangannya bisa dibilang gila! Amel sering melihat tayangan latihan mereka.” Amelia menambahkan. Kemudian dia melanjutkan bicara. Bagaimana proses sampai mereka menunjukkan tayangan yang begitu sempurna. Disiplin yang tinggi dan upaya yang luar biasa. Bagaimana pelatihan mereka yang bisa dibilang kejam. Harus sesuai target, kalau tidak