[Nia ...!] teriaknya. [Aduh, kapan sih kamu mau masuk kuliah? Aku kangen banget sama kamu, lho.]Suara Tina memekik telinga Nia hingga refleks ia menjauhkan dari telinganya untuk beberapa detik.“Tin, sadar gak sih, telinga aku hampir copot denger suara kamu yang jempreng itu,” omel Nia. “Sabar ya, mungkin minggu depan aku masuk setelah bicara sama Pak Bara.”[Memang, Pak Bara sudah sembuh lukanya?]“Iya, sudah mengering juga sih. Tinggal pemulihan saja.”[Nia, kita ketemuan yuk, aku sudah kangen sama kamu nih!]“Jangan sekarang ya, aku lagi di kampung nih.”[Lho, terus Pak Bara sama siapa? Sendirian?]“Enggak, Mamanya datang dari Singapura,” jawab Nia.[Oh. Btw, kamu ada apa koq tumben pulang kampung?]Nia masih terdiam. Binggung harus menjawab apa. Selama ini memang mereka dekat, tapi untuk yang satu ini sepertinya Nia akan menutup rapat pada sahabatnya itu.“Ehm ... a-aku cuman kangen aja sama masakan Bunda,” alibi Nia.Beruntung kedua orang tua Nia sudah datang jadi dia bisa beral
“Waalaikumussalam,” jawab Yusuf membalas dengan tersenyum lebar. “Mari silahkan masuk ke gubuk kami.“Jangan merendah seperti itu,” sahut Papa Bara, pria yang juga dikenal dengan nama Ramandito Al Ghifari itu tersenyum seraya mengeleng. “Terima kasih sudah di terima di rumah ini.”Sang tuan rumah mempersilahkan untuk masuk dan duduk. Keadaan hening untuk sesaat karena kebanyakan tetangga Nia merasa penasaran dengan kedua orang tua Bara. Terlihat sekilas seperti bule namun bisa mengucapkan salam.“Pertama, saya datang ke rumah ini karena permintaan dari putra kami, Barayudha Al Ghifari,” ucap Ramandito memandang Bara lalu mengalihkan pada kedua orang tua Nia.“Untuk melamar putri Bapak, Nia.”Semua orang yang hadir di sana tersenyum bahkan ada yang bersorak bahagia. Terutama tetangga-tetangga sebelah. Sosok Nia yang dikenal dengan gadis baik hati dan supel dan juga calon perawat di kampung mereka.“Untuk hal itu, saya serahkan semua kepada putri saya,” balas Yusuf pasrah dengan jawaban
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya Nia setuju dengan usulan sang Ayah. Sebenarnya dia hanya belum siap saja kalau harus menjalani kehidupan pernikahan saat itu juga, namun keinginan sang Ayah dan Bundanya membuatnya tidak bisa menolak.“Maaf, apa saya bisa bicara dengan Pak Bara dulu?” tanya Nia hati-hati sambil memandang orang tuanya.“Nia, dia calon suami kamu, sebaiknya ubah panggilan kamu,” sela Maria-sang Bunda dengan berbisik.“Nanti saja itu dibahas, Bun!” sahut Nia yang tidak mau memperpanjang karena bukan itu fokusnya saat ini.Tanpa menjawab, Bara langsung bergegas berdiri dan berjalan sedikit menjauh dari gerombolan orang-orang tersebut.“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Bara to the point.“Pernikahan siri memang sah secara agama tapi saya mau tegaskan kalau syarat ketiga masih berlaku,” ucap Nia, bukan pertanyaan lagi karena itu adalah keputusan Nia yang harus dituruti Bara.“Oke,” sahut Bara cepat sembari mengulurkan tangan, mencapai kata kesepakatan tapi dia
