Pagi ini Alan begitu bingung, bagaimana cara mengatakannya pada Lala. Tetapi jika permintaan Dewi tidak dituruti dia akan terus-terusan mengganggunya. Jika Dewi terus menginap di kos itu tidak baik, apalagi jika Lala sampai tahu. Semalam gadis itu sudah berani menyusul dan memeluknya saat tidur. Apa yang terjadi jika itu dibiarkan terus-menerus?
Alan menatap wajah gadis di depannya yang begitu tenang dan fokus dengan makanannya. Gadis ini teramat polos dan apa adanya meskipun dia anak orang kaya.
“La aku ingin ngomong sesuatu,” ucap Alan.
“Iya ngomong saja,” jawab Lala santai. Mereka berdua sedang berada di kantin kampus
“Nggak jadi,” ucap Alan tanpa berani menatap wajah Lala.
“Harus jadi,” sentak Lala.
“Mengapa begitu?” tanya Alan bingung.
“Jadi cowok itu harus tegas. Jika mau ngomong langsung saja to the point. Jangan banyak basa-basi aku nggak suka,” ucap Lala
“Bi Narti sedang sibuk?” tanya Lala. Gadis itu memperhatikan asisten rumah tangganya yang sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri sedang berkutat memilah-milah pakaian yang akan disetrikanya.“Nggak Non, Bibi mah kalo Non Lala butuh, semua pekerjaan akan Bibi tinggalkan,” ucap Surti tersenyum, kemudian menghampiri Nonanya yang duduk di sofa tidak jauh dari sana.“Aku lihat Bibi akhir-akhir ini dekat dengan, Glenn! Bibi jadi mata-mata Glenn ya?” ucap Lala dengan sorot mata menyelidik.“Betul itu, Non. Eh anu ... Ehm salah Non. Maksud Bibi itu tidak benar, masa iya Bibi jadi mata-mata,” ucapnya pura-pura mengelak.Dahi Lala mengernyit demi mendengar ucapan Bi Narti yang tidak konsisten, “Aku tahu Bibi bohong!” ucapnya kemudian. “Kenapa Bibi bohongin aku?”“Tahu dari mana Bibi bohong? Non Lala ini ada-ada saja, atau mungkin Non Lala ini setengah paranormal? Sehingga bisa
“Jadi kalian satu kos?” tanya Lala heran karena justru Alan membawanya ke kos. Padahal perkiraan Lala akan menemui Dewi di luar. Mungkin saja di cafe atau semacamnya. Lala terdiam sejenak memperhatikan penampilan Dewi dengan tangtop dan hotpant berwarna hitam.Sejenak Lala merasa dibohongi Alan. Tapi kemudian dia menetapkan hati untuk tidak berpikiran buruk. Lagi pula dia juga pernah tinggal seatap sama Glenn. Tapi memang tidak ada apa-apa kecuali ciuman itu. ‘Apakah Dewi juga melakukannya bersama Alan?’ batinnya tetap saja bertanya.“Iya, ayo masuk La!” ucap Dewi ramah.Lala menyambut keramahan Dewi dengan senyum kemudian mendekat dan duduk di depan Dewi dan menepikan pertanyaannya terlebih dahulu.Alan menyimpan helmnya dan menyusul mereka.“Maaf La. Memang benar kami terpaksa tinggal bersama. Tetapi kami nggak ngapa-ngapain kok, tahu sendiri kan. Kalau aku sudah menganggap Dewi itu adikku sendiri,”
“Besok kamu cari kos sendiri,” ucap Alan. Setelah selesai mengantar Dewi.“Temeni dong, Al!” pinta Dewi merengek dengan tatapan dibuat sememelas mungkin.“Jangan manja, besok seusai kuliah aku ada kerjaan! Setelah itu aku juga ingin ke rumah Lala,” ucap Alan sambil menyandarkan diri ke tembok. Tangannya mengambil rokok dan segera menyalakannya.“Rokok lagi!” protes Dewi.“Apa di depan Lala kamu juga seperti ini,” omel Dewi dengan wajah kesal.“Tidak!” ucap Alan santai sambil menyemburkan asap rokok itu tepat di wajah Dewi.Seketika Dewi terbatuk-batuk. “Kamu jahat banget sih Al,” protes Dewi hendak mencubit perut Alan. Tetapi tubuh itu malah terperosok lebih dalam ke pelukan laki-laki itu.Mata mereka bertemu. Dewi malah semakin meringkuk manja dalam dekapan lengan kaki-laki yang sangat diharapkannya itu.Hening. Hanya ada suara jam dinding yang
