Tidak bosan-bosannya saya mengatakan ini, "Terima kasih sudah membaca kisah Maharani dan Tuan Kusuma. Ternyata mempertahankan pernikahan membutuhkan upaya yang lebih."
Kukerjapkan mata berkali-kali mencoba mempercayai apa yang aku lihat. Mas Suma terkulai lemas didalam gulungan berwarna hitam kecoklatan. Matanya terpejam dengan kepala mendongak ke atas. Wajahnya meringis seakan menahan rasa sakit.Aku mengernyitkan dahi dan menajamkan penglihatanku. Gulungan itu bergerak dan terlihat kepala menyeringai ke arahku. Kepala dengan rambut berwarna merah, mendesis dan matanya menyorot tajam. Sontak aku terkejut dan menjerit, sekilas aku melihat Mas Suma yang tersengal-sengal.Tidak! Ini tidak boleh terjadi pada suamiku. Makhluk apa ini? Manusia bukan, ular pun bukan. Segera aku mencari senjata dan menyerangnya dengan menepis rasa takut. Yang ada di pikiranku hanya keselamatan Mas Suma. Bagaimana anak-anak kalau Mas Suma celaka? Aku tidak mau kedua balitaku kehilangan sosok ayah.Dengan menyingsingkan lengan baju, aku meraih tongkat dan menghujam tepat ke mulutnya yang sedang menyeringai. Seketika lilitannya melonggar, dan secepatnya aku menarik tangan Ma
Tanpa bekal dariku sebagai istri, Mas Suma kembali ke kota. Aku belum bisa memberikan nafkah batin sebelum semuanya jelas. Hati ini belum iklas mendapatkan sentuhannya, apalagi di kepala ini masih mencatat kalau dia sudah menyentuh wanita lain. Memang, sopir Mas Suma datang pagi-pagi memberikan penjelasan sebagai saksi. Namun, itu tidak mewakili kejadian seutuhnya. Dia hanya tahu setelah semuanya terjadi. “Sa-saya datang ke kamar saat Tuan Kusuma sudah tidur di ranjang. Dan, orang-orang itu sudah bersiap pergi.” Itu yang dikatakan setelah aku mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Sebenarnya bisa saja aku menunjukkan foto mesra itu, tapi semarah-marahnya aku, tidak mungkin menurunkan harga diri suamiku. Kalau orang lain tahu tentang foto ini, bukankah akan menimbulkan gosip skandal yang hanya merugikan keluargaku saja. “Sudah percaya dengan saya, kan? Kalau ada komplotan yang berniat menjebak dan merusak nama baikku?” ucap Mas Suma setelah bersiap akan pergi. Aku menarik kedua uju
“Mama! Mama kenapa nangis!?” Suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Amelia berdiri di tengah pintu sambil menatap kami dengan penuh pertanyaan. Segera aku sembunyikan wajah dan hapus air mata, kemudian menghampirinya. Dia masih memberikan tatapan menyelidik dengan kening berkerut. “Mama menangis?” “Tidak, Sayang. Mata Mama cuma kena kemasukan serangga di luar tadi. Kak Wisnu yang bantu__” “Tuh, matanya Mama merah dan ada airnya,” ucapnya memotong penjelasanku, kemudian dia meraba pipiku yang masih terasa lembab karena air mata. Aku tersenyum sambil mengusap rambutnya. Sama dengan Wisnu, dia mempunyai kenangan buruk tentang pernikahan Mas Suma dan Maminya. Lebih baik aku menyembunyikan masalah ini darinya. Kalau dia mendengar ada yang mengusik pernikahan kami, bisa jadi anak ini terluka. Apalagi, satu alasan kuat terjadinya penikahanku dengan Mas Suma adalah memberi keluarga yang utuh untuk Amelia. “Mama nangis, Mel,” seru Wisnu dari tempat duduknya. Sontak aku kaget dan sege
POV KUSUMA “Baiklah. Jaga anak-anak, ya. Doakan semua masalah selesai dengan baik,” ucapku sembari mengecup keningnya. Dia mengangguk, tapi aku mengerti sikapnya hanya sekadar untuk menenangkanku. Maharani istriku ini memang berhati keras kalau ada sesuatu yang belum di terima di otaknya. Aku sadar, kalau aku di posisinya pun, mungkin aku akan bersikap seperti itu. Bahkan, bisa jadi lebih. “Maaf Tuan, apakah yang saya katakan ke Nyonya salah? Sa-saya kawatir justru membuat Nyonya semakin marah.” Sopirku menoleh sekilas ke belakang, pasti dia ini karena melihat reaksi istriku yang tanpa senyuman tadi. Dia dicecar berbagai pertanyaan, dan berakhir dengan rasa tidak puas. Itu yang aku tangkap dari raut wajah Maharani. “It’s OK. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Tapi ingat yang saya katakan sebelumnya. Jangan sekali-sakali peristiwa ini bocor! Ini masih dalam tahap penyelidikan. Mengerti?” “Siap, Tuan Kusuma.” Tujuanku sekarang bertemu Pak Tiok. Hanya dia yang bisa aku percaya dan
“Mereka bilang, CCTV sudah bisa dilihat. Kita berangkat sekarang?” Ucapan yang membuatku senang seketika. Ini berarti aku bisa menunjukkan kepada istriku kalau tidak ada peristiwa perselingkuhan yang seperti dituduhkan. “Terima kasih, Pak Tiok. Kamu memang sahabat yang bisa diandalkan!” ucapku sambil menepuk punggungnya dengan lega. ‘Hmm…sebentar lagi aku bisa menangkap pelaku penipuan ini.’ “Tapi ….” Ucapannya menggantung dan membuat langkahku berhenti. “Kenapa?” “Ada beberapa bagian yang hilang. Tapi, tak apalah. Kita lihat dulu,” serunya kemudian melangkah dan aku mengikutinya. * Pihak hotel menyatakan kalau yang bisa dia berikan hanya rekaman di lobby, dan di depan pintu kamar. Sedangkan di dalam kamar, memang tidak ada kamera karena ini menyangkut privasi pelanggan. Aku mengerti, sih. Namun, dengan begini aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Setelah menerima rekaman, kami menuju rumah. Keadaanku yang kalut ini, membuatku tidak bisa bekerja. Aku harus menyelesaikann
Seketika aku mengenyit sambil tersenyum tersipu. ‘Segitu kangennyakah dia padaku? Ternyata kerinduanku tersambut.’ “Berarti kita hanya berdua saja?” tanya Mas Suma sembari melepas kancing lengan dan menggulungnya sampai siku. Tanpa melihat ke arahku, dia duduk di kursi dan membuka laptop. Aku memperhatikan apa yang dilakukan, ketika dia mengambil flash disk dari kantong saku celana. “Ini rekaman CCTV yang pasti membuatmu percaya kalau aku suami yang setia,” ucapnya lagi dengan perhatian ke layar laptop yang sudah menyala. Ternyata, dia menyeretku masuk ke kamar dengan tergesa untuk ini. Senyumku terbit dengan sendirinya dengan kedua pipiku yang menghangat. Aku pikir dia sudah tidak sabar untuk berduaan denganku. Namun, apa yang diupayakan tidak kalah manisnya. Dia berusaha untuk tetap mendapatkan kepercayaan utuh dariku. Apalagi kalau bukan alasan cinta dan tidak mau berpisah denganku. Iya, kan? “Ran …. Kamu kok diem saja dari tadi? Ini aku mendapatkan bersama Pak Tiok. Apa dia s
“Mas Suma, perutnya bunyi. Laper, ya?” bisikku sembari mendongakkan kepala. Berusaha melepaskan diri dari kungkungan yang menenggelamkan aku di dadanya yang masih lembab karena keringat. Sebenarnya aku masih merasa nyaman mengurai rasa lelah yang mendera sembari menyesap bau keringatnya. Namun, protes yang keluar dari perut suamiku ini menandakan dia belum sempat makan dan terburu dengan menyambut niatku yang sudah mematik hasratnya. Bukannya menjawab, dia justru menyambutku dengan ciuman. Menenggelamkan diri ini pada sentuhannya yang begitu dalam, dan bergelung berdua di balik selimut. Seakan masih tersisa dahaga, akupun ikut terhanyut dengan senyuman. Setelah tadi aku berkata jujur kalau sebenarnya yang aku katakan hanya sekadar alasan, tanpa buang waktu dia melepas hasrat yang tertahan. “Kamu nakal, ya. Ngerjain aku sampai kepala ini pusing. Sekarang, kamu harus terima hukumannya,” bisiknya dan kujawab dengan kerlingan mata. Rasa rindu dan akibat kesal yang mendera beberapa wak
Hubungan kami seakan menjadi baru kembali. Seperti dahan yang pernah patah, sekarang tumbuh tunas-tunas baru yang menandakan cinta kami tak lekang karena masalah yang mengharu biru. Bahkan, Mas Suma memberi instruksi ke kantor untuk tidak menghubunginya selama satu minggu. Kecuali dalam keadaan terpaksa tentunya. “Apa ini tidak apa-apa? Bukankah perusahaan lagi membutuhkan kehadiran Mas Suma?” ucapku melayangkan protes terhadap tindakannya. Membayangkan ini berakibat pada kehidupan para karyawan, aku tidak tega. Mereka sudah mempunyai keluarga yang kebutuhan sehari-harinya tidak bisa ditangguhkan. Iya kalau suamiku karyawan biasa, tinggal minta izin dengan resiko potong gaji. Sedangkan Mas Suma pemilik sekaligus pimpinan yang istilahnya berkedip saja, bisa mengakibatkan masalah besar. “Ran. Kalau melihat mana yang penting, semuanya penting dan membutuhkan kehadiranku. Tapi, sekarang kelangsungan keluargakulah yang menjadi prioritas. Aku tidak mau menua dan tenggelam pada pekerjaan.