“Amelia itu masih polos. Dengan tipuan cinta dan masakannya, anakku itu meletakkan kepercayaan penuh kepada Maharani.”“Dewi! Kamu jangan salah sangka!”“Memang kenyataannya begitu, kan? Dia hanya tukang masak yang pintar berkata-kata.”“Dewi! Kalau kau__““Kalau apa?! Kamu akan mengancamku lagi?” seru mantan istriku ini, membuat tanganku semakin kuat terkepal.Mulut ini bergetar karena menahan amunisi penghancur untuknya. Melontarkan sekarang tidak menyelesaikan masalah, justru hanya membuat masalah bertambah banyak. Kalau aku tidak ingat Amelia, sudah habis perempuan di depanku ini.Aku mengirup udara dan mengembuskan dengan menggembungkan mulut. Berharap mengurai kekesalan ini, dan mendapatkan ketenangan untuk menghadapi Dewi.“Kamu sebagai ibu kandungnya, sebenarnya sayang tidak kepada Amelia?” tanyaku dengan nada suara lebih rendah. Meninggikan suara seperti tadi, tidak membuatnya gentar, justru menyulut emosinya. Aku harus mencari selanya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Ya
Rasa penasaranku semakin membuncah. Amelia aku tanyai tetap bungkam. Dia hanya mengatakan kalau akulah ‘ibunya’ yang sebenarnya. Rasa tersanjung, pasti iya. Walaupun keingintahuan dengan apa yang sudah terjadi, masih mengusik hati ini.Beberapa saat setelah Amelia masuk kamar, Mas Suma pulang. Dia melebarkan senyuman, walau aku masih menangkap kegelisahan dari sikapnya. Sebenarnya, aku ingin bertanya langsung, tapi niatku itu aku urungkan saat teringat nasehat Ibu.“Nduk sebagai perempuan memang kita itu hobinya ngomel, atau mengajukan pertanyaan sampai njlimet met-met-met. Kalau belum titik, tidak berhenti. Itu sah-sah saja, tetapi jangan di waktu-waktu ini,” ucap Ibu kala itu.“Ada waktu yang dihindari? Ibu ini ada-ada saja,” seruku sambil tersenyum.“Ya ada, to. Pertama, saat orang baru pulang. Jangan baru buka pintu langsung dicecar pertanyaan. Orang bisa marah. Karena di saat itu, pikirannya itu belum jejek. Belum mengumpul sepenuhnya, masih campur baur dengan urusan di luar ruma
Siapa sih yang mau dijelek-jelekkan? Apalagi yang dikatakan itu tidak benar. Pasti semua akan mengatakan tidak mau. Akan tetapi menghadapi seseorang seperti Dewi, menjawab dan membalas ucapannya hanya akan menambah masalah. Seperti menyiram minyak ke api yang sedang berkobar. Bukan tidak mungkin, api justru menyambar kita dan merugikan kita juga. Lebih baik didiamkan saja. Toh nanti akan padam sendiri. Ibaratnya buah yang busuk, dia akan jatuh sendiri. Kenapa kita harus merugikan diri dengan membuang waktu? “Aku tahu. Maharaniku perempuan tanggung yang tidak akan terpengaruh dengan hal yang tidak penting.” Mas Suma mengucapkan sambil meraih tangan ini. Menepuk pelan, seakan meminta pengertianku. Huuft! Dimana-mana yang berhubungan dengan mantan selalu menjengkelkan. Apalagi mantan yang masih penasaran dan merasa perlu diikutkan seperti Dewi ini. “Aku akan berusaha memaklumi, asalkan….” “Apa?” “Keluargaku ini. Mas Suma dan Amelia percaya penuh denganku. Itu saja yang aku peduli
Idealis. Itu yang terbersit di kepala ini saat mengulas keinginan Amelia. Sejujurnya aku mengacungkan jempol untuknya. Seumuran dia sudah mempunyai keinginan besar. Bahkan sampai memikirkan tentang bangsa ini. “Kalau mereka bisa, seharusnya orang kita bisa dong? Pertanyaannya kita mau atau tidak. Dan, nantinya Amel yang akan menggerakkan,” ucapnya dengan optimis saat menjelaskan keinginannya. Cara berpikirnya pun membuatku bangga kepadanya. “Inginnya apa, baru dirumuskan harus bagaimana.” Dia yang dulu manja dan malas, sekarang sudah menjelma menjadi remaja yang berpikir luas dan mempunyai pendirian. Walaupun sesekali kumat manjanya. Awal sebelum dia direstui melanjutkan sekolah di ibu kota, aku dan Mas Suma berdiskusi dulu tentang pilihannya ini. Ada yang membuat Mas Suma berat, ada juga sisi yang membanggakan. “Ran…. Menurut kamu, Amelia apa sudah mandiri dan bisa dilepas?” Saat itu terlihat guratan ketidakrelaan pada dirinya. Ingin berkata iya, tapi ragu. Sebenarnya sifat dan s
