Seorang istri memang tempat berbagi suka dan duka, terlebih saat ada masalah. Namun, itu tidak menurutku. Kalau dihitung jumlah masalah yang aku miliki, melebihi jumlah bulu di tubuhku. Perbandingannya berlebihan, ya?Bukannya tidak percaya. Aku tidak ingin membebani Maharani dengan masalah yang tidak seharusnya dia tahu. Bisa jadi, sifat kawatir yang berlebihan akan mengganggu keseharian yang harusnya damai dan tentram. Apalagi aku tahu, otaknya sering berjalan liar dan menimbulkan pemikiran yang aneh-aneh.Aku lebih suka melihat wajahnya yang tersenyum, dan damai. Dari pada menunjukkan kening berkerut karena memikirkan masalah laki-laki. Seperti sekarang ini. Mataku terbuai menatap wajah yang masih tertidur pulas.“Suma, kecantikan perempuan itu bukan muncul saat berdandan. Tetapi saat tidurlah kecantikannya yang sebenarnya,” ucap Mamiku dulu.Saat itu aku bingung mencari pasangan hidup. Bagaimana tidak bingung, semua model orang cantik ada di sekelilingku. Terus, kalau mengikuti pe
Seorang pesohor mengatakan bahwa cinta itu karunia. Bahkan Nabi pun mengagungkan cinta. “Makanya, cinta jangan dinodai dengan syahwat atau hawa nafsu. Semula cinta itu baik, menjadi tidak baik ketika ditunggangi hawa nafsu.” Itu yang diucapkannya.Termasuk rasa cintaku kepada Maharani meskipun dia berstatus istri orang. Aku menghormatinya dan menempatkan dirinya di tempat yang berharga. Walaupun diri ini mulai terpaut dengan Kalila, mereka memiliki cinta yang berbeda.[Terima kasih. Kamu memang sahabatku yang paling baik] Balasan pesan darinya.Begini saja sudah membuatku bahagia. Memang benar, cinta itu karunia saat kita mensyukurinya.Mobil yang aku tumpangi melaju menuju pusat kota. Aku bersama penjaga yang menyamar menjadi bodyguard dan sopir. Sesekali aku menatap spion tengah. Mobil Patrick mengikuti dengan jarak dekat. Seakan tidak rela kehilangan jejak.Setelah ini, misiku selasai. Tertinggal Pak Kusuma yang menggoreng Patrik seperti rencananya. Aku hanya mengawasi dan memast
Seorang laki-laki memang ditakdirkan menjadi pemimpin pasangan dan keturunannya dalam sebuah keluarga. Ada tanggung jawab yang besar di pundaknya. Namun, kadang kala keberhasilan tidak berpihak padanya.Merasa gagal, itu yang aku lihat pada lelaki yang ada di depanku.Apakah aku harus menambah perasaan gagal ini? Sebagai sesama lelaki hatiku tidak tega.Aku menghela napas panjang. Dengan tangan terlipat di dada, aku mendengarkan apa yang diucapkan. Aku tidak ingin memutuskan sesuatu yang tidak tepat.“Aku dan Dewi memang saling mencintai. Anakkupun selalu membanggakan aku. Perasaan mereka inilah yang membuatku semakin kecil. Sampai sekarang, aku tidak mampu membahagiakan mereka. Memberi kehidupan yang layak tanpa bantuan dari keluarga Dewi. Aku suami dan ayah yang gagal,” ucapnya sambil menghapus air mata dengan punggung tangan.Tidak pernah aku mendapati orang yang se-frustasi lelaki ini. Dewi memang terlahir sebagai anak tunggal di keluarga yang berlebihan. Ini yang menjadi tolok uk
Suami istri seharusnya saling jujur dan terbuka. Yang aku lalukan sekarang, hanya menggeser waktu bicara sedikit mundur. Tidak berniat menyembunyikan selamanya, hanya menunda berterus terang.Saat waktunya tiba, aku pasti mengaku kepada suamiku kalau Pak Tiok mendampinginya atas skenarioku. Meskipun, kenyataannya Mas Suma sendiri lah yang memilihnya.[Semua sudah selesai tanpa ada korban. Dia sudah diamankan] pesan dari Pak Tiok.Hati ini merasa lega dan aman. Satu bahaya sudah diselesaikan. Sahabatku itu memang bisa diandalkan. Sekarang, waktunya kembali berkonsentrasi kepada anak-anak.Wisnu sudah menemukan jalannya. Dari ucapannya, dia sudah bisa memilih dan merencanakan masa depan. Aku tidak terlalu mengkawatirkan dia.Tinggal Amelia yang sebentar lagi masuk ke perguruan tinggi. Akhir-akhir ini dia sibuk mengumpulkan data-data jurusan dan perguruan tinggi. Tidak ada satu yang menonjol yang dia suka. Derajat kesukaannya sama.“Mama di rumah?” Amelia yang baru masuk rumah, terliha
