Yang ingin maraton baca cerbung yang tidak panjang, bisa cus langsung ke 'Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang lagi.' Cerita ini sebagai pengingat, bahwa ada orang yang berjasa yang mengambil kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh orangtua kita. Jadi, hormati dia, dan jangan dilupakan, apalagi disakiti.
“Kamar hotel..,” gumam Mas Suma lirih. “Iya, kamar hotel. Sekarang Mas Suma ingat, kan?” sahutku dengan melempar senyuman sinis. Pasti ingat, lah. Bagaimana rasanya pun pasti masih lekat di ingatan. Melihat dia yang terdiam termangu, aku semakin yakin kalau sekarang Mas Suma berpikir keras untuk mengingkarinya. Secepatnya aku beranjak dari duduk. Berlama-lama dengan penghianatan membuatku semakin mual. “Ran, tunggu!” ucapnya sembari mencekal tangan ini, dan aku pun terduduk kembali. “Apalagi sih, Mas?! Semua sudah jelas sekarang. Biarkan aku sendiri. Tenang saja, aku akan diam dan tidak membuat masalah yang menyebabkan nilai saham perusahaan turun. Aku bukan wanita yang ‘doyan’ dengan harta ataupun skandal!” seruku memberikan tatapan kebencian. “Tunggu sebentar. Darimana kamu mendapat cerita konyol ini? Aku tidak pernah melakukan seperti yang kamu tuduhkan!” ucapnya bersikukuh dengan tatapan terlihat serius. “Jawab, Ran. Darimana kamu tahu hal seperti itu!” Wajah dan tatapan Mas
Kukerjapkan mata berkali-kali mencoba mempercayai apa yang aku lihat. Mas Suma terkulai lemas didalam gulungan berwarna hitam kecoklatan. Matanya terpejam dengan kepala mendongak ke atas. Wajahnya meringis seakan menahan rasa sakit.Aku mengernyitkan dahi dan menajamkan penglihatanku. Gulungan itu bergerak dan terlihat kepala menyeringai ke arahku. Kepala dengan rambut berwarna merah, mendesis dan matanya menyorot tajam. Sontak aku terkejut dan menjerit, sekilas aku melihat Mas Suma yang tersengal-sengal.Tidak! Ini tidak boleh terjadi pada suamiku. Makhluk apa ini? Manusia bukan, ular pun bukan. Segera aku mencari senjata dan menyerangnya dengan menepis rasa takut. Yang ada di pikiranku hanya keselamatan Mas Suma. Bagaimana anak-anak kalau Mas Suma celaka? Aku tidak mau kedua balitaku kehilangan sosok ayah.Dengan menyingsingkan lengan baju, aku meraih tongkat dan menghujam tepat ke mulutnya yang sedang menyeringai. Seketika lilitannya melonggar, dan secepatnya aku menarik tangan Ma
Tanpa bekal dariku sebagai istri, Mas Suma kembali ke kota. Aku belum bisa memberikan nafkah batin sebelum semuanya jelas. Hati ini belum iklas mendapatkan sentuhannya, apalagi di kepala ini masih mencatat kalau dia sudah menyentuh wanita lain. Memang, sopir Mas Suma datang pagi-pagi memberikan penjelasan sebagai saksi. Namun, itu tidak mewakili kejadian seutuhnya. Dia hanya tahu setelah semuanya terjadi. “Sa-saya datang ke kamar saat Tuan Kusuma sudah tidur di ranjang. Dan, orang-orang itu sudah bersiap pergi.” Itu yang dikatakan setelah aku mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Sebenarnya bisa saja aku menunjukkan foto mesra itu, tapi semarah-marahnya aku, tidak mungkin menurunkan harga diri suamiku. Kalau orang lain tahu tentang foto ini, bukankah akan menimbulkan gosip skandal yang hanya merugikan keluargaku saja. “Sudah percaya dengan saya, kan? Kalau ada komplotan yang berniat menjebak dan merusak nama baikku?” ucap Mas Suma setelah bersiap akan pergi. Aku menarik kedua uju
“Mama! Mama kenapa nangis!?” Suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Amelia berdiri di tengah pintu sambil menatap kami dengan penuh pertanyaan. Segera aku sembunyikan wajah dan hapus air mata, kemudian menghampirinya. Dia masih memberikan tatapan menyelidik dengan kening berkerut. “Mama menangis?” “Tidak, Sayang. Mata Mama cuma kena kemasukan serangga di luar tadi. Kak Wisnu yang bantu__” “Tuh, matanya Mama merah dan ada airnya,” ucapnya memotong penjelasanku, kemudian dia meraba pipiku yang masih terasa lembab karena air mata. Aku tersenyum sambil mengusap rambutnya. Sama dengan Wisnu, dia mempunyai kenangan buruk tentang pernikahan Mas Suma dan Maminya. Lebih baik aku menyembunyikan masalah ini darinya. Kalau dia mendengar ada yang mengusik pernikahan kami, bisa jadi anak ini terluka. Apalagi, satu alasan kuat terjadinya penikahanku dengan Mas Suma adalah memberi keluarga yang utuh untuk Amelia. “Mama nangis, Mel,” seru Wisnu dari tempat duduknya. Sontak aku kaget dan sege