“Astaga! Ini apa-apaan, Wik!” Seru Alan mendapatkan kamarnya sangat berantakan. Hari ini dia pulang cukup larut. Karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Mengingat salah satu temannya mendadak tidak masuk. Dirinya sudah cukup letih. Bayangannya sampai di kos ingin segera istirahat. Tetapi melihat kondisi kamar seperti ini dia teramat kesal. “Apaan sih, Al! Biasa saja kali! Cewek mah biasa begini!” “Astaga, kamu jadi cewek nggak ada rapi-rapinya sama sekali! Setiap hari bangun siang, kamar berantakan jarang mau rapiin, dan ini apam?!” Alan menunjuk paper bag yang berserakan di lantai. “Ini apa?” kemudian menunjuk baju yang masih ada handtagnya berhamburan di kasur. “Bagus nggak, Al?” Dewi malah memperlihatkan baju yang sedang dicobanya. “Nggak!!” seru Alan. “Telingamu apa tuli? Apa kamu tidak mendengarkan pesanku tadi pagi?” geram Alan. “Pesan yang mana lagi?” tanya Dewi tanpa melihat ekspresi kemarahan Alan. Gadis itu mal
Alan masih terngiang ancaman Dewi dia tahu betapa keras kepalanya gadis itu. Alan sudah hafal betul perangainya, sejak kecil bahkan semua yang diinginkan Dewi harus dituruti. Mungkin hal itu disebabkan pola didik orang tuanya yang terlalu memanjakannya. “Kamu mengapa diam saja, AL?” Kalimat gadis di depannya seketika membuat lamunan Alan buyar, jujur saja dia merasa tidak punya muka untuk duduk di dekat Lala. Dosa yang ia lakukan dengan Dewi terus membayanginya. Bagaimana dia berani menatap mata bening yang selalu dikaguminya itu? Sementara menyimpan dusta yang menyakitkan jika saja Lala sampai mengetahuinya. Aib mungkin seperti itu istilah yang disembunyikan Alan. “Nggak apa-apa. Aku hanya ada sedikit masalah kerjaan,” kilah Alan. Setelah itu Alan meraup udara banyak-banyak untuk mengisi oksigen karena dadanya tiba-tiba berasa sesak. “Oh ya sudah. Jika ada masalah kamu bisa cerita. Meskipun mungkin aku tidak bisa membantu menyelesaikan, setid
Hubungan apa sebenarnya sedang dijalaninya. Lala bahkan tidak habis pikir. Jika Dewi selalu merecokinya. Gadis itu selalu muncul seperti hantu yang mengikuti Alan. Lala sendiri sebenarnya tidak masalah, hanya saja dia harus menjaga perasaan keluarganya. Tidak terbayangkan betapa kecewanya mereka nanti jika tahu ini semua.Mobil yang membawanya pulang telah berhenti tepat di depan rumahnya. Akhir-akhir ini orang tuanya juga tidak datang begitu pun dengan Adrian kakaknya. Sebelumnya Adrian sudah berpesan kembali ke kota Burgundy untuk konsentrasi pada sekripsinya. Ya sudah lagipula di sini sudah ada Bi Narti yang bisa diandalkan dan juga pak Kardi yang senantiasa bersedia mengantarkan Lala kemana pun berada.Lala turun dari mobil, langkah kaki itu cukup ringan menuju pintu. Hal pertama yang dilakukannya adalah menacari Bi Narti asisten rumah tangga, kesayangannya itu. Di mana lagi kalau tidak di kantornya. Maksudnya di dapur.Lala memelankan langkahnya karena mend
