Saat anak kita beranjak dewasa, yang dia butuhkan pada orang tua adalah teman bicara. Dia sudah mampu berpikir dan memutuskan sesuatu. Tidak tepat kalau sebagai orang tua kita mengatur ini dan itu. Walaupun dengan dalih kasih sayang.Sambil berpikir apa dan kemana biduk catur ini dijalankan, kami berbincang santai. Kali saling melontarkan candaan, bahkan ejekan. Terlebih saat aku lontarkan pertanyaan tentang teman perempuan.“Jadi Wisnu sampai sekarang tidak pernah pacaran?” tanyaku dengan tatapan menyelidik. Aku tahu Maharani begitu keras mendidik anaknya, tapi kadang anak laki-laki semakin dilarang justru tergoda untuk melanggar.Dia menggeleng, kemudian mengambil kue kering yang ada di toples.“Beneran? Papi tidak akan bilang Mama. Ini rahasia kita,” desakku sambil mencondongkan tubuh ini ke depan.Dia justru tertawa dan melontarkan tuduhan. “Papi mau jadi mata-mata Mama, ya?’“Untuk apa? Papi Cuma heran, cowok sekeren kamu kok tidak laku.”“Siapa bilang tidak ada yang naksir Wisnu
Waktu itu bersifat relatif. Makanya muncul istilah dilatasi, jarum jam akan terlihat berbeda kecepatan di mata orang yang berbeda aktifitas.Seperti sekarang ini. Aku merasa waktu bergulir dengan cepat. Ngobrol bersama dengan Tiok, kemudian berlanjut nongkrong bareng bersama Wisnu.“Lama sekali?” ucap Maharani yang sudah bergelung dengan selimut. Matanya terlihat berat, dan menatapku sejenak. Kemudian dia tertidur kembali.Syukurlah. Untung saja dia tertidur kembali. Jadi aku terbebas dari cecaran pertanyaan.Aku mendesah pelan. Menatap wajah istriku yang tertidur pulas, melempar ingatanku di masa lalu. Saat memperjuangkan dia untuk menjadi milikku.Saat itu, sempat beberapa orang mencibir. Sebegitu gilanya aku terhadap Maharani yang notabene sebagai pekerja rumah tangga di rumahku. Seperti tidak ada perempuan lain yang layak untuk dinikahi.Bahkan ada lontaran sadis, yang mengatakan Maharani si pembantu rumah tangga menjebak majikan. Slentingan semakin parah saat tahu dia seorang jan
Seorang istri memang tempat berbagi suka dan duka, terlebih saat ada masalah. Namun, itu tidak menurutku. Kalau dihitung jumlah masalah yang aku miliki, melebihi jumlah bulu di tubuhku. Perbandingannya berlebihan, ya?Bukannya tidak percaya. Aku tidak ingin membebani Maharani dengan masalah yang tidak seharusnya dia tahu. Bisa jadi, sifat kawatir yang berlebihan akan mengganggu keseharian yang harusnya damai dan tentram. Apalagi aku tahu, otaknya sering berjalan liar dan menimbulkan pemikiran yang aneh-aneh.Aku lebih suka melihat wajahnya yang tersenyum, dan damai. Dari pada menunjukkan kening berkerut karena memikirkan masalah laki-laki. Seperti sekarang ini. Mataku terbuai menatap wajah yang masih tertidur pulas.“Suma, kecantikan perempuan itu bukan muncul saat berdandan. Tetapi saat tidurlah kecantikannya yang sebenarnya,” ucap Mamiku dulu.Saat itu aku bingung mencari pasangan hidup. Bagaimana tidak bingung, semua model orang cantik ada di sekelilingku. Terus, kalau mengikuti pe
Seorang pesohor mengatakan bahwa cinta itu karunia. Bahkan Nabi pun mengagungkan cinta. “Makanya, cinta jangan dinodai dengan syahwat atau hawa nafsu. Semula cinta itu baik, menjadi tidak baik ketika ditunggangi hawa nafsu.” Itu yang diucapkannya.Termasuk rasa cintaku kepada Maharani meskipun dia berstatus istri orang. Aku menghormatinya dan menempatkan dirinya di tempat yang berharga. Walaupun diri ini mulai terpaut dengan Kalila, mereka memiliki cinta yang berbeda.[Terima kasih. Kamu memang sahabatku yang paling baik] Balasan pesan darinya.Begini saja sudah membuatku bahagia. Memang benar, cinta itu karunia saat kita mensyukurinya.Mobil yang aku tumpangi melaju menuju pusat kota. Aku bersama penjaga yang menyamar menjadi bodyguard dan sopir. Sesekali aku menatap spion tengah. Mobil Patrick mengikuti dengan jarak dekat. Seakan tidak rela kehilangan jejak.Setelah ini, misiku selasai. Tertinggal Pak Kusuma yang menggoreng Patrik seperti rencananya. Aku hanya mengawasi dan memast
Seorang laki-laki memang ditakdirkan menjadi pemimpin pasangan dan keturunannya dalam sebuah keluarga. Ada tanggung jawab yang besar di pundaknya. Namun, kadang kala keberhasilan tidak berpihak padanya.Merasa gagal, itu yang aku lihat pada lelaki yang ada di depanku.Apakah aku harus menambah perasaan gagal ini? Sebagai sesama lelaki hatiku tidak tega.Aku menghela napas panjang. Dengan tangan terlipat di dada, aku mendengarkan apa yang diucapkan. Aku tidak ingin memutuskan sesuatu yang tidak tepat.“Aku dan Dewi memang saling mencintai. Anakkupun selalu membanggakan aku. Perasaan mereka inilah yang membuatku semakin kecil. Sampai sekarang, aku tidak mampu membahagiakan mereka. Memberi kehidupan yang layak tanpa bantuan dari keluarga Dewi. Aku suami dan ayah yang gagal,” ucapnya sambil menghapus air mata dengan punggung tangan.Tidak pernah aku mendapati orang yang se-frustasi lelaki ini. Dewi memang terlahir sebagai anak tunggal di keluarga yang berlebihan. Ini yang menjadi tolok uk
Suami istri seharusnya saling jujur dan terbuka. Yang aku lalukan sekarang, hanya menggeser waktu bicara sedikit mundur. Tidak berniat menyembunyikan selamanya, hanya menunda berterus terang.Saat waktunya tiba, aku pasti mengaku kepada suamiku kalau Pak Tiok mendampinginya atas skenarioku. Meskipun, kenyataannya Mas Suma sendiri lah yang memilihnya.[Semua sudah selesai tanpa ada korban. Dia sudah diamankan] pesan dari Pak Tiok.Hati ini merasa lega dan aman. Satu bahaya sudah diselesaikan. Sahabatku itu memang bisa diandalkan. Sekarang, waktunya kembali berkonsentrasi kepada anak-anak.Wisnu sudah menemukan jalannya. Dari ucapannya, dia sudah bisa memilih dan merencanakan masa depan. Aku tidak terlalu mengkawatirkan dia.Tinggal Amelia yang sebentar lagi masuk ke perguruan tinggi. Akhir-akhir ini dia sibuk mengumpulkan data-data jurusan dan perguruan tinggi. Tidak ada satu yang menonjol yang dia suka. Derajat kesukaannya sama.“Mama di rumah?” Amelia yang baru masuk rumah, terliha
“Kak Wisnu boleh! Kenapa aku dilarang!” teriak Amelia kemudian berlari meninggalkan kami. Menyusul berdebum bunyi pintu yang ditutup keras.Segala alasan yang diutarakan Amelia tidak ada yang mampu membuka pikiran Mas Suma. Keputusannya tetap. Dia tidak diperbolehkan sekolah di kota itu.Perbincangan tadi antara mereka berdua. Aku yang sebenarnya ingin menengahi, tidak mendapat kesempatan dan akhirnya menjadi penonton.“Tidak ada pilihan yang lebih bagus, apa? Kenapa bukan jurusan yang mendukung perusahaan Papi? Malah mau ambil komunikasi. Itu sekolah untuk karyawan, Mel.”“Tapi Amelia suka, Pi. Amelia juga mempunyai rencana setelah lulus,” ucapnya kemudian menceritakan keinginannya seperti yang diutarakan kepadaku tadi. Terlihat sekali dia berusaha menjelaskan supaya Mas Suma mengerti. Namun, sekali lagi suamiku itu melontarkan alasan lainnya.“Kenapa harus cari sekolah jauh dari rumah, sih. Di sini juga banyak.”“Tapi, Pi. Jurusan yang Amel suka dan yang terbaik ada di sana.”“Tidak
Saat anak masih kecil, kita menggenggam erat tangannya. Kita menuntun ke jalan yang benar, dan memberikan pelukan saat dia merasa tidak nyaman. Namun, saat mereka sudah beranjak dewasa, kita dituntut rela untuk melepaskan dia untuk mulai belajar menghadapi hidup yang sebenarnya.Pintu kamar aku ketuk sebelum kubuka pelan. Amelia yang sedang duduk menghadap meja belajar menoleh ke arahku.“Sayang, Mama boleh masuk?”Dia mengangguk pelan, kemudian menyodorkan kursi di sebelahnya. Senyum ceria tidak aku dapati, justru mata sembab dan raut wajah sedih. Di atas meja, aku dapati kertas yang penuh dengan coretan. Kebiasaannya saat kesal.“Kak Amel masih marah?”Dia tidak menjawab, hanya menggeleng pelan. Tangannya kembali memainkan bolpoin, menambah penuh coretan yang sudah tidak ada tempat kosong. Kepalanya menunduk. Sebegitu inginnya dia dengan rencana yang dilontarkan kapan hari.Yang membuatku lebih terkejut, kertas di depannya menangkap tetesan air mata. Tinta memudar seiring dengan su