Terima kasih sudah membaca cerita ini. Dibaca dengan santai saja, ya. . Kalau masih ada kesempatan, bisa membaca cerita TAMAT karangan Astika Buana. . Terima kasih. Sehat dan bahagia selalu, ya.
Entah ada acara apa malam ini. Pagi-pagi Mas Suma memberitahu kalau kita sekeluarga datang ke rumah besar. Rumah yang ditinggali Nyonya Besar, mertuaku.“Kalau tidak tahu ada acara apa, terus kita tidak tahu juga harus bawa apa dan bagaimana.”“Ya itu. Mami tidak mau bilang. Dia hanya mengatakan kalau kita disuruh datang semuanya. Baju bebas, cuma harus berwarna putih,” jawab Mas Suma sambil menaikkan kedua bahu. Dia yang sedang membaca buku menatapku sejenak, kemudian berkutat kembali.Tidak biasanya mertuaku memberikan undangan tanpa detail acara. Beliau orang yang perfeksionis, jadi setiap acara harus benar-benar sempurna termasuk kami sebagai keluarga.Aku membuka-buka pakaian yang tergantung di dalam lemari. Acara yang mendadak ini membuatku kalang kabut. Aku harus menyiapkan baju yang senada untuk satu keluarga. Belum baju untuk Denish dan Anind.“Claudia bisa tidak, ya? Menyiapkan baju untuk kita,” ucapku sambil mengeluarkan baju yang berwarna putih. Tidak ada yang berwarna put
“Sudah cantik.” Mas Suma menundukkan kepala, mensejajariku yang sedang duduk menghadap di meja rias. Riasanku sudah selesai, tertinggal menyempurnakan dikit-dikit.“Sudah. Nanti terlalu cantik, aku jadi was-was. Pengen nyolok mata yang melihatmu,” ucap Mas Suma sambil tersenyum jahil.Aku yang memegang kuas, mencocolkan ke pipinya. “Halah, gombal!”Dia tergelak. Bukannya mengelak, dia justru mendekatkan wajah dan mengecup pipi ini.“Ais! Sana, Mas. Pipiku basah, lo!” Dia semakin tertawa, mungkin melihat mataku yang melotot karena kesal.Persiapanku masih setengah jalan. Senyumku mengembang, ketika mata ini menatap gaun putih yang siap aku pakai. Baju warna putih berenda dengan potongan sederhana tetapi terlihat elegan, dipadukan dengan kerudung satin berwarna putih.Tidak hanya itu, ada satu kotak perhiasan berlable merk terkenal. Di dalamnya berisi gelang, cincin, dan bros. Semua bertahta permata berkilau.Mata ini menatap bayangan cermin yang menunjukkan suamiku yang begitu gagah.
Mobil sudah siap, termasuk dua mobil pengawal. Catherine yang masih belum jelas keberadaannya, menjadi alasan Mas Suma untuk tetap memperkerjakan mereka.“Aku tidak mau mengambil resiko. Lengah sedikit yang menyebabkan aku menyesal seumur hidup,” ucap Mas Suma menolak ucapanku yang keberatan.Pengawalan yang mencolok sebenarnya membuatku risih, bahkan enggan keluar rumah. Kecuali terpaksa.Satu mobil di depan. Di tengah mobil yang kami tumpangi. Pak Maman sebagai pengemudi dengan Mas Suma di sebelahnya. Sedangkan aku memangku Anind dan Denish duduk ditengah-tengah antara aku dan Amelia.Mbok Inah, Mbak Tias, dan Mbak Dwi juga ikut. Mereka menumpang di mobil pengawal yang mengikuti kami.“Kak Amel cantik,” ucapku sambil menyentuh rambut yang dikepang dua. Dipiling dari atas dengan dipadukan dengan pita satin putih. Dandanan yang sesuai dengan usianya.“Amel lihat di internet, Ma. Hasil karya Mbak Tias dan Mbak Dwi.” Bibirnya yang dipulas pewarna merah muda menunjukkan senyuman. Kalau
Entah apa yang dipertontonkan mereka di sana. Nyonya Besar masih mengalunkan lagu, sedangkan Mas Suma duduk mensejajari sembari mengamati ibunya. Sesekali mertuaku itu melempar senyuman. Mata ini menangkap suamiku menahan haru dibalik sudut bibir yang ditarik membentuk lengkungan. Dengan penasaran yang sangat, aku mengedarkan pandangan. Raut wajah senada dengan Mas Suma, dipertontonkan oleh beberapa yang hadir. Bahkan, sopir kepercayaan Nyonya Besar terlihat menangis tergugu. Setahuku, dia istirahat karena sakit. Aku masih ingat, dia Pak Sutar sopir sekaligus asisten pribadi yang bekerja di rumah ini semenjak Mas Suma masih kecil. Pasti dia tahu benar apa yang terjadi. Keterkejutanku semakin bertambah, saat alunan berubah menjadi lebih cepat. Dan, yang ada di depanku memperlebar mata ini. Sesuatu yang tidak pernah aku ketahui, termasuk Amelia. Terbukti dia menatapku dengan menggelengkan kepala. Mas Suma tidak hanya duduk menemani. Jemarinya ikut menari di atas tuts-tuts piano. Me
Kita tidak bisa terlepas dari apa yang terjadi di masa yang sudah lewat. Mengingatnya saja kadang membuat kita lemah, atau …justru membuat kita kuat? Sekarang tertinggal aku, Mas Suma, dan Nyonya Besar. Kami berpindah ke dalam rumah, duduk santai di ruang tengah. Amelia yang katanya ingin berbincang justru sudah tidur terlebih dahulu di kamar Nyonya Besar. “Rani. Pasti dari awal acara kamu mempunyai banyak pertanyaan,” ucap Nyonya Besar seakan tahu apa yang berkecamuk di kepala ini. Sedari tadi aku ingin mengajukan pertanyaan, tetapi belum ada waktu yang tepat. Seakan mendapat kesempatan, aku langsung mengangguk dengan antusias. Aku menghela napas pelan, menunjukkan senyuman sambil menjawab, “Iya, Mami. Apalagi saat Mami memainkan piano. Terlihat indah sekali. Sungguh ini kejutan yang amat sangat luar biasa.” “Termasuk kejutan yang disuguhkan suamimu?” ucapnya sambil tersenyum. “Benar sekali. Saya tahu sedikit tentang lagu yang dimainkan Mami. Saya suka mendengarkan dari radio.”
“Urip itu sawang sinawang, kalau melihat kehidupan orang lain kadang terlihat lebih enak. Padahal belum tentu demikian.” Ini ucapan yang dulu pernah dikatakan almarhum Bapak.Masih lekat di ingatan, saat itu aku tidak diterima di perguruan tinggi negeri. Dan cukup berpuas diri di diploma tiga. Saat itu aku menyeletuk tentang teman se-kos yang anak orang berada. Dia fakultas ekonomi dan perusahaan orang tuanya siap untuk diteruskan. Saat itu dia main ke rumah di kampung. “Enak temanku itu. Sudah menjadi calon sarjana, dan lulus nanti pun tidak kawatir tidak ada perkerjaan. Lha.. sudah ada perusahaan keluarga.”“Belum tentu yang dilihat itu seenak kenyataannya, Nduk. Buktinya temanmu itu malah sering bantu kamu bikin tugas. Padahal beda fakultas. Iya, to?”“Kok Bapak tahu?”“Ya tahu, dong. Wong dia curhat sama Bapak.”Memang temanku itu memilih fakultas ekonomi atas anjuran orang tua. Sebenarnya justru dia ingin mengambil jurusan design interior. Makanya dia sering nongkrong di kamar k
“Ran, kamu kok tidak bilang kalau bulan ini Pebruari?”Pagi-pagi, Mas Suma sudah mengajukan pertanyaan yang tidak jelas. Entah ini akal-akalannya saja karena berkelit dari pertanyaanku yang belum dijawab, atau memang ada yang penting.Bukankan di kantor selalu ada jadwal dan di atas meja kerja tertera sekarang bulan apa. Kenapa baru sadar kalau sekarang bulan pebruari? Aku mengerutkan kening, memindahi ekspresinya dari cermin meja rias di depanku.“Huuft! Amelia juga tidak mengingatkan. Seandainya Wisnu ada di sini, pasti ini tidak bakal terjadi.”“Ada apa, Mas Suma? Ada hal penting?” tanyaku heran. Dalam pikiranku, mungkin dia ada rencana yang terlewatkan. Tapi apa? Bukankah biasanya Desi sekretaris selalu mengingatkan.“Tanggal empat belas sudah lewat, Ran.”“Mas Suma mau mengadakan apa?” tanyaku semakin heran. Kalau Wisnu atau Amelia meributkan hari valentine, masih dimaklumi. La ini Mas Suma, yang usianya sudah setengah abad.Dia mendekat, berdiri di belakangku yang sedang duduk.
Bagaimana kita bisa melupakan kenangan buruk? Memang otak seperti komputer? Tinggal tekan tombol ‘delete’, semua menjadi tidak berbekas. Itu pun sebenarnya masih bisa dipulihkan dengan mengambil data di tempat bergambar keranjang sampah.Seorang anak tidak bisa memilih dia dilahirkan pada keluarga bagaimana. Akan tetapi, orang tua bisa menyiapkan kondisi yang terbaik.Itu seharusnya.Pertanyaannya, konsep kata ‘terbaik’ di setiap kepala berbeda-beda. Mungkin saja ibunya Rita ingin memberikan keluarga yang penuh dengan keajaiban cinta. Kisah cintanya yang tertunda bersatu, dan dipertemukan oleh waktu. Walaupun pada kondisi tidak tepat. Seperti pertemuannya dengan papinya Mas Suma. “Kalau Mas Suma bersikap seperti itu, sama saja Mas Suma tidak memaafkan dia.”“Untuk apa aku memaafkan dia? Aku tidak menuduhnya bersalah, dan tidak membencinya. Akan tetapi, melihatnya membuatku ingat akan orang yang sangat aku tidak suka. Ibunya. Yang sok mengatakan kalau cinta itu suci dan harus diperjua