Bara pikir mereka akan tidur di satu ranjang yang sama, kenyataannya tidak. Karena Nia memilih tidur di bawah ranjang sedangkan Bara disuruh di atas.“Nia, kamu yakin mau tidur di bawah?” tanya Bara. “Saya gak bakalan ngapa-ngapain koq, tidurlah di samping saya!”“Sudah, jangan banyak protes!” sahut Nia. “Kalau Bapak masih gak terima saya yang akan tidur di luar.”Ancaman Nia membuat Bara tidak bisa melakukan apa-apa. Bukan karena dia tidak mampu, dia hanya sungkan saja karena berada di rumah orang tua Nia. Kalau saja mereka berada di rumah Bara, pasti Bara yang akan memengang kendali atas diri Nia.Bara menelan salivanya tidak mau membantah. “Terserah kamulah, toh itu badan kamu sendiri kalau sakit kamu juga yang ngrasain.”Tanpa menjawab lagi, Nia sudah merebahkan dirinya pada kasur busa tipis dengan bantal dan guling serta selimut yang tidak terlalu tebal tapi cukup untuk menghangatkan tubuhnya yang kecil. Perlahan matanya mulai tertutup. Bara yang di atas kasur, bisa melihat Nia
“Mendekatlah padaku, Nia!” pinta Bara sambil menepuk sisi kosong ranjang di sebelahnya.Tidak langsung datang yang dilakukan Nia adalah terdiam hingga suara Bara menyadarkannya lagi.“Nia, kamu gak mau nurut? Kalau kamu lupa, saya suami kamu lho!” ucap Bara selanjutnya.Mendengar ucapan Bara, Nia mengingat bahwa dia harus menuruti kemauan suami. Pada akhirnya dengan sangat terpaksa dia bangun dan hendak menuju ranjang di mana Bara sedang berbaring.Akan tetapi baru saja akan mendudukan bokongnya mendadak teringat sikap Bara beberapa menit yang lalu, menarik dirinya hingga jatuh ke dalam pelukan pria itu.“Kenapa?” tanya Bara yang melihat Nia seperti ragu mendekatinya.“Tapi janji dulu kalau Bapak gak bakalan aneh-aneh sama saya?”Bara tersenyum menyeringai. Namun di mata Nia, senyuman itu seperti memiliki arti tidak baik.“Janji, Pak!” Nia mengulangi pertanyaannya.“Iya, Istriku. Saya gak bakalan aneh-aneh tapi satu aneh saja deh.”“Hah, apa itu?” Wajah Nia kian tegang, ketakutannya
“Hati-hati ya, pasti Bunda dan Ayah sangat kangen sekali dengan kalian,” ucap Maria pada kedua anak dan menantunya. “Kalian yang rukun, jangan sering ribut. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Nia, kamu yang patuh sama suami ya, jangan suka melawan karena surga kamu sekarang ada pada suamimu. Sering-sering ke sini ya dan jangan lupa segera diselesaikan syarat-syarat untuk meresmikan pernikahan kalian secara hukum.”“Bunda, banyak banget sih pesannya,” ujar Nia. “Lagian biasanya kalau aku balik sendiri gak segitu banyak pesannya.”“Kalau sekarang beda, kalau sudah menjadi seorang istri tanggung jawab kamu lebih besar dan lebih banyak,” tegas Maria agar anaknya paham.Selama ini Nia selalu santai mendengarkan nasehat kedua orang tuanya tapi sepertinya dia tidak lagi santai karena kehadiran suaminya itu. Bara tentu tidak akan membiarkan Nia berbuat semaunya sendiri.Maria mengalihkan pandangan pada sang menantu seraya mengucapkan. “Nak Bara, tolong jaga anak Bunda ya, terkadang dia
Mobil yang ditumpangi Nia dan Bara sudah sampai di rumah Bara. Rumah yang nantinya akan dijadikan tempat kedua pengantin baru ini untuk menghabiskan waktu bersama dalam ikatan pernikahan.Dari depan pintu masuk, tampak kedua orang tua Bara tengah tersenyum lebar menyambut kedatangan kedua pengantin baru itu. Tampak kebahagiaan dari wajah sang Mama, namun tidak dengan sang Papa yang terkesan datar-datar saja. Mungkin karena Nia bukan dari golongan mereka, jadi sang Papa terlihat tidak seberapa antusias.“Welcome to your home, Sayang!” sambut Riana dengan pelukan hangat. Bukan menyambut Bara sang putra, tetapi menyambut sang menantu-Ghania Athari.Yang dilakukan Nia adalah tertegun tanpa mau menyambut uluran tangan Riana. Gadis itu masih tidak percaya disambut seperti itu oleh orang yang baru dia kenal beberapa hari yang lalu.“Kamu kenapa koq ngelamun?” tanya Riana lembut sambil mengusap bahu Nia pelan.Pada akhirnya Bara melihat istrinya yang tertegun. Bara sampai menyikut lengan Nia
“Mas, jangan!” ucap Nia seraya mengeleng saat tangan Bara menelusup masuk ke dalam bathrobe yang sedang dia pakai.“Kenapa, hmm? Kamu gak kasihan sama ini, hah?” Bara membawa tangan Nia ke juniornya agar istrinya itu bisa merasakan miliknya yang sudah keras dan tegang, minta untuk dilunakan.Nia langsung tersentak kaget merasakan sesuatu yang panjang dan keras-keras tapi bukan batu. Namun tak urung dia membayangkan kalau benda itu masuk ke dalam ... arrgghh ....” jerit Nia tiba-tiba sambil menepis tangannya lepas dari benda panjang tersebut.“Kenapa, jangan bilang kalau kamu membayangkannya kan?” Senyum mengejek Bara tunjukan pada istrinya itu.“Eng-gak ... ngapain a-ku ba-yangkan ka-lau ada di depan mata-”“Hah, berarti kamu setuju kalau kita melakukannya sekarang?” Mata Bara berbinar bahagia seolah Nia akan menyetujuinya.“Kasih waktu saya untuk bisa menerima semua dengan ikhlas ya dan sampai selama itu jangan sentuh saya?” pinta Nia dengan sendu.“Sampai kapan? Kalau kamu lupa, say
Pyar!Aldo berlari kencang ketika suara benda jatuh seperti pecahan kaca terdengar pada indera pendengarannya ketika ia baru saja masuk ke dalam kamar. Pikirnya sesuatu telah terjadi pada istri dan anaknya.“Hun …!”Tina menoleh pada suara seseorang yang memanggilnya dengan lembut.“Mas, kamu koq sudah pulang?”Mengabaikan ucapan sang istri, Aldo mendekat dengan wajah panik. Kemudian menatap sekitarnya dan mendapati sang anak sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tetapi mendapati pigura foto istrinya dengan sahabatnya ada di lantai. Dari situ Aldo paham kalau yang jatuh tadi pigura tersebut.“Kamu kenapa?” tanya Aldo setelah menatap sekilas wajah wanita masa lalunya yang sudah tidak ada lagi di hatinya sekarang.Tina tidak paham ucapan Aldo sampai ia melihat manik Aldo yang melirik pigura tersebut.“Oh, tadi aku gak sengaja menjatuhkannya,” jawab Tina. “Ah, maaf ya, kamu khawatir ya?” Wanita itu beranjak berdiri dan hendak memungguti pecahan kaca tersebut.Aldo menahan tangan
“Sayang,” sapaan itu masuk berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan menampilkan sesosok pria yang selalu Nia rindukan. Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami.Setelah beraktifitas seharian di rumah sakit, ia selalu bersiap untuk pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui istri tercintanya.Ya, Nia telah membuat keputusan untuk berhenti bekerja. Nia ingin fokus menjadi ibu rumah tangga daan mengurus bayinya sendiri. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika ia bisa mengurus keluarganya sendiri bukan ditangan seorang ART.Toh, uang Bara masih sanggup membiayai hidupnya dengan anak-anak mereka. Jadi untk maasalah keuangan Nia yakin sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mas …!”Nia merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk suaminya itu. Tanpa ragu pria itu merangkak naik dan ikut berbaring di sebelah Nia. Memeluk wanita itu dari samping dan melabuhkan kecupan-kecupan di keningnya.Sekarang usia kandungan Nia sudah mendekati HPL.“Kenapa gak bangun, hmm?” tanya Bara setelah meng
