Dewi Larasati, perempuan asli Solo, merupakan Sarjana Ekonomi yang banyak berkutat dengan teori. Apalagi, Larasati terlahir di keluarga yang berprofesi sebagai pengajar. Teori menjadi senjata utamanya sebagai konsultan bisnis. Namun, dia seperti melihat dunia yang berbeda saat bertemu dengan Jazil Ehsan. Tukang kayu yang merambah menjadi pengusaha itu terlihat ndeso dan punya pandangan menarik tentang segala hal. Bagaimana kisah antara Boss Ndeso dan Konsultan Bisnis Cerdas ini? . . Ikuti cerita ini di: KEPINCUT BOSS NDESO
“Mama! Mama kenapa nangis!?” Suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Amelia berdiri di tengah pintu sambil menatap kami dengan penuh pertanyaan. Segera aku sembunyikan wajah dan hapus air mata, kemudian menghampirinya. Dia masih memberikan tatapan menyelidik dengan kening berkerut. “Mama menangis?” “Tidak, Sayang. Mata Mama cuma kena kemasukan serangga di luar tadi. Kak Wisnu yang bantu__” “Tuh, matanya Mama merah dan ada airnya,” ucapnya memotong penjelasanku, kemudian dia meraba pipiku yang masih terasa lembab karena air mata. Aku tersenyum sambil mengusap rambutnya. Sama dengan Wisnu, dia mempunyai kenangan buruk tentang pernikahan Mas Suma dan Maminya. Lebih baik aku menyembunyikan masalah ini darinya. Kalau dia mendengar ada yang mengusik pernikahan kami, bisa jadi anak ini terluka. Apalagi, satu alasan kuat terjadinya penikahanku dengan Mas Suma adalah memberi keluarga yang utuh untuk Amelia. “Mama nangis, Mel,” seru Wisnu dari tempat duduknya. Sontak aku kaget dan sege
POV KUSUMA “Baiklah. Jaga anak-anak, ya. Doakan semua masalah selesai dengan baik,” ucapku sembari mengecup keningnya. Dia mengangguk, tapi aku mengerti sikapnya hanya sekadar untuk menenangkanku. Maharani istriku ini memang berhati keras kalau ada sesuatu yang belum di terima di otaknya. Aku sadar, kalau aku di posisinya pun, mungkin aku akan bersikap seperti itu. Bahkan, bisa jadi lebih. “Maaf Tuan, apakah yang saya katakan ke Nyonya salah? Sa-saya kawatir justru membuat Nyonya semakin marah.” Sopirku menoleh sekilas ke belakang, pasti dia ini karena melihat reaksi istriku yang tanpa senyuman tadi. Dia dicecar berbagai pertanyaan, dan berakhir dengan rasa tidak puas. Itu yang aku tangkap dari raut wajah Maharani. “It’s OK. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Tapi ingat yang saya katakan sebelumnya. Jangan sekali-sakali peristiwa ini bocor! Ini masih dalam tahap penyelidikan. Mengerti?” “Siap, Tuan Kusuma.” Tujuanku sekarang bertemu Pak Tiok. Hanya dia yang bisa aku percaya dan
“Mereka bilang, CCTV sudah bisa dilihat. Kita berangkat sekarang?” Ucapan yang membuatku senang seketika. Ini berarti aku bisa menunjukkan kepada istriku kalau tidak ada peristiwa perselingkuhan yang seperti dituduhkan. “Terima kasih, Pak Tiok. Kamu memang sahabat yang bisa diandalkan!” ucapku sambil menepuk punggungnya dengan lega. ‘Hmm…sebentar lagi aku bisa menangkap pelaku penipuan ini.’ “Tapi ….” Ucapannya menggantung dan membuat langkahku berhenti. “Kenapa?” “Ada beberapa bagian yang hilang. Tapi, tak apalah. Kita lihat dulu,” serunya kemudian melangkah dan aku mengikutinya. * Pihak hotel menyatakan kalau yang bisa dia berikan hanya rekaman di lobby, dan di depan pintu kamar. Sedangkan di dalam kamar, memang tidak ada kamera karena ini menyangkut privasi pelanggan. Aku mengerti, sih. Namun, dengan begini aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Setelah menerima rekaman, kami menuju rumah. Keadaanku yang kalut ini, membuatku tidak bisa bekerja. Aku harus menyelesaikann
Seketika aku mengenyit sambil tersenyum tersipu. ‘Segitu kangennyakah dia padaku? Ternyata kerinduanku tersambut.’ “Berarti kita hanya berdua saja?” tanya Mas Suma sembari melepas kancing lengan dan menggulungnya sampai siku. Tanpa melihat ke arahku, dia duduk di kursi dan membuka laptop. Aku memperhatikan apa yang dilakukan, ketika dia mengambil flash disk dari kantong saku celana. “Ini rekaman CCTV yang pasti membuatmu percaya kalau aku suami yang setia,” ucapnya lagi dengan perhatian ke layar laptop yang sudah menyala. Ternyata, dia menyeretku masuk ke kamar dengan tergesa untuk ini. Senyumku terbit dengan sendirinya dengan kedua pipiku yang menghangat. Aku pikir dia sudah tidak sabar untuk berduaan denganku. Namun, apa yang diupayakan tidak kalah manisnya. Dia berusaha untuk tetap mendapatkan kepercayaan utuh dariku. Apalagi kalau bukan alasan cinta dan tidak mau berpisah denganku. Iya, kan? “Ran …. Kamu kok diem saja dari tadi? Ini aku mendapatkan bersama Pak Tiok. Apa dia s
