Lala terbangun cukup pagi. Gadis itu mencari keberadaan ponselnya. Dia masih mengingat dengan baik, semalam video call dengan Glenn sampai ketiduran. Gadis itu mengecek pesan di ponselnya. Herannya tidak ada satu pun pesan dari Alan. Biasanya dia tidak pernah lupa mengirim pesan, sekedar mengingatkan selamat pagi atau bertanya tentang agenda setiap harinya.
Kecewa?! Tentu saja tidak. Lala hanya sedikit heran saja.
Kepalanya sedikit pusing mungkin karena terlalu banyak menangis semalam. Entah apa yang membuatnya bisa menangis sejadi-jadinya di depan Glenn.
Setelah rutinitas dari kamar mandi Lala menuju dapur. Tentu saja mencari Bi Narti.
“Non Lala sudah bangun?” Pertanyaan yang tidak perlu sebenarnya. Jelas-jelas Lala sudah bangun mengapa harus ditanyakan lagi? Tetapi entahlah kebiasaan berbasa-basi tampaknya masih menjadi budaya.
Lala mengangguk dan duduk di samping Narti.
“Mau masak apa, Bi? Biar Lala bantu.”
Lala terpaku demi melihat pemandangan menyedihkan ini. Bahkan sedikit pun tidak terpikirkan olehnya, jika dua orang yang begitu dekat dengannya itu tega menikamnya dari belakang.Lidahnya terasa kelu untuk berucap. Tubuhnya mendadak lemas dan gemetar. Air mata datang secara sukarela tanpa harus diundang, dalam sekejap saja pipi itu sudah basah. Lala tidak bisa menjaga dirinya untuk tegar.“La, aku bisa menjelaskan!” Alan berucap sambil memungut bokser hitam yang tergeletak di ujung ranjang, kemudian mengenakan secepatnya.Sementara Dewi memilih membungkus tubuhnya dengan gulungan selimut. Dia juga kelihatan shock hingga bingung harus berbuat apa lagi selain menyembunyikan rasa malunya.Kamar Alan tampak kacau, baju Dewi berserakan di lantai bahkan perangkat dalamnya pun terpampang di sana. Bersanding dengan singlet Alan. Pemandangan yang begitu menyakitkan buat Lala.Sementara Daniel cukup peka untuk mendampingi Lala dan secepatny
Berhati-hatilah dengan seseorang yang kamu percayai. Pengkhianatan selalu datang dari orang yang kita percayai. Jika bukan dari orang yang kamu percayai itu bukan pegkhianatan namanya. Pisau ditancapkan secara perlahan dari belakang, supaya sempurna luka yang dihasilkan. Saat kamu menoleh lalu tersadar dan tetap bertahan seakan kamu baik-baik saja, agar pisau tak menggores lawan. Karena dia adalah orang yang kamu kenal adalah hal yang menyakitkan.Seperti itulah gambaran hati Lala. Rasa sakit hati dan kecewa lebih besar dan menguasai dirinya. Bahkan hatinya menolak memaafkan mereka untuk saat ini.“Berhentilah menangis, air matamu terlalu berharga dikeluarkan demi pengkhianat itu,” hibur Daniel sambil terus menyetir mobilnya, dan sesekali menoleh ke arah Lala. “Jika kamu bersedih, maka mereka akan tertawa!” imbuhnya lagi.“Apa aku terlalu bodoh ya, Niel,” tanya Lala pelan masih di antara isaknya.“Bukan kamu yang
Lala mendongak demi bisa menatap mata hazel dari pria di depannya, “Glenn! Mengapa kamu ada di sini?” ucapnya heran. “Jangan biasakan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan! Aku tanya siapa dia?” “Itu bukan urusanmu! Mengapa selalu saja kamu ikut campur?” “Tentu saja aku ikut campur! Jika kamu di sakiti laki-laki lain ujung-ujungnya aku yang repot! Apa kamu lupa semalam kamu menangis, sampai tanganku pegal karena terus memegang hape demi memperhatikanmu!” “Oh jadi nyesel?!” “Iya dong kamu harus tanggung jawab!” “Maksudmu?” “Pijitin aku!” “Nggak mau!!” sahut Lala. Tiba-tiba Narti datang, dalam langkah tergesa menghampiri mereka. “Astaga! Mengapa ribut-ribut di luar! Ayo masuk dulu kita bicara di dalam!” ajak Narti. Kemudian menarik ke duanya untuk masuk. Sampai ruang tamu baru melepaskan tautan tangan mereka. “Sekarang kalian duduk bicara baik-baik, nggak pakai emosi nggak pakai teriak, bibi buatkan minuma
Lala menatap laptopnya, menyusuri larik demi larik kalimat. Memeriksa kembali sebelum memutuskan mengunggahnya ke platform. Manik itu tampak fokus sesekali jemarinya menari di atas keyboard. Mengedit dan menambahi beberapa kata agar enak jika dibaca.Menulis bukan hanya pekerjaan baginya tetapi sudah seperti nafasnya. Ketika dirinya tidak sanggup menyampaikan apa pun maka tulisan adalah pelariannya.Pintu diketuk beberapa kali oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Narti mengingat mereka hanya tinggal berdua. Berbeda dengan Kardi sang sopir. Dia tidak tinggal di rumah itu dan memilih tinggal dengan anak istrinya. Akan tetapi Kardi selalu datang tepat waktu sesuai jam kerjanya.“Masuk, Bi!” sahut Lala tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop di depannya.“Non Lala belum tidur?” tanya Narti. Seperti biasa pertanyaan basa-basi yang ia lontarkan.“Aku belum ngantuk BI, Bibi tidur duluan, gih!”“Bibi ju
“Katanya penting, Non. Mas Alan sampai memohon-mohon, aku nggak tega,” ucap Narti.Lala mendesah kasar, kemudian menutup laptopnya.“Baiklah, Bi. Tolong bilang Alan suruh tunggu sebentar, nanti aku turun,” ucap Lala.Setelah Narti keluar Lala beranjak memilih baju yang lebih pantas. Karena dirinya kali ini hanya menggunakan hotpant dan tangtop tipis. Tentu saja dia tidak mau tampil seperti itu di depan Alan.Lala memilih blouse oversize warna gading dipadu dengan legging hitam. Kemudian mengenakannya. Setelah itu menyisir rambutnya sebentar dan berkaca memeriksa kantung matanya. Masih banyak sisa bekas menangis di sana. Tetapi bukankah setiap masalah harus dihadapi? Ya. Lala harus menghadapinya meskipun rasa sakit masih terasa.Gadis itu turun dari tangga dan melihat Alan sudah duduk di sofa ruang tamu dengan tangan bertaut dan pandangan menunduk.“Hei, Al,” sapa Lala kemudian duduk di depan
Alan membuka pintu mobilnya dan segera turun. Sementara Lala masih tampak bingung, Villa ini begitu sepi! Apakah benar di dalam sana ada Dewi yang sedang disandra penculik? Keadaan sudah gelap. Hanya ada beberapa lampu yang menerangi Villa tersebut.Lala bahkan tersentak, saat pintu mobil itu terbuka.“Kamu jangan turun dulu, La! Aku akan melihat keadaan jika aman nanti aku akan mengabarimu,” pesan Alan pada Lala dan tanpa menunggu jawaban Lala, Alan Kembali menutup pintu mobil dan pergi menuju Villa.Lala menutup wajah dengan kedua tangannya sesaat. Kemudian membukanya dan memberanikan diri memperhatikan Kondisi Villa. Cukup sepi, dan tidak ada mobil lain di depan Villa, namun nampak sebuah motor terparkir di sana.“Hah?! Apa mungkin penculiknya hanya memakai sepeda motor?” gumam Lala sedikit heran.Terlihat Alan berjalan mendekati pintu Villa. Pintu itu terbuka, kemudian Alan berbicara dengan seseorang. Dari kejauhan
“Hentikan atau kau akan menyesal!” teriak Lala, dengan memiringkan kepalanya menghindari serangan Alan. Kemudian entah dapat kekuatan dari mana Lala menendang pusat senjata laki-laki itu, hingga Alan mengaduh seraya melepaskan kedua tangan Lala.Kesempatan bagus digunakan Lala untuk melarikan diri, gadis itu bergegas menuju pintu dan hendak membukanya, tapi sungguh sayang pintu terkunci. Lala memukul pintu itu sekuat tenaga.“Tolong ...!! Tolong ...!!” teriak Lala dengan sisa-sia energinya. Tubuh Lala bergetar hebat disergap takut. Bahkan dirinya tidak menyangka jika Alan bisa selicik itu. Jiwanya merasa direndahkan dan harga dirinya merasa diinjak-injak. Lala berjanji jika bisa keluar dari tempat ini tidak akan memaafkannya.Gadis itu juga berjanji jika Alan Sampai merenggut mahkotanya, Lala tidak akan Sudi menjadi istrinya.“Tolong ...!!!” teriaknya sambil terus meggedor pintu itu. Tubuhnya semakin menggigil takut kal
Gleen menarik kembali Lala dalam pelukannya, berjanji dalam hati akan selalu melindunginya dan tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti walau seujung kuku pun.Dalam pelukan itu Glenn merasakan getaran masih begitu hebat. Terang saja Lala shock karena seumur hidupnya belum pernah diperlakukan sekasar itu. Glenn menciumi pucuk kepalanya dan terus mengelus punggung gadis itu. Tetapi sayangnya itu tidak meredakan tangis gadis itu bahkan terdengar semakin hebat.Glenn melepaskan pelukannya, mengangkat dagu Lala dengan lembut, kemudian bertanya. “Katakan di mana dia tadi menyentuhmu?” lirih Glenn. Bukan pertanyaan yang baik rupanya karena itu malah memicu air mata Lala kian menganak sungai.“Apa dia menyentuh ini,” ucap Glenn seraya mengusap bibir Lala lembut. Ditanya seperti itu kejadian beberapa saat yang lalu kembali berputar di otak Lala. Masih teringat jelas bagaimana Alan memaksanya, bahkan karena tidak mendapat balasan Alan bertambah k
Setelah acara tiup lilin dilanjut acara pemotongan kue. Seperti biasa Lala memberi potongan pertama kue itu untuk Ayahnya. Harjito menerima suapan dari putrinya itu kemudian mengucapkan kalimat selamat diikuti rentetan doa.Acara cukup sederhana tetapi meriah dan keluarga inti datang semua. Setelah potong kue sudah selesai, Adrian yang bertindak seolah-olah menjadi MC. Memberitahukan acara selanjutnya yaitu hiburan yang akan diisi oleh bintang tamu.Lala bingung. Pasti Adrian hanya bercanda. Mana ada bintang tamu? Tetapi pandangan Lala seakan terkesima. Ketika dari pintu depan yang terbuka lebar datanglah rombongan tamu. di barisan paling depan Glenn, Sintia dan Herlambang. Setelah itu nampak Wijaya-Ririn, Alan-Dewi, Rega - Winda. Mereka memasuki ruangan dengan penuh senyum.Tampak para keluarga menyalami mereka sambil tersenyum."Lala maukah kamu menjadi istriku?" tanya Glenn lugas tanpa sedikitpun keraguan di depan keluarga besarnya. Pria itu mengeluarkan kotak berisi cincin yang ak
"Jadi, kamu dari mana saja?" hardik Harjito mengetahui putrinya baru saja pulang. Bahkan Lala baru beberapa langkah masuk ke dalam rumah. "Euhm ...." "Jangan banyak alasan! Kamu pasti menemui laki-laki pengecut itu kan?" "Namanya Glenn, Yah!" sahut Lala pelan. "Bagiku dia laki-laki nggak punya nama, karena tidak berani menunjukkan nyalinya. Masuk ke dalam kamar dan mulai hari ini kamu di bawah pengawasan, Ayah!" perintah Harjito. "Tapi, Yah!" "Tidak ada tapi! Ayah sudah terlalu banyak memberimu kebebasan! Dan sekarang nggak! Orang yang kesana kemari bersamamu harus orang yang memiliki status jelas! Bukan para pengecut seperti yang sudah-sudah!" putus Harjito. Pria itu telah memantau aktifitas putrinya akhir-akhir ini dan sebagian besar waktunya habis bersama Glenn. Lala masuk ke dalam kamarnya. Dan memberi kabar Glenn bahwa beberapa hari ke depan mereka tidak bisa bertemu. Anehnya Glenn menanggapinya biasa saja. Semua pesan yang ia kirim panjang lebar hanya mendapat jawaban.
"Lala, Glenn, angin apa yang membawa kalian hingga sudi mampir ke gubug Bapak?" tanya Wijaya penuh haru seraya mengulurkan tangan pada dua tamunya.Lala segera menyambut uluran tangan Wijaya dan mencium punggung tangannya. Meskipun hubungannya dengan Alan kandas, beliau tetaplah calon mertuanya. Mengingat sekarang Lala menjalin hubungan dengan putranya yang lain.Melihat antusiasnya respon Lala dalam menyambut uluran tangan itu. Glenn pun melakukan hal yang sama. Kemudian Glenn kembali duduk seraya berucap, "Maaf jadi kedatanganku ke sini ingin memohon restu pada, Anda!" ucap Glenn kaku. Diperlakukan demikian Wijaya tidak sakit hati. Mungkin saja Glenn belum bisa mengakui jika dirinya adalah Ayah kandungnya. Wijaya yakin kedatangan putranya kali ini merupakan terbukanya jalan bagi hubungan mereka. Lambat laun pasti Glenn akan menerimanya."Ooh ... Apakah kamu akan menikahi, Lala?" tanya Wijaya. Sedikit banyak Wijaya tahu kisah cinta di antara mereka. "Benar! Saya akan melamarnya, se
Glenn mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dalam hatinya masih bimbang.Dia berpikir apakah keputusannya ini sudah benar? Atau dia hanya seorang robot yang mengiyakan keinginan dua orang yang sangat disayanginya, Lala dan Sintia."Kenapa wajahmu tegang sekali Glenn?" tanya Lala setelah menilik raut muka laki-laki di sampingnya yang begitu serius. Tampak banyak beban di sana sudah seperti mau mengerjakan tugas negara dan jika gagal maka hidup akan menjadi taruhan."Ehmm ... Nggak La, aku hanya bingung mau ngomong apa nanti, jika sudah sampai!" sahut Glenn."Astaga! Kita bukan ingin wawancara kerja! Juga bukan ingin presentasi proposal! Jadi jangan terlalu serius, biarlah dialog mengalir dengan sendirinya, nanti jika sudah sampai juga bakal tahu mau ngomong apa!" sahut Lala."Tapi, La! Aku nggak enak, pasalnya kemarin aku menolak mereka! Jujur saja aku kecewa pada mereka!
"Kalian curang! Aku nggak dipeluk?" Protes Glenn.Sintia melepaskan pelukannya, menatap gadis pilihan putranya itu. Gadis yang sudah mengembalikan putranya untuk lebih semangat untuk hidupnya."Ish ... Cemburu? Lihatlah nanti Mama bahkan lebih sayang sama mantu daripada sama anak sendiri!" ucap Sintia."Terserah Mama, deh! Jadi kapan kita melamar Lala, Ma?" tanya Glenn."Jadi kamu benar-benar mau kawin?!" Sintia terlihat kaget dengan keputusan Glenn."Nikah, Ma, bukan kawin!" protes Glenn."Iya maksud mama Nikah. Apa kalian tidak mau tunangan dulu mungkin. Lagipula Lala kan masih kuliah baru semester satu!" jawab Sintia.Glenn menggeleng tidak setuju dengan usul mamanya. "Nggak Ma, aku nggak yakin bisa menjaga diri!""Sudah kebelet banget ya?" goda Sintia."Bukan, Ma. Maksud ak
"Ma, nanya apaan sih!" sahut Glenn menyelamatkan keadaan. Laki-laki itu kemudian menyerahkan minuman dingin untuk Lala, Lala segera menerimanya karena memang haus."Bisa buka tutupnya nggak?"Glenn meminta kembali menyadari jika Lala sering kesulitan membuka tutup botol minuman dingin.Setelah membukanya Glenn menyerahkan kembali."EHEM!!" deheman Sintia mengusik kegiatan keduanya."Mama apa nggak ada acara pergi ke rumah nenek? Atau pergi ke mall?! Tumben betah amat?" tanya Glenn, sembari memberi kode buat mamanya agar meninggalkan mereka berdua di ruangan itu.Tetapi sayangnya kode itu tidak diterima dengan baik, "Jadi apa lagi rencana kalian setelah kemarin main pembatu-pembantuan? Apa sekarang ada ide lain untuk mengelabuhi mama agar meninggalkan kalian berdua! Ingat jika sepasang manusia berlainan jenis bersama dalam suatu ruangan maka pihak ketiga adalah setan!" Sintia menegaskan ag
"Kita mau ke mana Glenn?" tanya Lala penasaran. Benar saja, seusai kelas. Glenn sudah gerak cepat untuk menculik Lala. Lelaki itu sepertinya tidak mau hilang kesempatan lagi setelah menyadari perasaannya."Masa iya kamu lupa ini jalan ke mana?" Jawab Glenn sambil terus mengemudikan mobilnya."Ini jalan ke apartemenmu! Tapi mau apa kamu mengajakku ke sana?""Untuk membuat kesapakatan baru!""Kesepakatan apalagi Glenn?""Ingin mengontrakmu menjadi pembantu tuan tampan seumur hidupmu. Jadi maukah Aquilla Anaya Pribadi menjadi pembantu kaya tuan tampan, ha ha ...""Aku nggak mau menjadi pembantumu Glenn, itu namanya menjatuhkan harga diriku, dulu aku mau karena bertanggungjawab. Meskipun bukan sepenuhnya kesalahanku. Tapi kali ini untuk alasan apalagi?""Karena kamu telah bandel masuk dihatiku jadi kamu harus dihukum!"&nbs
Hari ini Lala masuk kuliah untuk yang pertama sejak peristiwa itu. Rasanya malas, karena mau tidak mau akan bertemu Alan dan Dewi. Jujur saja Lala masih sakit hati dengan perbuatan mereka berdua. Apalagi setelah semua itu tidak ada di antara mereka yang berinisiatif untuk datang dan minta maaf. Mungkin saja harga maaf sudah mahal, sehingga mereka tidak mau mengusahakan. Mungkin pula ini perkara harga diri atau rasa malu? Ahhh ... Sepertinya Lala tidak mau menduga-duga karena takut malah jadi prasangka buruk. "La ..." panggil seseorang dan suara itu siapa pemiliknya, bahkan Lala belum lupa. Sahabat yang sudah dianggapnya saudara sendiri sejak Lala berada di kota ini. Lala menoleh tetapi membatalkan senyumnya. "Wi, kamu pucat sekali. Apakah kamu sakit?" tanya Lala menatap wajah Dewi yang begitu pucat. "Nggak, La! Aku hanya kurang tidur," terang Dewi. "Ooh aku kira sakit,"
Lala menyelesaikan kunyahanya. Meletakkan sendok pelan-pelan kemudian meraih jus alpukat di hadapannya. Setelah selesai Lala menatap Glenn."Apa kamu menunggu jawabanku?" tanyanya kemudian."Tentu saja. Ngapain lagi aku menatapmu seperti ini jika tidak menunggu jawabanmu?" Jawab Glenn kesal."Oke, aku akan menjawab pertanyaanmu. Jadi jika ternyata kamu adalah saudara Alan itu sungguh tidak ada hubungannya dengan aku mau jadi pacarmu atau tidak," jawab Lala bijak."Mengapa demikian?""Kita lahir dari rahim siapa, kita lahir di hari apa, jam berapa, di tolongin siapa kemudian ternyata kita lahir sebagai seorang laki-laki atau perempuan dan ternyata kita adalah saudaranya si a, b dan c. Itu mutlak kuasa Allah. Jadi kita hanya bisa terima dan tidak boleh menolak!""Kesimpulannya kamu tetap mau jadi pasanganku? Meskipun aku bersaudara dengan Alan?" tanya Glenn pen