“Ma! Ada titipan dari Eyang!” Amelia datang menyelamatkan aku. Tidak peduli dengan raut wajah Mas Suma yang masih menunjukkan tanda tanya, aku berjalan melewatinya. Pura-pura tidak ingat, dan menerima bingkisan yang ditunjukkan Amelia. Bingkisan berwarna merah berlogo dan bertuliskan huruf kotak-kotak. Entah ini tulisan Mandarin atau Korea. “Eyang bawain Amel tiga dus. Yang dua tuh dibawa sama Pak Maman,” ucapnya sambil menunjuk suami Bik inah yang meletakkan dua dus merah di atas meja. “Apa ini, Kak?” Aku membaca tulisan yang bisa aku baca, ‘Hong Sam__’. “Ini gingseng merah, Ma. Itu ada tulisannya di bawah. Ini.” Amelia menunjuk, dan mata ini memicing dan menangkap apa yang dia baca. “Bagaimana masaknya, Kak? Mama tidak pernah makan ginian.” Aku tahu gingseng itu apa, dari bacaan yang aku baca. Setahuku itu seperti akar yang digunakan untuk obat atau menunjang stamina tubuh. “Mama pasti mikirnya ini akar gingseng, ya. Bukan, Ma. Ini minuman kemasan dari ekstrak gingseng. Kita ti
Aku bernapas lega. Akhirnya bisa memberangkatkan Mas Suma setelah sekian drama terlewati. Desi, sekretaris saja sudah berkali-kali mengingatkan lewat ponselku, karena suamiku justru asyik berbincang dengan Amelia.“Oke, kita lanjutkan nanti sepulang Papi, ya!” seru Mas Suma setelah sekian kali aku ingatkan.“Kalian bicara apa, Kak Amel. Kok kelihatan asyik sekali. Sampai-sampai tobe continued, disambung nanti malam?” tanyaku penasaran setelah mengantar Mas Suma ke depan.“Biasa, Ma. Bisnis. Ya karena minuman gingseng merah itu. Tahu kan, kalau sudah ngomongin tentang bisnis, Papi tidak ada titiknya,” jawab Amelia sambil tertawa.“Mumpung Kak Amel di rumah, ikut Mama ke galeri, yuk. Mama mau cek kerjaan.”“Maaf, Ma. Amel ada zoom meeting satu jam lagi. Tidak apa-apa, ya. Kalau Amel tidak ikutan.”“Tidak apa-apa. Kalau begitu Mama siap-siap sekarang,” ucapku kemudian kami beranjak ke kamar masing-masing.Zaman sekarang apa-apa dimudahkan.Dulu untuk telpon saja harus ke watel-warung tel
“Benar kata buku yang aku baca.” Aku yang sedang memasang sabuk pengaman, menoleh ke arahnya dengan heran. Mas Suma yang siap dengan tangan di kemudi, menoleh sebentar sambil menunjukkan senyuman tipis.Dengan pelan, mobil mulai berjalan keluar dari pelataran parkir galeri. Tadi suamiku ini menelponku untuk memastikan, sudah bisa dijemput tidak.“Apa katanya?” Aku bertanya setelah mobil berjalan di jalan yang lurus.“Ibu rumah tangga itu walaupun terlihat bahagia di rumah, dan dipenuhi kebutuhannya. Namun juga butuh waktu me time. Waktu untuk dirinya sendiri. Tidak hanya belanja atau jalan-jalan, bekerja sesuai keinginannya juga bisa membuat hatinya senang. Pokoknya yang untuk kepuasan hatinya dah.”“Memang apa yang dibaca Mas Suma?”Ada kekawatiran ada buku jurus-jurus yang lain, selain buku Raja Gombal. Entah kenapa akhir-akhir ini Mas Suma beralih bacaan. Yang biasanya berkutat dengan buku ekonomi dan filsafat, sekarang menaruh pilihan ke buku di luar kebiasaannya.“Bukunya bagus
Hati ini ingin tertawa, tapi harus aku tahan melihat kesungguhan Mas Suma. Walaupun terlihat jelas raut wajahnya setelah melihat hidangan yang dia pesan.“Saya pesan makanan yang paling laris di sini,” jawab Mas Suma saat ditanya pelayan. Aku juga mengangguk menyetujuinya. Bagaimana tidak, nama-nama yang tertera membuatku pusing. Tidak ada nama yang pernah aku dengar di telinga.Di depan kami tersaji gelas berkuping berukuran besar, dengan mie yang tenggelam di air berwarna coklat gelap dan diatasnya terdapat busa putih.“Ran, ini makanan atau minuman?” Pertanyaan yang mewakili yang ada di otakku. Tiba-tiba terbersit ingin menjahilinya.Aku memasang wajah serius. “Ini ramuan untuk melupakan usia, Mas. Makan ini, kita langsung lebih muda dua puluh tahun.”“Ah, kamu ngaco. Ini seperti mie yang dimasukkan beer, ya?” sahutnya dengan mata masih memindahi apa yang di depannya. Memang iya, tampilannya serupa dengan bir dingin lengkap dengan busa di atasnya.Dengan gerakan ragu-ragu, Mas Suma