Hari sudah berganti malam. Pembicaraan bersama Glenn tadi siang, bahkan belum hilang. Gadis itu merebahkan tubuhnya di ranjang memandangi langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang.Mencoba mengeja dan menyusun kembali ucapan Glenn tadi siang. Merangkai satu persatu kata yang ia dengarkan. Mengapa Glenn selalu mengatakan Alan tidak baik dan mengapa Glenn begitu membenci Alan? Pertanyaan itu terus menerus berputar-putar di kepalanya. Apa alasan Glenn hanya sekedar peduli, seperti yang dikatakannya tadi? Atau Glenn sudah tahu banyak tentang Alan lebih dari yang Lala ketahui?Lala bangkit, kemudian beralih mencari ponselnya. Gadis itu kemudian menelpon seseorang.“Hallo!” Sapa Lala setelah panggilan itu tersambung.“Iya, Hallo!” terdengar suara seorang dari seberang.Lala mengernyit kemudian menatap ponselnya untuk memastikan nomor yang dipanggilnya benar. Di layar itu benar nomor yang dipanggilnya adalah Alan tetapi mengapa
Lala terbangun cukup pagi. Gadis itu mencari keberadaan ponselnya. Dia masih mengingat dengan baik, semalam video call dengan Glenn sampai ketiduran. Gadis itu mengecek pesan di ponselnya. Herannya tidak ada satu pun pesan dari Alan. Biasanya dia tidak pernah lupa mengirim pesan, sekedar mengingatkan selamat pagi atau bertanya tentang agenda setiap harinya.Kecewa?! Tentu saja tidak. Lala hanya sedikit heran saja.Kepalanya sedikit pusing mungkin karena terlalu banyak menangis semalam. Entah apa yang membuatnya bisa menangis sejadi-jadinya di depan Glenn.Setelah rutinitas dari kamar mandi Lala menuju dapur. Tentu saja mencari Bi Narti.“Non Lala sudah bangun?” Pertanyaan yang tidak perlu sebenarnya. Jelas-jelas Lala sudah bangun mengapa harus ditanyakan lagi? Tetapi entahlah kebiasaan berbasa-basi tampaknya masih menjadi budaya.Lala mengangguk dan duduk di samping Narti.“Mau masak apa, Bi? Biar Lala bantu.”
Setelah acara tiup lilin dilanjut acara pemotongan kue. Seperti biasa Lala memberi potongan pertama kue itu untuk Ayahnya. Harjito menerima suapan dari putrinya itu kemudian mengucapkan kalimat selamat diikuti rentetan doa.Acara cukup sederhana tetapi meriah dan keluarga inti datang semua. Setelah potong kue sudah selesai, Adrian yang bertindak seolah-olah menjadi MC. Memberitahukan acara selanjutnya yaitu hiburan yang akan diisi oleh bintang tamu.Lala bingung. Pasti Adrian hanya bercanda. Mana ada bintang tamu? Tetapi pandangan Lala seakan terkesima. Ketika dari pintu depan yang terbuka lebar datanglah rombongan tamu. di barisan paling depan Glenn, Sintia dan Herlambang. Setelah itu nampak Wijaya-Ririn, Alan-Dewi, Rega - Winda. Mereka memasuki ruangan dengan penuh senyum.Tampak para keluarga menyalami mereka sambil tersenyum."Lala maukah kamu menjadi istriku?" tanya Glenn lugas tanpa sedikitpun keraguan di depan keluarga besarnya. Pria itu mengeluarkan kotak berisi cincin yang ak
"Jadi, kamu dari mana saja?" hardik Harjito mengetahui putrinya baru saja pulang. Bahkan Lala baru beberapa langkah masuk ke dalam rumah. "Euhm ...." "Jangan banyak alasan! Kamu pasti menemui laki-laki pengecut itu kan?" "Namanya Glenn, Yah!" sahut Lala pelan. "Bagiku dia laki-laki nggak punya nama, karena tidak berani menunjukkan nyalinya. Masuk ke dalam kamar dan mulai hari ini kamu di bawah pengawasan, Ayah!" perintah Harjito. "Tapi, Yah!" "Tidak ada tapi! Ayah sudah terlalu banyak memberimu kebebasan! Dan sekarang nggak! Orang yang kesana kemari bersamamu harus orang yang memiliki status jelas! Bukan para pengecut seperti yang sudah-sudah!" putus Harjito. Pria itu telah memantau aktifitas putrinya akhir-akhir ini dan sebagian besar waktunya habis bersama Glenn. Lala masuk ke dalam kamarnya. Dan memberi kabar Glenn bahwa beberapa hari ke depan mereka tidak bisa bertemu. Anehnya Glenn menanggapinya biasa saja. Semua pesan yang ia kirim panjang lebar hanya mendapat jawaban.
"Lala, Glenn, angin apa yang membawa kalian hingga sudi mampir ke gubug Bapak?" tanya Wijaya penuh haru seraya mengulurkan tangan pada dua tamunya.Lala segera menyambut uluran tangan Wijaya dan mencium punggung tangannya. Meskipun hubungannya dengan Alan kandas, beliau tetaplah calon mertuanya. Mengingat sekarang Lala menjalin hubungan dengan putranya yang lain.Melihat antusiasnya respon Lala dalam menyambut uluran tangan itu. Glenn pun melakukan hal yang sama. Kemudian Glenn kembali duduk seraya berucap, "Maaf jadi kedatanganku ke sini ingin memohon restu pada, Anda!" ucap Glenn kaku. Diperlakukan demikian Wijaya tidak sakit hati. Mungkin saja Glenn belum bisa mengakui jika dirinya adalah Ayah kandungnya. Wijaya yakin kedatangan putranya kali ini merupakan terbukanya jalan bagi hubungan mereka. Lambat laun pasti Glenn akan menerimanya."Ooh ... Apakah kamu akan menikahi, Lala?" tanya Wijaya. Sedikit banyak Wijaya tahu kisah cinta di antara mereka. "Benar! Saya akan melamarnya, se
Glenn mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dalam hatinya masih bimbang.Dia berpikir apakah keputusannya ini sudah benar? Atau dia hanya seorang robot yang mengiyakan keinginan dua orang yang sangat disayanginya, Lala dan Sintia."Kenapa wajahmu tegang sekali Glenn?" tanya Lala setelah menilik raut muka laki-laki di sampingnya yang begitu serius. Tampak banyak beban di sana sudah seperti mau mengerjakan tugas negara dan jika gagal maka hidup akan menjadi taruhan."Ehmm ... Nggak La, aku hanya bingung mau ngomong apa nanti, jika sudah sampai!" sahut Glenn."Astaga! Kita bukan ingin wawancara kerja! Juga bukan ingin presentasi proposal! Jadi jangan terlalu serius, biarlah dialog mengalir dengan sendirinya, nanti jika sudah sampai juga bakal tahu mau ngomong apa!" sahut Lala."Tapi, La! Aku nggak enak, pasalnya kemarin aku menolak mereka! Jujur saja aku kecewa pada mereka!
"Kalian curang! Aku nggak dipeluk?" Protes Glenn.Sintia melepaskan pelukannya, menatap gadis pilihan putranya itu. Gadis yang sudah mengembalikan putranya untuk lebih semangat untuk hidupnya."Ish ... Cemburu? Lihatlah nanti Mama bahkan lebih sayang sama mantu daripada sama anak sendiri!" ucap Sintia."Terserah Mama, deh! Jadi kapan kita melamar Lala, Ma?" tanya Glenn."Jadi kamu benar-benar mau kawin?!" Sintia terlihat kaget dengan keputusan Glenn."Nikah, Ma, bukan kawin!" protes Glenn."Iya maksud mama Nikah. Apa kalian tidak mau tunangan dulu mungkin. Lagipula Lala kan masih kuliah baru semester satu!" jawab Sintia.Glenn menggeleng tidak setuju dengan usul mamanya. "Nggak Ma, aku nggak yakin bisa menjaga diri!""Sudah kebelet banget ya?" goda Sintia."Bukan, Ma. Maksud ak
