“Sudah ya, Pak. Saya tidak mau menyamar lagi!”“Kalau tidak terdesak, saya juga tidak mungkin memintamu seperti itu.”“Ya, saya seperti menipu diri saya sendiri.”Bara menghela napas, sebelum mengatakan kata-kata yang akan membuat Nia kembali mengingat kejadian itu. “Ya, hitung-hitung balas budi kamu. Secara saya seperti ini juga karena kamu!”“Iya, saya tahu harus membalas kebaikan Bapak tapi tidak dengan cara menyamar juga,” sahut Nia saat Bara mulai perhitungan dengannya.“Nah itu tahu.”Mengabaikan ucapan terakhir Bara, Nia malah memutuskan untuk bertanya apa yang harus dia kerjakan lagi.“Ya sudah, apa yang harus saya kerjakan lagi?” tanya Nia memandang wajah Bara yang meliriknya.“Luka kamu bagaimana?”“Hah?”Bukan lagi tertuju pada wajahnya, ketika pria itu menatap sebelah pinggang Nia.“Luka kamu bagaimana?” tanya Bara. “Apa sudah sembuh? Saya pikir kamu tidak perhatian karena terlalu perhatian untuk merawat sa-”“Saya kuat koq, Pak!” kata Nia seraya tersenyum sinis.“Biar say
Setelah kejadian pelukan itu Nia merasa sangat canggung sekali ketika harus berhadapan dengan Bara. Biasanya Nia yang bersikap santai mendadak menjadi canggung. Bahkan biasanya Nia kalau menyiapkan obat selalu memberikannya langsung ke tangan Bara namun kali ini berbeda, dia meletakkan di hadapan Bara yang bisa pria itu jangkau.“Kamu marah?”Pertanyaan yang dilontarkan Bara itu tentu membuat Nia bertambah gugup saja. Namun sebisa mungkin dia tidak akan tampakan. Sebenarnya Nia tidak terlalu menganggapnya masalah besar karena dia paham posisinya waktu itu Bara mengucapkan nama Mama. Jadi bisa diartikan kalau saat ini Nia dianggap sebagai Mamanya bukan memang niatan untuk memeluknya.“Eng-gak, karena saya tahu waktu itu mungkin Bapak anggap saya adalah Mama Pak Bara!” jawab Nia singkat. “Obatnya segera diminum.”“Kasih ke tangan saya, Nia!” perintah Bara.“Aduh, ini orang paling sengaja buat akau tambah gugup aja!” batin Nia.Dengan patuh Nia menuruti keinginan Bara hingga pria itu sel
“Sebentar ... maksudnya tidur itu yang bagaimana ya?”“Masa kamu gak tahu,” tanya Bara tersenyum mengoda. “Ya, making love. Masih gak paham juga?”“Astaghfirullah, ini orang di kasih hati minta jantung,” gerutu Nia pelan tapi masih bisa didengar oleh Bara yang memunculkan kekehan dari bibirnya.“Gimana, mau gak?” desak Bara masih mencecar menginginkan jawaban Nia sambil menaik turunkan alisnya. Sebenarnya Bara juga tidak serius menyuruh Nia menemaninya tidur, hanya dia penasaran apa jawaban dari pembantunya ini.“Denger ya, Pak Bara. Saya tidak mau melakukannya sebelum halal,” jawab Nia. “Lagian heran deh, bukannya Bapak pernah bilang kalau tidak menyukai saya jadi kenapa minta saya temani, hah!”“Hebat, gadis ini bisa menolakku. Padahal diluar sana banyak yang menginginkanku.” Bara berbicara pada dirinya sendiri.“Nia, saya seorang laki-laki dewasa dan normal kalau hanya untuk melakukan itu tidak perlu ada kata menyukai ataupun cinta juga bisa karena itu kebutuhan.”“Ih ... itu sih k
“Ternyata di sini tidak banyak berubah, sebelum aku tinggalkan lima tahun yang lalu,” gumam wanita cantik usai pesawat yang dinaiki landing.Wanita dengan pakaian simple, tanpa meninggalkan kesan mewah itu berjalan menyusuri lokasi bandara. Biasanya, ketika sampai di pintu kedatangan sudah ada sang putra yang menjemputnya dengan tersenyum lebar. Namun kali ini berbeda karena dia harus berjalan sendiri untuk mencari angkutan umum untuk mengantarkannya pulang ke rumah.Penampilan Riana yang seperti seorang turis itu mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Terang saja wanita yang melahirkan Bara tersebut sangat menjaga dan merawat kecantikan wajah dan tubuhnya.“Pak, bisa tolong antarkan saya ke jalan Pemuda?” tanya Riana pada seorang sopir taxi.“Bisa, Non!” Angguk sang sopir sambil tersenyum ramah.Merasa aneh dengan panggilan Non, Riana mencoba bertanya. “Kenapa panggil Non?” tanya Riana sembari sang sopir memasukkan barang Riana ke dalam bagasi belakang.“Lho, salah ya. Maaf,
“Nia ...!”Gadis itu tersentak kaget mendengar panggilan dari sang majikan. “Aduh, baru mau istirahat sebentar sudah bangun saja itu orang!” keluh Nia dengan menjalankan kakinya menuju kamar Bara.“Iya, Pak!” jawab Nia yang sudah berdiri di ambang pintu kamar.Bara mendongak dan mengulukan tangannya meminta bantuan. “Tolong bantu saya, saya mau ke kamar mandi!”Karena sudah terbiasa, Nia akan mengandeng tangan Bara seraya memeluk pinggangnya untuk menopang tubuhnya yang masih tidak kuat berjalan sendiri.“Bapak mau apa” tanya Nia sambil membawa Bara menuju kamar mandi dalam kamar itu. “Atau mau mandi? Lukanya belum kering lho?”“Kamu apa gak kerasa bau dekat saya?” Bara lanjut bertanya pada Nia. “Sebentar saja saya mau mandi nanti buru-buru di keringkan koq.”“Ya sudah hati-hati,” sahut Nia pada akhirnya. “Apa bisa dibuka sendiri bajunya?”Bukan maksud mengoda ucapan Nia itu karena yang sudah-sudah Bara akan meminta bantuan. Nah, sebelum Bara meminta bantuan ketika sudah di kamar mand
“Barayudha ... wake up!!” teriak seorang wanita dengan bersandar di depan pintu kamar. Kedua tangannya dia lipat di depan dada.Setelah beberapa menit menekan bel tetapi tidak ada yang membukanya membuat kesabaran seorang Riana memuncak dengan kekesalan. Beruntung wanita itu membawa kunci rumah.Bukan tidak wajar ketika Riana membawa kunci rumah sendiri. Selain karena rumah itu memang miliknya, dia juga tidak bisa memastikan sang putra ada di rumah atau tidak ketika dia datang. Ada Mbok Ijah di rumah, tapi terkadang ART nya itu seringnya ijin pulang kampung karena memang keluarganya di sana.Masih di posisi yang sama, berbaring. Pria itu mengucek matanya sebentar lalu memaksa matanya untuk terbuka.“Mama!” sentaknya kaget dengan mata melebar. Memaksa untuk bangun nyatanya tidak bisa karena nyeri di punggungnya.“Nia ... bangun! Nia!” bisik Bara pelan.Harusnya Nia bisa terbangun nyatanya gadis itu masih menutup matanya seolah seperti sedang bermimpi. “Pak, ternyata tubuh Anda sangat s
“What!! pekik Riana saat mendengar penjelasan panjang lebar sang putra.Cerita Bara hanya sampai siapa sosok Nia di rumah itu dan luka Bara di punggungnya, sedangkan saat mereka tertidur belum sampai semuanya yang Bara ceritakan.“Mam, listen me dulu,” seru Bara karena melihat sang Mama hendak berdiri seraya berkacak pinggang.“No ... i don’t believe you again,” ungkap Riana sambil memejamkan mata dengan melipat tangan di depan dada sambil berjalan mondar-mondar.Bara sendiri ingin menghampiri Riana, namun dia sendiri sangat kesulitan untuk berdiri. Berjalan ke sini saja tadi dibantu oleh Nia.“Now, i want call to your father,” ucap Riana sebelum duduk kembali. “Setelah itu kita putuskan kelanjutannya untuk hubungan kalian bagaimana!”“Maksudnya, Ma?” Bara tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya. Harusnya dengan penjelasan itu dia akan terbebas dari masalah ini karena memang tidak ada yang dirugikan diantara dirinya dan Nia.Riana langsung menjulurkan telapak tangannya menyuruh
Tatapan Riana beralih pada sang putra.“Lalu, kamu sendiri apa mencintai Nia?” tanya Riana sengaja ingin tahu bagaimana perasaan kedua orang di depannya ini.“Tidak, Ma! Aku bahkan benci dia yang sok kecakepan, sok suci dan sok cantik!”Nia baru tahu kalau Bara diam-diam mengaguminya, terbukti dengan penjelasan pria itu tadi. Sedang Bara sendiri merutuki keceplosannya itu, dengan begitu tanpa sadar dia mengakui kalau Nia memang cantik.Riana tersenyum simpul menatap sang putra, terlihat jelas kalau putranya menyimpan sedikit perasaan pada pembantunya ini. Mungkin Bara tanpa sadar mengatakan itu tapi buat Riana itu adalah sebuah kejujuran tanpa disadari.“Ma, maksudnya aku benci dia.” Bara mengulangi ucapannya karena melihat sang Mama seolah mencibirnya.“Oke ... yang satu gak cinta dan satu lagi benci-benci ...” Riana sengaja tidak melanjutkan ucapannya tentu saja untuk mengoda sang putra. “Mama jadi penasaran kalau kalian menikah akan jadi seperti apa kehidupan rumah tangga kalian!”
Pyar!Aldo berlari kencang ketika suara benda jatuh seperti pecahan kaca terdengar pada indera pendengarannya ketika ia baru saja masuk ke dalam kamar. Pikirnya sesuatu telah terjadi pada istri dan anaknya.“Hun …!”Tina menoleh pada suara seseorang yang memanggilnya dengan lembut.“Mas, kamu koq sudah pulang?”Mengabaikan ucapan sang istri, Aldo mendekat dengan wajah panik. Kemudian menatap sekitarnya dan mendapati sang anak sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tetapi mendapati pigura foto istrinya dengan sahabatnya ada di lantai. Dari situ Aldo paham kalau yang jatuh tadi pigura tersebut.“Kamu kenapa?” tanya Aldo setelah menatap sekilas wajah wanita masa lalunya yang sudah tidak ada lagi di hatinya sekarang.Tina tidak paham ucapan Aldo sampai ia melihat manik Aldo yang melirik pigura tersebut.“Oh, tadi aku gak sengaja menjatuhkannya,” jawab Tina. “Ah, maaf ya, kamu khawatir ya?” Wanita itu beranjak berdiri dan hendak memungguti pecahan kaca tersebut.Aldo menahan tangan
“Sayang,” sapaan itu masuk berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan menampilkan sesosok pria yang selalu Nia rindukan. Siapa lagi kalau bukan Bara, sang suami.Setelah beraktifitas seharian di rumah sakit, ia selalu bersiap untuk pulang ke rumah lebih cepat untuk menemui istri tercintanya.Ya, Nia telah membuat keputusan untuk berhenti bekerja. Nia ingin fokus menjadi ibu rumah tangga daan mengurus bayinya sendiri. Menjadi kebanggaan tersendiri ketika ia bisa mengurus keluarganya sendiri bukan ditangan seorang ART.Toh, uang Bara masih sanggup membiayai hidupnya dengan anak-anak mereka. Jadi untk maasalah keuangan Nia yakin sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mas …!”Nia merentangkan kedua tangannya, bersiap memeluk suaminya itu. Tanpa ragu pria itu merangkak naik dan ikut berbaring di sebelah Nia. Memeluk wanita itu dari samping dan melabuhkan kecupan-kecupan di keningnya.Sekarang usia kandungan Nia sudah mendekati HPL.“Kenapa gak bangun, hmm?” tanya Bara setelah meng
“Gak kerja?”Nia mendengus sambil menatap kesal pada sang suami ketika pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Berjalan menuju tempat tidur untuk mendekati istrinya yang duduk bersandar di tepi tempat tidur.Kalau bukan karena kejujuran Bara kemarin mungkin Nia akan dengan senang hati berangkat kerja hari ini. Tetapi saat ini sepertinya ia belum bisa berhadapan langsung dengan penghuni rumah sakit yang pastinya akan memberondong dengan banyak pertanyaan.“Kalau saja kamu gak bil-”Ucapan Nia terhenti karena Bara mencuri kecupan pada bibir wanita itu. “Semalam sudah dibahas jadi gak perlu diulang lagi!”Semalam memang membahas tentang bagaimana Nia akan menjawab seputar hubungannya dengan Bara dan mereka berdua setuju dengan keputusan yang dibuat, cuman Nia merasa tidak yakin dengan itu.“Mas!” hardik Nia sambil memukul keras dada sang suami karena Bara kembali mencuri ciuman saat Nia akan melempar sanggahan. “Kamu tuh, bisa diem gak? Jangan sentuh-sentu
“Dokter Bara, Suster Nia pingsan di cafetaria. Saya binggung harus memberitahu siapa, mungkin Dokter bisa membantu saya karena dulu kan Suster Nia adalah asisten, Dokter.”Bara tersentak kaget mendengar serentetan kata dari salah seorang suster yang bertugas di poli UGD.“Koq bisa?” Pria itu beranjak berdiri dari meja kerjanya kemudian menghampiri Suster tersebut. Sekarang Bara sudah tidak lagi bertugas di poli UGD karena ia sudah pindah ke poli Jantung sesuai dengan spesialisnya, sedangkan Nia masih tetap menghuni poli UGD. “Sekarang masih di cafetaria?”Belum juga mendapat jawaban Dokter spesialis Jantung itu berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti ketika Suster tersebut menyebutkan tempat yang lain dari yang tadi.“Sekarang sudah di UGD, Dok.”Bara pada akhirnya memutar haluan untuk menuju poli UGD, karena poli tersebut berbeda arah dengan jalan yang sudah dilalui tadi.Sampai di poli UGD.Bara langsung masuk begitu saja sembari bertanya pada Dokter yang ada di sana. “Dimana
“Mas, Tina sudah melahirkan. Aku boleh jeguk kan?”Satu pertanyaan Nia berhasil mengusik konsentrasi sang suami. Pria itu sedang serius menatap layar laptop untuk membaca riwayat kesehatan pasien-pasiennya yang hendak dioperasi.“Tanya dulu apa suaminya itu ada atau tidak! Aku gak mau kamu ketemu dengan pria itu.”Bara memang sudah antipati dengan yang namanya Aldo. Ia hanya sedang menjaga miliknya agar tetap berada di batasnya.Nia mendesis kesal, suaminya itu kalau sudah cemburu seperti itu membuatnya tidak bebas. Tetapi paham juga kekhawatiran Bara. Beruntung Bara tidak tahu kalau Aldo saat itu pernah mengatakan kalau masih mencintainya. Kalau tahu, mungkin pria itu sudah melarang sepenuhnya berhubungan dengan Tina.“Ish … terus kalau Aldo di rumah suruh pergi gitu?”“Sekarang sudah di rumah?” tanya Bara memastikan.“Eh, gak tahu ya. Tina cuman bilang kalau dia sudah melahirkan, bayinya perempuan, cantik kayak dirinya,” sahut Nia tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. “Ben
Enam bulan kemudian.Tepat pukul satu siang, Tina melahirkan anak pertamanya. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tampak cantik sekali, perpaduan wajah Tina dan Aldo. Suara tangisnya terdengar keras sekali di ruangan persalinan. Wajah Aldo juga terlihat lega setelah menemani sang istri yang masih lemas itu.Aldo mengambil alih untuk mengumandangkan adzan di telinga putri kecilnya itu. Rasa haru dan takjub menyelimuti pria itu. Tidak menyangka ada anak yang akan memanggilnya dengan sebutan Papa di hidupnya.Beberapa menit berlalu. Pria itu menyandarkan bayi mungilnya di dada dan ia dapat merasakan hangat nafas bayi tersebut. Selama ini ia hanya mengenal Bima saja dan ketika melihat putrinya ini Aldo lebih sangat bahagia.Sedangkan, Tina sendiri hanya melihat dengan bibir yang sedikit tertarik antara bahagia dan sedih. Bahagia karena anaknya sudah lahir ke dunia, sedih karena belum ada perubahan yang lebih baik, hubungannya dengan sang suami.Meski cinta belum hadir di hati suaminya itu
“Wah, cucu Oma sudah pulang ya? Gimana acaranya seru gak?”Suara Maria sudah terdengar ketika Bara membuka pintu dengan mengendong Bima yang sudah tertidur pulas. Kebetulan hari ini akhir Minggu dan waktunya berlibur ke rumah Maria.“Eh, Bima tidur ya?” Maria melanjutkan bertanya.“Iya, Bun,” jawab Bara singkat. Suasana hatinya masih buruk sejak melihat Aldo mengenggam tangan istrinya. “Maaf, Bunda. Bima boleh tidur sama Bunda gak?”Tanpa bertanyapun, Maria setuju saja. Lagian dengan adanya Bima dia jadi tidak sendirian tidurnya.“Boleh dong, ya sudah cepat bawa ke kamar Bunda!” pinta Maria pada Bara.Kaki panjang Bara melangkah menuju kamar sang mertua. Tidak lama Nia datang dan melihat Bara yang berjalan tidak ke kamar mereka.“Lho, Bima mau dibawa ke mana, Mas?” teriaknya. Namun, Bara tidak peduli pertanyaan wanita itu. Sedangkan Maria yang sudah berjalan di depan Bara tidak mendengar ucapan putrinya itu.Kesal, lagi-lagi Bara melakukan tindakan tanpa memberitahukannya. Nia berjala
“Om Ayah!”Teriakan bocah yang mengema itu membuat Aldo tersentak kaget. Bukannya tidak suka tapi ia tidak akan menyangka kalau dipertemukan lagi dengan Bima setelah semua masalah diantara dirinya dengan Nia. Bima, bocah yang ia sayangi dan sudah dia anggap seperti anak kandungnya sendiri.Manik Aldo menyiratkan kebahagiaan. Pria itu seketika berjongkok dan merentangkan kedua tangannya ke samping agar bocah tersebut masuk ke dalam dekapannya. Benar saja, begitu melihat yang dilakukan Aldo, Bima langsung berlari kemudian membenamkan wajahnya di leher Aldo. Seolah mereka tidak bertemu puluhan tahun.“Aku kangen sama Om Ayah!” celetuk Bima yang membuat Aldo makin teriris hatinya.Aldo membisu, tidak menjawab ucapan Bima. Membiarkan indera penciumannya untuk beberapa saat menikmati aroma minyak telon yang ada di tubuh Bima.“Kata Mama, aku sudah gak boleh ganggu Om Ayah lagi! Karena Om Ayah mau punya adik bayi.”Aldo semakin menekan tubuhnya pada tubuh Bima. Detak jantungnya berpacu lebi
Di ruangan Bara.Baik Nia dan Bara terkesiap menatap isi amplop coklat pemberian Dokter Kalandra.“Mas, sepupu kamu itu ternyata diluarnya saja yang galak ya tapi dalamnya … tidak diragukan lagi,” puji Nia sambil terkikik, masih sulit mempercayai sikap Dokter Kalandra.“Dalamnya?” Bara mengulangi ucapan istrinya itu sambil menatap curiga. “Memang kamu sudah tahu dalamnya dia seperti apa, hah?”“Yee … malah sewot ini orang! Maksud aku itu kan secara yang terlihat diluar itu dia adalah pria galak, buktinya marahin OG tadi seperti punya salah besar banget padahal kan cuman terlambat saja. Itupun beberapa menit saja. Tetapi koq dia bisa-bisanya ngasih kado seperti ini. Sehingga aku mikirnya dia itu pria yang perhatian gitu lho!” Nia menjelaskan dengan panjang lebar agar Bara mengerti maksudnya.Bukannya tidak paham, Bara hanya sedikit tidak suka kata dalamnya yang diucapkan Nia seolah wanita itu tahu seperti apa sosok sang sepupu.“Iya, aku sudah tahu maksudmu!” balas Bara santai. Pria it