Paginya, Mas Suma hanya beranjak saat membersihkan diri. Bik Inah sudah membawa perlengkapan untuk berganti pakaian, termasuk makanan rumah.“Makan dulu, Mas. Sedikit tidak apa-apa,” ucapku setelah mendapati di keluar dari kamar mandi. Aku menyiapkan makanan yang dibawa Bik Inah. Wisnu dan Amelia yang tidak pulang pun sudah bersiap.“Kalian makan saja dulu. Aku melihat Mami lagi,” ucapnya kemudian meninggalkan ruangan.Aku mendesah, menatap mereka berdua yang juga terlihat lesu. Memang, mereka tidak menunggui di depan kamar ICU. Akan tetapi, secara bergantian mereka melihat keadaan kami. Sama saja mereka terjaga semalaman di sini. Aku tahu mereka pasti capek.Seringkali saat menunggui orang sakit, penunggu yang awalnya sehat justru berakhir sakit juga. Ini dikarenakan makan dan istirahat diabaikan. Padahal, itu sangat penting. Menunggu orang sakit, bukan berarti kebutuhan tubuh kita terhenti.“Kalian makan dulu. Yang banyak, jangan sampai sakit.”“Mama mau kemana?” tanya Amelia. Dia m
Benar kalau ada perumpamaan istri berasal dari tulang rusuk suaminya. Ini bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi ada yang tersirat di sana.Sebagai tulang rusuk yang melengkapi, menguatkan, sekaligus melindungi suami. Secara kasat mata, sepertinya wanita yang dilindungi sang suami. Akan tetapi kenyataannya sebaliknya. Justru wanitalah yang berperan seperti itu. Seperti tadi malam. Aku melihat Mas Suma di titik terendah. Dalam kesunyian, dia menangis tergugu. Bersandar padaku, meratapi ibunya yang tidak kunjung sadar.Awalnya, dia termenung.“Mas Suma. Cukup. Mami pasti bisa melalui keadaan ini.” Berulang kali kata-kata senada aku lontarkan, tetapi seakan telinganya ditulikan.Yang dia lakukan duduk dengan diam, seakan memikirkan sesuatu. Kemudian beranjak dan berlama-lama di depan kaca, melihat Mami yang tidak kunjung bergerak. Setelahnya, termenung lagi. Aku coba mengajaknya bicara, dia hanya menjawab seadanya tanpa semangat.Tidak seberapa lama, mengulangnya kembali.“Mas Suma. N
Sering aku merasa apa yang aku katakan diabaikan. Bahkan sering kali aku mendapati dia berbohong. Sebegitu tidak kuatkan aku di matanya?Seperti tadi. Aku terbangun dan mendapati dia menunaikan ibadah malam. Dengan penerangan lampu tidur, aku mendapati Maharani menengadahkan tangan memanjatkan doa. Dalam keheningan, tertangkap isakan tangis yang tertahan. Mata ini aku picingkan, walaupun tidak terlihat jelas, aku yakin dia menanggis.“Mas Suma. Sudah bangun? Masih satu jam lagi adzan. Tidur saja lagi. Mas Suma harus jaga kesehatan,” ucapnya sambil melipat mukenah dan merapikan sajadah.Aku mengernyit, bukankah kami tadi bersamaan beranjak dari menunggu Mami? Kalau aku mengantuk dan memerlukan tidur, bukankan dia seharusnya demikian? Begitu juga, kalau aku harus menjaga kesehatan, seharusnya dia juga, kan?“Kamu tidak mengantuk? Nanti kamu sakit.”“Tidak. Aku sudah tidur sebentar tadi. Sudah cukup. Biar aku yang menjaga Mami, ” ucapnya kemudian beranjak keluar dari ruang tidur khusus p
“Mami…. Kenapa bersikap seperti itu kepada Dewi. Bagaimanapun dia itu Maminya Amelia. Dia kan datang sebagai tamu yang berniat baik, “ ucapku mengingatkan.Tadi, aku sengaja. Setelah Rani selesai menyuapi Mami, aku menyuruh Amelia dan Wisnu pergi ke kantin. Awalnya dengan alasan aku ingin makan pisang kepok kukus, tapi langsung dijawab Wisnu.“Itu di foodpack ada, Pi. Tadi Mama sebelum ke sini masak pisang kukus. Mama juga bikin nagasari labu kuning kesukaan Eyang.”Huuft, inginnya menjadikan alasan. Ternyata Maharani tahu apa yang ada di otakku sebelum aku minta. Istriku itu selalu mengerti.Akhirnya, aku mencari alasan lain.“Papi ingin makan klepon. Itu yang bulat-bulat hijau. Di dalamnya ada gula merah dan dikasih parutan kelapa. Tahu?”“Ngerti, Pi. Yang sering dibelikan Eyang Sastro saat di kampung, kan?” sahut Amelia.“Betul banget! Di kantin ada, kok. Kalau habis, ada di supermarket sebelah,” ucapku sambil menunjukkan jempol.Amelia dan Wisnu akhirnya pergi. Ini kesempatan
Dituduh itu perlakukan yang paling membuatku kesal setengah mati. Apalagi itu sesuatu yang tidak benar dan dilontarkan oleh orang yang mengecewakan seperti Mas Bram, Papanya Wisnu. “Kenapa Wisnu tidak berangkat-berangkat ke Bali? Kamu mau masa depannya terhambat?” ucapnya setelah mengucap salam. Seperti serangan teror yang datang mendadak, panas hati ini langsung terpatik kekesalan. Dalam kondisi lelah dan mengantuk, justru disuguhi ucapan yang tidak mengenakkan. “Maksudnya apa, ya, Mas?” “Bisa tidak kamu mengutamakan Wisnu dibandingkan keluarga barumu itu. Kapan hari aku mengajak Wisnu berangkat, alasannya Pak Kusuma sakit. Sekarang alasan lagi, mertua kamu sakit. Memang apa hubungannya dengan Wisnu? Dia sebenarnya di rumahmu itu jadi apaan, sih. Jadi pesuruh?” Aku menghela napas. Meraih kewarasan yang hampir menguap. Aku bisa saja melontarkan kata-kata lebih keji dibandingkan yang dia bisa. Rasa kantuk menghilang seketika. Ucapannya membuatku kesal. Ingin rasanya membanting pon
Wisnu dan Amelia tidak hanya membawa klepon. Mereka juga beli jajanan lainnya. Ada lapis, lemper, ongol-ongol, kue lumpur, dan kue wajik. Ini seperti akan hajatan saja.“Tempatnya jauh, Ma. Nanggung kalau Cuma beli ginian doang,” ucap Amel memberikan alasan.“Kan Papi bilang di kantin.”“Kantin yang mana, Pi. Wisnu tanya ke penjaga, mereka bilang kalau tidak pernah jualan namanya klepon. Wisnu saja sampai kasih foto yang ambil di internet. Siapa tahu beda nama.”“Oh, kalau begitu kantin di rumah sakit satunya. Papi lupa-lupa ingat.”“Ya. Amel maklum. Kan faktor U,” ledek Amel sambil tertawa.“Eit! Kalian ini jangan rame-rame, Eyang lagi istirahat.” Aku mendesis sambil menaruh telunjuk di depan bibir.“Eyang lagi baca buku, Ma. Aman,” seru Wisnu. Kemudian dia mendekat kepadaku, sambil mengusap-usap perut. “Ma laper.”Astaga! Karena mengantuk, aku jadi tidak konsentrasi. Padahal, rencananya tadi setelah menyuapi Nyonya Besar, aku akan mengeluarkan makanan yang aku bawa dari rumah.Diban
Semakin usia bertambah, jumlah pertemanan bukan bertambah justru semakin sedikit. Bahkan tidak jarang kita kesulitan memiliki teman yang sebenarnya, apalagi sahabat.Akan senang sekali kalau di saat usia senja menemukan teman yang sejalan dan sepemikiran. Kita mendapatkan sahabat untuk teman bicara mengusir kesepian yang mendera disaat anak-anak sudah sibuk dengan urusannya.Itu yang dialami Nyonya Besar dan Ibuku, Eyang Sastro.*Mendengar ibu mertuaku dirawat di rumah sakit, Ibuku berusaha untuk datang membesuk. Sebelumnya aku larang karena keadaan Nyonya besar yang belum stabil. Dan, sekaranglah aku memberikan izin.Ruang perawatan seketika heboh. Bukan seperti rumah sakit, tetapi seperti arisan dadakan. Ibuku tidak hanya sendirian. Dia bersama kelompok pengajian yang ternyata kenal dekat dengan mertuaku.Mendirikan villa tidak jauh dari rumahku di kampung, ternyata membuat Nyonya besar berbaur dengan ibu-ibu di sana. Aku tidak tahu, ternyata beliau juga nyaman dengan keriuhan oran
Sesampai rumah tidak ada yang menyambut. Hanya para penjaga rumah saja yang bersiap di depan. Bik Inah pun sudah tidak terlihat. Ruangan tengahpun tertinggal lampu sorot saja. Sepi.‘Pantas saja sudah jam segini,’ batinku setelah melihat jarum jam di dinding yang menunjuk angka dua belas lebih.Dengan berjingkat, aku membuka pintu tempat Denish dan Anind tidur. Mereka begitu tertelap. Wajah mereka menunjukkan kedamaian.Mereka masih kecil dan aku masih mempunyai kesempatan bersamanya. Aku tersenyum, membayangkan saat nanti mereka sudah besar. Mereka akan memiliki kesibukan masing-masing dan tidak mempunyai waktu bersamaku lagi.Pasti itu yang dirasakan Mami dan Ibu. Kesepian.Berapapun jumlah anak yang dimiliki, saat waktunya tiba kita harus merelakan kepergian mereka.Saat usia tua, apalagi sudah kehilanga pasangan, sahabat untuk teman bicara sangat dirindukan. Bahkan itu obat yang paling manjur dibandingkan obat di apotek. Dokter yang paling hebat di masa tua, adalah teman bicara.K