"Ma, nanya apaan sih!" sahut Glenn menyelamatkan keadaan. Laki-laki itu kemudian menyerahkan minuman dingin untuk Lala, Lala segera menerimanya karena memang haus."Bisa buka tutupnya nggak?"Glenn meminta kembali menyadari jika Lala sering kesulitan membuka tutup botol minuman dingin.Setelah membukanya Glenn menyerahkan kembali."EHEM!!" deheman Sintia mengusik kegiatan keduanya."Mama apa nggak ada acara pergi ke rumah nenek? Atau pergi ke mall?! Tumben betah amat?" tanya Glenn, sembari memberi kode buat mamanya agar meninggalkan mereka berdua di ruangan itu.Tetapi sayangnya kode itu tidak diterima dengan baik, "Jadi apa lagi rencana kalian setelah kemarin main pembatu-pembantuan? Apa sekarang ada ide lain untuk mengelabuhi mama agar meninggalkan kalian berdua! Ingat jika sepasang manusia berlainan jenis bersama dalam suatu ruangan maka pihak ketiga adalah setan!" Sintia menegaskan ag
"Kita mau ke mana Glenn?" tanya Lala penasaran. Benar saja, seusai kelas. Glenn sudah gerak cepat untuk menculik Lala. Lelaki itu sepertinya tidak mau hilang kesempatan lagi setelah menyadari perasaannya."Masa iya kamu lupa ini jalan ke mana?" Jawab Glenn sambil terus mengemudikan mobilnya."Ini jalan ke apartemenmu! Tapi mau apa kamu mengajakku ke sana?""Untuk membuat kesapakatan baru!""Kesepakatan apalagi Glenn?""Ingin mengontrakmu menjadi pembantu tuan tampan seumur hidupmu. Jadi maukah Aquilla Anaya Pribadi menjadi pembantu kaya tuan tampan, ha ha ...""Aku nggak mau menjadi pembantumu Glenn, itu namanya menjatuhkan harga diriku, dulu aku mau karena bertanggungjawab. Meskipun bukan sepenuhnya kesalahanku. Tapi kali ini untuk alasan apalagi?""Karena kamu telah bandel masuk dihatiku jadi kamu harus dihukum!"&nbs
Hari ini Lala masuk kuliah untuk yang pertama sejak peristiwa itu. Rasanya malas, karena mau tidak mau akan bertemu Alan dan Dewi. Jujur saja Lala masih sakit hati dengan perbuatan mereka berdua. Apalagi setelah semua itu tidak ada di antara mereka yang berinisiatif untuk datang dan minta maaf. Mungkin saja harga maaf sudah mahal, sehingga mereka tidak mau mengusahakan. Mungkin pula ini perkara harga diri atau rasa malu? Ahhh ... Sepertinya Lala tidak mau menduga-duga karena takut malah jadi prasangka buruk. "La ..." panggil seseorang dan suara itu siapa pemiliknya, bahkan Lala belum lupa. Sahabat yang sudah dianggapnya saudara sendiri sejak Lala berada di kota ini. Lala menoleh tetapi membatalkan senyumnya. "Wi, kamu pucat sekali. Apakah kamu sakit?" tanya Lala menatap wajah Dewi yang begitu pucat. "Nggak, La! Aku hanya kurang tidur," terang Dewi. "Ooh aku kira sakit,"
Lala menyelesaikan kunyahanya. Meletakkan sendok pelan-pelan kemudian meraih jus alpukat di hadapannya. Setelah selesai Lala menatap Glenn."Apa kamu menunggu jawabanku?" tanyanya kemudian."Tentu saja. Ngapain lagi aku menatapmu seperti ini jika tidak menunggu jawabanmu?" Jawab Glenn kesal."Oke, aku akan menjawab pertanyaanmu. Jadi jika ternyata kamu adalah saudara Alan itu sungguh tidak ada hubungannya dengan aku mau jadi pacarmu atau tidak," jawab Lala bijak."Mengapa demikian?""Kita lahir dari rahim siapa, kita lahir di hari apa, jam berapa, di tolongin siapa kemudian ternyata kita lahir sebagai seorang laki-laki atau perempuan dan ternyata kita adalah saudaranya si a, b dan c. Itu mutlak kuasa Allah. Jadi kita hanya bisa terima dan tidak boleh menolak!""Kesimpulannya kamu tetap mau jadi pasanganku? Meskipun aku bersaudara dengan Alan?" tanya Glenn pen