Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya Nia setuju dengan usulan sang Ayah. Sebenarnya dia hanya belum siap saja kalau harus menjalani kehidupan pernikahan saat itu juga, namun keinginan sang Ayah dan Bundanya membuatnya tidak bisa menolak.“Maaf, apa saya bisa bicara dengan Pak Bara dulu?” tanya Nia hati-hati sambil memandang orang tuanya.“Nia, dia calon suami kamu, sebaiknya ubah panggilan kamu,” sela Maria-sang Bunda dengan berbisik.“Nanti saja itu dibahas, Bun!” sahut Nia yang tidak mau memperpanjang karena bukan itu fokusnya saat ini.Tanpa menjawab, Bara langsung bergegas berdiri dan berjalan sedikit menjauh dari gerombolan orang-orang tersebut.“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Bara to the point.“Pernikahan siri memang sah secara agama tapi saya mau tegaskan kalau syarat ketiga masih berlaku,” ucap Nia, bukan pertanyaan lagi karena itu adalah keputusan Nia yang harus dituruti Bara.“Oke,” sahut Bara cepat sembari mengulurkan tangan, mencapai kata kesepakatan tapi dia
Bara pikir mereka akan tidur di satu ranjang yang sama, kenyataannya tidak. Karena Nia memilih tidur di bawah ranjang sedangkan Bara disuruh di atas.“Nia, kamu yakin mau tidur di bawah?” tanya Bara. “Saya gak bakalan ngapa-ngapain koq, tidurlah di samping saya!”“Sudah, jangan banyak protes!” sahut Nia. “Kalau Bapak masih gak terima saya yang akan tidur di luar.”Ancaman Nia membuat Bara tidak bisa melakukan apa-apa. Bukan karena dia tidak mampu, dia hanya sungkan saja karena berada di rumah orang tua Nia. Kalau saja mereka berada di rumah Bara, pasti Bara yang akan memengang kendali atas diri Nia.Bara menelan salivanya tidak mau membantah. “Terserah kamulah, toh itu badan kamu sendiri kalau sakit kamu juga yang ngrasain.”Tanpa menjawab lagi, Nia sudah merebahkan dirinya pada kasur busa tipis dengan bantal dan guling serta selimut yang tidak terlalu tebal tapi cukup untuk menghangatkan tubuhnya yang kecil. Perlahan matanya mulai tertutup. Bara yang di atas kasur, bisa melihat Nia
“Mendekatlah padaku, Nia!” pinta Bara sambil menepuk sisi kosong ranjang di sebelahnya.Tidak langsung datang yang dilakukan Nia adalah terdiam hingga suara Bara menyadarkannya lagi.“Nia, kamu gak mau nurut? Kalau kamu lupa, saya suami kamu lho!” ucap Bara selanjutnya.Mendengar ucapan Bara, Nia mengingat bahwa dia harus menuruti kemauan suami. Pada akhirnya dengan sangat terpaksa dia bangun dan hendak menuju ranjang di mana Bara sedang berbaring.Akan tetapi baru saja akan mendudukan bokongnya mendadak teringat sikap Bara beberapa menit yang lalu, menarik dirinya hingga jatuh ke dalam pelukan pria itu.“Kenapa?” tanya Bara yang melihat Nia seperti ragu mendekatinya.“Tapi janji dulu kalau Bapak gak bakalan aneh-aneh sama saya?”Bara tersenyum menyeringai. Namun di mata Nia, senyuman itu seperti memiliki arti tidak baik.“Janji, Pak!” Nia mengulangi pertanyaannya.“Iya, Istriku. Saya gak bakalan aneh-aneh tapi satu aneh saja deh.”“Hah, apa itu?” Wajah Nia kian tegang, ketakutannya
“Hati-hati ya, pasti Bunda dan Ayah sangat kangen sekali dengan kalian,” ucap Maria pada kedua anak dan menantunya. “Kalian yang rukun, jangan sering ribut. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Nia, kamu yang patuh sama suami ya, jangan suka melawan karena surga kamu sekarang ada pada suamimu. Sering-sering ke sini ya dan jangan lupa segera diselesaikan syarat-syarat untuk meresmikan pernikahan kalian secara hukum.”“Bunda, banyak banget sih pesannya,” ujar Nia. “Lagian biasanya kalau aku balik sendiri gak segitu banyak pesannya.”“Kalau sekarang beda, kalau sudah menjadi seorang istri tanggung jawab kamu lebih besar dan lebih banyak,” tegas Maria agar anaknya paham.Selama ini Nia selalu santai mendengarkan nasehat kedua orang tuanya tapi sepertinya dia tidak lagi santai karena kehadiran suaminya itu. Bara tentu tidak akan membiarkan Nia berbuat semaunya sendiri.Maria mengalihkan pandangan pada sang menantu seraya mengucapkan. “Nak Bara, tolong jaga anak Bunda ya, terkadang dia
