“Aku hanya ingin ditemani sama kamu, Ran.”Mas Suma menuntut kesabaran lebih. Sesuatu yang seharusnya mengerti tanpa harus diberi tahu, tapi seperti enggan didengar. Dia tetap bersikukuh meminta aku duduk menemaninya yang sedang berkutat di depan komputer.Rencanaku akan menemani Amelia belajar untuk ujian terakhir besuk pun, tidak jadi.“Mas Suma ingin diskusi tentang kerjaan?”“Tidak,” ucapnya tanpa mengalihkan perhatian dari layar.“Terus kenapa aku harus di sini?”“Kan aku ingin ada temannya,” jawabnya, kemudian membalikkan badan. “Kalau kamu mengantuk, tiduran saja. Asal kamu tidak meninggalkan aku sendiri.”“Kenapa?” tanyaku heran. Biasanya, dia suka bekerja di keheningan, tanpa ada yang mengganggu. Tetapi kenapa sekarang minta ditemani?“Biar tidak sepi, Ran. Tidak enak kalau sendirian,” ucapnya kemudian kembali berkutat ke pekerjaan.Aku beranjak dari kursi, dan membaringkan tubuh ke ranjang. Sambil meluruskan tubuh, aku menatap suamiku dari belakang. Apa sikapnya yang seperti
Menunda mengabarkan berita, bukan menyembunyikan. Apalagi ini kabar yang akan menimbulkan kepanikan. Aku tidak mau konsentrasi Amelia terganggu.Seusia Nyonya Besar memang memerlukan kewaspadaan. Apalagi mengidap darah tinggi. Terakhir, beliau dirawat di rumah sakit karena drop setelah mendengar musibah yang menimpa Mas Suma. Nyonya Besar yang terkenal sebagai wanita bertangan besi, mulai tidak sekuat dulu.Ada rasa kekawatiran, apalagi ini dikarenakan jatuh di kamar mandi. Banyak cerita-cerita yang membuat tangan ini meremas keras. Resiko parah yang bukan diakibatkan penyakitnya, tetapi karena benturan yang membahayakan.“Papi sudah menuju sana, Ma?” Wisnu bertanya sambil menjalankan mobil.Aku yang masih berputar dengan pikiran-pikiran yang seharusnya tidak perlu, terhenyak. Sadar, ternyata aku melupakan hal penting. Segera, aku mengambil ponsel dan menghubungi Mas Suma.Sekali belum ada jawaban, dan ini untuk kali ketiga. Nada sibuk yang terdengar. Apa Mas Suma sudah berangkat ke k
Kesal, marah, sekaligus ingin tertawa. Sudah dibilangin jangan panik, malah memutuskan sesuatu dengan terburu-buru. Pulang tidak bersama sopir. Kan itu berbahaya? Dalam kondisi panik, bisa jadi otak tidak bisa berpikir seperti biasanya.Namun, biarlah. Kalau tidak begitu, Mas Suma tidak kena batunya. Ucapan orang selalu tidak didengar. Sempat menyalahkan Desi, kenapa tidak menghalangi Mas Suma mengendarai mobil sendiri. Namun, teringat bagaimana kerasnya suamiku itu, akhirnya aku memakluminya. Apalagi kalau dari mulutnya terlontar kata, “Pokoknya.”Memang, jalur tol menuju kota kalau tidak konsentrasi akan salah jalur. Sekali salah, akan menjauh dari tujuan. Bisa jadi tidak ke kota, justru ke luar kota yang jalan kembalinya lumayan jauh. Sekarang, niatnya ingin cepat sampai, justru berputar-putar di jalan.“Kusuma mana? Belum sampai” tanya Dokter Hendra sambil melongokkan kepala ke belakangku.Dokter Hendra aku jelaskan keberadaan Mas Suma, dan dia hampir tertawa terbahak-bahak. Tan
“Aku tahu Amelia sedih sekali melihat keadaan Mami. Tapi, kalau sama kamu kan bisa berbagi pertimbangan, Ran.” Mas Suma melayangkan protes karena tadi aku menyodorkan Amelia untuk melihat kondisi Nyonya Besar terlebih dahulu.Laki-laki sering berpikir praktis, tidak menggunakan perasaan. Yang dilontarkan Mas Suma benar, tetapi bagaimana dengan Amelia yang resah menunggu sedari tadi? Amelia sungguh cemas dengan keadaan neneknya yang sudah merawatnya dari kecil.Akhirnya di kesempatan terakhir, aku dan Mas Suma masuk kembali. Seperti tadi, keadaan ibu mertuaku tidak berubah. Tangannya yang keriput masih terkulai lemah. Belum menunjukkan tanda-tanda kesadaran, hanya suara dari alat medis yang mendominasi.“Ran….”“Hmm….” Aku mendekatkan diri ke Mas Suma. Menunggu akan yang akan dilontarkan oleh suamiku ini.Tangannya terulur menangkup tangan Nyonya Besar. Dengan pelan, dia mengusap punggung tangan keriput itu. Wajah sedih terpancar dan saat wajahnya mendongak, aku terhenyak. Mata Mas Sum
Paginya, Mas Suma hanya beranjak saat membersihkan diri. Bik Inah sudah membawa perlengkapan untuk berganti pakaian, termasuk makanan rumah.“Makan dulu, Mas. Sedikit tidak apa-apa,” ucapku setelah mendapati di keluar dari kamar mandi. Aku menyiapkan makanan yang dibawa Bik Inah. Wisnu dan Amelia yang tidak pulang pun sudah bersiap.“Kalian makan saja dulu. Aku melihat Mami lagi,” ucapnya kemudian meninggalkan ruangan.Aku mendesah, menatap mereka berdua yang juga terlihat lesu. Memang, mereka tidak menunggui di depan kamar ICU. Akan tetapi, secara bergantian mereka melihat keadaan kami. Sama saja mereka terjaga semalaman di sini. Aku tahu mereka pasti capek.Seringkali saat menunggui orang sakit, penunggu yang awalnya sehat justru berakhir sakit juga. Ini dikarenakan makan dan istirahat diabaikan. Padahal, itu sangat penting. Menunggu orang sakit, bukan berarti kebutuhan tubuh kita terhenti.“Kalian makan dulu. Yang banyak, jangan sampai sakit.”“Mama mau kemana?” tanya Amelia. Dia m
Benar kalau ada perumpamaan istri berasal dari tulang rusuk suaminya. Ini bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi ada yang tersirat di sana.Sebagai tulang rusuk yang melengkapi, menguatkan, sekaligus melindungi suami. Secara kasat mata, sepertinya wanita yang dilindungi sang suami. Akan tetapi kenyataannya sebaliknya. Justru wanitalah yang berperan seperti itu. Seperti tadi malam. Aku melihat Mas Suma di titik terendah. Dalam kesunyian, dia menangis tergugu. Bersandar padaku, meratapi ibunya yang tidak kunjung sadar.Awalnya, dia termenung.“Mas Suma. Cukup. Mami pasti bisa melalui keadaan ini.” Berulang kali kata-kata senada aku lontarkan, tetapi seakan telinganya ditulikan.Yang dia lakukan duduk dengan diam, seakan memikirkan sesuatu. Kemudian beranjak dan berlama-lama di depan kaca, melihat Mami yang tidak kunjung bergerak. Setelahnya, termenung lagi. Aku coba mengajaknya bicara, dia hanya menjawab seadanya tanpa semangat.Tidak seberapa lama, mengulangnya kembali.“Mas Suma. N
Sering aku merasa apa yang aku katakan diabaikan. Bahkan sering kali aku mendapati dia berbohong. Sebegitu tidak kuatkan aku di matanya?Seperti tadi. Aku terbangun dan mendapati dia menunaikan ibadah malam. Dengan penerangan lampu tidur, aku mendapati Maharani menengadahkan tangan memanjatkan doa. Dalam keheningan, tertangkap isakan tangis yang tertahan. Mata ini aku picingkan, walaupun tidak terlihat jelas, aku yakin dia menanggis.“Mas Suma. Sudah bangun? Masih satu jam lagi adzan. Tidur saja lagi. Mas Suma harus jaga kesehatan,” ucapnya sambil melipat mukenah dan merapikan sajadah.Aku mengernyit, bukankah kami tadi bersamaan beranjak dari menunggu Mami? Kalau aku mengantuk dan memerlukan tidur, bukankan dia seharusnya demikian? Begitu juga, kalau aku harus menjaga kesehatan, seharusnya dia juga, kan?“Kamu tidak mengantuk? Nanti kamu sakit.”“Tidak. Aku sudah tidur sebentar tadi. Sudah cukup. Biar aku yang menjaga Mami, ” ucapnya kemudian beranjak keluar dari ruang tidur khusus p
“Mami…. Kenapa bersikap seperti itu kepada Dewi. Bagaimanapun dia itu Maminya Amelia. Dia kan datang sebagai tamu yang berniat baik, “ ucapku mengingatkan.Tadi, aku sengaja. Setelah Rani selesai menyuapi Mami, aku menyuruh Amelia dan Wisnu pergi ke kantin. Awalnya dengan alasan aku ingin makan pisang kepok kukus, tapi langsung dijawab Wisnu.“Itu di foodpack ada, Pi. Tadi Mama sebelum ke sini masak pisang kukus. Mama juga bikin nagasari labu kuning kesukaan Eyang.”Huuft, inginnya menjadikan alasan. Ternyata Maharani tahu apa yang ada di otakku sebelum aku minta. Istriku itu selalu mengerti.Akhirnya, aku mencari alasan lain.“Papi ingin makan klepon. Itu yang bulat-bulat hijau. Di dalamnya ada gula merah dan dikasih parutan kelapa. Tahu?”“Ngerti, Pi. Yang sering dibelikan Eyang Sastro saat di kampung, kan?” sahut Amelia.“Betul banget! Di kantin ada, kok. Kalau habis, ada di supermarket sebelah,” ucapku sambil menunjukkan jempol.Amelia dan Wisnu akhirnya pergi. Ini kesempatan
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan