Cemas yang berlebihan menyebabkan otot polos di sistem pencernakan bergerak meremas lebih cepat. Karenanya, semakin aku sering melihat jam dinding, perut ini tidak bisa diajak kompromi. Perutku mulas seperti ingin ke belakang.Itu yang dikatakan Kak Wisnu. Entah itu benar, atau hanya ingin membuatku berusaha untuk tenang. Karenanya, supaya tidak sakit perut, tarik napas dan berusaha tenang.Waktu berhitung mundur mendekati ujian. Semua sudah bersiap di kursi masing-masing. Semakin aku mengedarkan pandangan, aura mengerikan semakin kental. Hampir semua menangkupkan telapak tangan, memejamkan mata sambil komat-kamit.Entah berdoa, atau merapalkan mantra.Sebenarnya tadi ingin menangis. Papi, Mama, dan Kak Wisnu mengantar ke tempat ujian bersama. Mereka terlihat sekali memberi semangat dan mendukung penuh dengan keinginanku ini. Katanya, mereka akan menungguku di mobil sampai ujian selesai. Aku pastikan, peserta yang memiliki suporter yang paling banyak adalah aku. ‘Sekarang, waktunya p
“Papi!” Amelia berlari mengejar Mas Suma yang berjalan entah bersama siapa. Dari gesturnya, sepertinya mereka sedang berbincang.Menunggu Mas Suma yang tidak kunjung kembali dari toilet, akhirnya kami memutuskan mencarinya. “Tidak mungkin Papi kesasar apalagi hilang, Ma,” ucap Wisnu menjawab kekawatiranku.Tempat ini memang kampus tempat Mas Suma sekolah dulu. Walaupun akhirnya terpaksa tidak melanjutkan karena ayahnya meninggal dan mewajibkan dia untuk menggantikan kedudukan sebagai pimpinan di perusahaan.Katanya tadi, dia masih hapal seluk beluk kampus ini, tapi itu kan sudah dua puluh tahun yang lalu?Sudah dua puluh menit lebih, tidak terlihat batang hidungnya. Akhirnya kami putuskan mencarinya dengan berpencar. Aku dengan Amelia, dan Wisnu bekeliling sendiri.Aku berjalan dan membiarkan Amelia mengejar Papinya. Dari kejauhan, terlihat mereka berhenti dan tangan Mas Suma terulur ke Amelia seperti untuk memperkenalkan. Tak seberapa lama, ketiganya menoleh ke arahku.Gegas, aku lan
Wanita yang sudah berkeluarga dituntut adil dalam berbagi perhatian. Tidak hanya anak yang membutuhkan dia, suamipun tak kalah rewelnya. Bahkan bikin geleng-geleng kepala.*Permintaan Mas Suma salah alamat. Ingin nasi rendang di tempat yang jualan pizza. Akhirnya pilihan jatuh pada Pasta Cumi Cabe Ijo. Perkiraanku itu ada rasa-rasa lidah kita, walaupun terkesan memaksakan.Kalau Amelia, jangan ditanya. Tidak hanya tiga loyang pizza dengan pinggiran yang full keju dengan berbagai toping. Dia juga memesan pasta, brucetta, dan lasagna. Sedangkan aku ingin yang segar-segar, salad.“Ini enak, Ran?” Dia menunjuk hidangan di depannya.Pasta dengan cream saus ada cabe hijau, dan ditaburi dengan cumi berbentuk ring. Ini bukan masalah enak atau tidak enak, tetapi diterima oleh lidah kita atau tidak.Suamiku ini memang tidak terlalu suka dengan main course selain nasi. Baginya, makanan utama itu ya nasi, selebihnya itu appetizer dan makanan penutup. Roti pun, dia suka roti tawar gandum tanpa ba
Bukan Mas Suma namanya kalau tidak bikin kesal dan gemas. Wisnu dan Amelia hanya senyum-senyum dan sesekali Amelia melontarkan ledekan.“Banyak sekali pesan pizzanya, Pi?” Amelia setengah tidak percaya, saat pelayan menyantarkan dua ikatan berisi empat kotak per ikatan.“Ini untuk orang-orang rumah. Biar merasakan enaknya makan pizza.”“Hayo…. Akhirnya Papi mengaku pizzanya enak, kan?”“Bukan. Maksud Papi mereka pasti bilang pizzanya enak. Kalau Papi lebih suka nasi rendang buatan Mama,” sahut Mas Suma bersikukuh tidak mengaku.“Ya-iya. Amel percaya. Satu untuk Amel, ya. Temen belajar nanti malam.”“Tuh, kan. Kamu juga mau,” sahut Mas Suma merasa tidak terpojokkan.Sampai di rumah, kerewelan Mas Suma tidak berhenti. Ada saja yang diminta.‘Mas Suma kenapa, ya? Kok hari ini aneh?’ batinku sambil menyiapkan teh dan pisang kepok kukus. Memang semenjak pulang dari rumah sakit, kemanjaannya naik sekian level. Kesal, tapi bagaimana lagi.Tadi di jalan, tiba-tiba nyeletuk, “Di rumah ada sto
