“Apa yang aku lakukan? Aku tidak mengusik keluargamu. Untuk apa?” seru Dewi membantah tuduhanku. Tangan ini terkepal keras. Perempuan di depanku ini tidak berubah dari dulu. Selalu bersikap seenaknya tanpa berpikir imbas yang di timbulkan.“Terus apa maksudmu mengirim pesan begitu kepada Amelia. Memberi peringatan kepadanya untuk hati-hati kepada Wisnu. Memang apa yang kamu ketahui tentang keluargaku?”Dia tersenyum sinis. Dengan santainya Dewi menuang teh untuknya dan untukku. Kemudian mempersilakanku dan dia meminumnya sampai tandas.“Apa yang aku katakan salah? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, kok. Wisnu itu orang luar. Dia hanya anak bawaan Maharani, kok. Wajah dong sebagai ibu kandung Amelia, aku mengkawatirkan haknya.”“Tapi yang kamu lakukan itu__”“Dan kamu sebagai ayahnya justru mengancam aku yang berusaha melindungi hak anakmu!” pungkasnya tidak mau kalah. Perempuan ini semakin menunjukkan keras kepalanya. Seharusnya aku yang marah-marah, kenapa justru sekarang dia yan
“Amelia itu masih polos. Dengan tipuan cinta dan masakannya, anakku itu meletakkan kepercayaan penuh kepada Maharani.”“Dewi! Kamu jangan salah sangka!”“Memang kenyataannya begitu, kan? Dia hanya tukang masak yang pintar berkata-kata.”“Dewi! Kalau kau__““Kalau apa?! Kamu akan mengancamku lagi?” seru mantan istriku ini, membuat tanganku semakin kuat terkepal.Mulut ini bergetar karena menahan amunisi penghancur untuknya. Melontarkan sekarang tidak menyelesaikan masalah, justru hanya membuat masalah bertambah banyak. Kalau aku tidak ingat Amelia, sudah habis perempuan di depanku ini.Aku mengirup udara dan mengembuskan dengan menggembungkan mulut. Berharap mengurai kekesalan ini, dan mendapatkan ketenangan untuk menghadapi Dewi.“Kamu sebagai ibu kandungnya, sebenarnya sayang tidak kepada Amelia?” tanyaku dengan nada suara lebih rendah. Meninggikan suara seperti tadi, tidak membuatnya gentar, justru menyulut emosinya. Aku harus mencari selanya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Ya
Rasa penasaranku semakin membuncah. Amelia aku tanyai tetap bungkam. Dia hanya mengatakan kalau akulah ‘ibunya’ yang sebenarnya. Rasa tersanjung, pasti iya. Walaupun keingintahuan dengan apa yang sudah terjadi, masih mengusik hati ini.Beberapa saat setelah Amelia masuk kamar, Mas Suma pulang. Dia melebarkan senyuman, walau aku masih menangkap kegelisahan dari sikapnya. Sebenarnya, aku ingin bertanya langsung, tapi niatku itu aku urungkan saat teringat nasehat Ibu.“Nduk sebagai perempuan memang kita itu hobinya ngomel, atau mengajukan pertanyaan sampai njlimet met-met-met. Kalau belum titik, tidak berhenti. Itu sah-sah saja, tetapi jangan di waktu-waktu ini,” ucap Ibu kala itu.“Ada waktu yang dihindari? Ibu ini ada-ada saja,” seruku sambil tersenyum.“Ya ada, to. Pertama, saat orang baru pulang. Jangan baru buka pintu langsung dicecar pertanyaan. Orang bisa marah. Karena di saat itu, pikirannya itu belum jejek. Belum mengumpul sepenuhnya, masih campur baur dengan urusan di luar ruma
Siapa sih yang mau dijelek-jelekkan? Apalagi yang dikatakan itu tidak benar. Pasti semua akan mengatakan tidak mau. Akan tetapi menghadapi seseorang seperti Dewi, menjawab dan membalas ucapannya hanya akan menambah masalah. Seperti menyiram minyak ke api yang sedang berkobar. Bukan tidak mungkin, api justru menyambar kita dan merugikan kita juga. Lebih baik didiamkan saja. Toh nanti akan padam sendiri. Ibaratnya buah yang busuk, dia akan jatuh sendiri. Kenapa kita harus merugikan diri dengan membuang waktu? “Aku tahu. Maharaniku perempuan tanggung yang tidak akan terpengaruh dengan hal yang tidak penting.” Mas Suma mengucapkan sambil meraih tangan ini. Menepuk pelan, seakan meminta pengertianku. Huuft! Dimana-mana yang berhubungan dengan mantan selalu menjengkelkan. Apalagi mantan yang masih penasaran dan merasa perlu diikutkan seperti Dewi ini. “Aku akan berusaha memaklumi, asalkan….” “Apa?” “Keluargaku ini. Mas Suma dan Amelia percaya penuh denganku. Itu saja yang aku peduli
Idealis. Itu yang terbersit di kepala ini saat mengulas keinginan Amelia. Sejujurnya aku mengacungkan jempol untuknya. Seumuran dia sudah mempunyai keinginan besar. Bahkan sampai memikirkan tentang bangsa ini. “Kalau mereka bisa, seharusnya orang kita bisa dong? Pertanyaannya kita mau atau tidak. Dan, nantinya Amel yang akan menggerakkan,” ucapnya dengan optimis saat menjelaskan keinginannya. Cara berpikirnya pun membuatku bangga kepadanya. “Inginnya apa, baru dirumuskan harus bagaimana.” Dia yang dulu manja dan malas, sekarang sudah menjelma menjadi remaja yang berpikir luas dan mempunyai pendirian. Walaupun sesekali kumat manjanya. Awal sebelum dia direstui melanjutkan sekolah di ibu kota, aku dan Mas Suma berdiskusi dulu tentang pilihannya ini. Ada yang membuat Mas Suma berat, ada juga sisi yang membanggakan. “Ran…. Menurut kamu, Amelia apa sudah mandiri dan bisa dilepas?” Saat itu terlihat guratan ketidakrelaan pada dirinya. Ingin berkata iya, tapi ragu. Sebenarnya sifat dan s
Kurang konstan dalam berusaha itu bukan budaya, apalagi tidak disiplin. Namun, kenapa itu seolah-olah disematkan pada orang-orang kita? Katanya karena kita pengekspor karet terbesar, jadinya ada jam karet yang molor. Ada-ada saja. Mas Suma dan Amelia saling pandang. Mereka terlihat terusik dengan pertanyaanku. Apa yang salah dengan orang-orang kita? “Oh, itu perlu pendekatan budaya. Kita memang mengadaptasi pemikiran mereka, akan tetapi tetap disesuaikan dengan keadaan di sini,” jelas Mas Suma disambut anggukan oleh Amelia yang menyetujuinya. “Iya, Ma. Betul sekali. Kalau persis sama, orang kita belum tentu sanggup. Kedisiplinan mereka kuat, dan perjuangannya bisa dibilang gila! Amel sering melihat tayangan latihan mereka.” Amelia menambahkan. Kemudian dia melanjutkan bicara. Bagaimana proses sampai mereka menunjukkan tayangan yang begitu sempurna. Disiplin yang tinggi dan upaya yang luar biasa. Bagaimana pelatihan mereka yang bisa dibilang kejam. Harus sesuai target, kalau tidak
Entah ada acara apa malam ini. Pagi-pagi Mas Suma memberitahu kalau kita sekeluarga datang ke rumah besar. Rumah yang ditinggali Nyonya Besar, mertuaku.“Kalau tidak tahu ada acara apa, terus kita tidak tahu juga harus bawa apa dan bagaimana.”“Ya itu. Mami tidak mau bilang. Dia hanya mengatakan kalau kita disuruh datang semuanya. Baju bebas, cuma harus berwarna putih,” jawab Mas Suma sambil menaikkan kedua bahu. Dia yang sedang membaca buku menatapku sejenak, kemudian berkutat kembali.Tidak biasanya mertuaku memberikan undangan tanpa detail acara. Beliau orang yang perfeksionis, jadi setiap acara harus benar-benar sempurna termasuk kami sebagai keluarga.Aku membuka-buka pakaian yang tergantung di dalam lemari. Acara yang mendadak ini membuatku kalang kabut. Aku harus menyiapkan baju yang senada untuk satu keluarga. Belum baju untuk Denish dan Anind.“Claudia bisa tidak, ya? Menyiapkan baju untuk kita,” ucapku sambil mengeluarkan baju yang berwarna putih. Tidak ada yang berwarna put
“Sudah cantik.” Mas Suma menundukkan kepala, mensejajariku yang sedang duduk menghadap di meja rias. Riasanku sudah selesai, tertinggal menyempurnakan dikit-dikit.“Sudah. Nanti terlalu cantik, aku jadi was-was. Pengen nyolok mata yang melihatmu,” ucap Mas Suma sambil tersenyum jahil.Aku yang memegang kuas, mencocolkan ke pipinya. “Halah, gombal!”Dia tergelak. Bukannya mengelak, dia justru mendekatkan wajah dan mengecup pipi ini.“Ais! Sana, Mas. Pipiku basah, lo!” Dia semakin tertawa, mungkin melihat mataku yang melotot karena kesal.Persiapanku masih setengah jalan. Senyumku mengembang, ketika mata ini menatap gaun putih yang siap aku pakai. Baju warna putih berenda dengan potongan sederhana tetapi terlihat elegan, dipadukan dengan kerudung satin berwarna putih.Tidak hanya itu, ada satu kotak perhiasan berlable merk terkenal. Di dalamnya berisi gelang, cincin, dan bros. Semua bertahta permata berkilau.Mata ini menatap bayangan cermin yang menunjukkan suamiku yang begitu gagah.
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan