“Apakah kamu akan menikah lagi kalau aku meninggal duluan?” Pertanyaan Mas Suma yang membuatku tersentak. Pertanyaan macam apa itu? Pagi ini, di rumah masih begitu sepi. Kedua balitaku masih tertidur. Amelia dan Wisnu masih di rumah sakit. Hanya terlihat Bik Inah dan pembantu lainnya yang melakukan rutinitas.Saat ini aku duduk berdua dengan Mas Suma di kamar. Masih enggan dan malas untuk keluar kamar, setelah mendapati Danish dan Anind masih tidur.Aku memilih di dalam kamar sambil menikmati teh hangat Chamolie yang menenangkan. Sudah lama rutinitas seperti ini terabaikan. Kesibukan dan kejadian yang terjadi secara beruntut, membuat kami melupakan untuk rehat.“Kenapa Mas Suma bertanya seperti itu?” tanyaku sambil mengernyit. Aku menatap dengan tatapan kecurigaan. Apa maksudnya Mas Suma ini. Setelah semalaman berbagi peluh, paginya justru menyampaikan pertanyaan yang aneh.“Ini seandainya. Sekali lagi, ini seandainya, ya? Aku penasaran,” ucapnya dengan penekanan kata seandainya..O
Koran yang di pegang Mas Suma bergetar samar. Matanya menyorotkan ketidak percayaan. Aku menarik tangannya supaya duduk di sofa. Setelahnya, berkali-kali dia memicingkan mata dan membaca, seakan tidak percaya kalau ini benar.“Apakah ini pasti Chaterine?” tanyaku yang ikut membaca dari samping suamiku.Di artikel itu tidak menuliskan nama jelas. Mereka hanya menulis inisial wanita bernama C kebangsaan orang kita. Memang tempat kejadian tertulis jelas di Singapur, tapi apakah ini merujuk Catherine?Mas Suma menoleh ke arah Pak Tiok, sepertinya dia sepemikiran denganku.“Iya. Memang ini pasti Catherine?” Mas Suma mengajukan pertanyaan sambil mengernyit.Pak Tiok beringsut memperbaiki posisi duduknya. Menegakkan badan sambil menjulurkan tangan menerima koran dari suamiku.“Betul. Di artikel ini memang tidak menjelaskan dia ini Catherine. Tetapi ciri-ciri yang ditulisnya mirip sekali dengan dia. Lihat ini.” Koran disodorkan kembali, dan kami membaca bersama-sama bagian yang ditunjuk.~~W
Lalu lintas yang padat, seperti tidak mengijinkan mobil ini untuk menepi. Di jam kerja, para pengendara berpacu dengan waktu untuk mencapai tujuan. Pengendara motor bagaikan buta lampu sein yang berkedip-kedip. Terpaksa, tangan aku keluarkan dari jendela untuk meredam mereka yang melaju tak sabaran.“Huuft, mereka seperti diburu waktu!” seruku sambil menghela napas lega. Merebahkan badan ke sandaran kursi sambil mengamati Tiok yang sedang menerima panggilan telpon.Yang aku dengar hanya ucapan iya pak, dan siap pak. Selebihnya tidak tahu. Lebih baik aku memejamkan mata sambil menenangkan pikiran.Masih tidak habis pikir, kalau perjalanan ini untuk memastikan kabar kematian Catherine. Sebenarnya berita ini membuatku merasa bersalah. Aku merasa akulah yang menyebabkan seseorang bunuh diri. Menghilangkan nyawa sendiri dengan alasan adalah aku.Bukankah itu sama saja dengan membunuh?Mata ini terpejam, dan ingatan itu datang seperti film yang diputar. Masih terasa lekat, tingkahnya yang m
Mengibarkan bendera putih, menyerah. Kata yang tepat aku ucapkan untuk Catherine. Perlakuan apapun seakan diterima dengan pikiran bebal olehnya. Dia seperti ditulikan dan dibutakan dengan ambisi, dan tidak mampu menerima pandangan orang lain.. Sebelumnya di bertingkah seenaknya. Menjadikan apapun yang diinginkan harus tercapai, walaupun harus memaksakan kehendak. Pemakluman karena dia anak tunggal, ternyata mendorong dia semakin menjadi-jadi. Sekarang, dia justru terlibat pada tindak pidana terparah, pembunuhan. Bersama Tiok, aku tidak kembali pulang. Akan tetapi langsung ke kantor. Kabar berita tentang terangkutnya Catherine sudah menjadi isu yang merugikan. Perusahaan yang menjadi tanggung jawabnya di Bandung mengalami goncangan. Pemilik saham melayangkan mosi tidak percaya dan menuntut untuk mengeluarkan dia dari jajaran management. Sebagai pemilih saham terbesar, aku merasa terpanggil untuk menyelesaikannya. Mengadakan penunjukan direktur yang disepakati dengan cepat, supaya