“Aku hanya ingin ditemani sama kamu, Ran.”Mas Suma menuntut kesabaran lebih. Sesuatu yang seharusnya mengerti tanpa harus diberi tahu, tapi seperti enggan didengar. Dia tetap bersikukuh meminta aku duduk menemaninya yang sedang berkutat di depan komputer.Rencanaku akan menemani Amelia belajar untuk ujian terakhir besuk pun, tidak jadi.“Mas Suma ingin diskusi tentang kerjaan?”“Tidak,” ucapnya tanpa mengalihkan perhatian dari layar.“Terus kenapa aku harus di sini?”“Kan aku ingin ada temannya,” jawabnya, kemudian membalikkan badan. “Kalau kamu mengantuk, tiduran saja. Asal kamu tidak meninggalkan aku sendiri.”“Kenapa?” tanyaku heran. Biasanya, dia suka bekerja di keheningan, tanpa ada yang mengganggu. Tetapi kenapa sekarang minta ditemani?“Biar tidak sepi, Ran. Tidak enak kalau sendirian,” ucapnya kemudian kembali berkutat ke pekerjaan.Aku beranjak dari kursi, dan membaringkan tubuh ke ranjang. Sambil meluruskan tubuh, aku menatap suamiku dari belakang. Apa sikapnya yang seperti
Menunda mengabarkan berita, bukan menyembunyikan. Apalagi ini kabar yang akan menimbulkan kepanikan. Aku tidak mau konsentrasi Amelia terganggu.Seusia Nyonya Besar memang memerlukan kewaspadaan. Apalagi mengidap darah tinggi. Terakhir, beliau dirawat di rumah sakit karena drop setelah mendengar musibah yang menimpa Mas Suma. Nyonya Besar yang terkenal sebagai wanita bertangan besi, mulai tidak sekuat dulu.Ada rasa kekawatiran, apalagi ini dikarenakan jatuh di kamar mandi. Banyak cerita-cerita yang membuat tangan ini meremas keras. Resiko parah yang bukan diakibatkan penyakitnya, tetapi karena benturan yang membahayakan.“Papi sudah menuju sana, Ma?” Wisnu bertanya sambil menjalankan mobil.Aku yang masih berputar dengan pikiran-pikiran yang seharusnya tidak perlu, terhenyak. Sadar, ternyata aku melupakan hal penting. Segera, aku mengambil ponsel dan menghubungi Mas Suma.Sekali belum ada jawaban, dan ini untuk kali ketiga. Nada sibuk yang terdengar. Apa Mas Suma sudah berangkat ke k
Kesal, marah, sekaligus ingin tertawa. Sudah dibilangin jangan panik, malah memutuskan sesuatu dengan terburu-buru. Pulang tidak bersama sopir. Kan itu berbahaya? Dalam kondisi panik, bisa jadi otak tidak bisa berpikir seperti biasanya.Namun, biarlah. Kalau tidak begitu, Mas Suma tidak kena batunya. Ucapan orang selalu tidak didengar. Sempat menyalahkan Desi, kenapa tidak menghalangi Mas Suma mengendarai mobil sendiri. Namun, teringat bagaimana kerasnya suamiku itu, akhirnya aku memakluminya. Apalagi kalau dari mulutnya terlontar kata, “Pokoknya.”Memang, jalur tol menuju kota kalau tidak konsentrasi akan salah jalur. Sekali salah, akan menjauh dari tujuan. Bisa jadi tidak ke kota, justru ke luar kota yang jalan kembalinya lumayan jauh. Sekarang, niatnya ingin cepat sampai, justru berputar-putar di jalan.“Kusuma mana? Belum sampai” tanya Dokter Hendra sambil melongokkan kepala ke belakangku.Dokter Hendra aku jelaskan keberadaan Mas Suma, dan dia hampir tertawa terbahak-bahak. Tan
“Aku tahu Amelia sedih sekali melihat keadaan Mami. Tapi, kalau sama kamu kan bisa berbagi pertimbangan, Ran.” Mas Suma melayangkan protes karena tadi aku menyodorkan Amelia untuk melihat kondisi Nyonya Besar terlebih dahulu.Laki-laki sering berpikir praktis, tidak menggunakan perasaan. Yang dilontarkan Mas Suma benar, tetapi bagaimana dengan Amelia yang resah menunggu sedari tadi? Amelia sungguh cemas dengan keadaan neneknya yang sudah merawatnya dari kecil.Akhirnya di kesempatan terakhir, aku dan Mas Suma masuk kembali. Seperti tadi, keadaan ibu mertuaku tidak berubah. Tangannya yang keriput masih terkulai lemah. Belum menunjukkan tanda-tanda kesadaran, hanya suara dari alat medis yang mendominasi.“Ran….”“Hmm….” Aku mendekatkan diri ke Mas Suma. Menunggu akan yang akan dilontarkan oleh suamiku ini.Tangannya terulur menangkup tangan Nyonya Besar. Dengan pelan, dia mengusap punggung tangan keriput itu. Wajah sedih terpancar dan saat wajahnya mendongak, aku terhenyak. Mata Mas Sum