“Mas Suma, perutnya bunyi. Laper, ya?” bisikku sembari mendongakkan kepala. Berusaha melepaskan diri dari kungkungan yang menenggelamkan aku di dadanya yang masih lembab karena keringat. Sebenarnya aku masih merasa nyaman mengurai rasa lelah yang mendera sembari menyesap bau keringatnya. Namun, protes yang keluar dari perut suamiku ini menandakan dia belum sempat makan dan terburu dengan menyambut niatku yang sudah mematik hasratnya. Bukannya menjawab, dia justru menyambutku dengan ciuman. Menenggelamkan diri ini pada sentuhannya yang begitu dalam, dan bergelung berdua di balik selimut. Seakan masih tersisa dahaga, akupun ikut terhanyut dengan senyuman. Setelah tadi aku berkata jujur kalau sebenarnya yang aku katakan hanya sekadar alasan, tanpa buang waktu dia melepas hasrat yang tertahan. “Kamu nakal, ya. Ngerjain aku sampai kepala ini pusing. Sekarang, kamu harus terima hukumannya,” bisiknya dan kujawab dengan kerlingan mata. Rasa rindu dan akibat kesal yang mendera beberapa wak
Hubungan kami seakan menjadi baru kembali. Seperti dahan yang pernah patah, sekarang tumbuh tunas-tunas baru yang menandakan cinta kami tak lekang karena masalah yang mengharu biru. Bahkan, Mas Suma memberi instruksi ke kantor untuk tidak menghubunginya selama satu minggu. Kecuali dalam keadaan terpaksa tentunya. “Apa ini tidak apa-apa? Bukankah perusahaan lagi membutuhkan kehadiran Mas Suma?” ucapku melayangkan protes terhadap tindakannya. Membayangkan ini berakibat pada kehidupan para karyawan, aku tidak tega. Mereka sudah mempunyai keluarga yang kebutuhan sehari-harinya tidak bisa ditangguhkan. Iya kalau suamiku karyawan biasa, tinggal minta izin dengan resiko potong gaji. Sedangkan Mas Suma pemilik sekaligus pimpinan yang istilahnya berkedip saja, bisa mengakibatkan masalah besar. “Ran. Kalau melihat mana yang penting, semuanya penting dan membutuhkan kehadiranku. Tapi, sekarang kelangsungan keluargakulah yang menjadi prioritas. Aku tidak mau menua dan tenggelam pada pekerjaan.
Aku tidak bisa melepaskan diri dari Mas Suma. Seharian dia membersamaiku, entah saat bersama anak-anak, di kamar, bahkan dia pun ikut sibuk saat aku di dapur.“Ternyata memasak itu menyenangkan, ya? Aku siap membantumu,” ucapnya sambil memotong sayuran.Keberadaannya bukannya mempercepat pekerjaanku, dia justru membuatku terhambat. Bagaimana tidak, dia memotong kacang panjang dengan membawa penggaris. Katanya biar hasilnya presisi. Belum lagi, mengupas bawang merah dan membersihkan cabai menggunakan kaca mata hitam. Demi keamanan, katanya.Huuft, bikin kesal saja.Belum kalau sudah mulai merecoki di depan kompor. Katanya ingin membantu mengaduk tumisan. Bukannya sibuk dengan spatula, justru dia asyik menggangguku. Entah dengan mencolek, memeluk, bahkan mencium.Beberapa kali, mbak asisten yang biasa membantuku akan mendekat. Namun urung karena keberadaan Mas Suma ini. Kalau seperti ini, bisa jadi kami kelaparan karena masakan tidak cepat matang.“Mas Suma duduk aja sana. Ini bisa goso
Suamiku ini memang mempunyai sikap yang memaksa dan susah untuk dibantah. Seringkali bersikap konyol dan membuat hati ini menjadi kesal. Ya, memang itu bawaan dia, dan aku sudah mengetahuinya semenjak sebelum pernikahan. Walaupun, dibalik sikapnya itu terselip sisi romantis yang membuat hati ini menghangat. Juga, bukankah pernikahan kami juga terjadi karena sikapnya yang tidak terbantahkan. Kalau tidak, aku yang seorang penuh kebimbangan tidak akan bisa membulatkan tekad untuk berbahagia dengannya. Aku bisa bernapas lega saat Wisnu sudah kembali dari kelurahan dan membawa bahan diskusi untuk dibicarakan. Karena ada Mas Suma, dia lebih banyak bicara dengan papi sambungnya itu. “Ini lebih ke pemasaran, Pi. Jadi Wisnu minta saran Papi saja, deh,” ucap Wisnu mencegah niat Mas Suma beranjak dari tempat duduk. Kalau sudah diminta untuk bicara, Mas Suma pasti melakukan dengan senang hati. Dia paling suka berbagi ilmu dan pengetahuan, terutama kepada Wisnu. “Berbagi ilmu dengannya, sama