Alfian yang mendengar tangisan Rindu pun akhirnya keluar dari kamarnya. Ia terkejut melihat Rindu yang menangis ketakutan di pelukan Kanaya. “Nak, ada apa ini?”“Dia takut melihatku, Pa,” jawab Ashraf. Kanaya langsung melepaskan pelukannya begitu mendengar suara Alfian. “Dia takut dipukul sama ibunya, Pa.Alfian menggendong Rindu yang masih menangis sesenggukan, kemudian memeluknya dengan erat. “Kamu jangan takut, mulai sekarang tidak akan ada yang berani memukulmu.” Tangannya yang kokok mengusap punggung Rindu dengan lembut.“Iya. Mana ada ibu yang bisa mukul anaknya sendiri. Mamaku saja nggak pernah mukul aku.” Zivanna ikut menghibur Rindu.“Tapi, ibuku suka mukul kalau aku nggak nurut,” sahut Rindu sambil menangis sesenggukan. Alfian dan Ashraf semakin geram sekaligus merasa iba mendengar pengakuan Rindu. Mereka marah karena selama ini Rindu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari Sulastri.“Mulai sekarang aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kamu, Nak,” ujar Alfian den
Rindu menghela nafas panjang karena merasa nervous menunggu namanya dipanggil sebagai peserta lomba Musabaqah hafalan Al-Qur'an antar santri tingkat Madrasah Aliyah. Rindu memiliki gejala demam panggung. Namun, sejauh ini ia masih bisa mengatasi masalahnya.Setelah lulus Madrasah Ibtidaiyah, Rindu memutuskan untuk memperdalam ilmu pengetahuannya tentang agama islam di pondok pesantren Al-Fitrah, di Bangil Pasuruan Jawa Timur. Alfian sengaja memilih ponpes ternama untuk mendukung Rindu dalam mencari ilmu. Banyak santri berasal dari luar negeri yang menimba ilmu di ponpes tersebut. Awalnya, Rindu menolak karena biaya pendidikan pondok pesantren tersebut terbilang mahal, ia terlalu malu untuk merepotkan Alfian dan Nurmala, apalagi Bangil Jawa Timur sangat jauh dari Jakarta. Pasti Alfian dan Nurmala akan kerepotan untuk menjenguknya di pesantren. Rindu cukup tahu diri meskipun keluarga Alfian merawatnya dengan ketulusan hati sejak ia berusia 5 tahun sampai usia 18 tahun. Rindu mendengar
Pandangan mata Nurmala terus mengikuti langkah kaki Rindu yang meniti anak tangga, lalu berjalan melewati para santriwati dan wali santriwati yang duduk menonton acara perlombaan."Assalamu'alaikum," Rindu mengucap salam begitu tiba di hadapan Nurmala."Wassalamu'alaikum," jawab Nurmala, Kanaya, Khanza dan Zivanna serempak. Beberapa wali santri juga menjawab salam Rindu.Rindu mencium tangan Nurmala, lalu memeluknya dengan erat. Rindu sangat merindukan pelukan Nurmala, rindu kasih sayang Nurmala, rindu belaian tangan Nurmala ketika Rindu tidur, Rindu merindukan suapan tangan Nurmala. Rindu juga merindukan Papa Alfian, dan saudaranya. Air mata Rindu menetes begitu saja karena luapan rasa rindu."Loh, kok malah nangis?" tanya Nurmala begitu Rindu melepas pelukannya."Kangen, Ma." balas Rindu dengan suara serak, sambil menyapu air matanya."Oh, Mama juga kangen." Nurmala mencium kening Rindu. Sedangkan, Khanza mengusap-usap punggung Rindu. “Sudah-sudah. Umur kamu sudah 18 tahun, masa' su
Dari atas balkon, Gus Fahmi terus memperhatikan Rindu yang berjalan menuju ke asramanya. Seulas senyum terbit dari bibirnya yang menawan kala melihat Rindu mengenakan jaket pemberian darinya. Pandangannya tak mau terlepas hingga Rindu hilang di balik pintu asrama."Assalamu'alaikum." Rindu mengucap salam begitu membuka pintu kamar asramanya."Wassalamu'alaikum," jawab Anisa dan Mina, sedangkan Fatimah dan Rahma sudah tertidur pulas di atas ranjangnya. Mereka semua adalah sahabat yang sekamar dengan Rindu.Anisa dan Mina mengamati Rindu yang melangkah ke arahnya. Mereka berdua terheran-heran melihat jaket kedodoran yang Rindu kenakan. Mereka sangat familiar dengan jaket yang kebesaran itu. Mata Mina terbelalak ketika mendapat jawaban dari bordiran nama di jaket itu."Ya ampuuun, Rinduuuu. Sudah aku duga ini jaketnya Gus Fahmi," sorak Mina kegirangan begitu membaca bordiran nama M. Fahmi Saddam Husein di jaket tersebut. Ia menarik tangan Rindu, lalu mendudukkannya ke tepi ranjang."Seri
Para santriwati mengepak semua barang dan pakaiannya, termasuk Rindu dan sahabatnya. Rombongan santri akan pulang besok pagi."Alhamdulillah, akhirnya bisa bebas dari sangkar emas yang penuh dengan barokah ini." Mina sangat bahagia, sebentar lagi bisa menikmati udara bebas di luar pesantren."Gimana kalau bulan ramadhan kita buka puasa bersama?" Tangan Rindu masih sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas."Boleh, boleh, tapi gimana cara kita komunikasi. Kita 'kan nggak punya hp," sahut Anisa lesu."Gampang, kita pakai nomor orang tua kita aja." Rahma mengeluarkan buku dan bolpoin, kemudian menulis nomer orang tuanya. Setelah itu, Rahma memberikan kertas dan bolpoinnya pada Rindu, pun menulis nomor wa Nurmala. Secara bergiliran 5 sahabat itu menulis nomor orang tua mereka masing-masing."Kalau buka puasa bersama rasanya mustahil, deh. Rumah kita 'kan beda kota," keluh Rahma. Dia berasal dari kota Bangil Jawab Timur, Fatimah dari kota Madura dan Anisa dari kota Surabaya, sedangkan Mina
Sepanjang perjalanan pulang, suasana mobil hening. Tidak ada satupun di antara mereka bertiga yang mau membuka suara. Hal itu membuat Rindu merasa canggung. Ashraf melirik tangan Rindu yang saling meremas, sudah menjadi kebiasaan Rindu sejak kecil jika gugup akan meremas tangannya sendiri."Setelah lulus Aliyah, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Ashraf yang ingin mencairkan suasana canggung di dalam mobil, ia tidak ingin larut dalam kesedihan yang membuat Rindu makin tidak nyaman karena sikapnya. Tatapan matanya masih fokus ke jalanan depan."Kak Ashraf, ngomong sama aku?" tanya Rindu dengan polosnya karena tidak fokus dengan pertanyaan Ashraf.Ashraf menoleh pada Rindu yang duduk di sebelahnya seraya menyunggingkan senyum dengan manisnya. “Memangnya siapa lagi di sini yang lulusan Aliyah kalau bukan kamu?”"Hehehe." Rindu cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Memangnya Kak Ashraf tanya apa barusan, aku nggak dengar?”"Tadi Kak Ashraf tanya, setelah lulus Aliyah
"Apel, mangga sama jeruknya perkilo berapa, Pak?" tanya Rindu, sembari mencium aroma harum buah mangga segar di lapak pedagan di pasar tradisional."Kalo apel satu kilonya 45.000, Neng. Kalo jeruknya 30.000 perkilo, mangganya 20.000 perkilo." Jawab si penjual sambil menimbang buah dari pelanggannya yang lain."Nggak boleh kurang, Pak?" tawar Rindu."Udah harga pas, Neng." si pedangan tahu jika Rindu dan Ashraf adalah orang kaya, maka dari itu ia tidak mau menurunkan harganya. Terlihat jelas dari perawakan dan penampilan Ashraf yang sangat berwibawa dan tampan."Sudah murah, nggak usah ditawar lagi," ucap Ashraf."Iiih, ditawarlah, Kak, biar lebih murah." Rindu tersenyum di balik cadarnya. Kebiasaan hidup irit di pesantren terbawa sampai ke Jakarta. Ashraf hanya mengembangkan senyuman sambil memilih buah-buahan yang segar."Ya udah, apelnya 10 kilo, terus jeruknya 10 kilo, mangganya 3 kilo saja," pinta Ashraf. Rindu membantu Ashraf memilih buah-buahan segar. "Buat hajatan, Mas?" tany
Sepanjang perjalanan, Rindu menceritakan semua yang Sulastri katakannya. Ashraf menjadi pendengar yang baik dengan menyimak semua cerita yang disampaikan Rindu. Penolakan dan sikap kasar Sulastri membuat Rindu sangat sedih, apa lagi tuduhannya terhadap Alfian. Rindu tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi, ia meminta penjelasan, tapi Ashraf malah membawanya ke pemakaman."Kamu ingat makam ini?" tanya Ashraf begitu sampai di pemakaman Dirga dan Ningrum. Pemakamannya tampak terawat karena Alfian sudah mengutus seseorang untuk selalu merawat makam tersebut."Iya." Rindu mengangguk. Mana mungkin ia bisa lupa pada pemakanan yang setiap tahunnya selalu Rindu, Alfian dan Nurmala kunjungi."Yang ini makam Almarhum Pak Dirgantara dan yang ini makam Almarhumah Ibu Ningrum Ayuningtyas." Ashraf menunjuk makam kedua orang tua Rindu secara bergantian, kemudian menghela napas dengan berat, "Ini adalah makam kedua orang tua kamu. Ayah dan ibu kandung kamu."DEGJantung Rindu berdebar kencan