Mobil yang ditumpangi Nia dan Bara sudah sampai di rumah Bara. Rumah yang nantinya akan dijadikan tempat kedua pengantin baru ini untuk menghabiskan waktu bersama dalam ikatan pernikahan.Dari depan pintu masuk, tampak kedua orang tua Bara tengah tersenyum lebar menyambut kedatangan kedua pengantin baru itu. Tampak kebahagiaan dari wajah sang Mama, namun tidak dengan sang Papa yang terkesan datar-datar saja. Mungkin karena Nia bukan dari golongan mereka, jadi sang Papa terlihat tidak seberapa antusias.“Welcome to your home, Sayang!” sambut Riana dengan pelukan hangat. Bukan menyambut Bara sang putra, tetapi menyambut sang menantu-Ghania Athari.Yang dilakukan Nia adalah tertegun tanpa mau menyambut uluran tangan Riana. Gadis itu masih tidak percaya disambut seperti itu oleh orang yang baru dia kenal beberapa hari yang lalu.“Kamu kenapa koq ngelamun?” tanya Riana lembut sambil mengusap bahu Nia pelan.Pada akhirnya Bara melihat istrinya yang tertegun. Bara sampai menyikut lengan Nia
“Mas, jangan!” ucap Nia seraya mengeleng saat tangan Bara menelusup masuk ke dalam bathrobe yang sedang dia pakai.“Kenapa, hmm? Kamu gak kasihan sama ini, hah?” Bara membawa tangan Nia ke juniornya agar istrinya itu bisa merasakan miliknya yang sudah keras dan tegang, minta untuk dilunakan.Nia langsung tersentak kaget merasakan sesuatu yang panjang dan keras-keras tapi bukan batu. Namun tak urung dia membayangkan kalau benda itu masuk ke dalam ... arrgghh ....” jerit Nia tiba-tiba sambil menepis tangannya lepas dari benda panjang tersebut.“Kenapa, jangan bilang kalau kamu membayangkannya kan?” Senyum mengejek Bara tunjukan pada istrinya itu.“Eng-gak ... ngapain a-ku ba-yangkan ka-lau ada di depan mata-”“Hah, berarti kamu setuju kalau kita melakukannya sekarang?” Mata Bara berbinar bahagia seolah Nia akan menyetujuinya.“Kasih waktu saya untuk bisa menerima semua dengan ikhlas ya dan sampai selama itu jangan sentuh saya?” pinta Nia dengan sendu.“Sampai kapan? Kalau kamu lupa, say
Dua hari berlalu sejak pernikahan mereka. Bara dan Nia sama-sama menjalani kehidupan seperti sebelum mereka menikah. Bedanya Nia sekarang tidak lagi membersihkan rumah karena ada Mbok Ijah. Karenanya Nia hanya bertugas memasak saja. Nia juga harus memulai masuk kuliah karena sudah lama sekali dia ijin. Beruntung tidak di droup out saja, karena ada pengaruh Bara di belakangnya. “Mas, aku berangkat dulu ya,” ucap Nia ketika mendapati Bara yang baru saja keluar dari kamar mandi.Pemandangan setiap pagi hari, perut rata Bara bagai roti sobek dan tetesan air di tubuhnya menambah kesan seksi, dan satu lagi kebiasaan pria itu selalu hanya melilitkan handuk dari perut sampai lututnya.“Kebiasaan banget deh, pakai baju kenapa sih!” maki Nia sambil beranjak dari meja riasnya. Bukan dandan berlebihan, Nia hanya memakai bedak dan sedikit lipstik berwarna pink.“Kamu mau ke mana?” tanya Bara yang baru menyadari kalauistrinya ini sudah rapi.“Aku mau berangkat ke kampus, sudah kangen banget saku s
“Nia ...!” teriak Tina menyambut sahabatnya yang sudah lama tidak datang ke kampus.Tina dan Nia saling berpelukan melepas kerinduan yang dalam. Beberapa teman yang melihat seakan ikut bahagia melihat keduanya yang sama-sama saling terikat.“Woi, kalian gak ada niatan untuk peluk aku gitu?” Pertanyaan seorang pria yang merupakan teman satu kelas Nia itu sontak membuat kedua Nia mengalihkan atensinya.“Mau? Sini,” ajak Nia sambil merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan pria itu. Namun dari jarak lima meter, mata Nia menangkap seseorang sedang memantaunya.Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami. Muka Nia langsung menegang, sudah pasti Bara akan marah karena di rumah tadi pria itu sudah mewanti-wanti tidak boleh menarik perhatian pria lain. Ini bukannya hanya menarik tapi hendak memeluknya.Belum juga sampai pria itu meraih tangan Nia, sang pemilik mendadak bergeser mundur untuk menghindar. “Ah, maaf. Aku mau ke toilet dulu ya,” ucapnya lalu berlari menuju toilet yang berada d