Entah apa yang dipertontonkan mereka di sana. Nyonya Besar masih mengalunkan lagu, sedangkan Mas Suma duduk mensejajari sembari mengamati ibunya. Sesekali mertuaku itu melempar senyuman. Mata ini menangkap suamiku menahan haru dibalik sudut bibir yang ditarik membentuk lengkungan. Dengan penasaran yang sangat, aku mengedarkan pandangan. Raut wajah senada dengan Mas Suma, dipertontonkan oleh beberapa yang hadir. Bahkan, sopir kepercayaan Nyonya Besar terlihat menangis tergugu. Setahuku, dia istirahat karena sakit. Aku masih ingat, dia Pak Sutar sopir sekaligus asisten pribadi yang bekerja di rumah ini semenjak Mas Suma masih kecil. Pasti dia tahu benar apa yang terjadi. Keterkejutanku semakin bertambah, saat alunan berubah menjadi lebih cepat. Dan, yang ada di depanku memperlebar mata ini. Sesuatu yang tidak pernah aku ketahui, termasuk Amelia. Terbukti dia menatapku dengan menggelengkan kepala. Mas Suma tidak hanya duduk menemani. Jemarinya ikut menari di atas tuts-tuts piano. Me
Kita tidak bisa terlepas dari apa yang terjadi di masa yang sudah lewat. Mengingatnya saja kadang membuat kita lemah, atau …justru membuat kita kuat? Sekarang tertinggal aku, Mas Suma, dan Nyonya Besar. Kami berpindah ke dalam rumah, duduk santai di ruang tengah. Amelia yang katanya ingin berbincang justru sudah tidur terlebih dahulu di kamar Nyonya Besar. “Rani. Pasti dari awal acara kamu mempunyai banyak pertanyaan,” ucap Nyonya Besar seakan tahu apa yang berkecamuk di kepala ini. Sedari tadi aku ingin mengajukan pertanyaan, tetapi belum ada waktu yang tepat. Seakan mendapat kesempatan, aku langsung mengangguk dengan antusias. Aku menghela napas pelan, menunjukkan senyuman sambil menjawab, “Iya, Mami. Apalagi saat Mami memainkan piano. Terlihat indah sekali. Sungguh ini kejutan yang amat sangat luar biasa.” “Termasuk kejutan yang disuguhkan suamimu?” ucapnya sambil tersenyum. “Benar sekali. Saya tahu sedikit tentang lagu yang dimainkan Mami. Saya suka mendengarkan dari radio.”
“Urip itu sawang sinawang, kalau melihat kehidupan orang lain kadang terlihat lebih enak. Padahal belum tentu demikian.” Ini ucapan yang dulu pernah dikatakan almarhum Bapak.Masih lekat di ingatan, saat itu aku tidak diterima di perguruan tinggi negeri. Dan cukup berpuas diri di diploma tiga. Saat itu aku menyeletuk tentang teman se-kos yang anak orang berada. Dia fakultas ekonomi dan perusahaan orang tuanya siap untuk diteruskan. Saat itu dia main ke rumah di kampung. “Enak temanku itu. Sudah menjadi calon sarjana, dan lulus nanti pun tidak kawatir tidak ada perkerjaan. Lha.. sudah ada perusahaan keluarga.”“Belum tentu yang dilihat itu seenak kenyataannya, Nduk. Buktinya temanmu itu malah sering bantu kamu bikin tugas. Padahal beda fakultas. Iya, to?”“Kok Bapak tahu?”“Ya tahu, dong. Wong dia curhat sama Bapak.”Memang temanku itu memilih fakultas ekonomi atas anjuran orang tua. Sebenarnya justru dia ingin mengambil jurusan design interior. Makanya dia sering nongkrong di kamar k
“Ran, kamu kok tidak bilang kalau bulan ini Pebruari?”Pagi-pagi, Mas Suma sudah mengajukan pertanyaan yang tidak jelas. Entah ini akal-akalannya saja karena berkelit dari pertanyaanku yang belum dijawab, atau memang ada yang penting.Bukankan di kantor selalu ada jadwal dan di atas meja kerja tertera sekarang bulan apa. Kenapa baru sadar kalau sekarang bulan pebruari? Aku mengerutkan kening, memindahi ekspresinya dari cermin meja rias di depanku.“Huuft! Amelia juga tidak mengingatkan. Seandainya Wisnu ada di sini, pasti ini tidak bakal terjadi.”“Ada apa, Mas Suma? Ada hal penting?” tanyaku heran. Dalam pikiranku, mungkin dia ada rencana yang terlewatkan. Tapi apa? Bukankah biasanya Desi sekretaris selalu mengingatkan.“Tanggal empat belas sudah lewat, Ran.”“Mas Suma mau mengadakan apa?” tanyaku semakin heran. Kalau Wisnu atau Amelia meributkan hari valentine, masih dimaklumi. La ini Mas Suma, yang usianya sudah setengah abad.Dia mendekat, berdiri di belakangku yang sedang duduk.
Bagaimana kita bisa melupakan kenangan buruk? Memang otak seperti komputer? Tinggal tekan tombol ‘delete’, semua menjadi tidak berbekas. Itu pun sebenarnya masih bisa dipulihkan dengan mengambil data di tempat bergambar keranjang sampah.Seorang anak tidak bisa memilih dia dilahirkan pada keluarga bagaimana. Akan tetapi, orang tua bisa menyiapkan kondisi yang terbaik.Itu seharusnya.Pertanyaannya, konsep kata ‘terbaik’ di setiap kepala berbeda-beda. Mungkin saja ibunya Rita ingin memberikan keluarga yang penuh dengan keajaiban cinta. Kisah cintanya yang tertunda bersatu, dan dipertemukan oleh waktu. Walaupun pada kondisi tidak tepat. Seperti pertemuannya dengan papinya Mas Suma. “Kalau Mas Suma bersikap seperti itu, sama saja Mas Suma tidak memaafkan dia.”“Untuk apa aku memaafkan dia? Aku tidak menuduhnya bersalah, dan tidak membencinya. Akan tetapi, melihatnya membuatku ingat akan orang yang sangat aku tidak suka. Ibunya. Yang sok mengatakan kalau cinta itu suci dan harus diperjua
Yang diucapkan Mas Suma ternyata tidak main-main. Dia membawaku ke tempat yang spesial. Katanya mumpung Amelia masih di rumah besar, juga Anind dan Denish tidak rewel. Bisa ditinggal.“Ini untuk merayakan hari kasih sayang, Ran.”“Sudah lewat juga. Untuk apa kita gitu-gituan, Mas?”“Yah, anggap saja sebagai alasan mentraktir istri. Kalau tidak gitu, kapan kita ada kesempatan makan malam berdua,” jawabnya sambil tergelak.Kesempatan kalau sudah lewat, harus kita ciptakan sendiri. Ucapnya bersikukuh dengan rencananya.Matahari sudah digantikan rembulan. Lampu jalanan semakin terang, begitu juga kerlap-kerlip hiasan di taman pembatas jalan menunjukkan keindahan. Jalanan agak padat, tidak seperti biasanya. Apa mungkin karena ini minggu malam? Seakan enggan melepas kenikmatan liburan, mereka berusaha mereguk sisa waktu rehat dengan menghabiskan malam.“Kita kemana?”“Lihat saja nanti. Aku sudah pesan tempat.”“Kita pernah ke sana?”“Belum. Ini restoran baru. Bagus, kok.”Aku menunjukkan se
Usaha yang dia lakukan membuatku merasa menjadi wanita yang dipentingkan. Sepanjang makan malam, dia memperlakukan aku dengan manis. Entah, dapat rumus dari mana sampai-sampai Mas Suma bertindak demikian.Mulai sebelum makan, dia segera beranjak, memindah kursi duduknya mensejajari aku. Seperti di film-film, dia membuka kain napkin dan membantuku meletakkan di pangkuan. “Jangan sampai aku iri sama noda, yang menempel pada dirimu. Padahal itu kan harusnya aku. Apalagi sampai waiter deket-deket sama kamu.”Nyaris aku tertawa mendengarkan gombalannya. Akan tetapi melihat raut wajahnya yang tidak menunjukkan bercanda, aku memilih menyajikan senyuman. Walaupun, yang ini terdengar kaku dan seperti hapalan.Makanan yang tersaji menggugah selera. Piring-piring kecil berjajar dan masih mengepulkan asap, seakan menunjukkan dia yang terenak. Seperti atmosfer yang ditawarkan saat memasuki area ini, yang dihadapanku semuanya makanan Indonesia.“Kamu pasti suka,” ucapnya sambil mengambil bakul na
Sesuatu akan terasa seru ketika kita tidak terbiasa melakukan atau mendapatinya. Bukan karena itu luar biasa atau tidak. Seperti orang kota yang berlibur kepedesaan. Mereka mendapati sawah hijau terhampar luas saja sudah merasa senang. Bahkan main lumpur dengan membajak sawah pun menjadi kegiatan yang seru. Begitu juga sebaliknya.Seperti tadi malam. Kami saling lempar gombalan konyol yang ternyata mengasyikkan. Alih-alih menciptakan suasana romantis seperti yang direncanakan. Ini justru berubah menjadi acara lucu-lucuan. Sampai selesai makan malam, gelak tawa mewarnai. Bahkan di mobilpun masih berlanjut.Aku tersenyum mengingat kekonyolan kami, dan memilih kembali menyelusup di pelukannya. Tidurku masih terasa kurang.“Hmm…sudah bangun?” Suara serak itu aku jawab dengan gelengan kepala, dan kembali menikmati bau keringat yang membuai. Dada lembab yang mengalun seiring napas berembus.Kepala ini merasakan tangan besarnya membelai rambutku, menarik sedikit mempererat pelukan.“Belum
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan