Usaha yang dia lakukan membuatku merasa menjadi wanita yang dipentingkan. Sepanjang makan malam, dia memperlakukan aku dengan manis. Entah, dapat rumus dari mana sampai-sampai Mas Suma bertindak demikian.Mulai sebelum makan, dia segera beranjak, memindah kursi duduknya mensejajari aku. Seperti di film-film, dia membuka kain napkin dan membantuku meletakkan di pangkuan. “Jangan sampai aku iri sama noda, yang menempel pada dirimu. Padahal itu kan harusnya aku. Apalagi sampai waiter deket-deket sama kamu.”Nyaris aku tertawa mendengarkan gombalannya. Akan tetapi melihat raut wajahnya yang tidak menunjukkan bercanda, aku memilih menyajikan senyuman. Walaupun, yang ini terdengar kaku dan seperti hapalan.Makanan yang tersaji menggugah selera. Piring-piring kecil berjajar dan masih mengepulkan asap, seakan menunjukkan dia yang terenak. Seperti atmosfer yang ditawarkan saat memasuki area ini, yang dihadapanku semuanya makanan Indonesia.“Kamu pasti suka,” ucapnya sambil mengambil bakul na
Sesuatu akan terasa seru ketika kita tidak terbiasa melakukan atau mendapatinya. Bukan karena itu luar biasa atau tidak. Seperti orang kota yang berlibur kepedesaan. Mereka mendapati sawah hijau terhampar luas saja sudah merasa senang. Bahkan main lumpur dengan membajak sawah pun menjadi kegiatan yang seru. Begitu juga sebaliknya.Seperti tadi malam. Kami saling lempar gombalan konyol yang ternyata mengasyikkan. Alih-alih menciptakan suasana romantis seperti yang direncanakan. Ini justru berubah menjadi acara lucu-lucuan. Sampai selesai makan malam, gelak tawa mewarnai. Bahkan di mobilpun masih berlanjut.Aku tersenyum mengingat kekonyolan kami, dan memilih kembali menyelusup di pelukannya. Tidurku masih terasa kurang.“Hmm…sudah bangun?” Suara serak itu aku jawab dengan gelengan kepala, dan kembali menikmati bau keringat yang membuai. Dada lembab yang mengalun seiring napas berembus.Kepala ini merasakan tangan besarnya membelai rambutku, menarik sedikit mempererat pelukan.“Belum
“Ma! Ada titipan dari Eyang!” Amelia datang menyelamatkan aku. Tidak peduli dengan raut wajah Mas Suma yang masih menunjukkan tanda tanya, aku berjalan melewatinya. Pura-pura tidak ingat, dan menerima bingkisan yang ditunjukkan Amelia. Bingkisan berwarna merah berlogo dan bertuliskan huruf kotak-kotak. Entah ini tulisan Mandarin atau Korea. “Eyang bawain Amel tiga dus. Yang dua tuh dibawa sama Pak Maman,” ucapnya sambil menunjuk suami Bik inah yang meletakkan dua dus merah di atas meja. “Apa ini, Kak?” Aku membaca tulisan yang bisa aku baca, ‘Hong Sam__’. “Ini gingseng merah, Ma. Itu ada tulisannya di bawah. Ini.” Amelia menunjuk, dan mata ini memicing dan menangkap apa yang dia baca. “Bagaimana masaknya, Kak? Mama tidak pernah makan ginian.” Aku tahu gingseng itu apa, dari bacaan yang aku baca. Setahuku itu seperti akar yang digunakan untuk obat atau menunjang stamina tubuh. “Mama pasti mikirnya ini akar gingseng, ya. Bukan, Ma. Ini minuman kemasan dari ekstrak gingseng. Kita ti
Aku bernapas lega. Akhirnya bisa memberangkatkan Mas Suma setelah sekian drama terlewati. Desi, sekretaris saja sudah berkali-kali mengingatkan lewat ponselku, karena suamiku justru asyik berbincang dengan Amelia.“Oke, kita lanjutkan nanti sepulang Papi, ya!” seru Mas Suma setelah sekian kali aku ingatkan.“Kalian bicara apa, Kak Amel. Kok kelihatan asyik sekali. Sampai-sampai tobe continued, disambung nanti malam?” tanyaku penasaran setelah mengantar Mas Suma ke depan.“Biasa, Ma. Bisnis. Ya karena minuman gingseng merah itu. Tahu kan, kalau sudah ngomongin tentang bisnis, Papi tidak ada titiknya,” jawab Amelia sambil tertawa.“Mumpung Kak Amel di rumah, ikut Mama ke galeri, yuk. Mama mau cek kerjaan.”“Maaf, Ma. Amel ada zoom meeting satu jam lagi. Tidak apa-apa, ya. Kalau Amel tidak ikutan.”“Tidak apa-apa. Kalau begitu Mama siap-siap sekarang,” ucapku kemudian kami beranjak ke kamar masing-masing.Zaman sekarang apa-apa dimudahkan.Dulu untuk telpon saja harus ke watel-warung tel
