“Ma, kasih waktu Nia untuk berpikir,” kata Bara. “Dia juga kan perlu alasan yang jelas supaya orang tuanya menyetujui pernikahan kita dan tidak berpikiran macam-macam.”Nia tidak menyangka kalau Bara akan membantunya bicara pada Riana, secara sepertinya Bara tampak santai. Berbeda dengan dirinya yang berpikir keras untuk menolak.“Tapi keputusan Mama sudah jelas, Papa datang kita langsung ke tempat orang tua Nia!”***“Iya, Lif?” sapa Bara pada sambungan telepon. Setelah memasuki kamar, ponsel Bra berdering dan menampilkan sang asisten.[Tadi kapten Ardan telepon, mau menanyakan bagaimana kelanjutan masalah insiden penusukan kamu,] ucap Alif.Dari situ bisa dipastikan kalau tadi yang menelpon Bara adalah dari pihak kepolisian. Sang tersangka memang sudah diamankan dan dimasukkan dalam jeruji besi tapi sudah seminggu ini kasusnya belum diputuskan karena menunggu kesembuhan Bara.“Sudah agak membaik tapi masih nyeri kalau dibuat duduk lama,” jelas Bara, apa yang dia rasakan. “Lusa aku d
“Masih sakit, Pak?”“Cuman nyeri saja, koq!”Tidak lagi di rumah, mereka berdua sekarang sedang berada di dalam mobil. Perjalanan menuju rumah Nia di kota sebelah. Setelah pembicaraan dengan Bara semalam, Nia sudah memutuskan untuk mau menerima pinangan Bara.Tiga syarat yang diajukan oleh Nia. Pertama, Nia mau pernikahan mereka dirahasiakan dari orang lain dan hanya keluarga inti saja yang tahu, entah sampai waktu yang belum ditentukan. Syarat yang kedua adalah Bara harus bertemu dengan kedua orang tuanya dulu sebelum orang tua Bara datang melamar secara kekeluargaan. Terakhir syarat ketiga adalah Bara dilarang menyentuh Nia sampai timbul cinta diantara mereka berdua.Tanpa pikir panjang, Bara langsung menyetujuinya. Dengan mantap, Bara menjawab iya. Meski dia sendiri masih binggung sama perasaannya terhadap Nia, hal itu tidak menyurutkan tekad Bara untuk menaklukan dan menjadikan Nia istrinya.Nia dan Bara duduk di bangku belakang, sedangkan yang menyetir adalah Alif-asisten Bara. T
“Assalamualaikum, Bunda!” panggil Nia seraya mengetuk pintu rumahnya.Tidak ada balasan dari pemilik rumah. Hingga sampai beberapa saat seorang tetangga mengetahui kedatangan Nia. “Nia, kamu pulang?”“Eh, Bu Mariam. Bunda ke mana ya?” Nia menghampiri tetangganya yang menegurnya tadi.“Kamu gak tahu, kalau Bunda kamu di rumah sakit?”Seketika Nia membelalak matanya tidak percaya. “Ru-rumah sakit?” lirihnya.“Iya, Ayah kamu beberapa hari ini demam gak turun-turun terus Bunda kamu bawa ke rumah sakit,” aku Bu Mariam. “Kamu gak diberi tahu apa?”Nia mengeleng lemah. “Bunda gak bilang apa-apa sama saya, Bu!” Tanpa terasa Nia meneteskan airmatanya. “Kenapa Bunda tega sekali gak kabarin aku!”“Nia, ada apa?” Mendadak Bara mendekat dan mengerutkan keningnya, merasa tidak paham kenapa Nia sampai menangis.“Ini siapa kamu, Nia!”Nia mengikuti pandang Bu Mariam, menunjuk Bara di sampingnya.Bara mengulurkan tangannya seraya mengucapkan. “Saya Bara, cal-”“Bu, ini Pak Bara. Beliau Rektor Nia di k
