“Kak Amel kenapa dari pagi diam saja? Ada masalah?’ tanyaku yang mendapati anak tiriku ini terdiam sambil melihat jendela mobil.Sikap tak biasa sedari tadi pagi berbuntut sampai sekarang. Dia biasanya kalau berdua denganku tidak henti bercerita, sekarang tidak ada terucap sepatah katapun. Wajahnya pun tidak menunjukkan keceriaan, justru terlihat tidak semangat dan seakan menyimpan beban.Kami dalam perjalanan ke sekolah Amelia, kemudian baru ke gallery. Aku ubah jalur, supaya ada waktu lebih lama bersamanya. Ini waktunya aku mengorek keterangan darinya.Dia menatapku sejenak, kemudian menggelengkan kepala. Sikap yang bukan kebiasaan Amelia yang cerewet.“Kak Amel, sakit?”Dia kembali menggeleng, kemudian menunduk sambil memainkan kuku-kuku jemari.Aku memberikan tatapan menyelidik, ada kesedihan sekaligus keraguan yang aku tangkap dari sorot matanya. Pasti ada yang tidak beres.“Kak, cerita sama Mama. Ada apa?” tanyaku sambil menangkup tangannya.Kemudian dia menatapku dengan ragu, d
“Ma, Amel penasaran saja. Pelajaran di sekolah bilang, kasih seorang ibu kepada anaknya tidak terbatas. Tapi, Amel tidak pernah merasakan itu. Apa karena terpisah sehingga Amel tidak mendapatkan cinta seperti di buku-buku itu?”Hati ini langsung terketuk dengan ungkapan polosnya. Di usianya yang sudah remaja, tergulir pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Rasa penasaran tidak menyurutkan keinginannya untuk mengetahui yang sebenarnya.“Kalau yang dikatakan peribahasa yang harus Amel hapal di sekolah itu benar, seharusnya Mami Dewi membawa Amel, bukan malah meninggalkan Amel bersama Papi dan Eyang. Iya kan, Ma?”Aku mengangguk sambil berpikir kata-kata yang tertepat untuk menjelaskan kepada Amelia. Ungkapan kritis dari anak seusianya, tidak akan terbungkam sampai mendapatkan jawaban yang masuk akal. Pasti ini menjadi masalah buat suamiku, dan berakhir dengn bentakan dan larangan. “Sayang, ada banyak alasan kenapa Papi dan Mami berpisah. Tetapi yang harus kamu ingat, kasih sa
Permintaan Amelia masih membuatku pusing, sekarang ditambah oleh Dewi-mantan Mas Suma sekaligus ibu kandung Amelia. Sebenarnya jengah juga berada di tengah-tengah masalah mereka. Resikonya, aku mendapat celaan dari suami, bahkan mertua. Padahal, ini kan masalah mereka.Huuft!Setelah tarik napas dan mengeluarkan secara perlahan, aku mengangkat panggilan telpon ini. Suara Dewi yang terdengar senang langsung menyambutku.”Selamat siang, Maharani. Maaf aku mengganggu kamu. Pasti kamu sedang sibuk bekerja atau lagi di rumah?”“Selamat siang juga, Mbak Dewi. Ini saya sedang di tempat kerja. Ada apa? Tumben?” tanyaku pura-pura tidak tahu maksudnya dia menghubungiku. Prediksiku pasti berhubungan tentang Amelia.“Gini, Ran. Aku kan menghubungi Amelia untuk liburan panjang di rumahku. Katanya, dia belum dikasih izin sama Kusuma. Makanya Amelia menelponku lagi untuk menghubungi kamu. Supaya bantu ngomong dengan Kusuma.”Tuh, kan benar. Pasti Dewi dan Amelia saling berhubungan. Aku juga harus ha
Sepertinya ibu kandung Amelia termasuk orang yang tidak peduli dengan pendapat orang lain, dan terlalu asyik dengan pikirannya sendiri. Apa yang aku jelaskan seperti terpental dan tidak masuk di otaknya. Dia tidak menimpali, justru mencurahkan isi hatinya.“Aku tuh ingin menebus hutang kasih sayang kepada Amelia, Ran. Ya jalan satu-satunya bersama, bukan hanya sekadar bertemu. Kadang tuh, kalau aku melihat anak-anakku sekarang, teringat tentang Amelia dulu. Aku tidak tahu perkembangan dia dari kecil sampai sekarang ini. Tolong dimengerti.”Aku mendesah pelan, mengerti perasaannya sebagai seorang ibu. Kita tidak bisa menanyaan kenapa dulu begini dan begitu. Lebih baik sekarang fokus baiknya bagaimana.“Mbak Dewi. Aku akan usahakan membantu bicara dengan Mas Suma. Tapi aku pesan, jangan libatkan Amelia dengan masalah pribadi Mbak Dewi dan papinya. Dalam artian, jangan sekali-kali mencari pembenaran atau menunjuk siapa yang salah. Kalau Mbak Dewi niatnya itu, fokus dengan memberi kasih s
“Hai, Sayang. Capek?” Aku merangkul Amelia yang baru datang. Dia terlihat berwajah kusut, mungkin karena kegiatan di sekolahnya.“Amelia pusing, Ma. Teman-teman itu, lo. Dikasih tugas tapi tidak dikerjakan. Kan Amelia gemes dan jengkel, ya.”Dia mengambil air minum dingin yang aku sodorkan. Kemudian mengikuti langkahku ke lantai atas. Sepanjang langkah menapaki tangga, dia berkeluh kesah tentang kerja panitia perpisahan. Kebetulan dia menjadi ketua seksi acara, jadi bertanggung jawab dan membawahi teman-temannya yang dia ceritakan itu.“Harusnya mereka tahu tugasnya kan, Ma. Amelia sudah jelaskan job deskripsinya. Anak ini tugasnya itu, dan yang lainnya apa. Eh, tetep saja tidak dikerjakan. Masak Amel harus cek terus. Padahal acaranya kurang satu minggu lagi,” celetuknya sambil menghempaskan bokong ke bangku kayu.Dia menselonjorkan kaki yang ditumpukan pada kursi kecil, kemudian memejamkan mata seperti menikmati angin yang bertiup memainkan anak-anak rambutnya.Aku tersenyum mendapat
Aku tersenyum lega setelah berbincang dengan Amelia. Tidak ada kekawatiran lagi kalau pertemuan dia dengan Dewi akan merubah sikapnya pada keluarga.Cinta dan kasih sayang tanpa diucapkan akan terpancar dengan sendirinya. Kemarahan yang timbul karena cintapun, akan diterima dengan terjemahan kasih sayang. Seperti sikap Mas Suma kepada putrinya. Walaupun sering menimbulkan kekesalan bahkan perselisihan, tapi dalam hati si anak menerima sebagai perwujudan kasih sayang.Sekarang yang harus aku pikirnya, bagaimana caranya bicara dengan Mas Suma. Sebenarnya, aku maju mundur untuk mengupayakan izin Amelia bertemu dengan Dewi. Namun, janji sudah terlanjur terucap dan mau tidak mau aku harus melakukannya.“Semoga berhasil ya, Ma. Amelia dukung dengan doa dari kamar,” bisiknya sambil mencium pipiku, setelah pamit masuk ke kamar.Sekarang, tertinggal aku dan Mas Suma yang menonton televisi. Berita bencana alam di beberapa daerah mengundang perhatian suamiku. Berkali-kali dia mengucapkan kata
Pemikiran laki-laki dan wanita itu berbeda. Laki-laki lebih ke logika dengan mengedepankan sebab akibat. Sedangkan wanita lebih bertumpu pada perasaan.Seperti pendapat Mas Suma. Secara logika kalau Amelia tidak mengenal Dewi sebagai seorang ibu dalam arti sesungguhnya, tidak mungkin Amelia mempunyai kerinduan untuk bertemu Dewi. Otak Amelia tidak ada memori sedikitpun tentang sosok seorang ibu. Yang dia kenal hanya Mas Suma sebagai papi dan Nyonya Besar adalah nenek yang melimpahi dia kasih sayang.“Yang Mas Suma katakan benar. Tapi semakin Amelia bertambah besar, pikirannya mulai bergulir dengan sendirinya. Apalagi lingkungan memperlihatkan ada ayah dan ada ibu. Dari situ dia berpikir, seharusnya aku mempunyai ibu. Kemana dia, kok tidak ada?”Mas Suma mulai mengalihkan pandangan dari layar televisi. Dia mengecilkan volume dan mengarahkan duduknya ke hadapanku, pertanda bersiap melakukan pembicaraan serius.Mendapat kesempatan, aku pun berujar kembali.“Amelia pernah curhat kepadaku.
Raut wajah Mas Suma menunjukkan kegusaran. Begitu juga aku yang semakin penasaran.Ternyata ada sesuatu yang dia sembunyikan tentang masa lalunya. Padahal dari awal kita sepakat untuk tidak menutupi apapun terutama tentang masa lalu. Ini supaya tidak ada kesalah pahaman.Sejujurnya, ada rasa kecewa di hati ini. Merasa dikhianati karena aku sudah mengupas tuntas tentang masa laluku. Kenapa dia justru ada yang sengaja tidak diceritakan?“Kita bicara di dalam kamar saja.”Mas Suma beranjak dari duduk dan menarik tangan ini, aku mengikuti dengan memendam rasa kesal dan kepala penuh pertanyaan.Suamiku mendorong tubuh ini masuk ke kamar, kemudian dia melongok ke luar seperti memastikan tidak ada orang. Kemudian perlahan dia menutup pintu dan menguncinya.Sebegitu rahasiakah, sampai dia melakukan ini semua. Aku duduk di tepi ranjang, bersiap mendengar penjelasannya.“Kamu kesal?” tanyanya setelah menarik kursi untuk duduk di depanku.Pasti dia mengerti apa yang kurasakan, dengan melihat waj