POV KUSUMA “Baiklah. Jaga anak-anak, ya. Doakan semua masalah selesai dengan baik,” ucapku sembari mengecup keningnya. Dia mengangguk, tapi aku mengerti sikapnya hanya sekadar untuk menenangkanku. Maharani istriku ini memang berhati keras kalau ada sesuatu yang belum di terima di otaknya. Aku sadar, kalau aku di posisinya pun, mungkin aku akan bersikap seperti itu. Bahkan, bisa jadi lebih. “Maaf Tuan, apakah yang saya katakan ke Nyonya salah? Sa-saya kawatir justru membuat Nyonya semakin marah.” Sopirku menoleh sekilas ke belakang, pasti dia ini karena melihat reaksi istriku yang tanpa senyuman tadi. Dia dicecar berbagai pertanyaan, dan berakhir dengan rasa tidak puas. Itu yang aku tangkap dari raut wajah Maharani. “It’s OK. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Tapi ingat yang saya katakan sebelumnya. Jangan sekali-sakali peristiwa ini bocor! Ini masih dalam tahap penyelidikan. Mengerti?” “Siap, Tuan Kusuma.” Tujuanku sekarang bertemu Pak Tiok. Hanya dia yang bisa aku percaya dan
“Mereka bilang, CCTV sudah bisa dilihat. Kita berangkat sekarang?” Ucapan yang membuatku senang seketika. Ini berarti aku bisa menunjukkan kepada istriku kalau tidak ada peristiwa perselingkuhan yang seperti dituduhkan. “Terima kasih, Pak Tiok. Kamu memang sahabat yang bisa diandalkan!” ucapku sambil menepuk punggungnya dengan lega. ‘Hmm…sebentar lagi aku bisa menangkap pelaku penipuan ini.’ “Tapi ….” Ucapannya menggantung dan membuat langkahku berhenti. “Kenapa?” “Ada beberapa bagian yang hilang. Tapi, tak apalah. Kita lihat dulu,” serunya kemudian melangkah dan aku mengikutinya. * Pihak hotel menyatakan kalau yang bisa dia berikan hanya rekaman di lobby, dan di depan pintu kamar. Sedangkan di dalam kamar, memang tidak ada kamera karena ini menyangkut privasi pelanggan. Aku mengerti, sih. Namun, dengan begini aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Setelah menerima rekaman, kami menuju rumah. Keadaanku yang kalut ini, membuatku tidak bisa bekerja. Aku harus menyelesaikann
Seketika aku mengenyit sambil tersenyum tersipu. ‘Segitu kangennyakah dia padaku? Ternyata kerinduanku tersambut.’ “Berarti kita hanya berdua saja?” tanya Mas Suma sembari melepas kancing lengan dan menggulungnya sampai siku. Tanpa melihat ke arahku, dia duduk di kursi dan membuka laptop. Aku memperhatikan apa yang dilakukan, ketika dia mengambil flash disk dari kantong saku celana. “Ini rekaman CCTV yang pasti membuatmu percaya kalau aku suami yang setia,” ucapnya lagi dengan perhatian ke layar laptop yang sudah menyala. Ternyata, dia menyeretku masuk ke kamar dengan tergesa untuk ini. Senyumku terbit dengan sendirinya dengan kedua pipiku yang menghangat. Aku pikir dia sudah tidak sabar untuk berduaan denganku. Namun, apa yang diupayakan tidak kalah manisnya. Dia berusaha untuk tetap mendapatkan kepercayaan utuh dariku. Apalagi kalau bukan alasan cinta dan tidak mau berpisah denganku. Iya, kan? “Ran …. Kamu kok diem saja dari tadi? Ini aku mendapatkan bersama Pak Tiok. Apa dia s
“Mas Suma, perutnya bunyi. Laper, ya?” bisikku sembari mendongakkan kepala. Berusaha melepaskan diri dari kungkungan yang menenggelamkan aku di dadanya yang masih lembab karena keringat. Sebenarnya aku masih merasa nyaman mengurai rasa lelah yang mendera sembari menyesap bau keringatnya. Namun, protes yang keluar dari perut suamiku ini menandakan dia belum sempat makan dan terburu dengan menyambut niatku yang sudah mematik hasratnya. Bukannya menjawab, dia justru menyambutku dengan ciuman. Menenggelamkan diri ini pada sentuhannya yang begitu dalam, dan bergelung berdua di balik selimut. Seakan masih tersisa dahaga, akupun ikut terhanyut dengan senyuman. Setelah tadi aku berkata jujur kalau sebenarnya yang aku katakan hanya sekadar alasan, tanpa buang waktu dia melepas hasrat yang tertahan. “Kamu nakal, ya. Ngerjain aku sampai kepala ini pusing. Sekarang, kamu harus terima hukumannya,” bisiknya dan kujawab dengan kerlingan mata. Rasa rindu dan akibat kesal yang mendera beberapa wak
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan