Alan masih terngiang ancaman Dewi dia tahu betapa keras kepalanya gadis itu. Alan sudah hafal betul perangainya, sejak kecil bahkan semua yang diinginkan Dewi harus dituruti. Mungkin hal itu disebabkan pola didik orang tuanya yang terlalu memanjakannya.
“Kamu mengapa diam saja, AL?”
Kalimat gadis di depannya seketika membuat lamunan Alan buyar, jujur saja dia merasa tidak punya muka untuk duduk di dekat Lala. Dosa yang ia lakukan dengan Dewi terus membayanginya. Bagaimana dia berani menatap mata bening yang selalu dikaguminya itu? Sementara menyimpan dusta yang menyakitkan jika saja Lala sampai mengetahuinya.
Aib mungkin seperti itu istilah yang disembunyikan Alan.
“Nggak apa-apa. Aku hanya ada sedikit masalah kerjaan,” kilah Alan. Setelah itu Alan meraup udara banyak-banyak untuk mengisi oksigen karena dadanya tiba-tiba berasa sesak.
“Oh ya sudah. Jika ada masalah kamu bisa cerita. Meskipun mungkin aku tidak bisa membantu menyelesaikan, setid
Hubungan apa sebenarnya sedang dijalaninya. Lala bahkan tidak habis pikir. Jika Dewi selalu merecokinya. Gadis itu selalu muncul seperti hantu yang mengikuti Alan. Lala sendiri sebenarnya tidak masalah, hanya saja dia harus menjaga perasaan keluarganya. Tidak terbayangkan betapa kecewanya mereka nanti jika tahu ini semua.Mobil yang membawanya pulang telah berhenti tepat di depan rumahnya. Akhir-akhir ini orang tuanya juga tidak datang begitu pun dengan Adrian kakaknya. Sebelumnya Adrian sudah berpesan kembali ke kota Burgundy untuk konsentrasi pada sekripsinya. Ya sudah lagipula di sini sudah ada Bi Narti yang bisa diandalkan dan juga pak Kardi yang senantiasa bersedia mengantarkan Lala kemana pun berada.Lala turun dari mobil, langkah kaki itu cukup ringan menuju pintu. Hal pertama yang dilakukannya adalah menacari Bi Narti asisten rumah tangga, kesayangannya itu. Di mana lagi kalau tidak di kantornya. Maksudnya di dapur.Lala memelankan langkahnya karena mend
Hari sudah berganti malam. Pembicaraan bersama Glenn tadi siang, bahkan belum hilang. Gadis itu merebahkan tubuhnya di ranjang memandangi langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang.Mencoba mengeja dan menyusun kembali ucapan Glenn tadi siang. Merangkai satu persatu kata yang ia dengarkan. Mengapa Glenn selalu mengatakan Alan tidak baik dan mengapa Glenn begitu membenci Alan? Pertanyaan itu terus menerus berputar-putar di kepalanya. Apa alasan Glenn hanya sekedar peduli, seperti yang dikatakannya tadi? Atau Glenn sudah tahu banyak tentang Alan lebih dari yang Lala ketahui?Lala bangkit, kemudian beralih mencari ponselnya. Gadis itu kemudian menelpon seseorang.“Hallo!” Sapa Lala setelah panggilan itu tersambung.“Iya, Hallo!” terdengar suara seorang dari seberang.Lala mengernyit kemudian menatap ponselnya untuk memastikan nomor yang dipanggilnya benar. Di layar itu benar nomor yang dipanggilnya adalah Alan tetapi mengapa
Lala terbangun cukup pagi. Gadis itu mencari keberadaan ponselnya. Dia masih mengingat dengan baik, semalam video call dengan Glenn sampai ketiduran. Gadis itu mengecek pesan di ponselnya. Herannya tidak ada satu pun pesan dari Alan. Biasanya dia tidak pernah lupa mengirim pesan, sekedar mengingatkan selamat pagi atau bertanya tentang agenda setiap harinya.Kecewa?! Tentu saja tidak. Lala hanya sedikit heran saja.Kepalanya sedikit pusing mungkin karena terlalu banyak menangis semalam. Entah apa yang membuatnya bisa menangis sejadi-jadinya di depan Glenn.Setelah rutinitas dari kamar mandi Lala menuju dapur. Tentu saja mencari Bi Narti.“Non Lala sudah bangun?” Pertanyaan yang tidak perlu sebenarnya. Jelas-jelas Lala sudah bangun mengapa harus ditanyakan lagi? Tetapi entahlah kebiasaan berbasa-basi tampaknya masih menjadi budaya.Lala mengangguk dan duduk di samping Narti.“Mau masak apa, Bi? Biar Lala bantu.”
Lala terpaku demi melihat pemandangan menyedihkan ini. Bahkan sedikit pun tidak terpikirkan olehnya, jika dua orang yang begitu dekat dengannya itu tega menikamnya dari belakang.Lidahnya terasa kelu untuk berucap. Tubuhnya mendadak lemas dan gemetar. Air mata datang secara sukarela tanpa harus diundang, dalam sekejap saja pipi itu sudah basah. Lala tidak bisa menjaga dirinya untuk tegar.“La, aku bisa menjelaskan!” Alan berucap sambil memungut bokser hitam yang tergeletak di ujung ranjang, kemudian mengenakan secepatnya.Sementara Dewi memilih membungkus tubuhnya dengan gulungan selimut. Dia juga kelihatan shock hingga bingung harus berbuat apa lagi selain menyembunyikan rasa malunya.Kamar Alan tampak kacau, baju Dewi berserakan di lantai bahkan perangkat dalamnya pun terpampang di sana. Bersanding dengan singlet Alan. Pemandangan yang begitu menyakitkan buat Lala.Sementara Daniel cukup peka untuk mendampingi Lala dan secepatny
Berhati-hatilah dengan seseorang yang kamu percayai. Pengkhianatan selalu datang dari orang yang kita percayai. Jika bukan dari orang yang kamu percayai itu bukan pegkhianatan namanya. Pisau ditancapkan secara perlahan dari belakang, supaya sempurna luka yang dihasilkan. Saat kamu menoleh lalu tersadar dan tetap bertahan seakan kamu baik-baik saja, agar pisau tak menggores lawan. Karena dia adalah orang yang kamu kenal adalah hal yang menyakitkan.Seperti itulah gambaran hati Lala. Rasa sakit hati dan kecewa lebih besar dan menguasai dirinya. Bahkan hatinya menolak memaafkan mereka untuk saat ini.“Berhentilah menangis, air matamu terlalu berharga dikeluarkan demi pengkhianat itu,” hibur Daniel sambil terus menyetir mobilnya, dan sesekali menoleh ke arah Lala. “Jika kamu bersedih, maka mereka akan tertawa!” imbuhnya lagi.“Apa aku terlalu bodoh ya, Niel,” tanya Lala pelan masih di antara isaknya.“Bukan kamu yang
Lala mendongak demi bisa menatap mata hazel dari pria di depannya, “Glenn! Mengapa kamu ada di sini?” ucapnya heran. “Jangan biasakan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan! Aku tanya siapa dia?” “Itu bukan urusanmu! Mengapa selalu saja kamu ikut campur?” “Tentu saja aku ikut campur! Jika kamu di sakiti laki-laki lain ujung-ujungnya aku yang repot! Apa kamu lupa semalam kamu menangis, sampai tanganku pegal karena terus memegang hape demi memperhatikanmu!” “Oh jadi nyesel?!” “Iya dong kamu harus tanggung jawab!” “Maksudmu?” “Pijitin aku!” “Nggak mau!!” sahut Lala. Tiba-tiba Narti datang, dalam langkah tergesa menghampiri mereka. “Astaga! Mengapa ribut-ribut di luar! Ayo masuk dulu kita bicara di dalam!” ajak Narti. Kemudian menarik ke duanya untuk masuk. Sampai ruang tamu baru melepaskan tautan tangan mereka. “Sekarang kalian duduk bicara baik-baik, nggak pakai emosi nggak pakai teriak, bibi buatkan minuma
Lala menatap laptopnya, menyusuri larik demi larik kalimat. Memeriksa kembali sebelum memutuskan mengunggahnya ke platform. Manik itu tampak fokus sesekali jemarinya menari di atas keyboard. Mengedit dan menambahi beberapa kata agar enak jika dibaca.Menulis bukan hanya pekerjaan baginya tetapi sudah seperti nafasnya. Ketika dirinya tidak sanggup menyampaikan apa pun maka tulisan adalah pelariannya.Pintu diketuk beberapa kali oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Narti mengingat mereka hanya tinggal berdua. Berbeda dengan Kardi sang sopir. Dia tidak tinggal di rumah itu dan memilih tinggal dengan anak istrinya. Akan tetapi Kardi selalu datang tepat waktu sesuai jam kerjanya.“Masuk, Bi!” sahut Lala tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop di depannya.“Non Lala belum tidur?” tanya Narti. Seperti biasa pertanyaan basa-basi yang ia lontarkan.“Aku belum ngantuk BI, Bibi tidur duluan, gih!”“Bibi ju
“Katanya penting, Non. Mas Alan sampai memohon-mohon, aku nggak tega,” ucap Narti.Lala mendesah kasar, kemudian menutup laptopnya.“Baiklah, Bi. Tolong bilang Alan suruh tunggu sebentar, nanti aku turun,” ucap Lala.Setelah Narti keluar Lala beranjak memilih baju yang lebih pantas. Karena dirinya kali ini hanya menggunakan hotpant dan tangtop tipis. Tentu saja dia tidak mau tampil seperti itu di depan Alan.Lala memilih blouse oversize warna gading dipadu dengan legging hitam. Kemudian mengenakannya. Setelah itu menyisir rambutnya sebentar dan berkaca memeriksa kantung matanya. Masih banyak sisa bekas menangis di sana. Tetapi bukankah setiap masalah harus dihadapi? Ya. Lala harus menghadapinya meskipun rasa sakit masih terasa.Gadis itu turun dari tangga dan melihat Alan sudah duduk di sofa ruang tamu dengan tangan bertaut dan pandangan menunduk.“Hei, Al,” sapa Lala kemudian duduk di depan