Kedua orang tua Nia tertegun melihat sosok pria dewasa yang baru hari ini mereka temui. Tampak sekali kalau dia bukan pria biasa yang sering mereka jumpai di kampungnya. Cara berpakaiannya menunjukkan kalau dia bukan pria sembarangan, apalagi wajahnya terlihat tegas dan berwibawa.“Ayah, gimana keadaannya?” tanya Nia memecah kesunyian diantara empat orang yang saling terdiam untuk beberapa saat.Sang Ayah mengalihkan pandangan pada Nia namun hanya pandangan sesaat. Lalu menoleh pada Bara seolah meminta penjelasan pada sang putri.“Mohon maaf sebelumnya, Pak, atas kelancangan saya.” Bara memulai menyapa sang calon mertua. Mungkin untuk beberapa kesempatan dia sering kali menjumpai orang baru, namun kali ini dia juga merasa ada kecemasan tersendiri kalau kedua orang tua Nia tidak menyetujui keinginannya.“Pak ...!” Nia mendesah pelan seakan meminta agar Bara tidak mengatakannya dulu tampak dari gelengan Nia pada Bara.Mengabaikan ucapan Nia. Mungkin sekarang saatnya Bara akan bicara kep
Maria menyusul suaminya masuk ke dalam kamar, hatinya juga di rundung ketakutan. Bagaimana tidak, dia baru saja menemukan sisi lain dari sang suami yang tanpa dia ketahui. Selama ini pria itu selalu menampilkan kesabaran pada setiap orang namun hari ini terasa sangat berbeda.“Yah, kenapa sih?” tanya Elina lembut mengusap-ngusap lembut pria yang sudah menemaninya hampir dua puluh lima tahunan terakhir.Yusuf Wibowo, sang suami hanya menghela napas berat tanpa mau bersuara. Pikirannya masih melayang ke masa lalunya yang tidak ada seorang pun tahu.“Kalau Ayah tidak mau cerita, Bunda akan hormati keputusan Ayah,” kata Maria. “Cuman, saya Bunda lihat dari sosok Bara, kelihatannya orangnya baik. Buktinya dia mau datang kemari dan mengutarakan keinginannya dengan kita.”Yusuf memandang sang istri yang tersenyum lembut. Maria memang sosok wanita lembut hingga Yusuf jatuh ke dalam pelukan wanita yang dulu sempat dia abaikan.Sebelum bertemu dengan Maria, Yusuf pernah menjalin hubungan dengan
“Yah, jangan becanda deh!” tegur Nia pada sang Ayah. “Pak Bara itu habis sakit, dan dia butuh pemulihan. Ayah malah kasih tantangan yang berat seperti itu.”“Sudah, kamu diam saja,” putus sang Ayah. “Ayah cuman mau lihat apa dia benar-benar mencintai kamu seperti yang dia omongkan. Kalau hanya omongan saja sih, Ayah gak bakal percaya.”“Ayah tidak tahu saja kalau dia sebenarnya tidak mencintaiku, pria itu hanya iseng saja dengan putrimu ini,” batin Nia.Nia menghela napas sesaat sebelum mengatakan. “Yah, bukannya begitu hanya saja ....” Nia menjeda ucapannya. “Aku juga yang repot kalau dia sakit karena pasti aku yang kan merawatnya,” ucap Nia yang hanya bisa dikatakan dalam hati di akhir kalimatnya.“Hanya saja apa, Nia?”Nia kelagapan mendengar pertanyaan sang Ayah yang meminta kelanjutannya. Akan tetapi Nia juga tidak mau jujur, apa kata sang Ayah kalau dia bekerja sebagai pembantu Rektor itu. Belum-belum pasti sang Ayah sudah mengusirnya jauh-jauh.“Nia ...!” panggil Yusuf seolah m
“Yah, mana Nia-nya?”“Tuh, lihat anak kamu, Bun!” Yusuf mengarahkan jari telunjuknya ke arah sepasang pria dan wanita sedang tarik menarik bahkan Nia tidak segan untuk memeluk tubuh Bara untuk menuju ke tepi sawah.“Lha, ngapain mereka berdua,” gumam Maria menatap binggung sang putri dan pria yang bakal menjadi menantunya itu.“Sepertinya anak kamu itu sudah cinta banget sama pria itu, Bun!” celoteh Yusuf dengan wajah yang sulit diartikan. Mendapati sang putri yang bersikap seperti itu mendadak Yusuf diliputi pikiran jahat. Kalau di depannya saja bisa seperti itu apalagi di belakangnya.“Tidak, tidak. Nia tidak mungkin melakukan hal yang bisa mencorengkan nama baik keluarga!” ucap Yusuf sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.Maria bisa melihat gerakan kepala sang suami “Apaan Ayah ini!”“Mereka gak lagi bohongin kita kan, Bun!”“Bohong apaan, Yah?” Maria memperjelas ucapan suami yang membuat tidak paham.Yusuf terdiam sesaat lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan
“Ayah sih, sudah aku bilangkan kalau Pak Bara itu habis sakit, butuh pemulihan!” sungut Nia menatap kesal pada sang Ayah. “Tapi Ayah gak mau dengar!”Namun dengan santainya Yusuf melirik Bara dan mengatakan, “Halah, cuman berdarah gitu aja kamu koq panik!”Kekesalan Nia memuncak ternyata Ayahnya itu tampak tidak merasa bersalah sama sekali.“Ayah!” teriak Nia geram. Hampir saja tangannya bergerak untuk mencubit lengan sang Ayah, ketika tatapan Bara menghentikannya. “Sudah, aku gak papa koq. Jangan khawatir begitu deh.”Sontak suara lembut Bara membuat beberapa pengunjung puskesmas menoleh ke arahnya. Bara memang bisa jadi sesuai keinginannya. Kadang baik, kadang lembut, kadang jahat, kadang dingin dan kadang egois.Tidak lagi berada di sawah, keluarga ini sekarang berada di puskesmas desa. Setelah membersihkan badan Bara yang kotor, Nia tanpa persetujuan langsung membawa Bara menuju ke puskesmas.“Tuh, kamu dengar sendiri kalau Bara tidak apa-apa,” tegas Yusuf sambil menampilkan senyu
Pyar!Aldo berlari kencang ketika suara benda jatuh seperti pecahan kaca terdengar pada indera pendengarannya ketika ia baru saja masuk ke dalam kamar. Pikirnya sesuatu telah terjadi pada istri dan anaknya.“Hun …!”Tina menoleh pada suara seseorang yang memanggilnya dengan lembut.“Mas, kamu koq sudah pulang?”Mengabaikan ucapan sang istri, Aldo mendekat dengan wajah panik. Kemudian menatap sekitarnya dan mendapati sang anak sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tetapi mendapati pigura foto istrinya dengan sahabatnya ada di lantai. Dari situ Aldo paham kalau yang jatuh tadi pigura tersebut.“Kamu kenapa?” tanya Aldo setelah menatap sekilas wajah wanita masa lalunya yang sudah tidak ada lagi di hatinya sekarang.Tina tidak paham ucapan Aldo sampai ia melihat manik Aldo yang melirik pigura tersebut.“Oh, tadi aku gak sengaja menjatuhkannya,” jawab Tina. “Ah, maaf ya, kamu khawatir ya?” Wanita itu beranjak berdiri dan hendak memungguti pecahan kaca tersebut.Aldo menahan tangan
“Sayang,” sapaan itu masuk berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan menampilkan sesosok pria yang selalu Nia rindukan. Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami.Setelah beraktifitas seharian di rumah sakit, ia selalu bersiap untuk pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui istri tercintanya.Ya, Nia telah membuat keputusan untuk berhenti bekerja. Nia ingin fokus menjadi ibu rumah tangga daan mengurus bayinya sendiri. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika ia bisa mengurus keluarganya sendiri bukan ditangan seorang ART.Toh, uang Bara masih sanggup membiayai hidupnya dengan anak-anak mereka. Jadi untk maasalah keuangan Nia yakin sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mas …!”Nia merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk suaminya itu. Tanpa ragu pria itu merangkak naik dan ikut berbaring di sebelah Nia. Memeluk wanita itu dari samping dan melabuhkan kecupan-kecupan di keningnya.Sekarang usia kandungan Nia sudah mendekati HPL.“Kenapa gak bangun, hmm?” tanya Bara setelah meng
“Gak kerja?”Nia mendengus sambil menatap kesal pada sang suami ketika pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Berjalan menuju tempat tidur untuk mendekati istrinya yang duduk bersandar di tepi tempat tidur.Kalau bukan karena kejujuran Bara kemarin mungkin Nia akan dengan senang hati berangkat kerja hari ini. Tetapi saat ini sepertinya ia belum bisa berhadapan langsung dengan penghuni rumah sakit yang pastinya akan memberondong dengan banyak pertanyaan.“Kalau saja kamu gak bil-”Ucapan Nia terhenti karena Bara mencuri kecupan pada bibir wanita itu. “Semalam sudah dibahas jadi gak perlu diulang lagi!”Semalam memang membahas tentang bagaimana Nia akan menjawab seputar hubungannya dengan Bara dan mereka berdua setuju dengan keputusan yang dibuat, cuman Nia merasa tidak yakin dengan itu.“Mas!” hardik Nia sambil memukul keras dada sang suami karena Bara kembali mencuri ciuman saat Nia akan melempar sanggahan. “Kamu tuh, bisa diem gak? Jangan sentuh-sentu
“Dokter Bara, Suster Nia pingsan di cafetaria. Saya binggung harus memberitahu siapa, mungkin Dokter bisa membantu saya karena dulu kan Suster Nia adalah asisten, Dokter.”Bara tersentak kaget mendengar serentetan kata dari salah seorang suster yang bertugas di poli UGD.“Koq bisa?” Pria itu beranjak berdiri dari meja kerjanya kemudian menghampiri Suster tersebut. Sekarang Bara sudah tidak lagi bertugas di poli UGD karena ia sudah pindah ke poli Jantung sesuai dengan spesialisnya, sedangkan Nia masih tetap menghuni poli UGD. “Sekarang masih di cafetaria?”Belum juga mendapat jawaban Dokter spesialis Jantung itu berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti ketika Suster tersebut menyebutkan tempat yang lain dari yang tadi.“Sekarang sudah di UGD, Dok.”Bara pada akhirnya memutar haluan untuk menuju poli UGD, karena poli tersebut berbeda arah dengan jalan yang sudah dilalui tadi.Sampai di poli UGD.Bara langsung masuk begitu saja sembari bertanya pada Dokter yang ada di sana. “Dimana
“Mas, Tina sudah melahirkan. Aku boleh jeguk kan?”Satu pertanyaan Nia berhasil mengusik konsentrasi sang suami. Pria itu sedang serius menatap layar laptop untuk membaca riwayat kesehatan pasien-pasiennya yang hendak dioperasi.“Tanya dulu apa suaminya itu ada atau tidak! Aku gak mau kamu ketemu dengan pria itu.”Bara memang sudah antipati dengan yang namanya Aldo. Ia hanya sedang menjaga miliknya agar tetap berada di batasnya.Nia mendesis kesal, suaminya itu kalau sudah cemburu seperti itu membuatnya tidak bebas. Tetapi paham juga kekhawatiran Bara. Beruntung Bara tidak tahu kalau Aldo saat itu pernah mengatakan kalau masih mencintainya. Kalau tahu, mungkin pria itu sudah melarang sepenuhnya berhubungan dengan Tina.“Ish … terus kalau Aldo di rumah suruh pergi gitu?”“Sekarang sudah di rumah?” tanya Bara memastikan.“Eh, gak tahu ya. Tina cuman bilang kalau dia sudah melahirkan, bayinya perempuan, cantik kayak dirinya,” sahut Nia tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Ben
Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu
“Wah, cucu Oma sudah pulang ya? Gimana acaranya seru gak?”Suara Maria sudah terdengar ketika Bara membuka pintu dengan mengendong Bima yang sudah tertidur pulas. Kebetulan hari ini akhir Minggu dan waktunya berlibur ke rumah Maria.“Eh, Bima tidur ya?” Maria melanjutkan bertanya.“Iya, Bun,” jawab Bara singkat. Suasana hatinya masih buruk sejak melihat Aldo mengenggam tangan istrinya. “Maaf, Bunda. Bima boleh tidur sama Bunda gak?”Tanpa bertanyapun, Maria setuju saja. Lagian dengan adanya Bima dia jadi tidak sendirian tidurnya.“Boleh dong, ya sudah cepat bawa ke kamar Bunda!” pinta Maria pada Bara.Kaki panjang Bara melangkah menuju kamar sang mertua. Tidak lama Nia datang dan melihat Bara yang berjalan tidak ke kamar mereka.“Lho, Bima mau dibawa ke mana, Mas?” teriaknya. Namun, Bara tidak peduli pertanyaan wanita itu. Sedangkan Maria yang sudah berjalan di depan Bara tidak mendengar ucapan putrinya itu.Kesal, lagi-lagi Bara melakukan tindakan tanpa memberitahukannya. Nia berjala
“Om Ayah!”Teriakan bocah yang mengema itu membuat Aldo tersentak kaget. Bukannya tidak suka tapi ia tidak akan menyangka kalau dipertemukan lagi dengan Bima setelah semua masalah diantara dirinya dengan Nia. Bima, bocah yang ia sayangi dan sudah dia anggap seperti anak kandungnya sendiri.Manik Aldo menyiratkan kebahagiaan. Pria itu seketika berjongkok dan merentangkan kedua tangannya ke samping agar bocah tersebut masuk ke dalam dekapannya. Benar saja, begitu melihat yang dilakukan Aldo, Bima langsung berlari kemudian membenamkan wajahnya di leher Aldo. Seolah mereka tidak bertemu puluhan tahun.“Aku kangen sama Om Ayah!” celetuk Bima yang membuat Aldo makin teriris hatinya.Aldo membisu, tidak menjawab ucapan Bima. Membiarkan indera penciumannya untuk beberapa saat menikmati aroma minyak telon yang ada di tubuh Bima.“Kata Mama, aku sudah gak boleh ganggu Om Ayah lagi! Karena Om Ayah mau punya adik bayi.”Aldo semakin menekan tubuhnya pada tubuh Bima. Detak jantungnya berpacu lebi
Di ruangan Bara.Baik Nia dan Bara terkesiap menatap isi amplop coklat pemberian Dokter Kalandra.“Mas, sepupu kamu itu ternyata diluarnya saja yang galak ya tapi dalamnya … tidak diragukan lagi,” puji Nia sambil terkikik, masih sulit mempercayai sikap Dokter Kalandra.“Dalamnya?” Bara mengulangi ucapan istrinya itu sambil menatap curiga. “Memang kamu sudah tahu dalamnya dia seperti apa, hah?”“Yee … malah sewot ini orang! Maksud aku itu kan secara yang terlihat diluar itu dia adalah pria galak, buktinya marahin OG tadi seperti punya salah besar banget padahal kan cuman terlambat saja. Itupun beberapa menit saja. Tetapi koq dia bisa-bisanya ngasih kado seperti ini. Sehingga aku mikirnya dia itu pria yang perhatian gitu lho!” Nia menjelaskan dengan panjang lebar agar Bara mengerti maksudnya.Bukannya tidak paham, Bara hanya sedikit tidak suka kata dalamnya yang diucapkan Nia seolah wanita itu tahu seperti apa sosok sang sepupu.“Iya, aku sudah tahu maksudmu!” balas Bara santai. Pria it