Menikahi Laura. Itulah yang menjadi tuntutan Hana saat ini. Hana tak ingin tawaran pertanggungjawaban yang lainnya dari Bimo. Sebagai ibu, Hana ingin memberikan perlindungan masa depan sebaik-baiknya bagi Laura. Dia tak ingin anaknya menerima penghinaan bila hamil tanpa suami. Apalagi Bimo memanglah ayah dari anak yang dikandung Laura. Bagaimanapun, Bimo harus menjadi suami Laura dan juga ayah bagi anak yang sedang dikandungnya, agar anak itu mendapatkan jaminan status yang jelas secara hukum.“Cepat urus dokumen pernikahan kalian. Sebelum anak itu lahir, kalian harus sudah resmi menikah. Tak perlu ada perayaan segala, yang penting sah di mata hukum!” ketus Hana sambil bersedekap memandangi Bimo dengan sorot setajam pedang.Bimo tak bisa lagi lari dari pernikahan ini. Dia mungkin bisa menghindar bila Laura yang memintanya, namun dia tak berkutik ketika berhadapan langsung dengan Hana. Tekad Bimo yang semula ingin melontarkan penolakan untuk menikahi Laura pupus sudah di depan ras terk
“Aya! Demi apa kita malah ketemu di sini, padahal saat masih sama-sama di Jakarta kita selalu dihempas kesibukan dan malah nggak sempat-sempat tiap mau ketemu,” kata Jelita saat menemui Aya di sebuah kafe. Sementara itu William sedang ke rumah sakit untuk menjenguk Laura.Aya mencebik. “Kamu yang sibuk banget loh, aku mah nggak! Hmm maklumlah yang udah jadi pengusaha sukses,” godanya sambil terkekeh usil.“Ah, bisa aja kamu, Ay! Tapi kan aku selalu datang setiap kali teman-teman kampus kita mengadakan reuni. Malah kamu yang sering absen nggak bisa ikut reunian, kan? Hayoo!” Jelita balas mencebik, meledek Aya.“Habis mau gimana, Ta, setiap kali reunian, jadwalnya selalu saja tabrakan sama kerjaanku di luar kota. Ketimbang diomelin bos, ya terpaksa deh aku absen nggak ikutan reuni.”“Kamu kerja di mana sih, Ay?”Aya kemudian menyebutkan nama sebuah perusahaan multinasional yang berinduk di Kanada, tepatnya di kota Montreal. “Makanya aku dikirim ke sini buat ikut pelatihan selama 6 bulan
Sesuai janji yang telah disepakai, Bimo menemui Aya di apartemennya pada malam hari setelah dia menjenguk Laura di rumah sakit. Aya ternyata sudah menunggunya dan tersenyum melihat kedatangan Bimo. “Hai, Bim. Masuklah,” sambut Aya seraya melebarkan daun pintu. Bimo melangkahkan kakinya, melewati pintu yang terbuka lebar. Ketika Bimo masuk ke dalam apartemen tipe studio yang disewa Aya selama 6 bulan ke depan itu, langkahnya terhenti sejenak saat melihat sekeliling. Apartemen Aya terlihat rapi dan sederhana dengan nuansa yang hangat dan nyaman. Di sudut ruangan, terdapat sofa berwarna lembut yang dipenuhi dengan bantal-bantal beraneka warna. Di seberangnya, ada sebuah meja makan mini yang fungsional, dengan dua kursi kecil yang terlihat menyenangkan untuk makan berdua.Pandangan Bimo kemudian tertuju pada area lain di apartemen. Di seberang meja makan, ada sebuah ranjang yang tampak lembut dan mengundang. Itu adalah ranjang Aya, dan Bimo merasa canggung melihatnya. Dinding apartemen
Bimo menyadari sentuhannya tidak membuat Aya lebih rileks, justru sebaliknya, dia bisa merasakan ketegangan yang melingkupi seluruh diri Aya. Dia melepaskan tangannya dari pundak Aya dengan hati-hati. "Ay, apa yang salah?" tanya Bimo dengan lembut. Aya menggelengkan kepala, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. "Nggak, kok. Gue … sedikit capek, mungkin karena tadi di kantor kerjaan gue cukup padat." Bimo memperhatikan ekspresi wajah Aya, dan dia merasa ada sesuatu yang Aya sembunyikan darinya. Namun, dia tidak ingin memaksa Aya untuk bicara jika wanita itu tidak merasa nyaman. "Baiklah, gue pulang kalau gitu, biar elu lekas istirahat.” Aya mengangguk, tetapi diam-diam dalam hatinya merasa berat untuk melepaskan Bimo pergi begitu saja. Dia merasa canggung dengan perasaannya sendiri, bingung dengan kehadiran Bimo yang mendadak begitu dekat dalam hidupnya. Bimo berdiri dari sofa, menatap Aya. "Gue, nggak ganggu elu kan, Ay?” ujarnya sambil tersenyum lembut memandangi wajah Aya