Kurang konstan dalam berusaha itu bukan budaya, apalagi tidak disiplin. Namun, kenapa itu seolah-olah disematkan pada orang-orang kita? Katanya karena kita pengekspor karet terbesar, jadinya ada jam karet yang molor. Ada-ada saja. Mas Suma dan Amelia saling pandang. Mereka terlihat terusik dengan pertanyaanku. Apa yang salah dengan orang-orang kita? “Oh, itu perlu pendekatan budaya. Kita memang mengadaptasi pemikiran mereka, akan tetapi tetap disesuaikan dengan keadaan di sini,” jelas Mas Suma disambut anggukan oleh Amelia yang menyetujuinya. “Iya, Ma. Betul sekali. Kalau persis sama, orang kita belum tentu sanggup. Kedisiplinan mereka kuat, dan perjuangannya bisa dibilang gila! Amel sering melihat tayangan latihan mereka.” Amelia menambahkan. Kemudian dia melanjutkan bicara. Bagaimana proses sampai mereka menunjukkan tayangan yang begitu sempurna. Disiplin yang tinggi dan upaya yang luar biasa. Bagaimana pelatihan mereka yang bisa dibilang kejam. Harus sesuai target, kalau tidak
Entah ada acara apa malam ini. Pagi-pagi Mas Suma memberitahu kalau kita sekeluarga datang ke rumah besar. Rumah yang ditinggali Nyonya Besar, mertuaku.“Kalau tidak tahu ada acara apa, terus kita tidak tahu juga harus bawa apa dan bagaimana.”“Ya itu. Mami tidak mau bilang. Dia hanya mengatakan kalau kita disuruh datang semuanya. Baju bebas, cuma harus berwarna putih,” jawab Mas Suma sambil menaikkan kedua bahu. Dia yang sedang membaca buku menatapku sejenak, kemudian berkutat kembali.Tidak biasanya mertuaku memberikan undangan tanpa detail acara. Beliau orang yang perfeksionis, jadi setiap acara harus benar-benar sempurna termasuk kami sebagai keluarga.Aku membuka-buka pakaian yang tergantung di dalam lemari. Acara yang mendadak ini membuatku kalang kabut. Aku harus menyiapkan baju yang senada untuk satu keluarga. Belum baju untuk Denish dan Anind.“Claudia bisa tidak, ya? Menyiapkan baju untuk kita,” ucapku sambil mengeluarkan baju yang berwarna putih. Tidak ada yang berwarna put
“Sudah cantik.” Mas Suma menundukkan kepala, mensejajariku yang sedang duduk menghadap di meja rias. Riasanku sudah selesai, tertinggal menyempurnakan dikit-dikit.“Sudah. Nanti terlalu cantik, aku jadi was-was. Pengen nyolok mata yang melihatmu,” ucap Mas Suma sambil tersenyum jahil.Aku yang memegang kuas, mencocolkan ke pipinya. “Halah, gombal!”Dia tergelak. Bukannya mengelak, dia justru mendekatkan wajah dan mengecup pipi ini.“Ais! Sana, Mas. Pipiku basah, lo!” Dia semakin tertawa, mungkin melihat mataku yang melotot karena kesal.Persiapanku masih setengah jalan. Senyumku mengembang, ketika mata ini menatap gaun putih yang siap aku pakai. Baju warna putih berenda dengan potongan sederhana tetapi terlihat elegan, dipadukan dengan kerudung satin berwarna putih.Tidak hanya itu, ada satu kotak perhiasan berlable merk terkenal. Di dalamnya berisi gelang, cincin, dan bros. Semua bertahta permata berkilau.Mata ini menatap bayangan cermin yang menunjukkan suamiku yang begitu gagah.
Mobil sudah siap, termasuk dua mobil pengawal. Catherine yang masih belum jelas keberadaannya, menjadi alasan Mas Suma untuk tetap memperkerjakan mereka.“Aku tidak mau mengambil resiko. Lengah sedikit yang menyebabkan aku menyesal seumur hidup,” ucap Mas Suma menolak ucapanku yang keberatan.Pengawalan yang mencolok sebenarnya membuatku risih, bahkan enggan keluar rumah. Kecuali terpaksa.Satu mobil di depan. Di tengah mobil yang kami tumpangi. Pak Maman sebagai pengemudi dengan Mas Suma di sebelahnya. Sedangkan aku memangku Anind dan Denish duduk ditengah-tengah antara aku dan Amelia.Mbok Inah, Mbak Tias, dan Mbak Dwi juga ikut. Mereka menumpang di mobil pengawal yang mengikuti kami.“Kak Amel cantik,” ucapku sambil menyentuh rambut yang dikepang dua. Dipiling dari atas dengan dipadukan dengan pita satin putih. Dandanan yang sesuai dengan usianya.“Amel lihat di internet, Ma. Hasil karya Mbak Tias dan Mbak Dwi.” Bibirnya yang dipulas pewarna merah muda menunjukkan senyuman. Kalau