“Benar kata buku yang aku baca.” Aku yang sedang memasang sabuk pengaman, menoleh ke arahnya dengan heran. Mas Suma yang siap dengan tangan di kemudi, menoleh sebentar sambil menunjukkan senyuman tipis.Dengan pelan, mobil mulai berjalan keluar dari pelataran parkir galeri. Tadi suamiku ini menelponku untuk memastikan, sudah bisa dijemput tidak.“Apa katanya?” Aku bertanya setelah mobil berjalan di jalan yang lurus.“Ibu rumah tangga itu walaupun terlihat bahagia di rumah, dan dipenuhi kebutuhannya. Namun juga butuh waktu me time. Waktu untuk dirinya sendiri. Tidak hanya belanja atau jalan-jalan, bekerja sesuai keinginannya juga bisa membuat hatinya senang. Pokoknya yang untuk kepuasan hatinya dah.”“Memang apa yang dibaca Mas Suma?”Ada kekawatiran ada buku jurus-jurus yang lain, selain buku Raja Gombal. Entah kenapa akhir-akhir ini Mas Suma beralih bacaan. Yang biasanya berkutat dengan buku ekonomi dan filsafat, sekarang menaruh pilihan ke buku di luar kebiasaannya.“Bukunya bagus
Hati ini ingin tertawa, tapi harus aku tahan melihat kesungguhan Mas Suma. Walaupun terlihat jelas raut wajahnya setelah melihat hidangan yang dia pesan.“Saya pesan makanan yang paling laris di sini,” jawab Mas Suma saat ditanya pelayan. Aku juga mengangguk menyetujuinya. Bagaimana tidak, nama-nama yang tertera membuatku pusing. Tidak ada nama yang pernah aku dengar di telinga.Di depan kami tersaji gelas berkuping berukuran besar, dengan mie yang tenggelam di air berwarna coklat gelap dan diatasnya terdapat busa putih.“Ran, ini makanan atau minuman?” Pertanyaan yang mewakili yang ada di otakku. Tiba-tiba terbersit ingin menjahilinya.Aku memasang wajah serius. “Ini ramuan untuk melupakan usia, Mas. Makan ini, kita langsung lebih muda dua puluh tahun.”“Ah, kamu ngaco. Ini seperti mie yang dimasukkan beer, ya?” sahutnya dengan mata masih memindahi apa yang di depannya. Memang iya, tampilannya serupa dengan bir dingin lengkap dengan busa di atasnya.Dengan gerakan ragu-ragu, Mas Suma
“Ran. Kamu tahu kan dia itu siapa? Dan bagaimana aku menganggapnya dia itu apa?”“Iya, Mas. Aku tahu. Tapi__”“Kamu sengaja membodohi aku?”“Mas Suma!”“Kalau tahu, kenapa kamu biarkan aku meminum pemberian orang itu? Kalau kalian ingin minuman itu, beli saja. Pernah aku membatasi untuk belanja ini itu? Tidak kan? Kenapa justru menerima barang gratisan dari orang itu?!” seru Mas Suma memotong ucapanku. Wajah memerah, terlihat dia marah besar. Amelia sudah aku suruh masuk kamar ketika melihat gelagat kemarahan papinya ini.Aku menghela napas, berusaha tidak ikut terpantik amarah. Kalau dia marah dan aku tidak bisa mengendalikan emosi, justru bertambah runyam.Hati kecilku merasa ini tidak adil untukku. Yang memberikan ini bukannya Nyonya Besar, ibunya sendiri. Dan, pesan mertuaku itu untuk merahasiakan dari siapa bingkisan ini. Ini sama saja dilema untukku. Berada di tengah-tengan suami dan mertua.“Pokoknya, aku tidak mau melihat ini barang di depanku. Buang semuanya! Kita mampu kok
Wajah Mami terlihat ceria dia layar ponsel. Dia sedang memainkan piano, dengan ponsel dijapit di standing holder. Untung ada Maharani, dia dengan sigap menghidupkan lampu sebelum aku menerima panggilan ini.Pikiranku yang sudah dipenuhi prasangka ternyata meleset. Mami tidak mempertanyakan titipan, dia justru memamerkan lagu ciptaannya. Jemari menari dengan lincah, dan wajah Mami yang menyiratkan senyuman membuat hatiku ikut merasa bahagia.“Bagus?”“Bagus, Mami.” Aku dan Maharani tepuk tangan. Lantunan yang ditunjukkan Mami terdengar indah. Di telinga terdengar damai.“Mami masih siapkan lagunya. Nanti kalau kamu sudah longgar, main ke sini, ya. Kita duet. Terus Rani yang menilai. Gimana. Sekalian kalian bantu Mami menyusun syair.”“Mami akan ambil tema apa? Cinta-cintaan?” seloroh Maharani sambil tertawa dan menggerakkan dagu. Aku tahu, dia berusaha mencairkan suasana. Melempar guyonan untuk mengusir ketegangan yang masih tersisa.“Bukanlah. Memang Mami anak remaja yang dimabok cin
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan