Kesal, marah, sekaligus ingin tertawa. Sudah dibilangin jangan panik, malah memutuskan sesuatu dengan terburu-buru. Pulang tidak bersama sopir. Kan itu berbahaya? Dalam kondisi panik, bisa jadi otak tidak bisa berpikir seperti biasanya.Namun, biarlah. Kalau tidak begitu, Mas Suma tidak kena batunya. Ucapan orang selalu tidak didengar. Sempat menyalahkan Desi, kenapa tidak menghalangi Mas Suma mengendarai mobil sendiri. Namun, teringat bagaimana kerasnya suamiku itu, akhirnya aku memakluminya. Apalagi kalau dari mulutnya terlontar kata, “Pokoknya.”Memang, jalur tol menuju kota kalau tidak konsentrasi akan salah jalur. Sekali salah, akan menjauh dari tujuan. Bisa jadi tidak ke kota, justru ke luar kota yang jalan kembalinya lumayan jauh. Sekarang, niatnya ingin cepat sampai, justru berputar-putar di jalan.“Kusuma mana? Belum sampai” tanya Dokter Hendra sambil melongokkan kepala ke belakangku.Dokter Hendra aku jelaskan keberadaan Mas Suma, dan dia hampir tertawa terbahak-bahak. Tan
“Aku tahu Amelia sedih sekali melihat keadaan Mami. Tapi, kalau sama kamu kan bisa berbagi pertimbangan, Ran.” Mas Suma melayangkan protes karena tadi aku menyodorkan Amelia untuk melihat kondisi Nyonya Besar terlebih dahulu.Laki-laki sering berpikir praktis, tidak menggunakan perasaan. Yang dilontarkan Mas Suma benar, tetapi bagaimana dengan Amelia yang resah menunggu sedari tadi? Amelia sungguh cemas dengan keadaan neneknya yang sudah merawatnya dari kecil.Akhirnya di kesempatan terakhir, aku dan Mas Suma masuk kembali. Seperti tadi, keadaan ibu mertuaku tidak berubah. Tangannya yang keriput masih terkulai lemah. Belum menunjukkan tanda-tanda kesadaran, hanya suara dari alat medis yang mendominasi.“Ran….”“Hmm….” Aku mendekatkan diri ke Mas Suma. Menunggu akan yang akan dilontarkan oleh suamiku ini.Tangannya terulur menangkup tangan Nyonya Besar. Dengan pelan, dia mengusap punggung tangan keriput itu. Wajah sedih terpancar dan saat wajahnya mendongak, aku terhenyak. Mata Mas Sum
Paginya, Mas Suma hanya beranjak saat membersihkan diri. Bik Inah sudah membawa perlengkapan untuk berganti pakaian, termasuk makanan rumah.“Makan dulu, Mas. Sedikit tidak apa-apa,” ucapku setelah mendapati di keluar dari kamar mandi. Aku menyiapkan makanan yang dibawa Bik Inah. Wisnu dan Amelia yang tidak pulang pun sudah bersiap.“Kalian makan saja dulu. Aku melihat Mami lagi,” ucapnya kemudian meninggalkan ruangan.Aku mendesah, menatap mereka berdua yang juga terlihat lesu. Memang, mereka tidak menunggui di depan kamar ICU. Akan tetapi, secara bergantian mereka melihat keadaan kami. Sama saja mereka terjaga semalaman di sini. Aku tahu mereka pasti capek.Seringkali saat menunggui orang sakit, penunggu yang awalnya sehat justru berakhir sakit juga. Ini dikarenakan makan dan istirahat diabaikan. Padahal, itu sangat penting. Menunggu orang sakit, bukan berarti kebutuhan tubuh kita terhenti.“Kalian makan dulu. Yang banyak, jangan sampai sakit.”“Mama mau kemana?” tanya Amelia. Dia m
Benar kalau ada perumpamaan istri berasal dari tulang rusuk suaminya. Ini bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi ada yang tersirat di sana.Sebagai tulang rusuk yang melengkapi, menguatkan, sekaligus melindungi suami. Secara kasat mata, sepertinya wanita yang dilindungi sang suami. Akan tetapi kenyataannya sebaliknya. Justru wanitalah yang berperan seperti itu. Seperti tadi malam. Aku melihat Mas Suma di titik terendah. Dalam kesunyian, dia menangis tergugu. Bersandar padaku, meratapi ibunya yang tidak kunjung sadar.Awalnya, dia termenung.“Mas Suma. Cukup. Mami pasti bisa melalui keadaan ini.” Berulang kali kata-kata senada aku lontarkan, tetapi seakan telinganya ditulikan.Yang dia lakukan duduk dengan diam, seakan memikirkan sesuatu. Kemudian beranjak dan berlama-lama di depan kaca, melihat Mami yang tidak kunjung bergerak. Setelahnya, termenung lagi. Aku coba mengajaknya bicara, dia hanya menjawab seadanya tanpa semangat.Tidak seberapa lama, mengulangnya kembali.“Mas Suma. N
Sering aku merasa apa yang aku katakan diabaikan. Bahkan sering kali aku mendapati dia berbohong. Sebegitu tidak kuatkan aku di matanya?Seperti tadi. Aku terbangun dan mendapati dia menunaikan ibadah malam. Dengan penerangan lampu tidur, aku mendapati Maharani menengadahkan tangan memanjatkan doa. Dalam keheningan, tertangkap isakan tangis yang tertahan. Mata ini aku picingkan, walaupun tidak terlihat jelas, aku yakin dia menanggis.“Mas Suma. Sudah bangun? Masih satu jam lagi adzan. Tidur saja lagi. Mas Suma harus jaga kesehatan,” ucapnya sambil melipat mukenah dan merapikan sajadah.Aku mengernyit, bukankah kami tadi bersamaan beranjak dari menunggu Mami? Kalau aku mengantuk dan memerlukan tidur, bukankan dia seharusnya demikian? Begitu juga, kalau aku harus menjaga kesehatan, seharusnya dia juga, kan?“Kamu tidak mengantuk? Nanti kamu sakit.”“Tidak. Aku sudah tidur sebentar tadi. Sudah cukup. Biar aku yang menjaga Mami, ” ucapnya kemudian beranjak keluar dari ruang tidur khusus p
“Mami…. Kenapa bersikap seperti itu kepada Dewi. Bagaimanapun dia itu Maminya Amelia. Dia kan datang sebagai tamu yang berniat baik, “ ucapku mengingatkan.Tadi, aku sengaja. Setelah Rani selesai menyuapi Mami, aku menyuruh Amelia dan Wisnu pergi ke kantin. Awalnya dengan alasan aku ingin makan pisang kepok kukus, tapi langsung dijawab Wisnu.“Itu di foodpack ada, Pi. Tadi Mama sebelum ke sini masak pisang kukus. Mama juga bikin nagasari labu kuning kesukaan Eyang.”Huuft, inginnya menjadikan alasan. Ternyata Maharani tahu apa yang ada di otakku sebelum aku minta. Istriku itu selalu mengerti.Akhirnya, aku mencari alasan lain.“Papi ingin makan klepon. Itu yang bulat-bulat hijau. Di dalamnya ada gula merah dan dikasih parutan kelapa. Tahu?”“Ngerti, Pi. Yang sering dibelikan Eyang Sastro saat di kampung, kan?” sahut Amelia.“Betul banget! Di kantin ada, kok. Kalau habis, ada di supermarket sebelah,” ucapku sambil menunjukkan jempol.Amelia dan Wisnu akhirnya pergi. Ini kesempatan
Dituduh itu perlakukan yang paling membuatku kesal setengah mati. Apalagi itu sesuatu yang tidak benar dan dilontarkan oleh orang yang mengecewakan seperti Mas Bram, Papanya Wisnu. “Kenapa Wisnu tidak berangkat-berangkat ke Bali? Kamu mau masa depannya terhambat?” ucapnya setelah mengucap salam. Seperti serangan teror yang datang mendadak, panas hati ini langsung terpatik kekesalan. Dalam kondisi lelah dan mengantuk, justru disuguhi ucapan yang tidak mengenakkan. “Maksudnya apa, ya, Mas?” “Bisa tidak kamu mengutamakan Wisnu dibandingkan keluarga barumu itu. Kapan hari aku mengajak Wisnu berangkat, alasannya Pak Kusuma sakit. Sekarang alasan lagi, mertua kamu sakit. Memang apa hubungannya dengan Wisnu? Dia sebenarnya di rumahmu itu jadi apaan, sih. Jadi pesuruh?” Aku menghela napas. Meraih kewarasan yang hampir menguap. Aku bisa saja melontarkan kata-kata lebih keji dibandingkan yang dia bisa. Rasa kantuk menghilang seketika. Ucapannya membuatku kesal. Ingin rasanya membanting pon
Wisnu dan Amelia tidak hanya membawa klepon. Mereka juga beli jajanan lainnya. Ada lapis, lemper, ongol-ongol, kue lumpur, dan kue wajik. Ini seperti akan hajatan saja.“Tempatnya jauh, Ma. Nanggung kalau Cuma beli ginian doang,” ucap Amel memberikan alasan.“Kan Papi bilang di kantin.”“Kantin yang mana, Pi. Wisnu tanya ke penjaga, mereka bilang kalau tidak pernah jualan namanya klepon. Wisnu saja sampai kasih foto yang ambil di internet. Siapa tahu beda nama.”“Oh, kalau begitu kantin di rumah sakit satunya. Papi lupa-lupa ingat.”“Ya. Amel maklum. Kan faktor U,” ledek Amel sambil tertawa.“Eit! Kalian ini jangan rame-rame, Eyang lagi istirahat.” Aku mendesis sambil menaruh telunjuk di depan bibir.“Eyang lagi baca buku, Ma. Aman,” seru Wisnu. Kemudian dia mendekat kepadaku, sambil mengusap-usap perut. “Ma laper.”Astaga! Karena mengantuk, aku jadi tidak konsentrasi. Padahal, rencananya tadi setelah menyuapi Nyonya Besar, aku akan mengeluarkan makanan yang aku bawa dari rumah.Diban