“Ran. Kamu tahu kan dia itu siapa? Dan bagaimana aku menganggapnya dia itu apa?”“Iya, Mas. Aku tahu. Tapi__”“Kamu sengaja membodohi aku?”“Mas Suma!”“Kalau tahu, kenapa kamu biarkan aku meminum pemberian orang itu? Kalau kalian ingin minuman itu, beli saja. Pernah aku membatasi untuk belanja ini itu? Tidak kan? Kenapa justru menerima barang gratisan dari orang itu?!” seru Mas Suma memotong ucapanku. Wajah memerah, terlihat dia marah besar. Amelia sudah aku suruh masuk kamar ketika melihat gelagat kemarahan papinya ini.Aku menghela napas, berusaha tidak ikut terpantik amarah. Kalau dia marah dan aku tidak bisa mengendalikan emosi, justru bertambah runyam.Hati kecilku merasa ini tidak adil untukku. Yang memberikan ini bukannya Nyonya Besar, ibunya sendiri. Dan, pesan mertuaku itu untuk merahasiakan dari siapa bingkisan ini. Ini sama saja dilema untukku. Berada di tengah-tengan suami dan mertua.“Pokoknya, aku tidak mau melihat ini barang di depanku. Buang semuanya! Kita mampu kok
Wajah Mami terlihat ceria dia layar ponsel. Dia sedang memainkan piano, dengan ponsel dijapit di standing holder. Untung ada Maharani, dia dengan sigap menghidupkan lampu sebelum aku menerima panggilan ini.Pikiranku yang sudah dipenuhi prasangka ternyata meleset. Mami tidak mempertanyakan titipan, dia justru memamerkan lagu ciptaannya. Jemari menari dengan lincah, dan wajah Mami yang menyiratkan senyuman membuat hatiku ikut merasa bahagia.“Bagus?”“Bagus, Mami.” Aku dan Maharani tepuk tangan. Lantunan yang ditunjukkan Mami terdengar indah. Di telinga terdengar damai.“Mami masih siapkan lagunya. Nanti kalau kamu sudah longgar, main ke sini, ya. Kita duet. Terus Rani yang menilai. Gimana. Sekalian kalian bantu Mami menyusun syair.”“Mami akan ambil tema apa? Cinta-cintaan?” seloroh Maharani sambil tertawa dan menggerakkan dagu. Aku tahu, dia berusaha mencairkan suasana. Melempar guyonan untuk mengusir ketegangan yang masih tersisa.“Bukanlah. Memang Mami anak remaja yang dimabok cin
Aku menghormati keputusan suamiku. Dia membutuhkan ruang dan waktu untuk berdamai dengan apa yang terjadi, seperti aku dulu. Proses menerima penghianatan Mas Bram membutuhkan waktu yang lama, dan tidak mudah. Karenanya, aku mewanti-wanti Amelia supaya tidak keceplosan lagi.“Jadi Amelia tidak boleh bilang nama Tante Rita?”“Sst…!” Spontan jari telunjukku mengajung di depan bibir. Baru saja aku mengatakan jangan keceplosan, dia justru mengulang kesalahannya lagi. Dia pun seperti terkejut, dan buru-buru membungkam mulut dengan tangan.Dalam hati aku ingin tertawa, melihat mata bulat Amelia yang mengerjap. Dia beringsut mendekat sambil berbisik. “Maaf, Ma. Aku keceplosan lagi bilang__” Ucapannya terhenti saat sekali lagi aku mengacungkan jari telunjuk.Dengan wajahnya yang polos dia menggerakkan jari di depan mulut, pertanda tutup mulut.“Kalau begitu Amel berangkat saja dulu, ah. Sebelum ketemu Papi. Sarapannya Amel bungkus saja, ya?” ucapnya kemudian beranjak dari duduk. Dia mengambil
Ada yang bilang masa SMA, masa yang paling indah. Mungkin ini dikarenakan, ini masa terakhir mereka disebut remaja. Dimana kesalahan bisa dimaklumi dan dibenarkan tidak dengan hukuman. Masa terakhir memiliki kebebasan, yang nantinya menuju menjadi orang dewasa yang sudah memikul tanggung jawab penuh.Hari ini hari perpisahan. Perayaan sebagai tanda menuju tahapan berikutnya. Tinggal menunggu pengumuman hasil tes untuk melanjutkan sekolah.Amelia sudah bersiap. Team Claudia didatangkan untuk merias Amelia. Dandanan yang cantik, tetapi tidak meninggalkan usia. Dia mengenakan kebaya modern dengan potongan sederhana tetapi elegan. Ciri khas design butik milik Claudia.Tidak hanya aku dan Mas Suma yang mendampingi acara ini, Nyonya Besar juga ikut.“Mami, undangan untuk orang tua hanya untuk dua orang.” Mas Suma berusaha memberi pengertian, tetapi mertuaku tetap bersikukuh. Saat itu kami datang mengunjungi Mami untuk mendengarkan lantunan lagu ciptaannya.“Mas Suma. Kalau begitu Mas Suma d