Kedua orang tua Nia tertegun melihat sosok pria dewasa yang baru hari ini mereka temui. Tampak sekali kalau dia bukan pria biasa yang sering mereka jumpai di kampungnya. Cara berpakaiannya menunjukkan kalau dia bukan pria sembarangan, apalagi wajahnya terlihat tegas dan berwibawa.“Ayah, gimana keadaannya?” tanya Nia memecah kesunyian diantara empat orang yang saling terdiam untuk beberapa saat.Sang Ayah mengalihkan pandangan pada Nia namun hanya pandangan sesaat. Lalu menoleh pada Bara seolah meminta penjelasan pada sang putri.“Mohon maaf sebelumnya, Pak, atas kelancangan saya.” Bara memulai menyapa sang calon mertua. Mungkin untuk beberapa kesempatan dia sering kali menjumpai orang baru, namun kali ini dia juga merasa ada kecemasan tersendiri kalau kedua orang tua Nia tidak menyetujui keinginannya.“Pak ...!” Nia mendesah pelan seakan meminta agar Bara tidak mengatakannya dulu tampak dari gelengan Nia pada Bara.Mengabaikan ucapan Nia. Mungkin sekarang saatnya Bara akan bicara kep
Maria menyusul suaminya masuk ke dalam kamar, hatinya juga di rundung ketakutan. Bagaimana tidak, dia baru saja menemukan sisi lain dari sang suami yang tanpa dia ketahui. Selama ini pria itu selalu menampilkan kesabaran pada setiap orang namun hari ini terasa sangat berbeda.“Yah, kenapa sih?” tanya Elina lembut mengusap-ngusap lembut pria yang sudah menemaninya hampir dua puluh lima tahunan terakhir.Yusuf Wibowo, sang suami hanya menghela napas berat tanpa mau bersuara. Pikirannya masih melayang ke masa lalunya yang tidak ada seorang pun tahu.“Kalau Ayah tidak mau cerita, Bunda akan hormati keputusan Ayah,” kata Maria. “Cuman, saya Bunda lihat dari sosok Bara, kelihatannya orangnya baik. Buktinya dia mau datang kemari dan mengutarakan keinginannya dengan kita.”Yusuf memandang sang istri yang tersenyum lembut. Maria memang sosok wanita lembut hingga Yusuf jatuh ke dalam pelukan wanita yang dulu sempat dia abaikan.Sebelum bertemu dengan Maria, Yusuf pernah menjalin hubungan dengan
“Yah, jangan becanda deh!” tegur Nia pada sang Ayah. “Pak Bara itu habis sakit, dan dia butuh pemulihan. Ayah malah kasih tantangan yang berat seperti itu.”“Sudah, kamu diam saja,” putus sang Ayah. “Ayah cuman mau lihat apa dia benar-benar mencintai kamu seperti yang dia omongkan. Kalau hanya omongan saja sih, Ayah gak bakal percaya.”“Ayah tidak tahu saja kalau dia sebenarnya tidak mencintaiku, pria itu hanya iseng saja dengan putrimu ini,” batin Nia.Nia menghela napas sesaat sebelum mengatakan. “Yah, bukannya begitu hanya saja ....” Nia menjeda ucapannya. “Aku juga yang repot kalau dia sakit karena pasti aku yang kan merawatnya,” ucap Nia yang hanya bisa dikatakan dalam hati di akhir kalimatnya.“Hanya saja apa, Nia?”Nia kelagapan mendengar pertanyaan sang Ayah yang meminta kelanjutannya. Akan tetapi Nia juga tidak mau jujur, apa kata sang Ayah kalau dia bekerja sebagai pembantu Rektor itu. Belum-belum pasti sang Ayah sudah mengusirnya jauh-jauh.“Nia ...!” panggil Yusuf seolah m
“Yah, mana Nia-nya?”“Tuh, lihat anak kamu, Bun!” Yusuf mengarahkan jari telunjuknya ke arah sepasang pria dan wanita sedang tarik menarik bahkan Nia tidak segan untuk memeluk tubuh Bara untuk menuju ke tepi sawah.“Lha, ngapain mereka berdua,” gumam Maria menatap binggung sang putri dan pria yang bakal menjadi menantunya itu.“Sepertinya anak kamu itu sudah cinta banget sama pria itu, Bun!” celoteh Yusuf dengan wajah yang sulit diartikan. Mendapati sang putri yang bersikap seperti itu mendadak Yusuf diliputi pikiran jahat. Kalau di depannya saja bisa seperti itu apalagi di belakangnya.“Tidak, tidak. Nia tidak mungkin melakukan hal yang bisa mencorengkan nama baik keluarga!” ucap Yusuf sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.Maria bisa melihat gerakan kepala sang suami “Apaan Ayah ini!”“Mereka gak lagi bohongin kita kan, Bun!”“Bohong apaan, Yah?” Maria memperjelas ucapan suami yang membuat tidak paham.Yusuf terdiam sesaat lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan
“Ayah sih, sudah aku bilangkan kalau Pak Bara itu habis sakit, butuh pemulihan!” sungut Nia menatap kesal pada sang Ayah. “Tapi Ayah gak mau dengar!”Namun dengan santainya Yusuf melirik Bara dan mengatakan, “Halah, cuman berdarah gitu aja kamu koq panik!”Kekesalan Nia memuncak ternyata Ayahnya itu tampak tidak merasa bersalah sama sekali.“Ayah!” teriak Nia geram. Hampir saja tangannya bergerak untuk mencubit lengan sang Ayah, ketika tatapan Bara menghentikannya. “Sudah, aku gak papa koq. Jangan khawatir begitu deh.”Sontak suara lembut Bara membuat beberapa pengunjung puskesmas menoleh ke arahnya. Bara memang bisa jadi sesuai keinginannya. Kadang baik, kadang lembut, kadang jahat, kadang dingin dan kadang egois.Tidak lagi berada di sawah, keluarga ini sekarang berada di puskesmas desa. Setelah membersihkan badan Bara yang kotor, Nia tanpa persetujuan langsung membawa Bara menuju ke puskesmas.“Tuh, kamu dengar sendiri kalau Bara tidak apa-apa,” tegas Yusuf sambil menampilkan senyu
“Kalau kalian mau melanjutkan ke hubungan pernikahan, silakan ajukan permohonan ke pengadilan agama!” ucap Yusuf tiba-tiba.Saat ini mereka semua sedang berada di ruang tamu, usai makan malam. Yusuf sebenarnya seorang yang penyabar entah dia mendadak berubah menjadi kejam tadi. “Ayah!” Nia mendesah pelan.Yusuf mengangguk seraya tersenyum mengembang menatap Bara dan Nia bergantian. “Ayah restui kalian!”Nia berdiri dan berhambur ke dalam pelukan pria yang sudah membesarkannya hingga menjadi remaja seperti ini. Tangisnya mendadak pecah melihat orang tuanya yang tersenyum lebar, tampak kebahagiaan terpancar di sana.Sambil menepuk punggung sang putri, Yusuf membisikan kata-kata. “Jadilah istri yang baik dan nurut sama suami, selama tidak bertentangan dengan agama!”Yusuf merasa sudah cukup memberi tantangan pada Bara. Melihat kesungguhan pria itu, dia sungguh beruntung kalau Nia bisa menikah dengannya. Sopan, tampan, kaya dan juga profesinya yang sangat menjanjikan untuk kelangsungan h
Semalam setelah obrolan di ruang tengah, persetujuan pernikahan Nia dan Bara. Mereka semua membubarkan diri. Akan tetapi insiden kecil terjadi hingga Bara terluka lagi. Beruntung lukanya sudah langsung ditangani oleh Nia dan dibantu sang Ayah.Dan pagi ini rencana Bara akan pulang menjemput orang tuanya untuk melamar Nia secara keluarga. Pagi-pagi benar Alif sudah siap untuk mengantar sang Rektor pulang.“Bapak hati-hati ya,” pesan Nia pada Bara yang membantu masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu pandangan Nia tertuju pada sang asisten tak lupa juga gadis itu memberi pesan untuknya.“Pak Alif, hati-hati ya, nyetirnya,” ucap Amara tersenyum dengan sopan.Alif mengangguk secara mengangkat ibu jarinya. “Beres, Bu Rektor!”Nia masih menatapi mobil Bara hingga menghilang dari pandangannya. Tiba-tiba suara sang Ayah terdengar dari belakang.“Apa kamu yakin dia akan kembali?”Nia menoleh dan menatap tanda tanya pada sang Ayah, bukannya sudah dibicarakan sebelumnya kalau Bara dan keluarganya a
[Nia ...!] teriaknya. [Aduh, kapan sih kamu mau masuk kuliah? Aku kangen banget sama kamu, lho.]Suara Tina memekik telinga Nia hingga refleks ia menjauhkan dari telinganya untuk beberapa detik.“Tin, sadar gak sih, telinga aku hampir copot denger suara kamu yang jempreng itu,” omel Nia. “Sabar ya, mungkin minggu depan aku masuk setelah bicara sama Pak Bara.”[Memang, Pak Bara sudah sembuh lukanya?]“Iya, sudah mengering juga sih. Tinggal pemulihan saja.”[Nia, kita ketemuan yuk, aku sudah kangen sama kamu nih!]“Jangan sekarang ya, aku lagi di kampung nih.”[Lho, terus Pak Bara sama siapa? Sendirian?]“Enggak, Mamanya datang dari Singapura,” jawab Nia.[Oh. Btw, kamu ada apa koq tumben pulang kampung?]Nia masih terdiam. Binggung harus menjawab apa. Selama ini memang mereka dekat, tapi untuk yang satu ini sepertinya Nia akan menutup rapat pada sahabatnya itu.“Ehm ... a-aku cuman kangen aja sama masakan Bunda,” alibi Nia.Beruntung kedua orang tua Nia sudah datang jadi dia bisa beral