Belum aku menyampaikan yang ada di pikiranku, ponselku dengan panggilan nomor luar negeri masuk. Nomor yang biasanya digunakan oleh Mas Suma.“Rani! Kamu baik-baik saja!” serunya saat aku membuka layar ponsel. Wajah Mas Suma menunjukkan kekawatiran yang sangat. Apa dia tahu kecelakaan ini?“Aku baik-baik saja, Mas. Tapi—““Tapi, apa?”Belum aku sempat menjawab, dia langsung mencecar pertanyaan. Apalagi setelah mendengar suara Dokter Hendra, dan mungkin melihat di belakangku terlihat bukan ada di rumah.“Kamu ada dimana? Tidak ada di rumah, ya? Di rumah sakit? Kok ada suaranya Hendra?!”“Iya. Aku ada di rumah sakit Dokter Hendra.”“Jadi yang foto yang mereka kirim itu benar? Kalian mengalami kecelakaan?!” seru Mas Suma.DEG!Foto? Maksudnya apa? Spontan aku menoleh ke arah Dokter Hendra. Kemudian dia bergabung berbicara online dengan kami.“Coba kamu lihat file yang aku send. Itu yang mereka kirim kepadaku!” Mas Suma menunjukkan wajah tegang.Mas Suma mengirim ke ponsel Dokter Hendra.
“Aku curiga, pelakunya sama dengan yang sebelumnya.” Ucapan Mas Suma yang mematik otakku bergulir liar dengan kejadian yang belum terungkap. Kejadian yang terbersit saat Dokter Hendra bertanya tadi. Ya, orang yang menerorku dengan mengirim foto-foto Mas Suma yang menyebabkan aku berburuk sangka. Sekaligus, orang yang menipu perusahaan dengan berpura-pura menjadi investor dan berujung dengan pemotretan di ranjang. POV Kusuma Hati ini merasa ada yang hilang dan kurang saat jauh dari keluarga. Saat kerinduan akan rumah terbersit, aku mencium syal yang selalu tersematkan di leher ini. Begitu juga saat lelah ataupun pikiran ini penat. Membauinya, melemparkan pikiran ini merasa berada di dekatnya. “Tuan Kusuma, syalnya sudah saya sisihkan, dan saya letakkan di dekat pakaian yang akan dikenakan besuk,” ucap Desi sekretarisku, saat aku mencari baju yang aku pakai sebelumnya. Dia tidak hanya handal dalam pekerjaan, tetapi mengerti apa yang aku sukai. “Kamu tahu aja. Jangan di loundry, ya
Perempuan itu berbelok sesuai anak panah yang bertuliskan ‘DISCOTHEQUE’. Langkah panjangnya terhenti berberapa saat, dan kembali ditegakkan dengan pongahnya.Di ujung langkah, pintu besar menyambut, dan hingar bingar suara musik memeluk siapa saja yang datang. Sinar lampu berputar, menyusup di keremangan. Memindai wajah dan tubuh yang mulai larut dengan suasana yang ditawarkan.Perempuan itu langsung menuju meja bar. Tidak dihiraukan sapaan memuja dan menggoda. Dia mendudukkan diri di kursi tinggi tanpa melepas topi yang menyembunyikan sebagian wajah. Dengan tergesa, dia membuka glove kulit, memunculkan jemari putih berhias kutek merah darah.“Margarita!” serunya saat Bartender mendekatinya.Koctail beralkohol campuran tequila dan lime juice tersajikan dengan gelas lebar berkaki. Dengan cepat, bibir merah itu menyentuh pinggiran gelas yang bertabur garam. Mereguk kenikmatan yang mengurai kepenatan. “Kasih saya double!” Telunjuk berkuku lentik itu mengacung, dan disambut anggukan s
Semua menunggu kedatangan Mas Suma dengan bersiap sesuai perintahnya. Termasuk Pak Tiok. Kata Pak Maman, dia pulang ke rumahnya sebentar dan tengah malam kembali lagi. Penjaga rumahpun diberi arahan untuk tidak sembarang menerima tamu ataupun paket. Aura ketegangan menyelimuti rumah ini, seakan menghadapi musuh yang tidak tahu siapa dia. Aku juga disibukkan mendampingi Amelia dan Denish, karena ketidakadaan Tias. Untung saja, ada pengasuh pengganti teman mereka. Sedangkan Bik Inah mengawasi keperluan penjaga bersama pak Maman. “Ma, Amelia masih takut. Apa pelakunya penjahat yang mengincar Amel, ya? Seperti di cerita film itu? Nanti kalau mereka masih mengikuti Amel bagaimana?” Anak gadis ini semalam tidur denganku. Sesekali dia terbangun dengan keringat dingin. Jelas, ini menandakan trauma yang masih lekat di kepala. Tangannya selalu mengapit lengan ini. Bahkan sampai pagi menjelang, tidak dibiarkan aku meninggalkannya. “Kemungkinan, dia itu lalai, Sayang. Kadang, kecelakaan itu
“Om Tiok! Sini. Ayok makan!” teriak Amelia sambil melambaikan tangan kepada lelaki jangkung itu.Senyuman mengembang dan menyisakan mata tertinggal segaris. Dia melangkah menuju meja dapur dan meletakkan nampan yang dia bawa.“Mau?” tanyaku sambil menunjuk piringku.“Ada?”“Masih, Om. Amelia ambilkan, ya?” seru anak gadisku sambil beranjak dari tempat duduk.Sebenarnya ini aku hindari. Memasukkan laki-laki ke areal rumah saat suami tidak di tempat. Aku merasa ini tidak tepat, walaupun tidak ada niat apapun. Anggap saja saat aku tidka ada di rumah, kemudian Mas Suma memasukkan perempuan lain dan makan bersama. Pasti aku akan terbakar kalau mendapatinya.Namun, bagaimana lagi. Amelia sudah menyiapkan dan menyodorkan spagheti yang tersisa di atas kompor tadi.Aku menuangkan air putih dan menyodorkan.“Makasih,” sambutnya sambil tersenyum.Aku membalas dengan senyuman kaku. Seperti tahu ketidaknyamananku, Pak Tiok banyak berbincang dengan Amelia.“Ini dulu makananku setiap hari.” Pak Tio
Saudara yang tidak sedarah tidak hanya sahabat, tetapi juga karyawan yang setia.Kalau dirunut, yang menjaga kami di rumah selain Pak Tiok adalah karyawan. Kami tidak terikat sebagai pekerja dan majikan yang sebatas pada tugas dan gaji, tetapi juga ikatan persaudaraan yang terjalin dengan sendirinya.Begitu juga dengan Tias. Dia memang pengasuh Danish, tetapi dia menjalankan tugasnya dengan hati. Dia menyayangi dan merawat anakku dengan kasih sayang. Bahkan saat bekerja, dia tidak memperhitungkan ini pekerjaan siapa dan tugas siapa. Itu yang aku tegaskan di rumah, antara Tias, Dwi, Bik Inah, dan Pak Maman, begitu juga dengan ketiga satpam yang biasanya. “Aku akan cari tahu dari tetangga. Minta CCTV atau kamera mobil. Siapa tahu plat nomor itu terekam.” Pak Tiok kemudian cerita dengan antusias. Dulu pernah melakukan itu saat peristiwa penyerangan pengawal.“Ok, aku kembali ke kantor. Nanti sore simulasi tentang dugaan kemarin selesai. Kita bisa diskusikan dengan Pak Kusuma. Syukurlah
Lelaki yang menjadi tumpuanku justru beringsut menjauh, berujung tangan ini menemui ruang kosong. Mataku yang sudah terpejam karena menahan kepala yang berputar, hanya pasrah saat tubuh ini terhunyun.“Kenapa?”Tangan besar menangkap kedua lengan ini. Dan, saat kubuka mata wajah menyiratkan kecemasan terpampang di sana. Segera aku menegakkan diri sambil menekan pelipis yang berdenyut.“Tidak apa-apa, Pak Tiok. Mungkin karena lelah dan masih mengantuk. Saya ke toilet dulu,” ucapku kemudian bergegas meninggalkan mereka.*Di depan cermin aku memindai wajah yang terlihat pucat. Apa tekanan darahku rendah lagi? Aku selalu minum vitamin dan makan pun tidak pernah terlambat. Atau, sekarang waktunya aku datang bulan? Tetapi perutku tidak sakit seperti biasanya, dan jadwalnya masih satu minggu lagi.Untuk memastikan aku ke toilet.Hmm… benar.Mungkin karena stres, jawal bulananku datang lebih awal.Ada flex berwarna kecoklatan. Warna yang terlihat tidak seperti biasanya, tapi mungkin saja ini
Suami yang kuat, kalau sakit manjany a melebihi bayi. Kebalikan dengan istri. Dia yang lembut, saat sakit justru menunjukkan sekuat wonder woman. Apalagi saat masih ada tanggung jawab yang berhubungan dengan suami atau anak-anak. Diana Prince si Wonder Woman pun kalah.Aku menangkup mulut mengurangi bau yang menyengat, menahan napas untuk mengurangi rasa tidak enak. Cepat-cepat aku mengambil tutup untuk menghentikan kepulan uap.Mata ini menilik jam di dinding. Masih ada waktu tiga jam sebelum kedatangan suamiku. Masih ada waktu untuk memulihkan diri.“Kak Amel, masakannya sudah siap. Yang di wadah ini untuk Papi, ya. Kalau Kakak ingin makan, ambil di panci yang besar ini.”Kebiasaanku. Setiap memasak selalu menyisihkan makanan pertama kali untuk suamiku. Terlebih, saat dia belum datang. Ini memang terlihat sepele. Tapi menurut wejangan Ibuku dulu, ini merupakan perwujudan menghormati suami sebagai kepala keluarga. Meletakkan dia di posisi yang utama.Suamipun saat mendapati ini, a
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan