“Hari ini apa sakit? Mengapa bolos?” tanya Alan seraya menatap begitu dalam wajah datar tunangannya itu.
Seusai kuliahnya, Alan mendatangi kediaman Lala. Dia begitu khawatir mengingat Lala bolos kuliah dan tidak mengabarinya. Bahkan ponselnya pun mati dan tidak bisa dihubungi.
Mendengar pertanyaan tunangannya itu Lala menggelengkan kepalanya pelan dan membalas tatapan Alan.
“Aku tidak sakit,” jawab Lala pendek.
“Lalu mengapa kamu bolos?” desak Alan.
“Enggak apa-apa, eum aku dikejar deadline untuk naskah novelku! Jadi aku tadi nulis,” dusta Lala.
“Jadi hanya karena pekerjaanmu yang hasilnya tidak seberapa itu? Mengganggu jadwal kuliahmu?!” ucap Alan marah.
Lala tersentak demi mendengar pernyataan Alan. Bahkan dirinya tidak menyangka sama sekali jika kata-kata itu bakal keluar dari mulut orang yang telah menjadi tunangannya.
“Jangan ngomong sembarangan kamu Alan! J
“Apa kamu mengundangnya juga?!” seru Alan menggema. Suaranya penuh amarah dan seakan tidak terima karena tiba-tiba orang yang paling dia benci tiba-tiba datang ke sini. Bukankah dirinya sudah memenangkan kepercayaan keluarga Lala? Tetapi mengapa pula Glenn masih saja membayanginya.“Sungguh demi apa pun aku tidak mengundang Glenn ke sini? Apa kau tidak dengar tadi? Dia ada urusan dengan Bi Narti?!”“Jangan mau dibodohi, La! Asal kamu tahu dia itu ada maksud tertentu datang ke sini, mungkin saja berniat menghancurkan hubungan kita!”Langkah Glenn terhenti, darahnya sudah nyaris mendidih mendengar percakapan Lala dan Alan. Glenn sudah hampir membalikkan badan dan ingin meremukkan semua tulang Alan. Hanya saja Narti cukup peka dengan kondisi ini. Wanita itu menarik lengan Glenn mengajaknya ke dapur.Ya. Sebenarnya Narti sangat jengkel dan kecewa dengan perlakuan Alan. Bahkan Narti cukup memahami situasi saat ini, mengingat
“Alan kamu kenapa?” tanya Dewi mendapati raut wajah yang ditekuk ketika Alan datang. Padahal Dewi sudah menunggunya sejak tadi.Sementara Alan hanya melirik Dewi sesaat dan tidak berniat menjawab pertanyaannya. Dewi masih saja menginap di kost, lantaran belum dapat uang kiriman dari orang tuanya.“Dari mana saja? Tadi selesai kelas aku mencarimu kemana-mana, tetapi tidak menemukanmu. Ponselmu juga mati. Jangan membuatku bingung,” tanya Dewi begitu khawatir.Sekali lagi Alan meliriknya.“Pertanyaanmu sudah seperti seorang istri yang mencurigai suaminya. Kurangi pertanyaanmu! Banyaknya bertanya itu tidak baik. Apa kamu sengaja ingin membuat kepalaku pecah?” ucap Alan tanpa perasaan dan laki-laki itu memilih melenggang pergi meninggalkan Dewi dengan semua pertanyaannya.Alan duduk di kursi depan kost. Sekejap kemudian dirinya sudah menikmati aktifitas menghisap dan membuang asap dari mulutnya. Sesekali bermain-main
Pagi ini Alan begitu bingung, bagaimana cara mengatakannya pada Lala. Tetapi jika permintaan Dewi tidak dituruti dia akan terus-terusan mengganggunya. Jika Dewi terus menginap di kos itu tidak baik, apalagi jika Lala sampai tahu. Semalam gadis itu sudah berani menyusul dan memeluknya saat tidur. Apa yang terjadi jika itu dibiarkan terus-menerus?Alan menatap wajah gadis di depannya yang begitu tenang dan fokus dengan makanannya. Gadis ini teramat polos dan apa adanya meskipun dia anak orang kaya.“La aku ingin ngomong sesuatu,” ucap Alan.“Iya ngomong saja,” jawab Lala santai. Mereka berdua sedang berada di kantin kampus“Nggak jadi,” ucap Alan tanpa berani menatap wajah Lala.“Harus jadi,” sentak Lala.“Mengapa begitu?” tanya Alan bingung.“Jadi cowok itu harus tegas. Jika mau ngomong langsung saja to the point. Jangan banyak basa-basi aku nggak suka,” ucap Lala
“Bi Narti sedang sibuk?” tanya Lala. Gadis itu memperhatikan asisten rumah tangganya yang sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri sedang berkutat memilah-milah pakaian yang akan disetrikanya.“Nggak Non, Bibi mah kalo Non Lala butuh, semua pekerjaan akan Bibi tinggalkan,” ucap Surti tersenyum, kemudian menghampiri Nonanya yang duduk di sofa tidak jauh dari sana.“Aku lihat Bibi akhir-akhir ini dekat dengan, Glenn! Bibi jadi mata-mata Glenn ya?” ucap Lala dengan sorot mata menyelidik.“Betul itu, Non. Eh anu ... Ehm salah Non. Maksud Bibi itu tidak benar, masa iya Bibi jadi mata-mata,” ucapnya pura-pura mengelak.Dahi Lala mengernyit demi mendengar ucapan Bi Narti yang tidak konsisten, “Aku tahu Bibi bohong!” ucapnya kemudian. “Kenapa Bibi bohongin aku?”“Tahu dari mana Bibi bohong? Non Lala ini ada-ada saja, atau mungkin Non Lala ini setengah paranormal? Sehingga bisa
“Jadi kalian satu kos?” tanya Lala heran karena justru Alan membawanya ke kos. Padahal perkiraan Lala akan menemui Dewi di luar. Mungkin saja di cafe atau semacamnya. Lala terdiam sejenak memperhatikan penampilan Dewi dengan tangtop dan hotpant berwarna hitam.Sejenak Lala merasa dibohongi Alan. Tapi kemudian dia menetapkan hati untuk tidak berpikiran buruk. Lagi pula dia juga pernah tinggal seatap sama Glenn. Tapi memang tidak ada apa-apa kecuali ciuman itu. ‘Apakah Dewi juga melakukannya bersama Alan?’ batinnya tetap saja bertanya.“Iya, ayo masuk La!” ucap Dewi ramah.Lala menyambut keramahan Dewi dengan senyum kemudian mendekat dan duduk di depan Dewi dan menepikan pertanyaannya terlebih dahulu.Alan menyimpan helmnya dan menyusul mereka.“Maaf La. Memang benar kami terpaksa tinggal bersama. Tetapi kami nggak ngapa-ngapain kok, tahu sendiri kan. Kalau aku sudah menganggap Dewi itu adikku sendiri,”
“Besok kamu cari kos sendiri,” ucap Alan. Setelah selesai mengantar Dewi.“Temeni dong, Al!” pinta Dewi merengek dengan tatapan dibuat sememelas mungkin.“Jangan manja, besok seusai kuliah aku ada kerjaan! Setelah itu aku juga ingin ke rumah Lala,” ucap Alan sambil menyandarkan diri ke tembok. Tangannya mengambil rokok dan segera menyalakannya.“Rokok lagi!” protes Dewi.“Apa di depan Lala kamu juga seperti ini,” omel Dewi dengan wajah kesal.“Tidak!” ucap Alan santai sambil menyemburkan asap rokok itu tepat di wajah Dewi.Seketika Dewi terbatuk-batuk. “Kamu jahat banget sih Al,” protes Dewi hendak mencubit perut Alan. Tetapi tubuh itu malah terperosok lebih dalam ke pelukan laki-laki itu.Mata mereka bertemu. Dewi malah semakin meringkuk manja dalam dekapan lengan kaki-laki yang sangat diharapkannya itu.Hening. Hanya ada suara jam dinding yang
“Astaga! Ini apa-apaan, Wik!” Seru Alan mendapatkan kamarnya sangat berantakan. Hari ini dia pulang cukup larut. Karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Mengingat salah satu temannya mendadak tidak masuk. Dirinya sudah cukup letih. Bayangannya sampai di kos ingin segera istirahat. Tetapi melihat kondisi kamar seperti ini dia teramat kesal. “Apaan sih, Al! Biasa saja kali! Cewek mah biasa begini!” “Astaga, kamu jadi cewek nggak ada rapi-rapinya sama sekali! Setiap hari bangun siang, kamar berantakan jarang mau rapiin, dan ini apam?!” Alan menunjuk paper bag yang berserakan di lantai. “Ini apa?” kemudian menunjuk baju yang masih ada handtagnya berhamburan di kasur. “Bagus nggak, Al?” Dewi malah memperlihatkan baju yang sedang dicobanya. “Nggak!!” seru Alan. “Telingamu apa tuli? Apa kamu tidak mendengarkan pesanku tadi pagi?” geram Alan. “Pesan yang mana lagi?” tanya Dewi tanpa melihat ekspresi kemarahan Alan. Gadis itu mal
Alan masih terngiang ancaman Dewi dia tahu betapa keras kepalanya gadis itu. Alan sudah hafal betul perangainya, sejak kecil bahkan semua yang diinginkan Dewi harus dituruti. Mungkin hal itu disebabkan pola didik orang tuanya yang terlalu memanjakannya. “Kamu mengapa diam saja, AL?” Kalimat gadis di depannya seketika membuat lamunan Alan buyar, jujur saja dia merasa tidak punya muka untuk duduk di dekat Lala. Dosa yang ia lakukan dengan Dewi terus membayanginya. Bagaimana dia berani menatap mata bening yang selalu dikaguminya itu? Sementara menyimpan dusta yang menyakitkan jika saja Lala sampai mengetahuinya. Aib mungkin seperti itu istilah yang disembunyikan Alan. “Nggak apa-apa. Aku hanya ada sedikit masalah kerjaan,” kilah Alan. Setelah itu Alan meraup udara banyak-banyak untuk mengisi oksigen karena dadanya tiba-tiba berasa sesak. “Oh ya sudah. Jika ada masalah kamu bisa cerita. Meskipun mungkin aku tidak bisa membantu menyelesaikan, setid