“Gak kerja?”Nia mendengus sambil menatap kesal pada sang suami ketika pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Berjalan menuju tempat tidur untuk mendekati istrinya yang duduk bersandar di tepi tempat tidur.Kalau bukan karena kejujuran Bara kemarin mungkin Nia akan dengan senang hati berangkat kerja hari ini. Tetapi saat ini sepertinya ia belum bisa berhadapan langsung dengan penghuni rumah sakit yang pastinya akan memberondong dengan banyak pertanyaan.“Kalau saja kamu gak bil-”Ucapan Nia terhenti karena Bara mencuri kecupan pada bibir wanita itu. “Semalam sudah dibahas jadi gak perlu diulang lagi!”Semalam memang membahas tentang bagaimana Nia akan menjawab seputar hubungannya dengan Bara dan mereka berdua setuju dengan keputusan yang dibuat, cuman Nia merasa tidak yakin dengan itu.“Mas!” hardik Nia sambil memukul keras dada sang suami karena Bara kembali mencuri ciuman saat Nia akan melempar sanggahan. “Kamu tuh, bisa diem gak? Jangan sentuh-sentu
“Dokter Bara, Suster Nia pingsan di cafetaria. Saya binggung harus memberitahu siapa, mungkin Dokter bisa membantu saya karena dulu kan Suster Nia adalah asisten, Dokter.”Bara tersentak kaget mendengar serentetan kata dari salah seorang suster yang bertugas di poli UGD.“Koq bisa?” Pria itu beranjak berdiri dari meja kerjanya kemudian menghampiri Suster tersebut. Sekarang Bara sudah tidak lagi bertugas di poli UGD karena ia sudah pindah ke poli Jantung sesuai dengan spesialisnya, sedangkan Nia masih tetap menghuni poli UGD. “Sekarang masih di cafetaria?”Belum juga mendapat jawaban Dokter spesialis Jantung itu berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti ketika Suster tersebut menyebutkan tempat yang lain dari yang tadi.“Sekarang sudah di UGD, Dok.”Bara pada akhirnya memutar haluan untuk menuju poli UGD, karena poli tersebut berbeda arah dengan jalan yang sudah dilalui tadi.Sampai di poli UGD.Bara langsung masuk begitu saja sembari bertanya pada Dokter yang ada di sana. “Dimana
“Mas, Tina sudah melahirkan. Aku boleh jeguk kan?”Satu pertanyaan Nia berhasil mengusik konsentrasi sang suami. Pria itu sedang serius menatap layar laptop untuk membaca riwayat kesehatan pasien-pasiennya yang hendak dioperasi.“Tanya dulu apa suaminya itu ada atau tidak! Aku gak mau kamu ketemu dengan pria itu.”Bara memang sudah antipati dengan yang namanya Aldo. Ia hanya sedang menjaga miliknya agar tetap berada di batasnya.Nia mendesis kesal, suaminya itu kalau sudah cemburu seperti itu membuatnya tidak bebas. Tetapi paham juga kekhawatiran Bara. Beruntung Bara tidak tahu kalau Aldo saat itu pernah mengatakan kalau masih mencintainya. Kalau tahu, mungkin pria itu sudah melarang sepenuhnya berhubungan dengan Tina.“Ish … terus kalau Aldo di rumah suruh pergi gitu?”“Sekarang sudah di rumah?” tanya Bara memastikan.“Eh, gak tahu ya. Tina cuman bilang kalau dia sudah melahirkan, bayinya perempuan, cantik kayak dirinya,” sahut Nia tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Ben
Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu
“Wah, cucu Oma sudah pulang ya? Gimana acaranya seru gak?”Suara Maria sudah terdengar ketika Bara membuka pintu dengan mengendong Bima yang sudah tertidur pulas. Kebetulan hari ini akhir Minggu dan waktunya berlibur ke rumah Maria.“Eh, Bima tidur ya?” Maria melanjutkan bertanya.“Iya, Bun,” jawab Bara singkat. Suasana hatinya masih buruk sejak melihat Aldo mengenggam tangan istrinya. “Maaf, Bunda. Bima boleh tidur sama Bunda gak?”Tanpa bertanyapun, Maria setuju saja. Lagian dengan adanya Bima dia jadi tidak sendirian tidurnya.“Boleh dong, ya sudah cepat bawa ke kamar Bunda!” pinta Maria pada Bara.Kaki panjang Bara melangkah menuju kamar sang mertua. Tidak lama Nia datang dan melihat Bara yang berjalan tidak ke kamar mereka.“Lho, Bima mau dibawa ke mana, Mas?” teriaknya. Namun, Bara tidak peduli pertanyaan wanita itu. Sedangkan Maria yang sudah berjalan di depan Bara tidak mendengar ucapan putrinya itu.Kesal, lagi-lagi Bara melakukan tindakan tanpa memberitahukannya. Nia berjala
“Om Ayah!”Teriakan bocah yang mengema itu membuat Aldo tersentak kaget. Bukannya tidak suka tapi ia tidak akan menyangka kalau dipertemukan lagi dengan Bima setelah semua masalah diantara dirinya dengan Nia. Bima, bocah yang ia sayangi dan sudah dia anggap seperti anak kandungnya sendiri.Manik Aldo menyiratkan kebahagiaan. Pria itu seketika berjongkok dan merentangkan kedua tangannya ke samping agar bocah tersebut masuk ke dalam dekapannya. Benar saja, begitu melihat yang dilakukan Aldo, Bima langsung berlari kemudian membenamkan wajahnya di leher Aldo. Seolah mereka tidak bertemu puluhan tahun.“Aku kangen sama Om Ayah!” celetuk Bima yang membuat Aldo makin teriris hatinya.Aldo membisu, tidak menjawab ucapan Bima. Membiarkan indera penciumannya untuk beberapa saat menikmati aroma minyak telon yang ada di tubuh Bima.“Kata Mama, aku sudah gak boleh ganggu Om Ayah lagi! Karena Om Ayah mau punya adik bayi.”Aldo semakin menekan tubuhnya pada tubuh Bima. Detak jantungnya berpacu lebi
Di ruangan Bara.Baik Nia dan Bara terkesiap menatap isi amplop coklat pemberian Dokter Kalandra.“Mas, sepupu kamu itu ternyata diluarnya saja yang galak ya tapi dalamnya … tidak diragukan lagi,” puji Nia sambil terkikik, masih sulit mempercayai sikap Dokter Kalandra.“Dalamnya?” Bara mengulangi ucapan istrinya itu sambil menatap curiga. “Memang kamu sudah tahu dalamnya dia seperti apa, hah?”“Yee … malah sewot ini orang! Maksud aku itu kan secara yang terlihat diluar itu dia adalah pria galak, buktinya marahin OG tadi seperti punya salah besar banget padahal kan cuman terlambat saja. Itupun beberapa menit saja. Tetapi koq dia bisa-bisanya ngasih kado seperti ini. Sehingga aku mikirnya dia itu pria yang perhatian gitu lho!” Nia menjelaskan dengan panjang lebar agar Bara mengerti maksudnya.Bukannya tidak paham, Bara hanya sedikit tidak suka kata dalamnya yang diucapkan Nia seolah wanita itu tahu seperti apa sosok sang sepupu.“Iya, aku sudah tahu maksudmu!” balas Bara santai. Pria it