Hana memasuki ruang perawatan Laura dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa, sedih, dan juga cemas memikirkan tentang Laura. Isi video itu masih terus membayanginya. Rasa suka Laura kepada Bimo ternyata seperti pisau bermata dua, di satu sisi bisa memotivasi Laura bangkit dari kemalasannya belajar. Namun, di sisi lainnya Laura betul-betul ingin mendapatkan Bimo dengan cara apapun, termasuk dengan menyerahkan tubuhnya tak peduli Bimo sudah memiliki Jelita.“Ma?” tegur Richie sambil tersenyum, tetapi senyumnya itu menyurut begitu melihat ekspresi wajah istrinya yang tegang.Hana memandangi Laura lekat-lekat, membuat Laura menunduk takut dipandangi mamanya sedemikian rupa. Seakan tatapan Hana adalah pisau tajam yang sedang menguliti kesalahannya.“Laura. Kenapa sampai sekarang kau belum minta maaf pada Kak Lita, hmm?” ucap Hana sambil berdiri di sisi ranjang Laura dan bersedekap memandangnya. “Mama sudah melihat video yang kau kirim kepada kak Lita. Mama juga sudah membaca kiri
Setelah seminggu menjalani perawatan intensif di rumah sakit, wajah Laura yang lelah perlahan-lahan mulai kembali berseri-seri, dan rasa sakit yang pernah menghantui tubuhnya, kini sudah mereda. Ini semua berkat kerja keras tim medis yang tak henti-hentinya memberikan perawatan terbaik untuknya.Dengan suara yang lembut dan penuh kehangatan, Barbara selaku dokter bedah Laura mengatakan bahwa kondisi Laura sudah jauh lebih baik dan diperbolehkan pulang. Barbara kemudian memberikan panduan pemulihan untuk Laura. Dia menjelaskan bahwa Laura harus tetap mengikuti rencana pengobatan, mengonsumsi obat sesuai resep, dan menjaga pola makan yang sehat untuk mendukung pemulihannya."Laura, selama beberapa waktu ke depan, hindarilah aktivitas fisik yang berat. Tubuhmu masih perlu waktu untuk pulih sepenuhnya, jadi pastikan untuk memberi dirimu cukup istirahat," kata Barbara sambil memandang Laura dengan penuh kepedulian.Laura mengangguk-angguk, menyimak petunjuk Barbara dengan baik. "Dalam beb
Bimo mendorong pintu kaca sebuah kafe dan membiarkan Aya memasuki ruangan terlebih dahulu. Aroma kopi yang harum mengisi udara, bercampur dengan aroma rempah-rempah dan wangi baked goods yang keluar dari dapur. “Kita duduk di sini saja, ya?”Bimo mengangguk saja menerima keputusan Aya. Mereka pun duduk di sudut kafe yang nyaman. Jendela besar di dekat meja mereka memberikan pemandangan indah pohon-pohon di tepi jalan yang daunnya berguguran. Musik instrumental yang lembut memainkan lagu-lagu yang menenangkan, menciptakan latar belakang yang sempurna untuk percakapan mereka. Barista-barista tampak bersemangat bergerak di balik meja kasir, menciptakan minuman kopi dengan cermat dan telaten. Suasana kafe dipenuhi dengan suara mesin espresso yang berdenting dan bunyi peralatan dapur yang berdenyut. Namun, keramaian ini tidak mengganggu keseluruhan ketenangan dan kenyamanan ruangan.Bimo dan Aya saling berbagi cerita, tertawa, dan menikmati segelas kopi hangat sambil menikmati keindahan
“Jadi, kau hanya berselingkuh dengan Laura?”Bimo mengangguk dan menghela napas panjang yang terdengar sebagai sebuah penyesalan.Jelita bersedekap dan ikut menghela napas. Dia kemudian mengangguk-angguk dan menyimpulkan, “Berarti, kau benar-benar mencintainya, Bim.”Ada ketidaksetujuan yang terpancar di dalam tatapan Bimo, namun Bimo hanya bisa tersenyum kecut. Tak etis juga menjelaskan kepada Jelita yang kini sudah bersuami, sedang ada suaminya pula, bahwa betapa dia hanya mencintai Jelita selama ini, bahkan sampai detik ini. Baginya, Laura hanyalah godaan sesaat yang bertubi-tubi menyerangnya menjelang rencana pernikahan mereka. “Aku dan Bang William akan kembali ke Jakarta besok. Kami tak akan kembali ke sini untuk menghadiri pernikahanmu dengan Laura, tapi kami turut berdoa atas kebahagiaan kalian,” pungkas Jelita menutup pembicaraannya dengan Bimo. Dia hanya ingin menyampaikan itu.Di sebelah Jelita, William yang semula tampak tegang berubah menjadi sedikit rileks, lalu pria it