“Kak Wisnu boleh! Kenapa aku dilarang!” teriak Amelia kemudian berlari meninggalkan kami. Menyusul berdebum bunyi pintu yang ditutup keras.Segala alasan yang diutarakan Amelia tidak ada yang mampu membuka pikiran Mas Suma. Keputusannya tetap. Dia tidak diperbolehkan sekolah di kota itu.Perbincangan tadi antara mereka berdua. Aku yang sebenarnya ingin menengahi, tidak mendapat kesempatan dan akhirnya menjadi penonton.“Tidak ada pilihan yang lebih bagus, apa? Kenapa bukan jurusan yang mendukung perusahaan Papi? Malah mau ambil komunikasi. Itu sekolah untuk karyawan, Mel.”“Tapi Amelia suka, Pi. Amelia juga mempunyai rencana setelah lulus,” ucapnya kemudian menceritakan keinginannya seperti yang diutarakan kepadaku tadi. Terlihat sekali dia berusaha menjelaskan supaya Mas Suma mengerti. Namun, sekali lagi suamiku itu melontarkan alasan lainnya.“Kenapa harus cari sekolah jauh dari rumah, sih. Di sini juga banyak.”“Tapi, Pi. Jurusan yang Amel suka dan yang terbaik ada di sana.”“Tidak
Saat anak masih kecil, kita menggenggam erat tangannya. Kita menuntun ke jalan yang benar, dan memberikan pelukan saat dia merasa tidak nyaman. Namun, saat mereka sudah beranjak dewasa, kita dituntut rela untuk melepaskan dia untuk mulai belajar menghadapi hidup yang sebenarnya.Pintu kamar aku ketuk sebelum kubuka pelan. Amelia yang sedang duduk menghadap meja belajar menoleh ke arahku.“Sayang, Mama boleh masuk?”Dia mengangguk pelan, kemudian menyodorkan kursi di sebelahnya. Senyum ceria tidak aku dapati, justru mata sembab dan raut wajah sedih. Di atas meja, aku dapati kertas yang penuh dengan coretan. Kebiasaannya saat kesal.“Kak Amel masih marah?”Dia tidak menjawab, hanya menggeleng pelan. Tangannya kembali memainkan bolpoin, menambah penuh coretan yang sudah tidak ada tempat kosong. Kepalanya menunduk. Sebegitu inginnya dia dengan rencana yang dilontarkan kapan hari.Yang membuatku lebih terkejut, kertas di depannya menangkap tetesan air mata. Tinta memudar seiring dengan su
Masalah akan ada penyelesaian apabila dibicarakan. Membiarkan tanpa ada upaya, memang terlihat seperti sudah teredam. Namun, bisa jadi justru berkembang liar dan menimbulkan masalah baru.“Jadi Papi memberikan izin ke Amel?” teriak Amelia seperti tidak percaya.Matanya seketika berbinar dan dipermanis dengan senyuman yang menyembang. Jemari yang ditangkupkan tadi, sekarang diulurkan sambir menghampur ke dalam pelukan Mas Suma. Bertubi-tubi dia mencium pipi Papinya, seakan lupa dia sudah bukan anak kecil lagi.Mas Suma yang kewalahan, menatapku sambil mengerlingkan mata. Terlihat dia juga bahagia sebahagia anak gadisnya. Senyumku pun mengembang dengan lega. Perselisihan mereka akhirnya ada titik temu, walaupun belum final.Gara-gara insiden majalah kebalik itu, suasana yang sebelumnya kaku menjadi cair. Mas Suma berbincang dengan santai. Gaya sok arogan yang sepertinya dia rencananya, sukses batal.“Kamu yakin dengan pilihanmu?” Itu yang ditanyakan Mas Suma tadi. Dia tidak banyak bert
Kebebasan itu bukan berarti tidak ada aturan, tetap dalam pengawasan. Itu yang dinamakan bebas dalam batasan. Begitu juga mandiri, bukan berarti hidup sendiri tanpa ada orang yang menemani. Namun, ini berarti harus bisa mengatur apa yang akan kamu lakukan tanpa disuruh orang lain.*Yang membuat jengah Amelia, karena Mas Suma akan menggaet perusahaan keamanan seperti yang diperlakukan di rumah ini. Kemana-mana harus ada pengawalan. Ini tidak ada bedanya dengan tahanan.“Papi! Kalau seperti itu kan Amel malu ke teman-teman nanti. Seperti siapa saja.”“Loh, kamu kan anak Papi. Ya harus seperti itu. Biar aman, Mel.”“Tapi, Pa. Bukan segitunya menjaganya. Amel tahu Papi sayang, tapi kalau begitu kan berlebihan. Seperti drama Korea saja.”“Ya itu kamu tahu. Supaya kamu menjiwai juga. Katanya ingin bikin tontonan seperti orang sono.”Hmm…. Berdebat dengan Mas Suma tidak ada menangnya. Kalau dibiarkan, sampai malam dan pagi lagi, mereka tidak akan selesai. Aku harus mencoba menengahi.“Yang
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan