“Yah, mana Nia-nya?”“Tuh, lihat anak kamu, Bun!” Yusuf mengarahkan jari telunjuknya ke arah sepasang pria dan wanita sedang tarik menarik bahkan Nia tidak segan untuk memeluk tubuh Bara untuk menuju ke tepi sawah.“Lha, ngapain mereka berdua,” gumam Maria menatap binggung sang putri dan pria yang bakal menjadi menantunya itu.“Sepertinya anak kamu itu sudah cinta banget sama pria itu, Bun!” celoteh Yusuf dengan wajah yang sulit diartikan. Mendapati sang putri yang bersikap seperti itu mendadak Yusuf diliputi pikiran jahat. Kalau di depannya saja bisa seperti itu apalagi di belakangnya.“Tidak, tidak. Nia tidak mungkin melakukan hal yang bisa mencorengkan nama baik keluarga!” ucap Yusuf sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.Maria bisa melihat gerakan kepala sang suami “Apaan Ayah ini!”“Mereka gak lagi bohongin kita kan, Bun!”“Bohong apaan, Yah?” Maria memperjelas ucapan suami yang membuat tidak paham.Yusuf terdiam sesaat lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan
“Ayah sih, sudah aku bilangkan kalau Pak Bara itu habis sakit, butuh pemulihan!” sungut Nia menatap kesal pada sang Ayah. “Tapi Ayah gak mau dengar!”Namun dengan santainya Yusuf melirik Bara dan mengatakan, “Halah, cuman berdarah gitu aja kamu koq panik!”Kekesalan Nia memuncak ternyata Ayahnya itu tampak tidak merasa bersalah sama sekali.“Ayah!” teriak Nia geram. Hampir saja tangannya bergerak untuk mencubit lengan sang Ayah, ketika tatapan Bara menghentikannya. “Sudah, aku gak papa koq. Jangan khawatir begitu deh.”Sontak suara lembut Bara membuat beberapa pengunjung puskesmas menoleh ke arahnya. Bara memang bisa jadi sesuai keinginannya. Kadang baik, kadang lembut, kadang jahat, kadang dingin dan kadang egois.Tidak lagi berada di sawah, keluarga ini sekarang berada di puskesmas desa. Setelah membersihkan badan Bara yang kotor, Nia tanpa persetujuan langsung membawa Bara menuju ke puskesmas.“Tuh, kamu dengar sendiri kalau Bara tidak apa-apa,” tegas Yusuf sambil menampilkan senyu
“Kalau kalian mau melanjutkan ke hubungan pernikahan, silakan ajukan permohonan ke pengadilan agama!” ucap Yusuf tiba-tiba.Saat ini mereka semua sedang berada di ruang tamu, usai makan malam. Yusuf sebenarnya seorang yang penyabar entah dia mendadak berubah menjadi kejam tadi. “Ayah!” Nia mendesah pelan.Yusuf mengangguk seraya tersenyum mengembang menatap Bara dan Nia bergantian. “Ayah restui kalian!”Nia berdiri dan berhambur ke dalam pelukan pria yang sudah membesarkannya hingga menjadi remaja seperti ini. Tangisnya mendadak pecah melihat orang tuanya yang tersenyum lebar, tampak kebahagiaan terpancar di sana.Sambil menepuk punggung sang putri, Yusuf membisikan kata-kata. “Jadilah istri yang baik dan nurut sama suami, selama tidak bertentangan dengan agama!”Yusuf merasa sudah cukup memberi tantangan pada Bara. Melihat kesungguhan pria itu, dia sungguh beruntung kalau Nia bisa menikah dengannya. Sopan, tampan, kaya dan juga profesinya yang sangat menjanjikan untuk kelangsungan h
Semalam setelah obrolan di ruang tengah, persetujuan pernikahan Nia dan Bara. Mereka semua membubarkan diri. Akan tetapi insiden kecil terjadi hingga Bara terluka lagi. Beruntung lukanya sudah langsung ditangani oleh Nia dan dibantu sang Ayah.Dan pagi ini rencana Bara akan pulang menjemput orang tuanya untuk melamar Nia secara keluarga. Pagi-pagi benar Alif sudah siap untuk mengantar sang Rektor pulang.“Bapak hati-hati ya,” pesan Nia pada Bara yang membantu masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu pandangan Nia tertuju pada sang asisten tak lupa juga gadis itu memberi pesan untuknya.“Pak Alif, hati-hati ya, nyetirnya,” ucap Amara tersenyum dengan sopan.Alif mengangguk secara mengangkat ibu jarinya. “Beres, Bu Rektor!”Nia masih menatapi mobil Bara hingga menghilang dari pandangannya. Tiba-tiba suara sang Ayah terdengar dari belakang.“Apa kamu yakin dia akan kembali?”Nia menoleh dan menatap tanda tanya pada sang Ayah, bukannya sudah dibicarakan sebelumnya kalau Bara dan keluarganya a
[Nia ...!] teriaknya. [Aduh, kapan sih kamu mau masuk kuliah? Aku kangen banget sama kamu, lho.]Suara Tina memekik telinga Nia hingga refleks ia menjauhkan dari telinganya untuk beberapa detik.“Tin, sadar gak sih, telinga aku hampir copot denger suara kamu yang jempreng itu,” omel Nia. “Sabar ya, mungkin minggu depan aku masuk setelah bicara sama Pak Bara.”[Memang, Pak Bara sudah sembuh lukanya?]“Iya, sudah mengering juga sih. Tinggal pemulihan saja.”[Nia, kita ketemuan yuk, aku sudah kangen sama kamu nih!]“Jangan sekarang ya, aku lagi di kampung nih.”[Lho, terus Pak Bara sama siapa? Sendirian?]“Enggak, Mamanya datang dari Singapura,” jawab Nia.[Oh. Btw, kamu ada apa koq tumben pulang kampung?]Nia masih terdiam. Binggung harus menjawab apa. Selama ini memang mereka dekat, tapi untuk yang satu ini sepertinya Nia akan menutup rapat pada sahabatnya itu.“Ehm ... a-aku cuman kangen aja sama masakan Bunda,” alibi Nia.Beruntung kedua orang tua Nia sudah datang jadi dia bisa beral
“Waalaikumussalam,” jawab Yusuf membalas dengan tersenyum lebar. “Mari silahkan masuk ke gubuk kami.“Jangan merendah seperti itu,” sahut Papa Bara, pria yang juga dikenal dengan nama Ramandito Al Ghifari itu tersenyum seraya mengeleng. “Terima kasih sudah di terima di rumah ini.”Sang tuan rumah mempersilahkan untuk masuk dan duduk. Keadaan hening untuk sesaat karena kebanyakan tetangga Nia merasa penasaran dengan kedua orang tua Bara. Terlihat sekilas seperti bule namun bisa mengucapkan salam.“Pertama, saya datang ke rumah ini karena permintaan dari putra kami, Barayudha Al Ghifari,” ucap Ramandito memandang Bara lalu mengalihkan pada kedua orang tua Nia.“Untuk melamar putri Bapak, Nia.”Semua orang yang hadir di sana tersenyum bahkan ada yang bersorak bahagia. Terutama tetangga-tetangga sebelah. Sosok Nia yang dikenal dengan gadis baik hati dan supel dan juga calon perawat di kampung mereka.“Untuk hal itu, saya serahkan semua kepada putri saya,” balas Yusuf pasrah dengan jawaban
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya Nia setuju dengan usulan sang Ayah. Sebenarnya dia hanya belum siap saja kalau harus menjalani kehidupan pernikahan saat itu juga, namun keinginan sang Ayah dan Bundanya membuatnya tidak bisa menolak.“Maaf, apa saya bisa bicara dengan Pak Bara dulu?” tanya Nia hati-hati sambil memandang orang tuanya.“Nia, dia calon suami kamu, sebaiknya ubah panggilan kamu,” sela Maria-sang Bunda dengan berbisik.“Nanti saja itu dibahas, Bun!” sahut Nia yang tidak mau memperpanjang karena bukan itu fokusnya saat ini.Tanpa menjawab, Bara langsung bergegas berdiri dan berjalan sedikit menjauh dari gerombolan orang-orang tersebut.“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Bara to the point.“Pernikahan siri memang sah secara agama tapi saya mau tegaskan kalau syarat ketiga masih berlaku,” ucap Nia, bukan pertanyaan lagi karena itu adalah keputusan Nia yang harus dituruti Bara.“Oke,” sahut Bara cepat sembari mengulurkan tangan, mencapai kata kesepakatan tapi dia
Bara pikir mereka akan tidur di satu ranjang yang sama, kenyataannya tidak. Karena Nia memilih tidur di bawah ranjang sedangkan Bara disuruh di atas.“Nia, kamu yakin mau tidur di bawah?” tanya Bara. “Saya gak bakalan ngapa-ngapain koq, tidurlah di samping saya!”“Sudah, jangan banyak protes!” sahut Nia. “Kalau Bapak masih gak terima saya yang akan tidur di luar.”Ancaman Nia membuat Bara tidak bisa melakukan apa-apa. Bukan karena dia tidak mampu, dia hanya sungkan saja karena berada di rumah orang tua Nia. Kalau saja mereka berada di rumah Bara, pasti Bara yang akan memengang kendali atas diri Nia.Bara menelan salivanya tidak mau membantah. “Terserah kamulah, toh itu badan kamu sendiri kalau sakit kamu juga yang ngrasain.”Tanpa menjawab lagi, Nia sudah merebahkan dirinya pada kasur busa tipis dengan bantal dan guling serta selimut yang tidak terlalu tebal tapi cukup untuk menghangatkan tubuhnya yang kecil. Perlahan matanya mulai tertutup. Bara yang di atas kasur, bisa melihat Nia