Ada keraguan yang tersirat di wajah Amelia. Matanya mengerjap dan bibir bergerak seakan melontarkan kata-kata, tetapi ditelannya kembali.“Siapa orang yang mengirim pesan ini. Teman kakak?”Dia masih bergeming. Tidak bersuara. Hanya helaan napas dan kedua tangan menyatukan ujung-ujung jari dengan gerakan mengetuk, pertanda dia memikirkan sesuatu.“Ada apa, Kak Amel? Cerita pada Mama.” Tanganku menangkup kedua lengannya. Menatap dan mengangguk untuk menyakinkan dirinya.“Mama tidak marah?”Aku menggeleng.“Mama akan marah kalau Kak Amel berbohong kepada Mama.”“Termasuk kalau Amel berbuat salah?”Pertanyaan yang sulit dijawab, sekaligus menjebak. Anak zaman sekarang lebih banyak akalnya dibandingkan aku dulu. Yang menerima apapun perkataan orang tua, tanpa membantah. Apalagi mengatakan sesuatu dengan jaminan tidak boleh marahTangan Amel aku tarik untuk duduk di sofa. Membicarakan sesuatu sambil duduk, lebih menimbulkan efek tenang daripada berdiri.“Kak Amel Sayang. Dalam hidup itu ad
“Amelia dengan Kak Wisnu juga harus seperti itu?”“Hu-um. Tidak harus hubungan teman dan saudara saja, Sayang. Nantinya pun setelah Kak Amel mempunyai pasangan, juga seperti itu,” jawabku disambut anggukan oleh Amelia.Sempat tadi aku kesulitan memberi penjelasan apa yang ditanya olehnya tentang saling membantu dan saling memanfaatkan. Karena kedua kata itu sama-sama menerima dan memberi.“Yang dilakukan Kak Amelia kepada Sinta itu adalah membantu. Sedangkan yang dilakukan Sinta terhadap Kak Amelia itu adalah memanfaatkan.”Matanya masih menyorotkan rasa penasaran. Keningnya saja berkerut seakan mencerna apa yang aku ucapkan, tetapi tetap tidak mengerti. “Amelia belum mengerti, Ma.”Aku menghela napas sambil berpikir apa yang harus aku ucapkan. “Sekarang, Mama bertanya. Kak Amelia saat berteman dengan Sinta ada rasa pamrih tidak? Sampai-sampai mau mengeluarkan uang untuknya.”“Tidaklah, Ma. Amelia dulu senang berteman dengannya. Kami sering ngobrol. Dia juga sering curhat kalau ada
Aku seperti bicara dengan punggung. Dicuekin.Sedari tadi dia berkutat di depan laptop yang menyala, menunjukkan angka-angka dan grafik. Sedangkan di tangannya, beberapa berkas yang membuatnya sesekali menopang kepala dengan tangan. Entah, sebenarnya ada apa.“Mas Suma belum mau tidur?”“Belum,” jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari berkas-berkas di tangannya.Tadi sesampai di rumah juga sudah larut. Aku dan anak-anak makan malam tanpa Mas Suma. Sesampai rumah hanya membersihkan diri, kemudian berkutat seperti di hadapanku sekarang ini.“Aku harus memastikan semuanya aman. Seperti katamu, kan. Jangan sampai ada kebocoran di perahu, sekecil apapun. Karena kalau tidak ditemukan dan dibiarkan, akan menjadi besar dan mengakibatkan perahu karam.”Ucapannya meminjam ungkapan yang pernah aku lontarkan. Memang benar, tetapi bukan berarti waktu istirahat dipakai untuk kerja, kan?Pertanyaanku hanya dijawab, ya, belum, tidak, bahkan terkadang hanya hu-um.Ingin marah, tetapi kok merasa tida
Isi kepala laki-laki tidak sama dengan perempuan. Itu yang pernah aku baca. Dia selalu melakukan sesuatu atau berucap berdasarkan pikiran, bukan perasaan. Seperti Mas Suma tadi malam. Ingin rasanya aku menumpahkan kekesalan dengan menggigitnya kuat-kuat, atau mencubit dengan cubitan kecil yang sakit, atau menyihir dia jadi permen karet dan mengunyahnya lama-lama.. Bagaimana tidak mendidih kepala ini? Setelah berpacu dalam indahnya cinta, bukannya disayang atau dihujani kata cinta, justru dibisiki pekerjaan. Itupun langsung ditinggal mendengkur dan dikasih punggung. Kesal, kan? Memang, biasanya tidak seperti itu. Tapi…aku tidak ingin diabaikan. Apalagi ini gara-gara pekerjaan yang menyangkut nama Catherine. Wanita yang jelas-jelas ingin merebut suamiku. * “Selamat pagi, Ran.” Aku yang sedang menyiapkan makan pagi, hanya menoleh sebentar. Memiringkan pipi untuk menerima kecupannya. “Yang akan aku bawa sudah disiapkan?” bisik Mas Suma setelah mengalungkan tangan di pinggangku. Bib
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan