“Sebentar ... maksudnya tidur itu yang bagaimana ya?”“Masa kamu gak tahu,” tanya Bara tersenyum mengoda. “Ya, making love. Masih gak paham juga?”“Astaghfirullah, ini orang di kasih hati minta jantung,” gerutu Nia pelan tapi masih bisa didengar oleh Bara yang memunculkan kekehan dari bibirnya.“Gimana, mau gak?” desak Bara masih mencecar menginginkan jawaban Nia sambil menaik turunkan alisnya. Sebenarnya Bara juga tidak serius menyuruh Nia menemaninya tidur, hanya dia penasaran apa jawaban dari pembantunya ini.“Denger ya, Pak Bara. Saya tidak mau melakukannya sebelum halal,” jawab Nia. “Lagian heran deh, bukannya Bapak pernah bilang kalau tidak menyukai saya jadi kenapa minta saya temani, hah!”“Hebat, gadis ini bisa menolakku. Padahal diluar sana banyak yang menginginkanku.” Bara berbicara pada dirinya sendiri.“Nia, saya seorang laki-laki dewasa dan normal kalau hanya untuk melakukan itu tidak perlu ada kata menyukai ataupun cinta juga bisa karena itu kebutuhan.”“Ih ... itu sih k
“Ternyata di sini tidak banyak berubah, sebelum aku tinggalkan lima tahun yang lalu,” gumam wanita cantik usai pesawat yang dinaiki landing.Wanita dengan pakaian simple, tanpa meninggalkan kesan mewah itu berjalan menyusuri lokasi bandara. Biasanya, ketika sampai di pintu kedatangan sudah ada sang putra yang menjemputnya dengan tersenyum lebar. Namun kali ini berbeda karena dia harus berjalan sendiri untuk mencari angkutan umum untuk mengantarkannya pulang ke rumah.Penampilan Riana yang seperti seorang turis itu mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Terang saja wanita yang melahirkan Bara tersebut sangat menjaga dan merawat kecantikan wajah dan tubuhnya.“Pak, bisa tolong antarkan saya ke jalan Pemuda?” tanya Riana pada seorang sopir taxi.“Bisa, Non!” Angguk sang sopir sambil tersenyum ramah.Merasa aneh dengan panggilan Non, Riana mencoba bertanya. “Kenapa panggil Non?” tanya Riana sembari sang sopir memasukkan barang Riana ke dalam bagasi belakang.“Lho, salah ya. Maaf,
“Nia ...!”Gadis itu tersentak kaget mendengar panggilan dari sang majikan. “Aduh, baru mau istirahat sebentar sudah bangun saja itu orang!” keluh Nia dengan menjalankan kakinya menuju kamar Bara.“Iya, Pak!” jawab Nia yang sudah berdiri di ambang pintu kamar.Bara mendongak dan mengulukan tangannya meminta bantuan. “Tolong bantu saya, saya mau ke kamar mandi!”Karena sudah terbiasa, Nia akan mengandeng tangan Bara seraya memeluk pinggangnya untuk menopang tubuhnya yang masih tidak kuat berjalan sendiri.“Bapak mau apa” tanya Nia sambil membawa Bara menuju kamar mandi dalam kamar itu. “Atau mau mandi? Lukanya belum kering lho?”“Kamu apa gak kerasa bau dekat saya?” Bara lanjut bertanya pada Nia. “Sebentar saja saya mau mandi nanti buru-buru di keringkan koq.”“Ya sudah hati-hati,” sahut Nia pada akhirnya. “Apa bisa dibuka sendiri bajunya?”Bukan maksud mengoda ucapan Nia itu karena yang sudah-sudah Bara akan meminta bantuan. Nah, sebelum Bara meminta bantuan ketika sudah di kamar mand
“Barayudha ... wake up!!” teriak seorang wanita dengan bersandar di depan pintu kamar. Kedua tangannya dia lipat di depan dada.Setelah beberapa menit menekan bel tetapi tidak ada yang membukanya membuat kesabaran seorang Riana memuncak dengan kekesalan. Beruntung wanita itu membawa kunci rumah.Bukan tidak wajar ketika Riana membawa kunci rumah sendiri. Selain karena rumah itu memang miliknya, dia juga tidak bisa memastikan sang putra ada di rumah atau tidak ketika dia datang. Ada Mbok Ijah di rumah, tapi terkadang ART nya itu seringnya ijin pulang kampung karena memang keluarganya di sana.Masih di posisi yang sama, berbaring. Pria itu mengucek matanya sebentar lalu memaksa matanya untuk terbuka.“Mama!” sentaknya kaget dengan mata melebar. Memaksa untuk bangun nyatanya tidak bisa karena nyeri di punggungnya.“Nia ... bangun! Nia!” bisik Bara pelan.Harusnya Nia bisa terbangun nyatanya gadis itu masih menutup matanya seolah seperti sedang bermimpi. “Pak, ternyata tubuh Anda sangat s
“What!! pekik Riana saat mendengar penjelasan panjang lebar sang putra.Cerita Bara hanya sampai siapa sosok Nia di rumah itu dan luka Bara di punggungnya, sedangkan saat mereka tertidur belum sampai semuanya yang Bara ceritakan.“Mam, listen me dulu,” seru Bara karena melihat sang Mama hendak berdiri seraya berkacak pinggang.“No ... i don’t believe you again,” ungkap Riana sambil memejamkan mata dengan melipat tangan di depan dada sambil berjalan mondar-mondar.Bara sendiri ingin menghampiri Riana, namun dia sendiri sangat kesulitan untuk berdiri. Berjalan ke sini saja tadi dibantu oleh Nia.“Now, i want call to your father,” ucap Riana sebelum duduk kembali. “Setelah itu kita putuskan kelanjutannya untuk hubungan kalian bagaimana!”“Maksudnya, Ma?” Bara tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya. Harusnya dengan penjelasan itu dia akan terbebas dari masalah ini karena memang tidak ada yang dirugikan diantara dirinya dan Nia.Riana langsung menjulurkan telapak tangannya menyuruh
Tatapan Riana beralih pada sang putra.“Lalu, kamu sendiri apa mencintai Nia?” tanya Riana sengaja ingin tahu bagaimana perasaan kedua orang di depannya ini.“Tidak, Ma! Aku bahkan benci dia yang sok kecakepan, sok suci dan sok cantik!”Nia baru tahu kalau Bara diam-diam mengaguminya, terbukti dengan penjelasan pria itu tadi. Sedang Bara sendiri merutuki keceplosannya itu, dengan begitu tanpa sadar dia mengakui kalau Nia memang cantik.Riana tersenyum simpul menatap sang putra, terlihat jelas kalau putranya menyimpan sedikit perasaan pada pembantunya ini. Mungkin Bara tanpa sadar mengatakan itu tapi buat Riana itu adalah sebuah kejujuran tanpa disadari.“Ma, maksudnya aku benci dia.” Bara mengulangi ucapannya karena melihat sang Mama seolah mencibirnya.“Oke ... yang satu gak cinta dan satu lagi benci-benci ...” Riana sengaja tidak melanjutkan ucapannya tentu saja untuk mengoda sang putra. “Mama jadi penasaran kalau kalian menikah akan jadi seperti apa kehidupan rumah tangga kalian!”
“Beneran, Bapak mau nikah sama saya?”Bara menoleh ke arah Nia yang pandangannya sedang menatap layar TV. Tidak di kamar lagi. Dengan bantuan Nia, pria itu sudah duduk di ruang tengah rumah mewah tersebut.“Menurut kamu?” jawab Bara, pasrah. Tentu saja dia tidak bisa menolak permintaan sang Mama.“Nyonya itu kan Mamanya Anda. Ya dirayu atau apalah gitu?” tawar Nia kali ini sengaja menatap Bara dengan tatapan memohon.“Biarin aja, kita terima pernikahan ini!” pinta Bara seraya melirik Nia yang langsung membuang muka, merasa kesal dengan Bara yang seperti main terima saja padahal dia yakin kalau Bara tidak melakukan apa-apa padanya hanya tidur saja.“Terima saja! Gampang banget bicaranya, emang enak punya suami kayak dia. Menyebalkan,” gumam Nia pelan, akan tetapi Bara yang duduk tidak jauh darinya tentu saja bisa mendengarnya.Bara menatap Nia tanpa expresi. “Saya denger apa yang kamu gumamkan, lho, Nia! Memang apa yang menurut kamu gak enak kalau jadi istri saya, hah?”“Bapak gak cint
“Ma, kasih waktu Nia untuk berpikir,” kata Bara. “Dia juga kan perlu alasan yang jelas supaya orang tuanya menyetujui pernikahan kita dan tidak berpikiran macam-macam.”Nia tidak menyangka kalau Bara akan membantunya bicara pada Riana, secara sepertinya Bara tampak santai. Berbeda dengan dirinya yang berpikir keras untuk menolak.“Tapi keputusan Mama sudah jelas, Papa datang kita langsung ke tempat orang tua Nia!”***“Iya, Lif?” sapa Bara pada sambungan telepon. Setelah memasuki kamar, ponsel Bra berdering dan menampilkan sang asisten.[Tadi kapten Ardan telepon, mau menanyakan bagaimana kelanjutan masalah insiden penusukan kamu,] ucap Alif.Dari situ bisa dipastikan kalau tadi yang menelpon Bara adalah dari pihak kepolisian. Sang tersangka memang sudah diamankan dan dimasukkan dalam jeruji besi tapi sudah seminggu ini kasusnya belum diputuskan karena menunggu kesembuhan Bara.“Sudah agak membaik tapi masih nyeri kalau dibuat duduk lama,” jelas Bara, apa yang dia rasakan. “Lusa aku d